Jumat, September 21, 2007

Hadits Tidurnya Orang Puasa Adalah Ibadah

Saya pernah mendengar orang berkata bahwa tidurnya orang berpuasa itu adalah ibadah. Tapi sampai saat ini saya tidak tahu, benarkah hal itu? Kalau memang benar, apakah itu merupakan hadits nabi atau bukan? Dan kalau memang hadits nabi, riwayatnya serta statusnya bagaimana?

Terima kasih atas jawabannya ustadz

Jhons
jhons@yahoo.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ungkapan seperti yang anda sampaikan, yaitu tidurnya orang berpuasa merupakan ibadah memang sudah seringkali kita dengar, baik di pengajian atau pun di berbagai kesempatan. Dan paling sering kita dengar di bulan Ramadhan.

Di antara lafadznya yang paling populer adalah demikian:

نوم الصائم عبادة وصمته تسبيح وعمله مضاعف ودعاؤه مستجاب وذنبه مغفور

Tidurnya orang puasa merupakan ibadah, diamnya merupakan tasbih, amalnya dilipat-gandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.

Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa hal yang sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipat-gandakan, namun khusus lafadz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya.

Adalah Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy-Syu'ab Al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).

Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif teteapi sudah sampai derajat hadits maudhu' (palsu).

Hadits Palsu

Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadits nabawi.Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadits.

Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, yaitu bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadits.

Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga semakin menguatkan kepalsuan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadits.

Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma'in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemasu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah "manusia paling pendusta di muka bumi ini!"

Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh kita yang satu ini. Belaiu mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu haditsnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta.

Saking tercelanya perawi hadits ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadtis dari Sualiman bin Amr.

Iman Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, "Sulaiman bin AmrAn-Nakha'i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin minal muhadditsin wadhdhu'afa wal-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanul I'tidal.

Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.

Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah SAW pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk tidur.

Kalau pun ada istilah qailulah, maka prakteknya Rasulullah SAW hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Euthanasia Menurut Hukum Islam

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Pak ustad yang dimulyakan Allah Swt. Akhir-akhir ini sering kita temukan tindakan medis yang dikenal dengan istilah euthanasia atau mempercepat kematian pasien.

Dalam tindakan ini dalih yang dipakai oleh dokter adalah untuk meringankan rasa sakit yang didera pasien atau dalih yang lain yaitu masalah ekonomi sang pasien yang kurang memadahi untuk memenuhi biaya pengobatan.

Pertanyaan yang ingin saya lontarkan adalah bagaimana pandangan Islam terhadap euthanasia tersebut? Dan mohon penjelasan makna euthanasia, macam-macam euthanasia beserta contohnya dan dalil-dalil yang membolehkan atau mengharamkan!

Terima kasih, semoga pas ustad selalu di bawah lindungan Allah Swt. Amin

Wassalammualiaikum Wr. Wb

Ana Widyawati
widya_wt87

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Euthanasia adalah sebuah istilah kedokteran. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian).

Euthanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Dua Macam Euthanasia

Kalau kita lihat dalam prakteknya, kita bisa membagi euthanasia menjadi dua macam. Pertama, euthanasia positif. Kedua, euthanasia negatif.

1. Euthanasia Positif

Eutanasia positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit -karena kasih sayang- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat) atau obat.

Contohnya, seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Eutanasia Negatif

Sedangkan euthanasia negatif adalah tindakan membiarkan saja pasien yang sudah parah sakitnya tanpa tindakan pengobatan.

Contohnya orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat bantu pernapasan di ruang ICU atau ICCU.

Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya.

Ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai `orang mati` yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

Dalam contoh tersebut, `penghentian pengobatan` merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif.

Hukum Euthanasia Positif

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis.

Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.

Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya.

Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Hukum Euthanasia Negatif

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan.

Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat.

Dasar Kebolehan

Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasi negatif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagainulama. Yaitubahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnyawajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegangolehimam-imam mazhab.

Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.

Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetapmewajibkannya. Misalnyaapa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bion Hanbal, jugasebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).

Perbedaan Pendapat

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:

Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.

Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.

Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.

Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.

Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pak Ustadz, saya mau bertanya mengenai masalah hadits. Sepengetahuan saya jarang sekali malah belum pernah saya menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah atau Ali bin Abi Tholib, kenapa ini bisa terjadi?

Padahal keduanya adalah orang yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Hal ini menjadi pertanyaan saya karena banyak dari golongan syiah yang menuduh bahwa muslim suni menghormati ahlul bait sebatas di bibir saja padahal sebenarnya mengingkarinya.

Terima Kasih atas jawaban Ustadz.

Wasalam

Echa

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Fatimah radhiyallahu 'anhamemang nyaris tidak pernah kita dapati riwayatnya, meski belum tentu benar. Namun Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuadalah orang yang cukup banyak meriwayatkan hadits.

Tapi yang pasti, kedekatan seseorang dengan diri Rasulullah SAW tidak ada kaitannya dengan jumlah hadits yang mereka riwayatkan kepada kita. Bukankah kita pun jarang mendengar hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallau 'anhu? Demikian juga dengan riwayat Umar dan Utsman bin Affan radhiyallau 'anhum ajma'in?

Dan dengan alasan yang nyaris mirip, kira-kira hal yang sama juga terjadi pada diri puteri tercinta beliau, Fatimah radhiyallahu 'anha. Meski sangat dekat, tidak lantas punya banyak hadits yang diriwayatkan.

