Senin, April 30, 2007

Sabar Menyikapi Takdir

Oleh Sya2

Pada sore hari yang mendung, aku duduk membaca berita dari surat kabar pagi yang baru sempat dibaca sore harinya. Sedih, membaca cerita ada orangtua yang hendak membunuh anaknya dengan alasan karena mereka hidup miskin. Sambil beristigfar hatiku berbisik lirih, ternyata kemiskinan telah membutakan mereka membawa mereka menjadi orang yang kufur bahkan bisa menjadi kafir. Naudzubillah.

Dari kejauhan terdengar suara bapak penjual gorengan berteriak-teriak menjajakan gorengannya. ”Comro, Misro..., nasi uduk, tempe goreng...” Suara si bapak tedengar begitu keras mengagetkan lamunanku. Segera kumemanggilnya ”Comro dan misro pak..!”.

”Oke Mbak.!” si bapak menghampiriku.

”3 ribu aja pak, sebentar saya ambil piringnya ” sahutku sambil lari ke dalam rumah mengambil piring. Sedangkan anakku yang berumur 2 tahun malah lari keluar mendekati si bapak, mereka memang sudah akrab bahkan anakku memanggil bapak penjual gorengan itu dengan panggilan Pak De.

Ketika aku kembali sampai di tempat mereka berada mereka sedang bercanda ria. ”Ini bu, saya tambahin dua misronya, bonus...” katanya sambil tersenyum ramah. Seperti biasa bapak ini memang selalu memberiku bonus. ”Makasih pak...” jawabku sambil mengigit misronya.

Rasa manis misro itu membuatku lupa akan cerita pahit yang baru saja kubaca dari surat kabar tadi. Manis tutur kata dan perilaku bapak penjual gorengan itu yang selalu dihadirkan pada setiap pembelinya, seolah menutupi pahitnya kisah hidupnya sendiri. Pak Pardi nama beliau, umurnya sudah tidak muda lagi, kuperkirakan sudah kepala lima. Pak Pardi tinggal di kampung yang letaknya bersebelahan dengan kompleks perumahakn di mana aku dan keluargaku tinggal, Pondok Jaya nama kampung itu. Dari kompleksu ada jalan akses yang bisa langsung menuju kampung pondok jaya, tak heran jika Pak Pardi dengan leluasa bisa berdagang di kompleks, karena memang jaraknya dekat sekali.

Kisah pahitnya kehidupan Pak Pardi dan keluarganya berawal saat kompleks perumahanku ini mulai dibangun. Banyak sekali tukang bangunan yang bekerja membangun rumah-rumah di komplek. Pak Pardi dan isterinya berjualan nasi, sayur, lauk-pauk dan makanan-makanan kecil lainnya untuk melayani kebutuhan makan dari para tukang bangunan dan mandornya di kompleks itu.

Para pekerja bangunan itu dibayar secara borongan jika pekerjaan mereka sudah selesai, sehingga untuk membayar makan mereka harus berhutang dulu kepada Pak Pardi dan isterinya, tidak ada jaminan apa-apa dalam hutang itu, hanya bu Pardi tiap hari mencatat siapa-siapa saja yang berhutang dan berapa jumlah hutangnya per hari. Proyek pembangunan itu berjalan kurang lebih satu tahun, dan selama itu pula para tukang bangunan itu belum membayar hutangnya pada Pak Pardi dan Bu Pardi, hanya ada segelintir tukang yang mau membayar hutangnya itupun hanya dibayarnya sebagian saja. Sementara untuk modal dagang sehari-hari Pak Pardi mengambil hutang dari bank keliling alias rentenir kampung.

Nasib sial dialami Pak Pardi dan isterinya ketika mereka sudah kehabisan modal dan sudah terjerat banyak hutang dari rentenir, mereka pun berniat menagih hutang-hutang para tukang bangunan dan mandor-mandor yang sering makan dari warung mereka, akan tetapi hampir semua tukang dan mandor itu sudah pergi, tidak berada di wilayah komplek lagi, kabur tanpa kabar, karena ternyata proyek pembangunan rumah sudah selesai. Pak Pardi dan isteri tertipu. Shock tentu saja mereka, apalagi hutang dari rentenir itu sudah beranak pinak bunganya.

Akhirnya mereka terpaksa menjual rumah mereka untuk melunasi hutang-hutang itu. Dan mereka menyewa rumah petak tepat persis di depan rumah yang telah mereka jual itu. Betapa sedih mereka setiap hari harus menghadapi kenyataan bahwa rumah yang tepat berada di rumah petak kontrakannya itu dulunya adalah rumah mereka. Aku hanya tertegun, ikut merasakan kesedihan mereka, ketika Bu Pardi dan suaminya menceritakan kisah hidupnya kepadaku ketika awal aku pindah ke ke komplek itu.

Sambil memasukkan kayu bakar di tungku penggorengan di ruma petaknya Bu Pardi sesekali terisak menangis. ”Beginilah Mbak, bodohnya saat itu kami terlalu percaya begitu saja kepada para tukang bangunan itu, ternyata mereka kurang ajar semua, bahkan mandor kontraktornya pun tidak mau bertanggung jawab..” kata Bu Pardi.

”Kami yakin ini takdir sih Mbak, namun kami juga tidak mau pasrah begitu saja tanpa usaha, kami sudah berusaha mencari-cari keberadaan para tukang bangunan ini, tapi nihil hasilnya, karena mereka semua sudah pulang ke jawa...” sahut Pak Pardi menambahkan.

”Sekarang kami sudah tidak punya apa-apa lagi mbak, setelah satu-satunya harta yang kami miliki telah kami jual untuk membayar hutang dari rentenir, terpaksa kami menyewa rumah petak kecil ini.” tutur bu Pardi sedih.

Mereka juga menyebutkan jumlah kerugian yang mereka alami yang mencapai puluhan juta rupiah. Tak heran aku mendengar jumlahnya, karena jika satu orang saja sehari makan minimal dua kali dia akan berhutang sepuluh ribu rupiah per hari maka jika dia hutang selama setahun sudah satu setengah juta lebih totalnya. Dan itu masih harus dikalikan dengan jumlah tukang yang berhutang yang berjumlah puluhan orang.

Hari-hari berlalu, musibah yang dialami keluarga Pak Pardi mereka hadapi dengan sabar. Mereka juga berusaha bangkit perlahan-lahan untuk kembali berjualan gorengan. Kini merka berjualan di lingkungan komplek kami. Dengan menjajakan dagangannya dari pintu ke pintu, wajah-wajah ceria dan ramah selalu menghiasi wajah Pak Pardi maupun Bu Pardi, mereka adalah orang-orang yang kuat dalam menghadapai cobaan hidup.

Aku harus bisa memetik pengalaman hidup mereka sebagai sebuah hikmah agar bisa meniru kesabaran mereka dalam menghadapi cobaan. Allah SWT telah berfiman ”Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ”Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan secara sempurna dan rahmat dari tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk ” (Al-Baqarah: 155-157).

Seorang muslim yang benar adalah seorang yang mampu menanggung musibah-musibah yang dialaminya dengan teguh dan sabar dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan hikmah yang terbaik untuknya. Seorang yang beriman, tentu mengetahui bahwa takdir Allah swt akan menjadi kebaikan baginya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pahala dari sabar adalah surga. Anak, Isteri/Suami dan harta benda yang kita miliki bisa merupakan ujian dari Allah SWT dan jika suatu saat Allah berkehendak menguji atau bahkan mengambilnya kembali, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali bersabar dan tidak lantas berputus asa.

Rasulullah SAW telah memperingatkan kita agar tidak berputus asa, karena dengan berputus asa, seseorang justru akan menyiksa diri sendiri. Lihatlah kasus orangtua yang membunuh anaknya karena mereka miskin, itu adalah salah satu contoh orang yang berputus asa dari rahmat Allah. Seandainya mereka mau berusaha, Insya Allah, Allah akan membukakan pintu rezekinya untuk mereka. Namun jika mereka hanya berputus asa bahkan sampai membunuh anaknya, saya yakin justru mereka akan menderita, selain mendapat dosa, batin mereka akan tersiksa.***

Petting Termasuk Zina?

Assalamu'alaikum wr. Wb.

Saya ingin mengajukan pertanyaan tentang masalah yang saya hadapi sebagai berikut.:

Secara hukum formal Indonesia, saya adalah duda, tapi saya telah menikah sirri (dinikahkan oleh Ulama, tidak di KUA)dengan seorang gadis. Saat ini saya sedang berada diluar negeri menjalani tugas dari tempat saya bekerja, sedang isteri sirri saya di Indonesia.

Insya Allah sepulang dari luar negeri, saya akan menikahi isteri sirri saya secara resmi (nikah KUA). Namun, ketika di luar negeri, saya terjerumus dalam perbuatan dosa. Saya pernah melakukan cumbuan (petting) dengan seorang wanita rekan kerja yang sudah bersuami.

Sewaktu melakukan petting, saya dan wanita tersebut, memakai pakaian, jadi -maaf- alat kelamin saya dan dia tidak bertemu secara langsung (saya tidak sampai memasukkan -maaf- alat kelamin saya ke dalam -maaf- alamat kelaminnya), namun demikian, saya mengalami -maaf- ejakulasi dalam celana jins saya.

Setelah melakukan perbuatan itu, saya merasa menyesal. Saya mengakui kepada Allah sambil menangis bahwa saya bersalah dan berdosa. Saya melakukan sholat taubat kepada Allah, memohon ampun dan rahmat Allah atas dosa saya tersebut. Saya berjanji bahwa saya tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu dan saya berusaha menjauhi wanita tersebut dan menjadikan hubungan saya dengannya hanya sebatas hubungan rekan kerja.

Yang menjadi pertanyaan saya:

  1. Apakah perbuatan saya tersebut (petting) sudah termasuk dalam definisi zina menurut syariah?
  2. Apabila wanita itu hamil, apakah petting tersebut menjadi zina? (saya pernah membaca bahwa petting dapat menyebabkan kehamilan, meskipun tidak ada -maaf- penetrasi dari alat lelamin pria ke dalam alat kelamin wanita)
  3. Karena Indonesia tidak menerapkan hukum pidana syariah Islam, apakahyangdapat saya lakukan untuk bertaubat dan menebus dosa saya?
  4. Apakah saya harus mengaku terus terang kepada suami wanita tersebut dan juga isteri sirri saya akan perbuatan saya tersebut sebagai bagian dari taubat saya?

Demikian pertanyaan saya, mohon jawaban.
Wassalamu'alaikum wr. Wb.

BI

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Benar sekali bahwa petting yang anda lakukan itu sudah termasuk kategori zina atau mendekati zina. Dan sekedar mendekati zina sudah diharamkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran.

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra': 32)

Jangankan petting, memandang bagian tubuh selain wajah dan tapak tangan pun sudah termasuk kategori melihat hal yang haram, dan itu bagian dari zina.

Bahkan telinga, tangan, hati dan semua anggota badan, punya cara sendiri-sendiri untuk berzina. Bukan hanya kemaluan saja. Dan semua itu mengakibatkan dosa besar di sisi Allah.

Dan kalau sampai terjadi penetrasi, maka hukumannya di dunia ini adalah rajam, yaitu dilempari dengan batu hingga mati. Namun bila pelaku zina ini belum pernah menikah secara syar'i, hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan 1 tahun.

2. Apabila wanita itu hamil, maka secara urusan nasab yang syar'i memang bukan anak anda. Sebab wanita itu bukan isteri anda, sehingga anak yang lahir dari rahimnya meski dari air mani anda, bukanlah anak anda secara nasab sayar'i.

Yang kedua karena memang tidak terjadi penetrasi (masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan), sehingga juga tidak terjadi pertautan nasab antaran anda dengan anak itu.

Di dalam kitab Kasysyaf Al-Qanna' jilid 3 halaman 258-259 disebutkan, "Dan apabila air mani itu air mani haram, seperti bukan milik suami yang sah, makatidak ada hubungan nasab."

3. Karena di Indonesia tidak dilaksanakan hukum pidana syariah, maka tidak mungkin dijalankan hukum cambuk atau rajam. Namun anda sendiri bukanlah orang yang wajib dicambuk atau dirajam, karena zina yang anda lakukan belum termasuk kategori zina yang mewajibkan cambuk dan rajam.

Batasannya adalah masuknya ember ke dalam sumur, yaitu masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang haram (bukan isteri) meski tidak sampai keluar mani.

Maka jalan yang mutlak harus anda lakukan adalah bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Bukan taubat yang asal-asalan dan punya kemungkinan kembali lagi. Mintalah ampuna kepada Allah SWT dengan sebenar-benar permintaan. Tamballah semua kesalahan anda dengan memperbanyak amal kebajikan, rajin shalat, puasa, zakat dan semua ibadah lainnya. Jangan lupa untuk bermurah hati kepada fakir miskin dan anak yatim.

4. Anda tidak diwajibkan untuk melakukan pengakuan dosa di depan orang-orang, termasuk kepada suami wanita tersebut. Sebaiknya anda tutupi dengan rapat dan lupakan untuk selamanya. Semoga dengan rapatnya rahasia itu, Allah juga akan menutup semua dosa anda.

Sebab di masa nabi ada seorang yang melakukan sebuah dosa di malam hari, lalu Allah tutup dosanya, namun di pagi harinya, dia sendiri yang membuka kembali dosanya dengan jalan bercerita kepada orang lain bahwa tadi malam dirinya telah melakukan dosa. Maka dosanya yang hampir diampuni kemudian menjadi besar lagi.

Islam mengharuskan seorang yang melakukan kesalahan untuk minta ampun, tetapi melarang untuk membuat pengakuan dosa kepada orang lain. Sebab Islam tidak mengenal ritual pengakuan dosa. Kecuali bila dibutuhkan oleh hakim yang menyidang kasus ini.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Apakah Ada Batasan Waktu Antara Khitbah dengan Akad?

Assalamu'alaikum..

1. Apakah ada dalil yang menjelaskan batasan waktu maksimal 3 bulan antara khitbah dengan akad nikah?

2. Apakah disunahkan untuk berpuasa 3 hari sebelum akad nikah?

Jazakumullah...

Gunawan

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Secara dalil nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih tentang keharusan adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad. Apakah harus sebulan, dua bulan, tiga bulan atau berapa lama waktu.

Kalau pun jarak waktu itu dibutuhkan, barangkali sekedar untuk memberikan beberapa persiapan yang bersifat teknis. Sebab biasanya, setiap akad nikah yang akan digelar memang membutuhkan persiapan-persiapan teknis yang mutlak.

Sebagian orang ada yang butuh waktu untuk mengumpulkan dana, atau untuk mencari tempat yang akan disewa, atau keperluan-keperluan lain yang manusiawi.

Sehingga menurut hemat kami, jarak waktu ini dikembalikan kepada al-'urf (kebiasaan dan kepantasan) serta tuntutan hal-hal yang bersifat teknis semata.

Dengan demikian, seandainya kedua belah pihak telah siap segala sesuatunya, atau mungkin juga tidak terlalu merepotkan urusan teknis, akad nikah bisa digelar saat itu juga berbarengan dengan khitbah.

Maksudnya, sesaat setelah khitbah diterima, langsung saja digelar akad nikah. Sehingga tidak lagi memboroskan waktu, biaya, dan kebutuhan lain. Apalagi taaruf antara kedua mempelai sudah menghasilkan kesaling-cocokan. Maka buat apa lagi menunggu, begitu barangkali logikanya.

Metode seperti ini kalau memang ingin dilakukan, tentu tidak ada larangan, lantaran memang tidak ada nash yang melarangnya.

Secara umum, semakin cepat akad nikah dilakukan akan semakin baik. Karena niat baik itu memang biasanya harus dipercepat. Selain juga untuk memberikan kesempatan kepada kedua calon pengantin untuk dapat segera menunaikan hajat mereka.

Sebab dalam beberapa kasus, terkadang karena terlalu lama jarak antara khitbah dengan akad nikah, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, seringnya terjadi khalwat, pacaran bahkan -naudzubillah- sampai ke tingkat perzinaan. Oleh sebab itu, untuk menghindarinya, maka sebaiknya jarak waktu antara khitbah dan akad tidak terlalu lama. Cukup sekedar bisa mempertimbangkan masalah teknis saja.

Adakah Puasa 3 Hari Menjelang Akad Nikah

Sama dengan jawaban pertanyaan pertama, sekali lagi kami belum menemukan dalil yang shahih dan sharih tentang adanya sunnah berpuasa menjelang akad nikah.

Dalam kitab-kitab fiqih yang kami telusuri, puasa sunnah itu terbatas pada puasa Senin Kamis, puasa hari Asyura dan Tasu'a, puasa Daud, puasa hari Arofah dan tarwiyah, puasa ayyamul biidh, puasa 6 hari di bulan Syawwal, puasa di bulan Sya'ban dan beberapa puasa sunnah lainnya.

Namun kami belum mendapatkan keterangan bai dari hadits nabawi atau dari kitab-kitab fiqih yang muktabar tentang adanya syariah puasa sunnah menjelang akad nikah. Mungkin hal ini karena keterbatasan ilmu kami.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Jika Ada Makhluk Lain Selain Manusia

Ust. Ada yang bertanya kepada saya jika memang ada makhluk di luar sana (dari salah satu artikel ust. ) sedangkan para nabi diturunkan di bumi, lalu siapakah yang dijadikan teladan mahluk tersebut? Apakah ada aturan juga seperti di bumi?

Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Dony

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau memang ada makhluq lain di 'luar sana' selain manusia, maka mereka tidak perlu beragama dengan agama manusia. Karena agama Islam ini dan juga nabi Muhammad SAW diutus hanya untuk umat manusia, bukan untuk alien.

Kecuali bila aliennya itu manusia juga, maka mereka wajib bernabi kepada nabi Muhammad SAW. Dan beragama dengan agama Islam. Dan kalau alien itu manusia, maka pastilah asalnya dari bumi. Sebab manusia pertama adalah nabi Adam 'alaihissalam, di mana beliau tidak punya keturunan kecuali setelah beliau 'mendarat' di muka bumi.

Memang nabi Adam as itu bukan penduduk asli bumi. Berarti boleh dibilang bahwa beliau pun termasuk jenis 'alien'. Dan kita ini, anak cucu Adam, berarti juga keturunan 'alien'. Paling tidak, kita adalah satu-satunya makhluq cerdas di muka bumi.

Namun nabi Adam as tidak pernah punya keturunan kecuali di bumi. Sebab ketika di surga dahulu, beliau belum punya anak. Barulah setelah mendarat di bumi, beliau kemudian punya anak banyak.

Maka kalau seandainya ada alien di luar angkasa dan alien itu manusia, pastilah asalnya dari bumi. Alien itu (kalau ada) yang berbentuk manusia dan merupakan anak cucu dari nabi Adam as, maka dia terikat untuk menjalankan risalah para nabi, termasuk risalah nabi Muhammad SAW.

Seandainya mereka adalah anak keturunan manusia dengan teknologi maju dan bisa memantau bumi dari luar angkasa tanpa kita sadari, maka kewajiban mereka adalah belajar ilmu syariah. Mulai dari thaharah, shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya. Kewajiban yang berlaku pada kita berlaku juga buat mereka.

Tetapi sebelum kita berhayal terlalu jauh, ketahuilah bahwa sampai hari ini pun para ilmuwan belum selesai berdebat tentang apakah alien selain manusia di luar bumi itu memang nyata ada, ataukah hanya konsumsi para penonton film produksi Hollywood saja.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Gambar Wanita Sebagai Iklan

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pak Ustazd, bagaimana kaidahnya dalam Islam mengenai penampilan atau menampilkan wantia dalam Iklan di TV atau media cetak.

Yang hampir semua orang (laki/wanita) yang melihat hal tersebut.

Terima Kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Abdullah

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kaidahnya sangat mudah dan jelas, yaitu semua wanita muslimah diharamkan memperlihatkan apapun dari tubuhnya, kecuali wajah dan kedua tapak tangannya. Baik secara langsung (live) atau pun lewat media televisi. Termasuk juga pada media lainnya seperti gambar padamajalah, koran, brosur, pamplet, baliho, spanduk dan seterusnya.

Para ulama sejak lama telah bersepakat bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Memang ada sebagian ulama yang tidak mencantumkan pengecualian, sehingga seluruh tubuh termasuk wajah dan tapak tangan pun dianggap aurat juga. Dan ada juga yang mengecualikan selaion wajah dan tapak tangan, yaitu kaki hingga kedua mata kaki.

Namun yang menjadi kesepakatan jumhur ulama adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua tapak tangan. Jadi selama seorang wanita tidak menampakkan auratnya, maka halal baginya untuk tampil di muka publik. Sebagaimana para wanita shahabiyah dan bahkan para isteri rasul sekalipun, juga tampil di muka publik.

Sedangkan tampil di muka publik dengan terlihat lengan, leher, pundak, dada, betis, paha dan lainnya, jelas haram hukumnya. Meski tanpa niat tampil sensual. Batasannya bukan pada sensualitasnya, atau juga bukan pada niatnya. Tetapi batasnya secara pisik saja, yaitu aurat.

Jadi kaidahnya sederhana dan mudah: Kalau aurat terlihat, haram tampil. Kalau aurat tidak terlihat, boleh tampil.

Adapun masalah kosmetik, bedak, lipstik, gincu, corak warna pakaian, model, potongan, dan lainnya, adalah wilayah yang oleh masing-masing ulama jadi bahan perbedaan pendapat. Mulai dari yang paling longgar hingga yang paling ketat. Tetapi urusan batas aurat, semua sepakat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sabtu, April 28, 2007

Ungkapan Sederhana Untuk Istri Tercinta

Bila malam sudah beranjak mendapati subuh, bangunlah sejenak. Lihatlah istri anda yang sedang terbaring letih menemani bayi anda. Tataplah wajahnya yang masih dipenuhi oleh gurat-gurat kepenatan karena seharian ini badannya tak menemukan kesempatan untuk istirah barang sekejap. Kalau saja tak ada air wudhu yang membasahi wajah itu setiap hari, barangkali sisa-sisa kecantikannya sudah tak ada lagi.

Sesudahnya, bayangkanlah tentang esok hari. Disaat anda sudah bisa merasakan betapa segar udara pagi, tubuh letih istri anda barangkali belum benar-benar menemukan kesegarannya.


Sementara anak-anak sebentar lagi akan meminta perhatian bundanya, membisingkan telinganya dengan tangis serta membasahi pakaiannya dengan pipis tak habis-habis. Baru berganti pakaian, sudah dibasahi pipis lagi. Padahal tangan istri anda pula yang harus mencucinya.

Disaat seperti itu, apakah yang anda pikirkan tentang dia? Masihkan anda memimpikan tentang seorang yang akan senantiasa berbicara lembut kepada anak-anaknya seperti kisah dari negeri dongeng sementara disaat yang sama anda menuntut dia untuk menjadi istri yang penuh perhatian, santun dalam berbicara, lulus dalam memilih setiap kata serta tulus dalam menjalani tugasnya sebagai istri, termasuk dalam menjalani apa yang sesungguhnya bukan kewajiban istri tetapi dianggap sebagai kewajibannya.

Sekali lagi, masihkan anda sampai hati mendambakan tentang seorang perempuan yang sempurna, yang selalu berlaku halus dan lembut? Tentu saja saya tidak tengah mengajak anda membiarkan istri membentak anak-anak dengan mata membelalak. Tidak. Saya hanya ingin mengajak anda melihat bahwa tatkala tubuhnya amat letih, sementara suami tak pernah menyapa jiwanya, maka amat wajar kalau ia tak sabar.

Begitu pula manakala matanya yang mengantuk tak kunjung memperoleh kesempatan untuk tidur nyenyak sejenak, maka ketegangan emosinya akan menanjak. Disaat itulah jarinya yang lentik bisa tiba-tiba membuat anak menjerit karena cubitannya yang bikin sakit.

Apa artinya? Benar, seorang istri shalihah memang tak boleh bermanja-manja secara kekanak-kanakan, apalagi sampai cengeng. Tetapi istri shalihah tetaplah manusia yang membutuhkan penerimaan. Ia juga butuh diakui, meski tak pernah meminta kepada anda.

Sementara gejolak-gejolak jiwa memenuhi dada, butuh telinga yang mau mendengar. Kalau kegelisahan jiwanya tak pernah menemukan muaranya berupa kesediaan utuk mendengar, atau ia tak pernah anda akui keberadaannya, maka kangan pernah menyalahkan siapa-siapa kecuali dirimu sendiri jika ia tiba-tiba meledak.

Jangankan istri anda yang suaminya tidak terlalu istimewa, istri Nabi pun pernah mengalami situasi-situasi yang penuh ledakan, meski yang membuatnya meledak-ledak bukan karena Nabi SAW tak mau mendengarkan melainkan semata karena dibakar api kecemburuan. Ketika itu, Nabi SAW hanya diam mengjadapi ‘Aisyah yang sedang cemburu seraya memintanya untuk mengganti mangkok yang dipecahkan.

Ketika menginginkan ibu anak-anak anda selalu lembut dalam mengasuh, maka bukan hanya nasehat yang perlu anda berikan. Ada yang lain. Ada kehangatan yang perlu anda berikan agar hatinya tidak dingin,apalagi beku, dalam menghadapu anak-anak setiap hari. Ada penerimaan yang perlu kita tunjukkan agar anak-anak itu tetap menemukan bundanya sebagai tempat untuk memperoleh kedamaian, cinta dan kasih sayang.

Ada ketulusan yang harus anda usapkan kepada perasaan dan pikirannya, agar ia masih tetap mememilki energi untuk tersenyum kepada anak-anak anda, sepenat apapun ia.

Ada lagi yang lain : PENGAKUAN. Meski ia tak pernah menuntut, tetapi mestikah anda menunggu sampai mukanya berkerut-kerut.

Karenanya, anda kembali ke bagian awal tulisan ini. Ketika perjalanan waktu melewati tengah malam, pandanglah istri anda yang terbaring letih itu, lalu pikirkanlah sejenak, tak adakah yang bisa anda lakukan sekedar mengucapkan terima kasih atau menyatakan sayang bisa dengan kata yang berbunga-bunga, bisa tanpa kata. Dan sungguh, lihatlah betapa banyak cara untuk menyatakannya. Tubuh yang letih itu, alangkah bersemangatnya jika di saat bangun nanti ada secangkir minuman hangat yang diseduh dengan dua sendok teh gula dan satu cangkir cinta.

Sampaikan kepadanya ketika matanya telah terbuka,“ada secangkir minuman hangat untuk istriku. Perlukah aku hantarkan intuk itu?“

Sulit melakukan ini? Ada cara lain yang bisa anda lakukan. Mungkin sekedar membantunya meyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak, mungkin juga dengan tindakan-tindakan lain, asal tak salah niat kita. Kalau anda terlibat dengan pekerjaan di dapur, memandikan anak, atau menyuapi si mungil sebelum mengantarkannya ke TK, itu bukan karena gender-friendly; tetapi semata karena mencari ridha Allah, sebab selain niat ikhlas karena Allah, tak ada artinya apa yang anda lakukan.

Anda tidak akan mendapati amal-amal anda saat berjumpa dengan Allah di yaumil-qiyamah. Alaakullihal, apa yang ingin anda lakukan, terserah anda. Yang jelas, ada pengakuan untukknya, baik lewat ucapan terima kasih atau tindakan yang menunjukkan bahwa dialah yang terkasih. Semoga dengan kerelaan anda untuk menyatakan terima kasih, tak ada airmata duka yang menetes baginya, tak adal lagi istri yang berlari menelungkupkan wajah di atas bantal karema merasa tak didengar. Dan semoga pula dengan perhatian yang anda berikan lepadanya, kelak istri anda akan berkata tentang anda sebagaimana Bunda ‘Aisyah RA berucap tentang suaminya, Rasulullah SAW,”Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku”.

