Kamis, Juli 13, 2006

Suka Berdakwah tapi Tidak Menguasai Bahasa Arab


Assalamu`alaikum wr. wb.

Dalam berdakwah kami terkadang harus terjun ke masyarakat di mana jarang sekali ada ustadz ke daerah tersebut, untuk itu kami terpaksa juga untuk berceramah.

Ilmu yang kami sampaikan adalah ilmu yang kami dapat dari:

1. Ustadz di pengajian-pengajian,
2. Buku-buku agama

Bolehkah kami tetap berdakwah padahal kami tidak dapat berbahasa Arab?

Jika menunggu ustadz yang bisa berbahasa Arab, saya yakin sekali daerah tersebut akan sangat jarang ada siraman rohani.

Elfizon
elfizon at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Untuk kebutuhan yang mendesak dan darurat, apapun spesifikasi seorang juru dakwah, mungkin bisa dimaklumi. Ibarat pepatah mengatakan, tidak ada rotan akar pun jadi.

Di wilayah yang terpencil, jauh dari keramaian, sepi dari ulama yang berkualitas, upaya untuk tetap bisa melakukan aktifitas dakwah tentu sangat dibutuhkan. Bukan pada tempatnya kalau kita memaksakan hal-hal yang bersifat ideal. Semua perlu disesuaikan dengan keadaan dan kenyataannya.

Memang kalau dilihat dari segi idealnya, seorang yang melakukan aktifitas dakwah harus menguasai materi yang didakwahkannya. Dan karena 99% materi tentang keIslaman itu tertuang dalam bahasa Arab, tentu saja urusan penguasaan bahasa Arab menjadi sangat vital.

Logikanya, bagaimana mungkin seseorang mengajak kepada Islam, namun dia sendiri tidak mengenal Islam kecuali hanya kulit-kulit terluarnya saja?

Namun semua itu kalau kita bicara dalam tataran ideal. Sementara kenyataan di lapangan, jangankan di daerah terpencil, justru para penceramah ibu kota di negeri ini kebanyakannya malah belum sampai ke tingkat itu. Berapa banyak penceramah yang buta bahasa Arab? Berapa banyak di antara mereka yang tidak mampu merujuk ke kitab-kitab asli?

Patut disayangkan, di tengah ketersediaan begitu banyak fasilitas dan kesempatan, yang mereka baca hanya buku terjemahan yang sangat mungkin mengalami masalah originalitas dan terbawa subjektifitas penerjemahnya. Namun dengan sangat percaya diri menampilkan sosok dirinya sebagai penceramah, da'i atau muballigh. Setiap hari kerjanya berceramah kesana kemari. Dari satu mimbar ke mimbar lainnya, dari satu pengajian ke pengajian lainnya. Bahkan sering muncul di layar kaca, dikagumi berjuta pemirsa dan tarifnya berjuta-juta.

Salahkah mereka?

Tentu saja kita tidak boleh meremehkan mereka. Meski tidak punya kemampuan dalam merujuk masalah agama ke literatur aslinya, namun mereka punya pesona.

Pesona ini yang barangkali justru tidak dimiliki oleh ulama yang aslinya. Sehingga begitu banyak ulama yang ilmunya tinggi dan luas, justru tidak dikenal massa, tidak pernah muncul di media, tidak bertabur amplop berjuta.

Para penceramah yang tidak paham bahasa Arab itu memang punya kekurangan yang fatal, namun tetap punya potensi. Tinggal bagaimana mereka menyadari kekurangan yang ada dalam diri mereka serta memberikan prioritas tersendiri untuk mengejar kekurangannya.

Tidak ada salahnya jika mereka mengurangi jam 'manggung' di publik, khusus untuk belajar bahasa Arab yang serius. Tapi pertanyaannya adalah: seperti apa dan bagaimana belajar bahasa Arab yang serius itu?

Keseriusan dalam belajar bahasa Arab, bisa dilihat dari beberapa cirinya. Misalnya bisa dilihat dari segi alokasi waktu yang disediakan. Untuk bisa menguasai bahasa Arab tidak mungkin dilakukan hanya seminggu sekali, harusnya setiap hari. Dan juga tidak mungkin hanya satu jam dalam sekali pertemuan, harus lebih banyak lagi. Dan tidak mungkin berhasil kalau hanya dalam waktu singkat beberapa bulan saja, tetapi harus beberapa tahun.

Dilihat dari segi materi, tentu saja yang paling utama adalah agar bisa memahami apa yang dibaca (fahmul maqru'). Sebab tujuannya memang agar bisa memahami literatur. Namun tiga kemampuan berbahasa lainnya juga tidak bisa disepelekan. Yaitu fahmul masmu' atau kemampuan untuk memahami apa yang didengar.

Dua kemampuan berikutnya adalah kemampuan untuk menyampaikan pesan dalam bahasa Arab, atau yang dikenal dengan istilah ta'bir. Ta'bir ini ada dua macam, yaitu ta'bir syafawi dan ta'bir tahriri. Ta'bir syafawi artinya kemampuan untuk berbicara dalam bahasa Arab sehingga orang Arab bisa memahami dengan mudah. Ta'bir tahriri adalah kemampuan untuk menulis pesan dalam bahasa Arab sehingga orang Arab memahami dengan mudah.

Selain dituntut kemampuan berbahasa Arab yang baik, seorang penceramah juga wajib belajar agama secara serius juga. Mulai dari Al-Quran, yang di dalamnya mencakup ilmu-ilmu membaca Al-Quran, ilmu tajwid, ilmu tafsir serta dasar-dasar tafsir.

Selain penguasaan terhadap Al-Quran, tidak kalah penting adalah kemampuan dalam mengenal dan mengerti hadits. Baik dari segi mushtalahatnya, hukum-hukumnya, metode takhrij, termasuk juga familiar dengan kitab matan, syarah dan ahkam.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah penguasan dalam bidang fiqih. Baik masalah dasar-dasarnya, seperti ilmu ushul fiqih, qawaid fiqhiyah, mantiq maupun kajian tentang detail bab-bab fiqih. Tidak lupa juga kajian perbandingan mazhab-mazhab fiqih dalam Islam. Dan penting sekali adalah kajian tentang masalah fiqih kontemporer.

Penguasaan masalah bahasa Arab, Al-Quran, hadits dan fiqih di atas agaknya merupakan standar kemampuan minimal yang paling asasi. Kalau pun saat ini belum tersedia tenaga da'i yang demikian, tentu saja menjadi kewajiban kita untuk menyiapkan generasi juru dakwah yang seperti itu di kemudian hari.

Namun untuk keperluan yang paling dasar dan mendesak, bahkan jumlahnya masih sangat terbatas, sementara kita pun masih bisa memaklumi bila spesifikasi para juru dakwah ini masih di bawah standar. Tidak perlu dihentikan semangat berdakwah yang sudah ada, namun yang perlu sekarang ini adalah upaya untuk meningkatkan kemampuannya.

Semoga Allah SWT menguatkan agama ini dengan semakin banyak lahirnya para juru dakwah yang memenuhi standar spesifikasi minimal.

Wallah a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.

Tidak ada komentar: