Kamis, Juli 13, 2006

Atap Asbes Berbahaya?


Ass. wr. wb.

Pak Andan yang baik.
Saya membaca beberapa pertanyaan di rubrik konsultasi ini, umumnya jawaban Bapak sangat baik dan membantu. Tapi ketika membaca tentang asbes sebagai bahan atap saya agak surprise. Di Jepang penggunaan asbes sudah dilarang karena dapat menyebabkan penyakit yang bisa menyebabkan kematian. Ddalam setahun belakangan ini pemerintah Jepang sangat gencar melakukan penggantian material berbahan asbes. Di laboratorium tempat saya belajar juga beberapa alat yang terbuat dari bahan asbes juga sudah diganti dengan yang baru berbahan bebas asbes.

Pertanyaan saya, apakah asbes masih layak dipakai untuk bahan atap ditinjau dari segi kesehatan dan apakah tidak ada bahan yang lebih baik dengan harga yang masih terjangkau masyarakat Indonesia tentunya yang tidak membahayakan kesehatan?

Terima kasih banyak sebelumnya.

Wassalam,

Tri

Jawaban

Wa'alaikum salam wr. wb.

Bapak Tri yang saya hormati,

Terima kasih atas perhatiannya pada rubrik saya. Bahkan memberikan masukan yang berharga. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih yang banyak. Karena tak banyak orang yang perhatian pada bagian kritikan.

Asbes memang cukup berbahaya bagi kesehatan. Namun dampaknya tidak langsung. Itupun bagi mereka yang bekerja pada pabrik beratap asbes tanpa plafond. Artinya dalam sehari kehidupan mereka lebih banyak berada di bawah racun asbes tersebut.

Nah, untuk rumah tinggal saya selalu menyarankan menggunakan plafond. Bukan hanya untuk racun, tapi panas menyengat yang dihasilkan asbes juga tertahan di ruang kosong dalam plafond.

Masalahnya klasik memang, jika pemerintah Jepang sudah antipati terhadap asbes saya setuju. Namun kondisi ekonomi kita yang tak ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang baik, membuat tak ada pilihan. Orang butuh rumah yang murah. Hingga pilihannya jatuh pada asbes. Saya sebagai arsitek memang setuju ini bahan murah. Namun juga berbahaya. Karena tak ada pilihan, maka ketika ia diberi plafond maka racun terhambat. Apalagi jika di dalam plafond diberi lubang hawa. Maka udara dan racun akan tersedot ke luar.

Pak Tri yang baik, hal ini lebih ke arah faktor ekonomi. Bahan yang tersedia memang tak menunjang kesehatan. Memang tidak menyelesaikan masalah. Namun ini pilihan pahit bagi rakyat. Ketika disain arsitektur saya terhambat biaya, maka pilihannya asbes. Karena selisih harganya jauh.

Untuk saya dan masyarakat yang dananya terbatas tentu akan sangat senang jika pemerintah mau mencontoh Jepang. Yang sangat memperhatikan rakyatnya hingga masalah asbes sekalipun.

Orang butuh rumah. Arsitek butuh perkerjaan. Nampaknya memang UUD (ujung-ujungnya duit). Tapi itulah keseharian rakyat papan bawah yang saya hadapi.

Pilihan lain memang ada. Daun kirai, daun kelapa atau bahan-bahan alami hingga mirip rumah tradisional. Selain ringan, murah juga tahan gempa. Karena tidak berat. Namun tentu tak semua orang ingin menggunakan bahan ini. Dengan alasan 'gengsi' atau seperti rumah tempo dulu dan berbagai alasan yang dikemukakan.

Belum lagi jika ditinjau dari segi keamanan. Atap ini rawan kebakaran. Ia akan mudah terbakar jika listrik korslet atau tetangga kebakaran rumahnya.

Demikian Pak Tri, semoga bermanfaat keterangan ini.

Wassalaamu'alaikum wr. wb.

Ir. Andan Nadriasta

Tidak ada komentar: