Minggu, Februari 12, 2012

I'm Moslem. Don't Panic

"I'm Moslem. Don't Panic" kata-kata itu tertulis di kaos yang dikenakan Nathan Ellington, saat ia diwawancari wartawan pada tahun 2007 lalu. Tapi ia menolak difoto atau tampil di depan kamera televisi saat mengenakan kaos itu, karena khawatir ada orang yang merasa tersinggung dengan tulisan tersebut.

Nathan Levi Fontaine Ellington memang harus pandai menjaga sikap, karena ia termasuk figur masyarakat di Inggris. Lelaki kelahiran Bradford, West Yorkshire pada 2 Juli 1981, adalah pesepakbola yang namanya cukup terkenal di negeri itu.

Pemain Liga Premier yang sekarang bergabung dengan klub sepakbola Preston North End itu, sebenarnya sangat terbuka dengan keislamannya. Ia menjadi salah satu pesebakbola Muslim diantara pesepak bola Muslim lainnya yang bermain di Liga Premier seperti Mo Sissoko, Hameur Bouazza, Diomansy Kamara dan Nicolas Anelka.

Tapi menjadi seorang Muslim di Inggris bukan persoalan yang mudah, meski negara itu cukup terbuka dengan kaum Muslimin.

Ellington masuk Islam pada tahun 2004 setelah menikah dengan seorang muslimah asal Bosnia bernama Alma. Namun kakak Ellington bernama Jason yang lebih dulu masuk Islam, ikut berperan dalam keislamannya. Ellington, yang mengaku bukan seorang Kristiani yang taat sebelum masuk Islam, tidak menghadapi kendala berarti dari keluarganya saat memutuskan masuk Islam, dan menunjukkan komitmennya sebagai muslim dengan menjalankan semua kewajiban seperti puasa Ramadan dan salat lima waktu.

Ketika ditawari bermain untuk Klub Watford tahun 2007 lalu, Ellington bicara dari hati ke hati dengan manajer klub Aidy Boothroyd sebelum menandatangani kontrak, tentang keislamannya. "Saya bicara padanya tentang kewajiban yang harus saya lakukan sebagai seorang muslim. Saya menjelaskan masalah ini, karena sebagai seorang pemain yang muslim, saya dianggap berbeda dengan pemain lainnya. Ternyata, dia (Boothroyd) tidak masalah dengan semua itu," tutur Ellington yang dibayar 3,25 juta poundsterling oleh klub Watford.

Ia juga menyatakan tidak menemukan kesulitan dalam menjalankan ibadah, utamanya salat lima waktu di tengah jadwal latihan yang padat. Jika harus latihan sehari penuh, ia meminta waktu lima atau sepuluh menit saat waktu salat tiba.

"Saya selalu bawa sajadah. Manajer saya tidak mempermasalahkannya. Ia menghormati bahwa salat adalah sesuatu yang harus saya laksanakan," kata Ellington.

Ia beruntung karena pelatih dan manajernya bisa memberikan keleluasaan padanya untuk menjalankan ibadah, meski beberapa teman satu timnya sering menjadikannya sebagai bahan lelucon. Olokan yang membuatnya paling tak enak didengar adalah saat ia dipanggil "Beardo, namun Ellington tidak terlalu ambil pusing.

Di klub lain, seorang pemain dijuluki "Bomber" hanya karena pemain itu seorang muslim. "Sebagian orang berpikir itu sesuatu yang lucu, padahal sama sekali tidak lucu. Ada banyak isu yang lebih besar di luar sana. Banyak orang kehilangan nyawa, atau kehilangan orang yang mereka cintai. Ada garis batas yang harus ditarik," imbuhnya.

Menurut Ellington, jika hal semacam itu terjadi, masalahnya bukan pada agama tapi pada manusiannya. "Agama itu sendiri tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk. Islam mendorong Anda untuk memahaminya, mempelajarinya. Dan saya tidak menemukan hal-hal yang salah dalam Islam. Islam tidak mengajarkan Anda untuk jadi orang jahat," tukas Ellington.

"Anda tahu, selalu ada orang yang jahat dalam setiap agama. Tapi persoalannya bukan terletak pada ajaran agamanya yang jelek, tapi pada manusianya. Ini yang harus dipahami ... Mungkin pengetahuan mereka minim. Jika mereka mau berdiskusi dengan saya, saya dengan senang hati berbagi dengan mereka," tandasnya.

