Rabu, Oktober 24, 2007

Puasa Syawwal

Oleh Fery Ramadhansyah

Rasulullah saw. Bersabda:“ Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian menyertainya berpuasa enam hari di bulan Syawal maka pahalanya sama seperti berpuasa sepanjang hari” (HR Muslim)

Berpuasa enam hari di bulan Syawwal sunnah hukumnya. Dilaksanakan boleh kapan saja selain tanggal satu Syawwal. Karena saat itu merupakan hari kemenangan bagi umat Islam. Dan demi merayakan hari tersebut, Allah mengharamkan hambaNya berpuasa.

Melaksanakan puasa ini tidak harus berurutan. Tidak mesti melakukannya enam hari sekaligus dalam seminggu. Boleh saja berkelang, asal penyelesaiannya masih dalam bulan Syawwal itu juga.

Ada satu hal yang cukup menarik untuk direnungkan dalam masalah ini. Semulanya mungkin kita berfikir kenapa setelah sebulan penuh menjalankan aktivitas puasa, kini ada puasa lagi. Tentu ini memiliki tujuan tersendiri. Karena tidak ada sesuatu yang disyariatkan oleh Allah kecuali di dalamnya ada manfaat.

Jika dilihat dari waktu pelaksanaannya, puasa Syawwal adalah salah satu bentuk follow up pembentukkan muslim menjadi seorang muttaqin yang sejati. Kalau hasil akhir dari pelaksanaan puasa Ramadhan yang lalu adalah takwa maka puasa Syawwal ini merupakan kelanjutan cara Allah membentuk hambaNya agar tetap bertakwa.
Firman Allah swt: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (QS;2:183)

Ini adalah cara yang tepat untuk membuat seorang muslim tetap berjalan di atas rel ketakwaan dalam menjalani kehidupan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan berkeluh kesah (QS. 70:20). Terkadang orang sering melupakan Allah kalau lagi senang. Oleh karena itu, meskipun dalam momentum lebaran yang syarat dengan kegembiraan tidaklah menjadikan kita melupakan Allah.

Tidak ada martabat yang lebih tinggi selain takwa. Seseorang baru dianggap mulia dalam pandangan Allah sesuai dengan ketakwaan yang ia miliki. “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu…” (QS. 49:13)

Dan dengan takwalah kemakmuran satu bangsa dapat diperoleh. Mungkin inilah kunci yang belum digunakan dalam mengatasi krisis yang berkepanjangan di negara kita. Oleh karena itu keluar dari Ramadhan, dan berada di bulan Syawwal semoga meningkatkan ketakwaan kita. Firman Allah swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..” (QS. 7:96)

Konser Black Eyed Peas, DPR, dan Moral Kita

Oleh Rizki Ridyasmara

Tadi malam, konser Black Eyed Peas, kelompok musik R&B asal Boston menggelar konser di Istora Senayan. Tak kurang dari 5000 penonton memadati gedung tersebut, dengan harga karcis di dekat panggung 850 ribu rupiah dan di tribun satu karcis dihargai setengah juta perak. Karcis seluruhnya ludes. Jika ditotal, para penonton telah rela membayar Rp 3. 500. 000. 000 (baca: tiga miliar tigaratus ribu rupiah!) hanya untuk menonton konser selama 90 menit!

Uang segitu sungguh cukup untuk membangun tiga gedung sekolah sederhana yang layak. Atau membuat puluhan ribu anak putus sekolah bisa kembali bersekolah. Tapi, ya kenyataanlah yang berbicara. Kepedulian sosial dan empati terhadap sesama, yang merupakan salah satu cerminan dari keimanan kita memang masih sebatas itu.

Di tengah lautan kemiskinan yang tiap hari kian menjepit leher jutaan rakyat negeri ini, di tengah samudera keputus-asaan yang tiap detik menghimpit harapan jutaan saudara kita, ternyata masih teramat banyak yang tega-teganya menghambur-hamburkan uang untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat.

Mereka, yang menonton konser itu, kebanyakan adalah anak-anak remaja kita. Ketidakpedulian mereka adalah hasil dari didikan yang kita berikan selama ini. Atau jangan-jangan mereka juga meneladani generasi tuanya yang tingkahnya juga sama-sama memuakkan? Bisa jadi.

Untuk mencari contoh kasus yang bisa mewakili hal itu di Indonesia ini teramat mudah. Lihat saja tingkah polah anggota DPR kita, tingkah polah pejabat kita, dari tingkat yang paling atas hingga strata bawah. Sikap tidak perduli pada kemiskinan rakyat, sikap memuakkan mereka, dengan jelas bisa terlihat.

Di tengah kesengsaraan rakyat, anggota DPR yang sudah dijejali aneka fasilitas kemewahan yang berasal dari utak-atik anggaran belanja negara (baca: merampok uang rakyat) masih saja ngotot meminta kenaikan gaji. Padahal gaji mereka sudah lebih dari cukup. Prestasi kerja juga sama sekali tidak ada istimewanya. Sudah demikian, mereka juga mempertahankan uang pensiun seumur hidup, dari hasil kerja cuma lima tahun. Ini sungguh-sungguh memuakkan.

Mereka ini hanya memikirkan cara untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya, ketimbang menunaikan amanah rakyat. Memang, tidak semuanya yang demikian. Tapi itulah gambaran umum, mayoritas, anggota DPR kita. Malah yang menyesakkan dada, banyak pula orang-orang yang tadinya tulus dan ikhlas, ketika menjadi anggota DPR tak kalah rakusnya dengan yang memang sudah rakus. Bukannya mewarnai, mereka malah ikut terwarnai. Mengenaskan, memang.

Para pejabat kita, termasuk anggota DPR, telah lama sudah lupa bahwa tugas utamanya adalah melayani kepentingan rakyat dan menunaikan amanah para pemilihnya. Sama sekali bukan untuk memperkaya diri sendiri. Sama sekali bukan untuk mencari uang untuk sandaran hidup dan sebagainya.

Sistem pemerintahan kita yang korup memang telah berurat berakar ke semua lini dan amat sulit, bahkan sepertinya mustahil, untuk membersihkannya. Amat mungkin, negeri ini memerlukan revolusi, bukan reformasi, untuk membabat habis semua anasir-anasir yang tidak benar, warisan Orde Baru-nya Suharto.

Para penyeru kebajikan, penjaga moral kita, sesungguhnya merupakan tugas para dai, para ustadz, dan para ulama. Namun ironisnya, banyak dari mereka yang juga terinfeksi wabah 'cinta dunia', sehingga mereka sesungguhnya 'Artis yang tengah akting menjadi ustadz', bukan 'Ustadz yang membina para atis'. Atau "politisi yang mengenakan topeng ustadz', bukan 'Ustadz yang selalu mengingatkan politisi'.

Membedakannya sungguh mudah. Jika mereka benar-benar Ustadz, Dai, atau Ulama, maka mereka akan menolak segala fasilitas mewah yang diambil dari uang rakyat. Mereka akan menolak pemberian kendaraan dinas mewah, menolak diberikan uang ini dan itu yang sesungguhnya bukan prestasi tapi memang kewajiban mereka (misal uang kehadiran rapat atau uang kehadiran acara luar kota), menolak uang pensiun seumur hidup (karena memang tidak layak), dan sebagainya. Mereka akan tetap pergi bekerja di gedung parlemen dengan kendaraan milik pribadi, atau jika tidak punya maka naik kendaraan umum. Ini baru jempolan. Berapa persenkah yang seperti ini?

Anak-anak muda kita, yang tidak perduli dan tidak memiliki empati terhadap sesamanya, merupakan wajah lain dari kelakuan generasi tuanya. Mereka merupakan cerminan dari diri kita sendiri.

Bersyukurlah jika kita sekarang ini mampu untuk hidup dan menghidupi keluarga tidak mengandalkan utak-atik uang anggaran (baca: uang rakyat). Bersyukurlah jika kita sekarang ini bisa hidup dan menghidupi keluarga dari hasil keterampilan yang kita miliki. Bersyukurlah, walau jumlahnya mungkin tidak sebanyak yang diterima anggota DPR dan pejabat negara lainnya, uang yang kita dapatkan adalah uang halal. Ini akan membuat kita dan keluarga kita menjadi manusia-manusia yang memiliki hati yang bersih, yang masih memiliki empati yang tinggi.

Bersyukurlah bila sekarang ini kita tidak termasuk bagian dari sistem yang korup dan sungguh-sungguh menghinakan. Bersyukurlah, jika kita bangun dari tidur kita pagi ini, mendapati kenyataan bahwa kita bukanlah pejabat...

Jangan Tidur Usai Sholat Subuh

Oleh Sigit Indriyono

Selesai makan malam, sambil menikmati istirahat bersama keluarga di rumah, kubuka e-mail inbox. Seorang teman, anggota mail list mengirim e-mail dengan lampiran slide Power Point. Kubuka slide halaman pertama. Judulnya ’Keutamaan Sholat Subuh Berjama’ah di Masjid’. Terdapat penjelasan di bawahnya, disarikan dari buku ‘Misteri Sholat Subuh’ karya DR. Raghib As-Sirjani. Kelihatannya sangat menarik dan bermanfaat. Segera ku-copy untuk dimasukkan dalam folder ibadah dari file-ku. Sehingga bisa dibaca dengan lebih seksama.

Sholat subuh merupakan ibadah yang bagi sebagian orang terasa berat untuk dilakukan di awal waktu. Mereka terbuai oleh nikmatnya tidur. Rutinitas kehidupan kita berupa siklus kantuk, tidur, bangun, dan beraktivitas merupakan karunia nikmat Allah SWT. Suatu sunatullah yang telah dilekatkan pada penciptaan manusia. ''Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. '' (QS An-Naba' [78]: 9). Adzan untuk panggilan sholat Subuh agak berbeda. Ada tambahan ucapan ashsholatu khoirumminan naum sebanyak dua kali yang artinya sholat lebih baik daripada tidur. Beberapa masjid mengumandangkan adzan Subuh dua kali. Adzan pertama sebagai tanda fajr-kadzib sedangkan adzan kedua adalah tanda telah sampainya saat fajr-shodiq. Fajr-shodiq merupakan waktu Subuh yang sebenarnya.

Fajr-kadzib masuk dalam periode sepertiga malam terakhir yang sangat istimewa. Dalam hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, bahwa pada saat sepertiga malam terakhir bagi siapa yang bermunajat kepada-Nya akan dipenuhi; yang memohon ampun akan diampuni, yang berdoa akan dikabulkan. Setelah mendengar adzan fajr-kadzib, seyogyanya kita segera bangun tidur, untuk melakukan qiyamul lail, sholat tahajud. Allah SWT menjanjikan kedudukan yang terpuji bagi mereka yang mendirikan sholat tahajud (QS Al-Israa' [17]: 79). Rasulullah SAW mengajarkan doa bangun tidur:''Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kami akan kembali. '' (HR Bukhari).

Perlu usaha agar kita bisa bangun di akhir malam. Jika sudah terbiasa, akan mudah dan ringan untuk dilaksanakan. Caranya dengan tidur malam di awal waktu dan makan malam secukupnya saja. Di samping itu, menjelang tidur malam kita niatkan akan mendirikan shalat tahajud semata-mata mencari keridhoan-Nya. Tidak lupa berdo’a sebelum tidur yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW: ''Dengan menyebut nama-Mu wahai Allah, aku hidup dan dengan menyebut nama-Mu aku mati. '' (HR Bukhari dan Muslim).

Doa di atas dengan izin Allah SWT akan menjadikan kita selalu dalam penjagaan-Nya dan ingat akan kematian. Kematian bisa datang kapan saja. Mungkin besok, mungkin lusa, atau mungkin pada saat sedang menikmati tidur. Umur kita dan bagaimana kita mati adalah rahasia-Nya. Kita harus selalu siap siaga setiap saat agar saat maut menjemput, dalam keadaan husnul khatimah.

Kubuka slide Power Point tentang keutamaan sholat Subuh berjama’ah di masjid. Beberapa sabda Rasulullah SAW didalamnya, memberikan motivasi untuk senantiasa mendirikan sholat Subuh berjama’ah di masjid. Salah satu di antaranya: “ Berikanlah kabar gembira bahwa barangsiapa yang sering berjalan dalam kegelapan menuju masjid akan mendapatkan cahaya yang sangat terang di hari kiamat “ (HR Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah). Yang dimaksud dengan berjalan dalam kegelapan menuju masjid adalah pergi ke masjid untuk sholat Isya’ dan sholat Subuh secara berjama’ah.

Waktu Subuh hingga matahari terbit adalah waktu yang penuh barokah yang seharusnya kita manfaatkan dengan optimal. Rasulullah SAW memberikan contoh dengan tidak pernah tidur lagi usai mendirikan sholat Subuh di masjid. Berdzikir, tilawah dan tadabbur Al-Qur’an adalah amalan yang bisa dilakukan ba’da sholat Subuh hingga terbit matahari. Banyak dzikir ma’tsurat diajarkan oleh beliau yang bisa diamalkan.

Jika sholat Subuh kita lakukan di masjid secara rutin dan setelahnya tidak tidur. Namun, diikuti dengan amalan di atas hingga matahari terbit, akan banyak keberkahan yang didapatkan. Setelah matahari sepenggalah naik, bisa dilanjutkan dengan sholat dhuha. Semuanya merupakan bekal ruhiyah yang akan memberikan spirit dalam melakukan kegiatan sehari-hari untuk meraih ridho Allah SWT. Kegiatan sebagai pelajar atau mahasiswa, kegiatan berbagai profesi atau keahlian, maupun kegiatan para pensiunan atau purnawirawan dalam mengisi waktu luang yang memberikan manfaat.

Bontang, 10 Syawal 1428 H/ 22 Oktober 2007

Berdoalah, Bekerjalah, Semoga Mendapat Berkah

Oleh Rifki

Pagi itu saya berada di kantor yang bukan tempat saya bekerja. Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang beberapa menit. Satu persatu karyawan berdatangan dan mengisi daftar hadir melalui aplikasi komputer. Untuk beberapa lama saya duduk di salah satu sudut sambil sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa bagian ruangan tersebut.

Sekitar pukul delapan tepat, waktunya mulai bekerja. Sesaat sebelum para karyawan di kantor tersebut mulai bekerja melaksanakan tugas masing-masing, dari balik meja besar yang memisahkan para karyawan dengan para pelanggan, seorang karyawan berpeci hitam berdiri. Sejurus kemudian, beliau mulai berbicara.

"Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh... Rekan-rekan, sebelum kita memulai aktifitas kita hari ini, marilah kita bersama-sama berdoa. " Dalam benak saya, rupanya berdoa sebelum bekerja sudah menjadi kebiasaan di tempat ini. Sebuah contoh yang bagus untuk ditiru.

Dalam Al-quran syrat Al-Mu’minun Ayat 60, Allah SWT berfirman “Berdoalah kepada-Ku, Aku akan memberikan. ” Berdoa adalah sebuah perintah, dan mengerjakannya tentu akan bernilai ibadah.

Berdoa dan bekerja ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa ditinggalkan salah satunya. Berdoa tanpa ada usaha atau kerja adalah sebuah kemalasan. Sebaliknya, bekerja tanpa diiringi dengan doa adalah sebuah kesombongan.

Lelaki tersebut mulai mengucapkan doa yang diamini oleh para karyawan, termasuk saya.

...". Ya Allah, berilah kami rizki yang lapang lagi halal. Dan jadikanlah rizki itu sebagai sarana kami beribadah kepadaMu. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untukMu Tuhan semsta alam. Tiada sekutu bagiMu dan demikianlah aku diperintahkan... "

Begitulah sebagian kata-kata dalam doa yang masih saya ingat.

-----------oooooooo000oooooooo-----------

ketika makan, berdoalah
semoga mengenyangkan dan mendapat berkah
mengisi tenaga kembali tuk bekerja dan beribadah

Ketika berangkat, berdoalah
walau sekedar dengan lafaz basmalah
ketika awal kaki melangkah

Ketika berjumpa, maka doa berbagilah
semoga keselamatan dan rahmat terlimpah
berjabat tangan menghapus dosa hingga berpisah

Ketika bekerja, berdoalah
meminta segala urusan semoga dipermudah
agar diri tak perlu berkeluh kesah

Ketika kembali, berdoalah
saat mengetuk pintu lantas masuk ke rumah
agar disambut senyum ramah hingga hilanglah rasa lelah

Ketika menutup mata, berdoalah
semoga setiap detik yang terlewati bernilai ibadah
dan bila mata tak terbuka lagi maka tiada rasa sesal dan bersalah

Ketika mata dibuka kembali, berdoalah
seraya lisan berucap ringan sebuah hamdalah
memulai hari baru untuk mengejar jannah

Rp 1.500, - = Rp 600.000, - (matematika Allah)

Oleh Bayu Gawtama

Tidak ada satu maksud apa pun ketika menuliskan cerita ini, semoga Allah menjaga hati ini dari sifat riya meski sebiji zarah pun.

_____________________________

Jum’at lalu, saya berangkat ke kantor dengan dada sedikit berdegub. Melirik ukuran bensin di dashboard motor, masih setengah. “Yah cukuplah untuk pergi pulang ke kantor”.

Namun, bukan itu yang membuat dada ini tak henti berdegub. Uang di kantong saya hanya tersisa seribu rupiah saja. Degubnya tambah kencang karena saya hanya menyisakan uang tidak lebih dari empat ribu rupiah saja di rumah. Saya bertanya dalam hati, “makan apa keluarga saya siang nanti?” Meski kemudian buru-buru saya hapus pertanyaan itu, mengingat nama besar Allah yang Maha Melindungi semua makhluk-Nya yang tawakal.

Saya berangkat, terlebih dulu mengantar si sulung ke sekolahnya. Saya bilang kepadanya bahwa hari ini tidak usah jajan terlebih dulu. Alhamdulillah ia mengerti. Soal pulangnya, ia biasa dijemput tukang ojeg yang –sukurnya- sudah dibayar di muka untuk antar jemput ke sekolah.

Sepanjang jalan menuju kantor saya terus berpikir, dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk menjamin malam nanti ada yang bisa dimakan oleh isteri dan dua putri saya. Urusan besok tinggal bagaimana besok saja, yang penting sore ini bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan.

Tiba di kantor, tiba-tiba saya mendapatkan sebungkus mie goreng dari seorang rekan kantor yang sedang milad (berulang tahun). Perut saya yang sejak pagi belum terisi pun mendesak-desak untuk segera diisi. Namun saya ingat bahwa saya tidak memiliki uang selain yang seribu rupiah itu untuk makan siang. Jadi, saya tangguhkan dulu mie goreng itu untuk makan siang saja.

Sepanjang hari kerja, terhitung dua kali saya menelepon isteri di rumah menanyakan kabar anak-anak. “sudah makan belum?” si cantik di seberang telepon hanya menjawab, “Insya Allah, ” namun suaranya terasa getir. Saat itu, anak-anak sedang tidur siang.

Pukul lima sore lebih dua puluh menit saya bergegas ke rumah. Sebelumnya saya sudah berniat untuk menginfakkan seribu rupiah di kantong saya jika melewati petugas amal masjid yang biasa ditemui di jalan raya. Sayangnya, sepanjang jalan saya tidak menemukan petugas-petugas itu, mungkin karena sudah terlalu sore. Akhirnya, sekitar separuh perjalanan ke rumah, adzan maghrib berkumandang. Motor pun terparkir di halaman masjid, dan seketika mata ini tertuju kepada kotak amal di pojok masjid. “bismillaah…” saya masukkan dua koin lima ratus rupiah ke kotak tersebut.

Usai sholat, setelah berdoa saya meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya, tangan saya menyentuh sesuatu di kantong celana. Rupanya satu koin lima ratus rupiah. Kemudian saya ceploskan lagi ke kotak amal yang sama.

Sesampainya di rumah, isteri sedang memasak mie instan. Semangkuk mie instan sudah tersaji, “kita makan sama-sama yuk…” ajak si manis. Kemudian saya bilang, “abang sudah kenyang, biar anak-anak saja yang makan”. Anak-anak pun lahap menyantap mie instan plus nasi yang dihidangkan ibu mereka. Rasanya ingin menangis saat itu.

***

Keesokan paginya, isteri menggoreng singkong untuk sarapan. Alhamdulillah masih ada yang bisa dimakan. Sebenarnya hari itu masih punya harapan. Seorang teman isteri beberapa hari lalu meminjam sejumlah uang dan berjanji mengembalikannya Sabtu pagi. Namun yang ditunggu tidak muncul. Bahkan ketika terpaksa saya harus mengantar isteri menemui temannya itu, pun tidak membuahkan hasil.

Tiba-tiba telepon saya berdering, “Pak, saya baru saja mentransfer uang satu juta rupiah ke rekening bapak. Yang empat ratus ribu untuk pesanan 20 buku bapak yang terbaru. Sisanya rezeki untuk anak-anak bapak ya…” seorang sahabat dekat memesan buku karya saya yang terbaru.

Subhanallah, Allahu Akbar! Saya langsung bersujud seketika itu. Saya hanya berinfak seribu lima ratus rupiah dan Allah membalasnya dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini matematika Allah, siapa yang tak percaya janji Allah? Yang terpenting, siang itu juga saya buru-buru mengeluarkan sejumlah uang dari yang saya peroleh hari itu untuk diinfakkan.

***

Saya bersyukur tidak memiliki banyak uang maupun tabungan untuk saya genggam. Sebab semakin banyak yang saya miliki tentu semakin berat pertanggungjawaban saya kepada Allah.

Bayugautama@yahoo.com

Catatan Iedul Fitri: Air Mata di Malam Takbiran

Oleh Bayu Gawtama

Selepas maghrib, bersama beberapa jamaah masjid Perumahan Taman Melati, bersiap untuk mendistribusikan zakat kepada para mustahik di sekitar komplek. Cukup banyak zakat yang terkumpul dari para penghuni komplek, selain zakat fitrah juga terdapat zakat maal, infak dan sedekah. Sesuai keputusan panitia, semua yang terkumpul akan didistribusikan tidak terkecuali.

Beberapa petugas pendistribusi sudah ditentukan, saya pun kebagian tugas menyampaikan ke beberapa rumah para calon penerima zakat.

Rumah satu:

Hanya sekitar lima belas menit dari komplek, menyusuri jalan yang gelap serta melewati beberapa petak kebun, sebuah rumah pun diketuk. Beberapa kali ucapan salam belum mendapat jawaban. Sampai kali keempat, barulah si empunya rumah menjawabnya, “wa’alaikum salam…” suaranya parau terdengar.

Tidak ada rumah lain di samping rumah tersebut. Ia seperti tinggal tak bertetangga, di sekelilingnya hanya kebun. Suasana rumah dan sekitarnya cukup gelap, sehingga saya pun tak bisa melihat secara jelas wajah penghuni rumah itu. Yang pasti, ia seorang lelaki tua berkisar 55 tahun. Tidak jelas apakah ia sendiri atau bersama keluarganya di rumah itu, yang pasti ia keluar sendirian dengan langkah tertatih. “terima kasih, sampaikan salam untuk para dermawan ya, ” ujarnya pelan.