Hakikat Meriwayatkan Hadits

Hal itu karena yang namanya meriwayatkan hadits sangat berbeda dengan kedekatan kepada nabi. Meriwayatkan hadits kira-kira sama dengan mengajar hadits. Tidak semua orang punya kesempatan mengajar hadits.

Padahal yang namanya mengajarkan hadits itu baru terjadi manakala nabi SAW sudah wafat. Kalau nabi masih hidup, maka yang mengajar tentu saja langsung Rasulullah SAW.

Penyebab adanya sebagian shahabat yang tidak terlalu banyak mengajarkan haditsbisa karena memang dibebani kesibukan yang lain yang menjadi tanggung-jawabnya.

Ataukarena usianya tidak panjang. Beberapa shahabat nabi ada yang meninggal sesaat nabi SAW meninggal. Salah satunya Fatimah puteri beliau, yang meninggal hanya berselang 5 bulan setelah meninggalnya nabi. Maka tentu saja beliau tidak sempat banyak meriwayatkan hadits.

Persahabatan Nabi dengan Abu Bakar

Al-Quran menyebutkan secara tegas persahabatan di antara Abu Bakar dengan diri Rasulullah SAW. Bahkan yang jadi khalifah setelah Rasulullah SAW adalah beliau. Boleh dibilang, Abu Bakar ra adalah manusia yang paling mengerti tentang diri Rasululllah SAW, dibandingkan dengan semua orang.

Lalu mengapa Abu Bakar ra jarang meriwayatkan hadits?

Jawabannya sederhana saja, karena urusan jarak kematian antara keduanya. Abu Bakar ra meninggal hanya sekitar 2 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Sementara dalam waktu dua tahun itu, beliau amat disibukkan dengan berbagai macam pe-er di internal umat Islam. Maka nyaris jarang sekali kita menerima hadits yang beliau riwayatkan.

Hari-hari di mana Abu Bakar hidup pasca wafatnya Rasulullah SAW adalah hari-hari tersibuk. Beliau adalah khalifah, di mana beliau punya kewajiban meneruskan memimpin dunia Islam, yang sedang mengalami berbagai tekanan dari internal atau pun eksternal.

Di kalangan sebagian bangsa arab, muncul gerakan riddah (murtad) yang harus dihadapi dengan menghabiskan waktu. Bersama dengan itu, beliau pun harus meneruskan peperangan yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah SAW di mana Usamah bin Zaid menjadi panglimanya. Di wilayah keilmuwan, beliau juga disibukkan dengan maha proyek pengumpulan tulisan Al-Quran, sesuai proposal dari Umar bin Al-Khattab ra.

Jadi, nyaris tidak ada lagi kesempatan beliau untuk meriwayatkan hadits. Meski beliau boleh dibilang orang yang tahu tentang diri Rasulullah SAW.

Fatimah binti Muhammad radhiyallahu 'anha

Maka kasus yang sama juga terjadi pada diri Fatimah ra. Beliau hidup tidak lama setelah nabi wafat. Para sejarawan mengatakan bahwa puteri nabi ini wafat hanya berselang 5 bulan setelah kematian ayahandanya. Jadi mudah sekali menjawab masalah ini, yaitu mana sempat beliau meriwayatkan banyak hadits?

Pantas saja kita jarang menerima hadits yang beliau riwayatkan, rupanya beliau wafat tidak lama setelah ayahndanya wafat.

Keadaan Fatimah ra sangat berbeda dengan keadaan isteri Rasulullah SAW, Aisyah radhiyallahu 'anha. Beliau hidup hingga tahun 57, atau 58 atau 59 hijriyah. Bahkan sempat ikut berbagai macam even. Beliau pun menjadi rujukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan rumah tangga nabi. Dan beliau juga banyak meriwayatkan hadits yang bersifat agak teknis sebagaimana Abu Hurairah ra berikut ini.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu

Sebaliknya kita kenal Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu sebagai orang yang baru masuk Islam di masa-masa terakhir menjelang kematian Rasulullah SAW. Hanya beberapa saat saja beliau sempat bertemu dengan diri nabi SAW.

Namun sebagaimana kita tahu, shahabat yang satu ini termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadits nabawi.

Lalu bagaimana penjelasannya?

Begini, meski pun Abu Hurairah ra hanya sebentar bertemu dengan nabi SAW. Diriwayatkan beliau baru bertemu nabi pada perang Khaibar tahun ke-7 hijriyah. Tiga tahun kemudian Rasulullah SAW wafat untuk selamanya.

Namun masa yang sebentar itu sangat efektif. Di masa yang sebentar itu, nyaris tiap saat beliau selalu mendampingi Rasulullah SAW.

Dan kalau kita perhatikan tipe hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, kebanyakan adalah hadits-hadits yang bersifat laporan pandangan mata serta umumnya hal-hal yang teramat teknis yang terjadi seputar diri Rasulullah SAW.

Bagaimana Rasulullah SAW berjalan, berdiri, makan, minum, bergerak-gerik, berbicara, tersenyum, tertawa, mengenakan baju corak dan warna apa dan seterusnya. Begitu banyak hal-hal kecil dan sederhana yang dilaporkan oleh Abu Hurairah.

Sehingga kalau dihitung, jumlahnya memang bisa menjadi sangat besar, jauh melebihi riwayat-riwayat para shahabat lainnya. Disebutkan bahwa beliau telah meriwayatkan tidak kurang dari 5374 hadits, 446 hadits di antaranya ditakhrij oleh Al-Bukhari.

Dan ini yang menarik, ternyata Abu Hurairah punya waktu yang sangat panjang untuk mengajarkan hadits-hadits sepeninggal Rasulullah SAW, karena beliau baru wafat 47 tahun kemudian setelah Rasulullah SAW meninggal. Beliau wafat tahun ke-57 hijriyah dalam usia cukup lanjut, 78 tahun.

Pantas saja beliau adalah orang nomor satu dalam jumlah kuantitas periwayatan hadits.

Ilustrasi

Sebagai ilustrasi sederhana, mari kita perhatikan dua situs berita di negeri kita. Yang satu detik.com dan yang satu eramuslim.com.

Kalau anda hitung berapa jumlah berita yang ada di detik.com, pasti anda akan kagum, karena jumlahnya sangat banyak. Namun kalau anda perhatikan lebih seksama, rupanya berita di detik.com itu pendek-pendek, meski memang cepat. Untuk satu kejadian, judul beritanya bisa mencapai belasan. Setiap ada perkembangan baru, pasti ada judul baru meski untuk satu kasus yang sama.

Padahal untuk kejadian yang sama, barangkali eramuslim.com hanya membuat satu judul saja. Sehingga eramuslim terkesan punya berita yang sedikit.

Nah, kira-kira Abu Hurairah itu melakukan apa yang dilakukan oleh detik.com, banyak haditsnya namun isinya simple, sederhana bahkan banyak yang pendek.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Kamis, September 13, 2007

Mengapa Bersedih?

Oleh Chandra Kurniawan

Betapa banyak bencana yang menimpa manusia. Yang kesemuanya berakhir dengan tangisan dan penderitaan. Ada yang kehilangan seluruh anggota keluarganya; kehilangan harta bendanya; terampas kekuasaannya; terusir dari negerinya; belum mendapatkan pendamping hidup. Semua ujian dan cobaan, kecil atau besar, sudah pasti datang tanpa perlu diminta. Sebelum ia datang menemui kita, sudah seharusnya kita menguatkan diri agar tidak terjungkal karenanya. Apalagi ketika menghadapi ujian yang sangat kecil, kita tidak mungkin kalah olehnya!

Namun, secepat ia datang, secepat pula ia pergi. Ujian dan cobaan sudah pasti pula akan segera berlalu. Seperti berlalunya malam dan datangnya fajar kebahagiaan. Atau seperti tamu yang numpang lewat sesaat. Atau seperti keadaan dunia, tempat persinggahan sementara ini. Sebuah tempat yang sudah pasti akan hancur binasa, dalam waktu dekat. Namun anehnya, banyak orang yang menangisi dunia ini, sementara tempat tinggal abadi kelak, tidak kita tangisi karena kita tidak tahu akan ke mana.

Airmata yang jatuh karena masalah-masalah duniawi hanyalah kesia-siaan belaka. Dia tidak memberikan apa-apa bagi ketenangan jiwa. Karena, dunia ini adalah tempat yang sangat rapuh untuk dijadikan tempat bersandar. Kita sering bersedih karena terlewatkan menonton acara TV kegemaran kita, tetapi kita tidak bersedih dengan terlambatnya kita dari shalat fardhu berjamaah. Kita sering bersedih karena waktu malam tidak diisi dengan pelbagai hiburan, canda tawa dan pembicaraan yang tiada berarti, tetapi kita tidak bersedih dengan malam yang tidak diisi dengan qiyamul lail. Kita bersedih karena sahabat kita mendapat kebahagiaan, sedangkan ketika kita mendapat kebahagiaan, kita mencibir teman yang sedang mendapat kemalangan. Oh, tidakkah kita telah banyak menumpuk kesedihan dalam hati kita?

Sedangkan bagi para wali-wali Allah, yang mereka sedihkan adalah urusan-urusan akhirat. Mereka sedih apabila di malam hari mereka tidak mengerjakan qiyamul lail. Mereka sedih apabila tidak mampu bersedekah, padahal mereka tidak punya kemampuan untuk itu. Mereka sedih apabila tidak shalat fardhu berjamaah. Mereka sedih ketika melakukan dosa, sekalipun dosa itu sangat ringan. Mereka menangis dikeheningan malam, memohon kepada-Nya, mengharap bantuan-Nya, pasrah kepada-Nya. Mereka merasa bahagia bersama Allah. Hati mereka selalu terhibur walau dalam keadaan sepi. Titik pusat perhatian mereka adalah akhirat. Mereka tidak mendengki dengan kenikmatan yang diperoleh orang lain. Hati mereka sabar. Jiwa mereka penuh ketulusan dan kekhusyuan. Bagi mereka, ujian dan cobaan adalah satu syarat untuk meninggikan derajat keimanan mereka. Mereka juga memandang, bencana-bencana itu tidak seberapa dibanding dengan bencana-bencana yang akan mereka terima kelak apabila mereka tidak bersabar dan banyak berkeluh kesah.

Salah seorang ulama tabi'in berkata, "Sejak empat puluh tahun yang lalu, saya tidak pernah bersedih karena sesuatu, sebagaimana kesedihanku lantaran fajar telah terbit." Simaklah pernyataan itu wahai sahabatku, tidaklah mereka bersedih karena hal-hal duniawi. Yang mereka sedihkan adalah berlalunya waktu di mana mereka merasa asyik berduaan dengan-Nya. Bandingkan dengan diri kita yang kerap bersedih karena hal-hal duniawi. Merenunglah! Mungkin karena hal itulah kita tidak pernah tidur dengan tenang, jiwa kita senantiasa resah dan gelisah, boleh jadi kita lebih mencintai dunia yang fana ini daripada akhirat yang kekal abadi.

Sahabatku, tidak ada jalan bagimu kecuali beriman dan bertakwa. Karena itulah sebaik-baik bekal perjalanan. Saat awan mendung membalut hatimu, kelak Allah akan memberikan cahaya mentari yang menyejukkan. Saat dadamu terasa kering karena kerasnya ujian, Allah akan menurunkan hujan rahmat ke dalam hatimu. Jika engkau beriman dan bertakwa, Allah akan menerima setiap amalmu, Allah akan membimbingmu hingga masa akhirmu. Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap detik yang telah engkau persembahkan untuk negeri akhirat.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Yunus [10]: 62-65).

Meraih Keutamaan Membaca Qur’an

Oleh Muhammad Rizqon

Ahad pagi, saat mentari belum beranjak dari peraduannya, aku berjalan menuju sebuah kawasan Islamic centre di wilayah Pondok Gede. Tidak terlihat lalu lalang orang bepergian ke kantor atau anak-anak ke sekolah. Tetapi banyak muslimah datang berduyun-duyun. Ada yang berjalan kaki setelah turun dari angkot, ada yang berkendara sepeda motor, dan tidak sedikit pula yang mengendarai mobil. Suasananya mirip kawasan pondok pesantren putri. Semuanya bergerak menuju tempat yang sama, yaitu majelis di mana diadakan pengajaran memperbaiki bacaan al-Qur'an.

Saat kuberjalan, kudengar dari sebuah rumah, suara para muslimah ramai melafalkan Qur’an. Kemudian kuayunkan beberapa langkah, dari sudut rumah lainnya terdengar suara para muslimah yang juga ramai melantunkan Qur’an. Saat aku berada di pusat kawasan, kudengar di sekelilingku suara-suara Qur’an yang bergemuruh. Kuamati, mereka ada yang berlatih melafalkan huruf atau kata dari Qur’an, ada yang lancar, ada yang yang terbata-bata, ada yang melancarkan bacaan Qur’an, dan ada yang mengulang-ulang hafalan. Sungguh kurasakan lantunan Qur’an yang bergema dari berbagai sudut rumah itu, laksana melodi yang berpadu membentuk harmoni yang menyejukkan kalbu dan menggetarkan jiwa. Kawasan tersebut layaknya lautan lebah yang mendengungkan kalimat tasbih.

Itulah gambaran semaraknya para muslimah belajar membaca al-Qur’an. Aku mengagumi langkah-langkah muslimah menuju majelis belajar baca al-Qur’an itu. Mereka belajar dari berbagai penjuru daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi demi bisa membaca al-Qur’an. Mereka memilih hari Ahad, karena hari itulah mereka bisa meluangkan waktu dan tidak memiliki banyak kesibukan. Luar biasa kemauan mereka!.

Gelora muslimah yang ingin bisa membaca al-Quran, menjadikan muslimah yang datang pada hari Ahad sangat semarak. Lembaga tahsin memfungsikan rumah penduduk sekitar sebagai kelas. Syukur, pemilik rumah pun menyambut dengan antusias. Mereka berharap kebaikan dan keberkahan semata karena rumahnya digunakan untuk mempelajari al-Quran.

***

Ya, kesadaran akan pentingnya membaca Qur’an lah yang meringankan langkah-langkah mereka menuju tempat yang jauh dengan mengorbankan semua aktivitas lainnya. Mereka merasa perlu belajar membaca al-Qur’an karena di balik membaca al-Qur’an terkandung keutamaan-keutamaan yang sangat besar. Rasulullah bersabda: Membaca satu huruf dari al-Qur’an berbalas pahala satu amal kebajikan, dan pahala satu amal kebajikan dilipatkan sepuluh kali. Alif lam mim bukanlah satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf. Di Hadits lain dikatakan bahwa orang yang pandai membaca al-Qur’an maka ia bersama malaikat yang mulia lagi suci, sedangkan mereka yang terbata-bata membacanya, memperoleh dua pahala. Dan hadits yang cukup menggugah mereka adalah al-Qur'an pada hari kiamat akan datang memberi syafaat kepada para pembacanya.

Motivasi belajar mereka makin menggebu menjelang Ramadhan ini. Terbayang alangkah bahagianya orang yang pandai membaca al-Qur'an. Setiap hari di bulan Ramadhan secara rata-rata bisa membaca membaca satu hingga dua juz al-Qur'an bahkan bisa jadi lebih. Satu hurufnya saja berbalas sepuluh kebaikan. Di bulan Ramadhan tentu satu hurufnya yang dibacanya berpuluh-puluh kali lipat kebaikannya. Subhanallah.

Siapa yang tidak bergegas meraih kebaikan Qur’an, sesungguhnya dia orang yang merugi.

***

Aku heran, masih ada aja orang yang enggan belajar membaca al-Qur’an.

Aku bertetangga dengan seorang ibu. Ibu itu cukup dekat dengan kami. Dia sering datang ke rumah membantu pekerjaan tertentu. Kadang dipanggil untuk mengurut isteri atau bayiku. Jika ada hajat apapun ia kami libatkan. Kami selalu memberinya sejumlah uang semata-mata ingin meringankan dia yang dihimpit kesusahan. Kadang jika keperluannya besar, ia datang meminjam uang dengan tempo pembayaran yang tidak kami atur.

Sebagai orang yang sudah dikenal, isteriku coba memasukan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya. Tak lama ia pun menggenakan jilbab. Kata-katanya jadi terjaga. Dan sholatnya pun jadi rajin.

Anak-anaknya coba kami bantu. Baik uang sekolah bulanan, atau dicarikan pekerjaan. Singkat cerita, dua anaknya kini sudah bekerja. Yang tertua sudah menikah. Dapurnya akan ringan karena dibantu oleh anak-anaknya yang sudah berpenghasilan. Dia tidak lagi banyak kekurangan uang seperti dulu.

Seiring dengan berkurangnya kesusahan, anehnya ia mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Ia mulai berpandangan sinis. Kini ia mulai menanggalkan jilbabnya. Bujukan-bujukan isteriku untuk istiqomah sudah tidak digubris lagi. Kini saat isteriku membentuk majelis taklim, ia tidak mau mengikuti. Padahal majelis taklim itu bebas dari muatan politik yang ia tuduhkan. Isteriku semata-mata mengajak mereka untuk bisa membaca al-Quran dan sedikit mengenal Islam.

Sungguh disayangkan, orang-orang baru banyak mendapat hidayah dari perantaraan isteriku, sedangkan dia yang sudah dikenal lama makin menjauh. Kini aku menyadari bahwa apa yang semua kebaikan yang dilakukannya dulu adalah tidak tulus. Didorong oleh suatu motif ekonomi belaka.

Sebagaimana kata-kata bijak, barang siapa yang tidak mau bersama kebaikan maka ia bersama dengan kemaksiyatan. Maka ia pun makin jauh dengan kelalaiannya. Keterjauhan itu selaras dengan keengganannya untuk belajar al-Qur'an.

Waallahu'alam

Kendali Ego

Oleh Bayu Gawtama

Jumat pagi itu, motor terpacu dengan kecepatan tidak kurang dari 60 km/jam ketika tiba-tiba saya melewati seorang pengendara motor lainnya yang berhenti mendadak. Penyebabnya, kantong besar berisi ikan yang masih hidup yang dibawanya pecah. Berhamburan lah air dan puluhan ikan itu ke jalan raya.

Saat itu saya sempat ragu untuk berhenti, ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan keraguan itu. Pertama, waktu sudah menunjukkan pukul 07. 50 WIB dan saya harus segera ke kantor. Sedangkan perjalanan ke kantor butuh waktu kurang lebih delapan hingga sepuluh menit lagi. Jika saya tetap melanjutkan perjalanan, biasanya tidak akan terlambat. Kedua, saya alergi ikan. Bukan hanya makan makhluk air itu, bahkan mencium ‘amis’nya pun sudah membuat saya terkena penyakit aneh seperti pusing, mual dan gatal-gatal.

Dua hal tersebutlah yang sempat memberatkan. Namun beberapa detik kemudian saya putar arah menuju lelaki yang jelas-jelas membutuhkan bantuan itu. Sejurus kemudian, mulailah tangan ini membantu memungut satu persatu ikan yang menggelepar di jalan raya, beberapa orang lainnya pun turut membantu.

Menurut lelaki pembawa ikan itu, ikan-ikan itu adalah pesanan seseorang yang hendak menggelar pesta. Si pemesan hanya akan membayar ikan yang segar dan bukan ikan yang sudah mati. Karenanya, ketika plastik ikannya pecah dan ikannya berhamburan ia sangat panik. “saya bisa dipecat bos nih…” keluhnya.

Beruntung, beberapa orang –dan alhamdulillah termasuk saya- cepat membantunya mengumpulkan ikan agar tidak ada yang mati. Boleh jadi, jika ia mengumpulkan sendiri puluhan ikan tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar dan sangat mungkin ada beberapa ikan yang mati. Saya tidak tahu persis berapa harga satu ikan tersebut, tinggal dikalikan berapa jumlah yang mati. Tapi berapa pun harganya, tetaplah berat buat si pengantar ikan tersebut.

Usai mengumpulkan ikan-ikan itu, si pengantar ikan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang membantunya. Namun saya bilang, “saya yang berterima kasih, telah diberi kesempatan berbuat baik di pagi hari”.

Ya, saya bersukur dan merasa berterima kasih karena bisa mengawali hari dengan sesuatu yang baik. Di samping itu, saya pun diberi pelajaran berharga tentang bagaimana mengendalikan ego. Saya tahu pasti akan terlambat ke kantor jika menolong orang tersebut. Namun resiko yang saya dapatkan mungkin hanya ‘catatan kecil’ dari HRD bahwa saya pernah terlambat beberapa menit. Tidak ada resiko pemecatan, pemotongan gaji atau caci-maki bos. Tapi bagi si pengantar ikan itu, ceritanya akan sangat berbeda. Ia bisa diminta mengganti ikan-ikan yang mati, kemudian dicaci-maki bosnya, dan akhirnya berujung pada pemecatan.

Dan yang kedua soal alergi ikan itu. Luar biasa, apa yang menjadi kekhawatiran saya selama ini berkaitan dengan ikan itu tidak terjadi. Saat memungut ikan dan sampai ke kantor hingga keesokan harinya tidak terjadi satu apapun terhadap diri saya. Tidak ada pusing, tidak mual maupun gatal-gatal setelahnya. Padahal, biasanya mencium bau ikan saja saya sudah menyingkir jauh-jauh. Meski bukan berarti saat ini saya sudah bisa makan ikan, karena tetap saja saya belum bisa. Tetapi yang jelas, hari itu ego saya terkendalikan dan yang ada dalam pikiran saat itu hanya satu; orang tersebut harus ditolong.

Soal ego memang gampang-gampang susah mengendalikannya. Tetapi saya meyakini satu hal, bahwa ego menolong wajib dikedepankan dan semoga menjadi kebiasaan yang baik buat saya. (gaw)

Http://gawtama. Multiply. Com

Lupa Bersyukur

Oleh Nunung Nurjanah

Bersyukur adalah hal yang sering saya lupakan. Lebih sering saya mengeluh, lebih sering saya melihat dari sisi yang negative, dan lebih sering saya membandingkan satu hal yang saya peroleh dengan hal baik yang sedang tidak saya peroleh.

Padahal Allah berfirman:
Bersyukurlah, maka akan Aku tambah nikmat-Ku

Ketika tangan tergores pisau, tergesa-gesa saya menilai betapa kurang beruntungnya saya pagi ini. Semestinya saya tidak harus tergores sehingga tak perlu ada darah dan luka. Seketika saya mengeluhkan tangan yang tak bisa secekatan sebelumnya.
Saya lupa, bahwa dengan hal kecil itulah Allah mengingatkan saya.
Betapa selama ini saya melupakan syukur kepada-Nya atas karunia 10 jari tangan yang bisa berfungsi dengan baik, tapi tidak difungsikan dengan benar. Masih sering saya tidak banyak membantu disaat orang lain memerlukan bantuan tangan saya. Masih sering saya malas-malasan melakukan kebaikan lewat tangan saya. Masih banyak daftar jelek yang dilakukan tangan saya daripada daftar baik yang dilakukannya.

Ketika mulut tak sengaja tergigit dan meninggalkan luka, secepat itu pula saya mengeluh akan kemungkinan tidak nikmatnya saya makan. Saya lupa bahwa Allah sungguh sayang kepada saya dan mengingatkan saya dengan cara-Nya yang indah. Betapa selama ini saya lupa mensyukuri nikmatnya. Lebih banyak kata-kata kosong yang saya ucapkan. Lebih banyak hati terluka karena ucapan saya. Lebih banyak kata tak bermanfaat yang terhambur dibandingkan mengumandangkan kalam-Nya.

Ketika kaki tersandung dan terluka, saat itu pula saya menyesalkan langkah saya yang tak lagi sempurna. Tak saya tahu bahwa itulah cara Allah mengingatkan saya atas kurangnya kaki berbuat baik, jarangnya kaki melangkah menuju tempat-tempat yang baik, atau tak seringnya kaki melangkah untuk bersilaturahmi, . Juga masih seringnya kaki berjalan tak bermanfaat dan melangkah ke tempat-tempat yang tak ada gunanya.

Jadi apa yang akan saya jawab dihari penghisapan kelak jika Allah menanyakan kebaikan apa yang telah tangan saya lakukan? Kata-kata baik apa yang telah saya ucapkan? Atau ke tempat baik manakah kaki telah saya langkahkan?

Saya tak punya jawaban.

Semestinya saya harus menyiapkan cermin besar yang akan selalu memberi pantulan jernih terhadap nikmat apa yang sudah saya peroleh.
Cermin lapang yang darinya saya bisa melihat betapa Allah telah memberi saya sebanyak yang saya inginkan, bahkan lebih dari itu.
Cermin tak retak yang akan memantulkan bahwa hal kurang baik yang saya terima adalah tak sebanding dengan banyaknya hal indah yang saya dapat.
Cermin jernih yang saya bisa dengan lapang dada menerima kekurangan yang saya terima dan berharap akan pahala Allah atas kesabaran saya menerimanya.

Ternyata saya masih harus banyak belajar Tentang hidup dan kehidupan Tentang rasa syukur yang tak pernah ada.
Tentang apa saja

Yang semoga akan menuntun saya kepada kebaikan di akhirat kelak.
Amin.

Selalu Memberikan Maaf

Oleh Dh. Devita

Dari dulu, saya selalu yakin bahwa sepanjang nyawa masih menempel di raga, Allah pasti akan menerima taubat seseorang. Betapapun seseorang tersebut berkali-kali melakukan kesalahan. Betapapun seseorang tersebut tak menyadari betapa Allah telah berulang kali memberikannya kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, saya tidak pernah putus asa menyemangati seseorang yang saya kenal, yang saya tahu sudah begitu banyak kesalahan yang ia perbuat semasa hidupnya.

Kalau ditanyakan kepada orang lain, mungkin beragam tanggapan yang akan saya terima. Ada yang langsung bersikap sinis dan mengatakan bahwa dosa orang tersebut terlalu besar. Dan mungkin ada pula yang memilih bersikap skeptis bahwa seseorang tersebut tidak mungkin berubah sampai kapanpun. Saya adalah salah seorang terdekat dari seseorang tersebut, sebut saja si A, yang cukup mengetahui sejarah panjang ‘kelakuannya’ yang tak pernah tidak membuat orang lain geleng-geleng kepala. Bahkan untuk beberapa kasus, saya sendiri terhitung menjadi korban akibat perilakunya yang tidak bertanggung jawab.