Sesudah engkau puas memandangi istrimu yang terbaring letih, sesudah engkau perhatikan gurat-gurat penat di wajahnya, maka biarkanlah ia sejenak untuk meneruskan istirahatnya. Hembusan udara dingin yang mungkin bisa mengusik tidurnya, tahanlah dengan sehelai selimut untuknya.

Hamparkanlah ke tubuh istrimu dengan kasih sayang dan cinta yang tak lekang oleh perubahan. Semoga engkau termasuk laki-laki yang mulia, sebab tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia.

Sesudahnya, kembalilah ke munajat dan tafakkurmu. Marilah anda ingat kembali ketika Rasulullah SAW berpesan tentang istri. “wahai manusia, sensungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Ketahuilah.”kata Rasulullah SAW melanjutkan.” kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan merreka dengan kitan Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurusi istri kalian. Aku wasiatklan atas kalian intuk selalu berbuat baik.”

Anda telah mengambil istri anda sebagai amanah dari Allah. Kelak anda harus melaporkan kepada Allah Ta’ala bagaimana anda menunaikan amanah dari-Nya. Apakah anda mengabaikannya sehingga guratan-guratan dengan cepat menggerogoti wajahnya, jauh awal dari usia yang sebenarnya? Ataukah, anda sempat tercatat selalu berbuat baik untuk istri.

Semoga anda memberi ungkapan yang lebih agung untuk istri anda.


Pengarang: Sumber : Ust. M. Fauzil Adzim
Tanggal Penulisan: 07-Mar-2007
Sumber: http://www.portalinfaq.org/g02x01_article_view.php?article_id=510

All Rights Reserverd By: Portalinfaq. Layanan ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqoh, Wakaf, Fidyah) Online Anda !!!.
Jl. Radio IV No. 8A Kebayoran Baru Jakarta 12130
Telp: (021) 7278-6073 Fax: (021) 7278-6074 E-mail: layanan@portalinfaq.org

Selasa, April 10, 2007

Ironis...!

Oleh Aris Hendrawan

Ketika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kutemukan sebuah kata yang memiliki arti “kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir”. Kata itu adalah ironi.

Lantas apa hubungannya dengan Indonesia. Aku pun berpikir sejenak. Kemudian bergumam, tidak seharusnya aku membuat judul seperti di atas. Tapi batin ini tidak bisa hanya diam ketika aku merasakan kesepian di tengah-tengah hiruk-pikuknya orang lalu-lalang. Seolah-olah merasakan kegerahan yang sangat, sementara yang lainnya dicekam kedinginan. Tenggelam dalam lumpur kenistaan di tengah-tengah manusia bersorban. Apakah aku ironis?

Mengawali awal pekan yang selalu tidak menyengkan, pagi-pagi aku sudah disuguhi sebuah realitas hidup melalui layar kaca 14 inchi di ruang tengah rumahku. Seorang wanita yang sudah tidak muda lagi bahkan terbilang renta, nenek yang hanya tinggal sebatang kara masih menunjukkan wajah optimis.

Setelah pulang dari usahanya untuk bertahan hidup, dia membuka pintu rumahnya yang mengeluarkan bunyi berderit karena kayu dan engselnya sudah berusia sama dengan si pemiliki. Diturunkannya gendongan yang menggelayut di punggung. Nenek itu pun bergegas ke kamar mandi.

Segarnya air wudhu membasuh kulit wajah, tangan serta kaki yang sudah tidak semulus ketika nenek ini masih muda. Pendar-pendar keriput kulitnya tidak membuat pasrah begitu saja pada takdir yang telah digariskan Ilahi Robbi. Bermukena lusuh dan tikar sederhana sebagai alasnya, kewajibannya sebagai hamba ia tunaikan. Setelah selesai, bait-bait doa dilantunkan dalam hatinya. Ya, doa menjadi obat penenang paling mujarab dalam kesulitan maupun kelapangan.

Nenek itu bukan tidak punya anak, tapi anak-anak yang keluar dari rahim perempuan yang sudah tua itu seperti sudah tidak lagi memiliki seorang ibu. Menurut tetangga dekatnya, anak-anaknya tidak pernah berkunjung ke rumahnya yang hanya sepetak dan terletak di gang sempit itu. Meski sang ibu sedang sakit pun, anak-anaknya tidak pernah memperlihatkan bola mata dan batang hidungnya kehadapan sang ibu.