Tidak ada suasana jelang hari raya di rumah berdinding triplek itu. Tidak ada hiruk pikuk persiapan menyambut lebaran seperti kebanyakan rumah lainnya. Beberapa saat kemudian saya pun meninggalkan lelaki itu, yang nampaknya tetap sendirian. Sedetik sebelum kaki melangkah, setitik airmata mengambang di pelupuk mata dan tak sanggup tertahankan.

Rumah dua:

Hanya lampu sentir –lampu terbuat dari kaleng yang diisi minyak tanah dengan satu sumbu kecil diatasnya- yang menerangi seisi rumah itu. Penghuni rumahnya, kakek nenek berusia di atas tujuh puluh tahun. “anak-anak dan cucu sudah tidak di sini, mereka tinggal jauh. Mungkin besok pas lebaran baru ke sini, ” ujar sang nenek, si kakek tersenyum mengiyakan.

Rumahnya terbuat dari bilik bambu, beberapa pondasi yang terbuat dari kayu sudah terlihat keropos. Bahkan bagian belakang rumahnya sudah sedikit miring, padahal di belakang rumah itu terdapat sungai kecil tempat aktifitas MCK (mandi cuci kakus) beberapa warga di kampung tersebut.

Dua sejoli tua itu, menjalani malam takbiran bersama sepi. Tanpa hiburan, hanya suara gemericik sungai kecil di belakang rumahnya yang terdengar. Setitik lagi air mata ini menyembul.

Rumah tiga:

Kondisi rumahnya agak lebih baik, cukup permanen namun terlihat sangat tidak terawat. Di beberapa bagian dindingnya terlihat pecah, bahkan bagian luar rumah itu belum diplester entah sudah berapa tahun lamanya. “yang penting bisa berteduh pak, mlester dan ngecat mah nanti saja kalau sudah ada uangnya, ” terang kepala rumah tangga itu.

Saya ingin bercerita satu hal saja yang membuat saya benar-benar tak sanggup menahan air mata. Ketika saya menyerahkan sebuah amplop –berisi uang seratus ribu rupiah- dan sekantong beras, ucapan syukurnya seperti menggelegar, “Ya Allah, terima kasih, alhamdulillah…”

Di depan saya, amplop itu dibukanya dan, “Anak-anak ayo kita berangkat, ” rupanya tempat yang dimaksud adalah toko baju. Hingga malam itu, tidak satu pun dari tiga anaknya yang sanggup dibelikan baju untuk berlebaran.

Bagaimana dengan sekantong beras itu? Keluarga itu sudah membeli sepuluh daun ketupat yang sudah jadi, namun belum tahu apakah mereka akan mengisinya atau tidak karena sampai malam itu mereka tidak punya beras sedikit pun.

Cukup… cukup sudah air mata saya. Maaf, saya tidak bisa melanjutkan cerita ini untuk rumah-rumah berikutnya. Saya tidak sanggup menuliskannya lagi.

***

Jika saya kembali mengingat tayangan di televisi tentang kecenderungan orang yang menciptakan antrian kaum fakir miskin untuk mendapatkan uang zakat dari seorang pejabat. Atau ketika saya melihat tayangan ribuan orang di sebuah daerah untuk berebut sedekah yang hanya sepuluh ribu rupiah saja, dan untuk senilai itu mereka rela berpanas-panasan, saling sikut, saling injak dan akhirnya jatuh pingsan. Semua tayangan itu hanya menggambarkan parade kemiskinan negeri ini yang takkan pernah selesai dituntaskan hanya dengan sepuluh atau lima puluh ribu rupiah saja.

Sungguh, mendatangi langsung para fakir miskin dan menyentuh tangan para penerima itu di rumahnya jauh lebih nikmat. Dan semestinya, memang kita yang mendatangi rumah-rumah fakir miskin, bukan sebaliknya. Semoga di masa yang akan datang tidak terulang lagi. (gaw)

Selasa, Oktober 02, 2007

Melestarikan I’tikaf dan Tradisi Nabi

Oleh Muhammad Rizqon

Firdaus (3), nampak asyik mengamati permainan outbound ‘flying fox’ pada arena bazar di Gelora Bung Karno. Dia nampak khusyuk dengan permainan yang dilihatnya. Sesekali dia tertawa karena melihat ada sesuatu yang menurutnya lucu. Dia nampaknya bisa membaca ekspresi wajah dan perasaan, terutama wajah-wajah kepanikan. Boleh jadi itu yang mengundang dia tertawa.

Saat umminya menawarkan, “Firdaus mau coba?” Dia berujar, “Entar Mi…” Kemudian dia kembali asyik memperhatikan anak-anak yang mencoba permainan outbound tersebut. Lucunya, dia banyak tertawa seakan dirinya lebih bisa dari mereka. Katanya, “Mi, Lihat mi. Lucu..ha..ha..ha..”
Aku yang melihat dia tertawa jadi ikut tertawa, bukan karena oleh mereka yang mencoba flying fox tetapi melihat tawa firdaus yang lucu terpingkal-pingkal seperti orang dewasa.