Tetapi, entah kenapa, saya tetap saja ‘membela’ si A di hadapan orang lain seraya mengatakan: “Ia sedang berusaha untuk bertaubat”.

Banyak orang mungkin merasa heran dengan sikap saya tersebut. Padahal mereka mengetahui apa saja yang telah diperbuat oleh si A terhadap diri saya. Saya sendiri memang merasakan tak sedikit penderitaan yang saya rasakan akibat ulah si A tersebut. Tetapi, sekali lagi, entah kenapa saya selalu berusaha memaafkannya. Mungkin rasa sayang saya begitu besar pada si A. Mungkin di lubuk hati saya yang paling dalam, saya begitu mengharapkan si A untuk berubah, bertaubat, dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Saya rasanya masih bisa membuka lebar-lebar hati saya untuknya. Apalagi dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini si A memang benar-benar berubah, menurut saya. Saya jadi mensyukuri keputusan saya untuk memaafkan segala perbuatan buruknya yang dilakukan pada saya.

Melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada dirinya, saya tak habis-habis mengucap syukur pada Allah. Bahkan kadang-kadang saya tidak percaya, bahwa si A bisa begitu berubah. Ia tak pernah tidak menunaikan shalat tepat waktu. Ketika adzan berkumandang, ia langsung bangkit dari aktivitasnya dan langsung mengambil wudhu. Saat hari Jumat tiba, ia dengan begitu bersemangat berjalan kaki dari rumah menuju masjid terdekat. Seringkali saya terharu melihatnya tersenyum-senyum pulang ke rumah dengan sajadah tersampir di pundak. Pun ketika saya mendapatinya begitu rajin berpuasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis.

Sewaktu ia berada di luar rumah, misalnya sedang berjalan-jalan ke sebuah mal, ia dengan percaya dirinya langsung menghampiri mushala untuk menunaikan shalat apabila waktunya telah tiba. Saya melihat semangat menuju kebaikan yang tak habis-habisnya pada diri si A. Dan rasanya saya ingin melakukan apapun untuk membuatnya tambah bersemangat, dan memberikan sedikit ilmu yang saya punya untuknya. Ternyata benar, memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah bisa jadi akan menimbulkan semangat pada dirinya untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Allah saja mengampuni seluruh dosa hamba-hamba-Nya, masa manusia tidak? Begitu keyakinan saya.

Dalam banyak diskusi yang kami lakukan, saya pun mendapati dirinya penuh keingintahuan tentang Islam. Tak jarang kami mengobrol lama mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan saya sendiri merasakan bahwa sepertinya saya yang jadi bersemangat untuk menceritakan dan memberitahukan segala hal yang saya tahu kepadanya. Tak henti-hentinya saya bersyukur pada Allah akan kesempatan yang Ia berikan pada si A untuk memperbaiki diri.

Suatu hari, secara tak sengaja saya mendengar sebuah kabar mengejutkan dari seorang saudara saya. Ia mengatakan bahwa ia mengetahui si A melakukan lagi perbuatan yang sudah lama ia tinggalkan. Saya kontan saja kaget. Benar-benar tidak menyangka. Saya meminta saudara saya itu untuk memeriksa kembali, bahkan memintanya untuk memberikan bukti-bukti kepada saya akan perbuatan yang dilakukan si A.

Dan demikianlah, beberapa bukti yang secara tidak sengaja ditemukan oleh saudara saya itu, benar-benar membuat saya kaget. Sepertinya saya tidak mau percaya. Dan si A berusaha untuk berkilah, menghindari pertanyaan yang kami berdua sodorkan. Awalnya saya menemukan rasa sesal dan mungkin sedikit rasa takut pada diri si A bahwa perbuatannya telah diketahui. Tetapi ketika kedua kalinya saya memintanya untuk menjelaskan, pernyataan yang saya dapatkan adalah ”Apa ada yang salah?”

Saya rasanya tidak bisa lagi mengobati rasa kecewa ini, pada saat ini. Dan saya tidak tahu kapan saya akan bisa memberikan maaf untuknya yang ke sekian kalinya menyakiti lagi diri saya, dan juga keluarga kami. Kesalahan yang diperbuat untuk yang kedua kalinya, atau entah ke sekian kali. Memang ada saja ulah setan untuk menggoda manusia yang sedang berusaha bertaubat. Memang selalu ada ujian-ujian bagi orang-orang yang ingin meningkatkan keimanannya.

Memang hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan dan mencabut hidayah pada diri seseorang. Saya benar-benar kecewa. Tetapi satu hal yang saat ini sedang saya usahakan dengan sangat keras untuk tetap mendiami hati saya. Sebuah keyakinan bahwa taubat seseorang akan selalu diterima oleh Allah, sampai waktu ajalnya tiba nanti. Dan saya berdoa, agar Allah masih berkenan untuk memberikan ampunan serta kesempatan pada si A untuk sekali lagi bertaubat.

Dh_devita at yahoo dot com

FLP cabang Sengata

Ikhlas Puasa

Oleh Hafizh Kharisma

Suara si sulung terus terdengar di telinga.berulang -ulang..
“bangunin elva jam 3 pagi besok ya Mah?”
dengan heran saya bertanya “buat apa? Mau tahajud ya?” saya setengah menggoda. Ini bukan kebiasaannya. Sambil melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 20. 40 WIB saya kembali menyambung pertanyaan tanpa menunggu jawabannya.