"Jujur, Islam tidak mempengaruhi aktivitas sepakbola saya. Saya memang melihat banyak prasangka buruk pada agama saya. Tapi dalam tim ini, saya tidak pernah mengalami serangan bernuansa rasis, justru teman saya yang bukan muslim yang mengalami hal itu," tukas Ellington. (ln/berbagai sumber)

"Aku akan Menyusulmu di Surga Kelak Anakku"

Oleh Redi Bintarto

“I will follow and catch you up later in the heaven.” Itulah kalimat yang diucapkan Julia, seorang ibu dengan rambut pirang di depan peti mayat anaknya. Ditaruhnya sebuah alquran di atas peti mati anak tersayangnya yang meninggal tiga hari yang lalu karena tertabrak kereta api.

Hati Julia tidak tenang, jiwanya terus memberontak dan bertanya, kenapa anak sekecil itu yang mati duluan, kenapa bukan dia yang mati. Hari-harinya berlalu tanpa ada semangat dalam hidupnya, hingga dia bertemu dengan Muhammad, seorang sopir taksi yang biasa berlalu lalang disekitar kota Wollongong untuk mengantarkan penumpang demi menghidupi keluarganya.

Pertemuan Julia dan Muhammad berawal di sebuah stasiun ketika Julia melambaikan tangan kearah taksi yang dikendarai oleh Muhammad. Muhammad lalu menghampiri Julia dan membukakan pintu seperti biasa dia melayani calon penumpangnya. Julia sedikit kaget dengan penampilan Muhammad yang berjenggot lebat, seraya dia bertanya, “Are you Moslem?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak biasa dilontarkan oleh calon penumpang taksi, karena dengan berbagai kejadian yang menimpa kebanyakan muslim di negeri yang bukan muslim, sehingga Muhammad sedikit tersinggung dan kaget, Ia pun balik bertanya, “Yes I am, and why did u ask me?”

Mengetahui sopir taksi yang ditanyai sedikit tersinggung, Juliapun tersenyum dan bilang, “Could you help me please?” Muhammad pun menjadi terheran dengan calon penumpangnya tersebut.
Tetapi sebelum dia sempat bertanya, Julia meneruskan pertanyaannya, “My daughter passed away five days ago, she had crashed by the train, and I can’t forget it, I believe it is destiny, I believe in Alloh. Please give me advise that it can kill my broken heart”.

“Are you moslem?” Muhammad balik bertanya. “No, I am not a moslem, but I believe it is destiny and I believe Alloh,” jawab Julia.

Muhammad bingung, ia hanya memandangi wanita yang tengah menangis dan mengiba tersebut. “Ok, let sit in my taxi, we chat inside,” kata Muhammad sambil mempersilahkan Julia memasuki taksinya.
Dalam perjalanan Muhammad bertanya kepada Julia, bagaimana dia bisa percaya takdir dan juga Alloh SWT. Juliapun menjelaskan, bahwa suami pertamanya adalah seorang muslim berkebangsaan Tunisia, namun suaminya pergi kembali ke Tunisia dan tidak kembali, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi dengan Lorrice, seorang warga Australia yang beragama nasrani, dan mereka dianugerahi seorang anak perempuan yang akhirnya meninggal tertabrak kereta api di sebuah stasiun kereta api di daerah NSW.

Muhammad lalu menjelaskan kepada Julia, bahwa semua yang ada didunia ini adalah milik Alloh SWT dan kelak akan kembali kepada Alloh SWT. Dia juga menjelaskan bahwa anak yang meninggal ketika belum baligh, maka dia akan masuk surga seperti yang Alloh janjikan.
Julia menangis mendengar penjelasan itu. “Could I met her in the heaven next?” tanya Julia. “World and Heaven are Alloh’s have, you can enter the heaven and meet your daughter if you convert to Islam and practice all of what Alloh order to mankinds,” kata Muhammad.

“Could you explain to me about Islam?” Tanya Julia. “I can, but if you don’t mind, you can meet my brother, and he will explain to you more about Islam,” jawab Muhammad. “Ok, I will come, please call me as soon as possible when he could” jawab Julia. “Insyaalloh” jawab Muhammad.

Pertemuan itupun terjadi, Muhammad mengajak Syah Jamil, penceramah dari Essence of Life, kelompok pengajian di daerah Illawara yang biasa dilakukan di Omar Mosque dan Essence life center di daerah Wollongong NSW. Syekh Jamil bercerita dan menjelaskan tentang Islam dan mengapa hanya Islam agama yang benar, hingga hari itu juga Julia dan Lorrice memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di dalam Omar Mosque.

Air mata Julia pun menetes dipipinya, “I never felt like this time, now I am a moslem and I do sure that I will follow and catch up my daughter later in the heaven,”kemudian ia memeluk Lorrice suaminya. Suasana pun semakin mengharukan dengan para jamaah yang mengucapkan selamat dan doa untuk keduanya. Allohuakbar!




Redi Bintartor_bintarto@yahoo.com
Wollongong, NSW