Tidak lama kemudian ia bilang ke Umminya, “Firdaus mau coba, Mi. ” Umminya sebenarnya agak kaget. Masalahnya, turunan dari flying fox tersebut cukup curam, dan tambang yang dibentangkan juga tidak panjang, hanya memanfaatkan pohon-pohon yang ada. Jadi begitu meluncur, ia akan cepat melaju, kemudian ditahan oleh ikatan yang berfungsi sebagai rem yang dikendalikan oleh panitia. Begitu sampai ke bawah, akan ada semacam hentakan yang cukup mengagetkan.

Untuk menyakinkan dirinya, Ummi Firdaus bertanya kepada panitia tentang resiko yang akan terjadi. Setelah menerima jawaban panitia, “Oh tidak apa-apa Bu, asal anaknya berani. Kita jaga, Insya Allah aman. ”, ummi Firdaus menoleh ke anaknya dan berujar, “Firdaus berani kan?” Firdaus mengangguk. Akhirnya setelah mendaftar dan membayar di kasir, panitia menyambut Firdaus dengan membesarkan hatinya. Rasanya dia menjadi pencoba yang paling kecil, sehingga banyak orang yang berdecak kagum akan keberaniannya.

Panitia mulai memasang simpul-simpul dan besi di tubuh Firdaus. Kemudian tubuhnya dinaikan ke papan luncur di atas pohon. Ikatan tali di tubuh mulai dipasangkan pada roda peluncur. Pembimbing memberikan instruksi, kemudian memberi aba-aba. “Bismillahirrahmanirrohim 1..2..3..” Lalu meluncurlah tubuh Firdaus dengan berpegangan pada kedua tali tergantung. “Sreeet…” Alhamdulillah, berhasil. Tiada wajah ketakutan, bahkan dia tertawa bahagia karena mengalami kejadian yang luar biasa dan ia berhasil melewatinya.

***

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS 2:183).

Ada satu pelajaran kenapa Firdaus berhasil dan tidak perlu gagal untuk pertama kali, yaitu ia belajar dari pengalaman anak-anak sebelumnya. Dia amati dan pelajari orang-orang yang berhasil mencobanya kemudian dipraktekkan. Suatu prinsip yang mudah dan sederhana untuk menapaki suatu keberhasilan.

Demikian halnya jika kita ingin berhasil dalam Ramadhan dengan meraih taqwa, kita harus jeli memaknai kata ‘min qoblikum (orang-orang sebelum kamu)’ dalam ayat tersebut di atas. Setelah saya renungi kata ‘min qoblikum’ rupanya memberikan hikmah yang luar biasa.

‘Min qoblikum’ memiliki dua pengertian, Pertama, yaitu orang-orang sebelum Nabi Muhammad SAW. Artinya syariat puasa sudah dijalankan oleh orang-orang sebelum beliau, dari Nabi Adam a. S. Hingga Nabi Isa a. S. Contoh yang lazim kita ketahui adalah ‘puasa Nabi Daud’ yang menjadi tradisi Nabi Daud a. S. Dan kaumnya, di mana sehari berbuka dan sehari berpuasa demikian seterusnya. Hikmah yang terkandung adalah Allah memerintahkan untuk melestarikan tradisi kebajikan. Tradisi kebajikan yang telah diajarkan oleh orang-orang sebelumnya, hendaknya dilestarikan dan disempurnakan sehingga menjadi lebih baik. Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi penutup, adalah penyempurna dari tradisi kebajikan yang disyariatkan sebelumnya.

Kedua, makna ‘min qoblikum’ bagi kita yang hidup sekarang ini, adalah Rasulullah SAW, sahabat dan para salafushsholeh. Kita diperintahkan berpuasa sebagaimana mereka berpuasa. Artinya kita diperintahkan mempelajari cara-cara mereka menjalankan puasa hingga mereka mencapai sukses (derajat ketaqwaan yang tinggi di sisi Allah). Kita mempelajari bahwa mereka di bulan Ramadhan sangat serius dan bersungguh-sungguh, banyak melakukan tilawah qur’an dan memperbanyak ibadah, menghindari ghibah, melakukan banyak sedekah, tidak banyak tidur, menghidupkan malam, melakukan I’tikaf 10 hari terakhir, dan lain-lain. Seharusnyalah kita juga melakukan tindakan dan dengan semangat yang sama. Kita tidak perlu membuat tradisi-tradisi baru. Tradisi kebajikan yang diajarkan Rasulullah sudah jelas dan terbukti hasilnya. Kita tinggal mempelajari dan mengikuti saja.