“Kalau memang mau tahajud ya bobo aja sekarang.. dan ntar tengah malam pasti mama bangunin buat solat. Ga perlu nunggu jam 3 pagi”
Dengan malu-malu dia mendekat pada saya dan berbisik..
“Tapi teteh mau sahur besok, bayar utang puasa sehari tahun lalu. Waktu teteh sakit. Inget ga Mah?”

Dada ini langsung bergemuruh… saya yang sedang asyik larut dalam sinetron langsung berbalik dan menatapnya. Mata bulatnya yang bening dengan bulu mata lentik itu telah menghadirkan tangis haru di hati saya. Saya merentangkan kedua tangan saya dan tanpa menunggu lama dia pun luruh dalam pelukan saya. Saya mendekapnya kuat-kuat dan berharap dunia berhenti sesaat agar waktu untuk ini menjadi lebih lama.

“Mama lupa kalo teteh punya hutang puasa. Untung aja teteh inget. Tapi teteh kan sekolah siang.. nanti kelaparan dan kehausan di sekolah gimana?” Tanya saya setengah meragukan keseriusannya untuk puasa.
“Ga papa.. nanti istirahat di kelas aja. Ga usah keluar kelas. ” Jawabnya mantap dan penuh keyakinan.

Saya kembali memeluknya. Bangga memiliki dia sekaligus juga malu karena sebagai orang tua terlupa mengingatkannya.

Sesungguhnya Ramadhan memang bulan yang ditunggu tunggu seluruh umat muslim untuk mejalankan ibadah puasa. Bulan di mana kita tidak sekedar menahan lapar dan dahaga tetapi juga bulan penuh pelajaran berharga bagi kaum yang mau berpikir. Kewajiban orang tua juga lah membimbing anak-anaknya untuk belajar berpuasa dan menjalankan kewajibannya. Mengingatkan mereka makna dari puasa yang bukan sekedar tidak makan dan minum dari subuh sampai magrib tetapi puasa merupakan upaya menahan hawa nafsu, upaya berpikir jernih manakala perut kosong dan upaya menahan kesabaran untuk mengumbar segala keinginan. Tidak mudah memang menerangkan dengan bahasa sederhana yang bisa ditangkap oleh anak-anak.

Sejujurnya sebagai orang tua saya pernah merasakan berat melepaskan si kecil untuk berpuasa sehari penuh. Usianya baru akan mencapai 5 tahun kala itu. Ketika adan dhuhur berkumandang, saya memanggilnya untuk makan dan kemudian kembali meneruskan puasa sampai maghrib. Puasa ayakan kami menyebutnya.

Sebagai tahapan untuk belajar puasa sehari penuh dan agar perut kecilnya tidak sakit. Tapi dia menolak makan siang yang saya tawarkan meski saya membujuknya dan mengatakan bahwa dia bisa kembali berpuasa sampai maghrib. Sampai akhirnya saya mengalah dan berpikir bahwa nanti adan ashar dia pasti akan buka puasa juga. Tapi entah kenapa si kecil tetap berusaha bertahan untuk tidak berbuka puasa walau saya lihat wajahnya sudah pucat dan badannya terlihat lemas. Sampai menangis saya membujuknya untuk berbuka puasa. Dia tetap bertahan dan akhirnya tertidur dalam pelukan saya. Disatu sisi saya senang anak-anak dengan kemauan sendiri menjalankan ibadah puasa tapi disisi lain, hati saya sebagai ibu tak bisa berbohong bahwa ada rasa sedikit tidak rela melihatnya seperti ini. Ini ujian bagi saya selaku orang tua berkenaan dengan rasa ikhlas. Tidak ada yang mudah dalam menjalankan ibadah bila kita tidak bersungguh-sungguh berserah pada Allah SWT.

Namun ketika semua kita pasrahkan pada kehendakNya maka kita akan melihat dengan cara yang berbeda. Jalan di depan terbuka lebar, kita melangkah dengan penuh keyakinan dan segalanya menjadi lebih mudah. Kuncinya adalah ikhlas. Ketika saya tidak sepenuhnya ikhlas melepas si kecil puasa sehari penuh maka yang terasa adalah seperti ada beban ketika melihat si kecil lemas. Namun ketika melihat keikhlasannya menjalankan puasa dan hati saya mulai ikhlas mempercayai kemampuan dan kemauannya maka yang ada adalah kebanggaan. Ramadhan selalu mengajarkan hal-hal baru bagi kami sekeluarga.

Ramadhan telah di depan mata. Saya menyambut bulan ini dengan berusaha membuka mata hati dan telinga hati lebar-lebar. Membuka hati ini seluas-luasnya untuk bisa mengambil hikmah dan pelajaran berharga yang Allah SWT beri bagi kita. Meski belum menapak di bulan ramadhan namun anak-anak ternyata telah mengajarkan banyak hal pada saya, terutamakewajiban saya sebagai orang tua, bagaimana saya harus menyikapi ramadhan. Semoga ramadhan tahun ini memberi kebaikan lebih banyak lagi dibandingkan tahun sebelumnya. Aamiin.

10 September 2007

Selamat menjalankan ibadah puasa. Mohon maaf lahir & bathin.
Semoga anak-anak kita bisa menangkap makna ramadhan dan selalu merindukan kehadiran ramadhan.