Sesuatu yang mudah sebenarnya, sebagaimana pola pikir si kecil Firdaus di atas. Tapi entah kenapa, apa karena tidak tahu, banyak dari kita yang tidak mau berkaca dari kehidupan Rasulullah SAW, sahabat dan salafushsholeh. Sungguh ironis, jika kita berulang kali melakukan kesalahan yang sama, karena tidak mengambil spirit dari mereka. Sebagian kita justru berkiblat kepada tokoh-tokoh yang boleh jadi tidak selaras dengan tradisi Nabi SAW.

Kata ‘min qoblikum’ ternyata menyimpan kekuatan pesan yang luar biasa. Dia berkait dengan esensi ajaran Islam yaitu menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan dalam melestarikan tradisi-tradisi kebajikan. Sering kali manusia berupaya melestarikan tradisi, tapi justru tradisi itu menjadi kontraproduktif bagi nilai ketaqwaan. Dengan melestarikan tradisi Nabi, sebenarnya kita menunjukkan ‘kecerdasan iman’ kita dalam menangkap pesan tauhidurrasul, “Asyhadu anna Muhammad Ar Rasulullah”.

Terpetik hikmah juga bahwa Islam adalah agama yang menghargai sejarah, karena ternyata sejarah memiliki daya pengaruh kuat dan luar biasa bagi orang-orang setelahnya. Jika sejarah dibelokkan oleh musuh Islam hingga yang terkesan adalah suatu kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan terorisme, maka sebenarnya musuh benar-benar hendak menciptakan generasi muslim bodoh, terbelakang, miskin dan berimage teror. Ada upaya-upaya dari musuh Islam yang mencoba membangun ‘inferioritas’ ummat dengan mengelabui sejarah. Sebaliknya, mereka selalu berupaya membangun ‘superioritas’ dengan menciptakan sejarah palsu melalui mitos-mitos atau film-film layar lebar. Inilah konspirasi yang kadang tidak kita sadari, padahal berdampak sangat luar biasa.

Sesungguhnya jika kita membangun landasan yang kuat dengan hanya mempelajari dan mengamalkan praktek-praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabat baik dalam level pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia, kita akan menemukan kejayaannya. Selama ini kita terpuruk karena meninggalkan tradisi-tradisi kebajikan dan tidak mau mencontoh dari kehidupan Rasulullah SAW.

***
Hari-hari Ramadhan berlalu tanpa terasa kita akan mendekati penghujung hari-harinya. Andai hari-hari yang lalu kita lewati Ramadhan dengan bermalas-malasan, di penghujung yang segera menjelang ini marilah kita optimalkan dengan menghidupkan tradisi Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus dianjurkan oleh Rasulullah SAW yaitu i’tikaf pada 10 hari terakhir.

Sungguh, kita akan merasakan hari-hari yang penuh makna. Penghujung malamnya adalah detik-detik berharga dan menjadi penentu perjalanan Sang Hamba di keesokan harinya. Di penghujung malam ini kita bersimpuh, merasakan ketidakberdayaan, merasakan kehinaan, merintih dengan cucuran derai air mata penyesalan, dan memanjatkan bait-bait do’a memohon cahaya atas kegelapan kehidupan.

Kita akan merasakan makna ikhlas untuk ditekuni sebagai jalan yang menghantarkan kita ke surga, merasakan mata hati yang terbuka terhadap hakikat dunia yang selalu membuat terlena dengan angan-angan maya, dan merasakan begitu dekatnya Rabb Sang Pencipta yang memiliki penjagaan dengan dzikir-dzikir yang kita lantunkan.

Subhanallah, suasananya penuh syahdu mengundang keharuan. Derai air mata akan dengan mudahnya tertumpah seiring dengan ketunduk hati untuk merendah dengan serendah-serendahnya, bersujud dengan sehina-hinanya. Allahu Akbar, Maha Suci Allah dengan segala ketinggian rahmat, kebesaran maghfirah, dan keagungan ampunan. Air mata yang tak kuasa tercurah memberi kesejukan jiwa, membeningkan hati, melembutan perasaan, dan menyapu segala dosa. Dan seiring dengan hilangnya kegelapan, cahaya terang menyinari jiwa yang menang. Allahu Akbar Wa lillahi al-hamdu.

Sungguh, kemenangan itu hanyalah semata-mata sebagai karunia Allah, untuk menyenangkan hati orang-orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan peserta ‘madrasah malam’ dalam kehidupan ini. Semoga kita bisa melestarikan tradisi menghidupan ‘detik-detik berharga’ ini hingga ajal menjelang sebagai tanda tiba saatnya menemui Rabb tersayang. Amin ya mujib assaailiin.

Waallahu’alam bishshawwab