Sejenak kumenarik napas dalam-dalam. “Tega benar, tuh, anaknya, ” gumamku dalam hati. Ingatanku seketika melayang pada nenekku yang telah tiada. Aku sangat merindukannya….! Dulu ketika masih ada, beliau adalah sosok yang kuat menghadapi pelbagai tantangan hidup. Ada persamaan antara nenek yang aku lihat di acara pagi ini dengan nenekku, yaitu meski miskin harta tapi tidak pernah menghujat Robb-nya. Siang malam nenekku selalu berdiri dengan dua kakinya yang terkadang tidak sanggup menahan berat beban tubuhnya. Bacaan Qur’annya yang tidak lebih baik dari murid TPA-ku, tidak membuatnya malu untuk membacanya keras-keras. Teguran dari sang guru semakin membuatnya rajin untuk mengulang hafalan Al-Waqia’ah, Ar-Rahmaan, dan Al-Mulk di rumahnya yang tergolong rumah tua di wilayahnya.

Allohummagfirlahum warhamhum…. Kini jasad nenekku mungkin sudah tidak lagi berbentuk utuh. Ya, tahun ini sudah memasuki tahun ketiga kepergian nenekku menghadap sang Kholiq. Satu hal yang sangat aku sesali, aku tidak pernah punya waktu yang cukup membimbingnya untuk dapat membaca dan menghafal surat-surat dari firman-Nya yang menjadi favoritnya. “Maafkan aku, Nek!”

Kembali ke nenek yang diliput salah satu stasiun televis swasta di Indonesia. Klimaksnya adalah ketika sang nenek memperlihatkan kemampuan survivalnya. Beliau ternyata “bekerja” memungut butiran-butiran beras yang terjatuh dari puluhan karung yang berisi beras yang dipindahkan dari atas truk ke dalam toko di pasar induk. Butir demi butir beliau kumpulkan dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika dirasa sudah cukup banyak, sang nenek memanggulnya dan membawanya pulang ke rumah. Sampai di rumah, beras yang terkumpul disortir dari kotoran-kotoran yang menyertainya.

Kalau dilihat sekilas, kotoran-kotoran itu lebih banyak dari jumlah berasnya. Dan setiap harinya sang nenek kira-kira mendapat 2 – 3 liter beras. Setengahnya untuk konsumsi sendiri dan setengahnya lagi dijual dan uangnya digunakan untuk membeli lauk-pauknya.

Aku merasakan seperti ada genangan air di mataku. Dan aku hanya bisa menitikkan air mata. Nasi dan sejumlah lauk pauk yang tersedia di meja makan, tidak cukup untuk menggugah selera makan pagiku. Aku masih teringat dengan dua tangan keriput yang terampil memungut butiran beras di jalanan pasar. Aku belum lupa dengan kotoran yang tersaring dari beras. Dan hatiku berkata, mungkin bukan dia saja yang “berprofesi” seperti itu. Masih banyak lagi rekan-rekan kerja sang nenek yang berjibaku dengan kerasnya hidup. Ironiskah?
Masyarakat Indondesia yang dari dulu terkenal ramah, pemurah dan ringan tangan, berbalik 180 derajat.

Banyak dari mereka yang memiliki harta yang berlimpah, tapi sangat miskin hati. Kesenjangan yang amat sangat kentara mewarnai panggung sandiwara kehidupan di Indonesia yang selalu berakhir menyedihkan. Merasakan kesulitan di tengah orang yang bisa membuat segalanya menjadi mudah. Kelaparan di tengah mereka yang kekenyangan. Menggelandang di sepanjang jalan yang memamerkan kemegahan tempat tinggal, sementara maupun permanen. Dan akhirnya, mati membusuk di antara orang-orang yang hidup semerbak wewangian. Ironis…!

Hutan, gunung, sawah, lautan…
Simpanan kekayaan…
Kini ibu sedang sedih…
Merintih dan berdoa…

Satu bait lagu semasa kecil yang mendeskripsikan wajah Indonesia yang sedih.
Hutan Indonesia yang begitu luas menyebabkan kita dijuluki zamrud khatulistiwa. Namun julukan itu tinggal hanya julukan. Tiada pernah luasnya hutan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas. Tapi mereka yang segelintir, mampu memanfaatkan luasnya hutan. Meski legalitas pemanfaatan hutan menjadi pertanyaan besar. Hijaunya hutan tidak membuat kesejukan bagi masyarakatnya. Hijuanya hutan membuat mata mereka yang serakah menjadi hijau. Alhasil, kita kekurangan papan di tengah membelukarnya pepohonan di negeri indah ini. Ironis…!

Bentangan sawah sejauh mata memandang terasa fata morgana di padang pasir. Dari jauh begitu menjanjikan, ketika dekat merasa tertipu. Menguningnya padi tidak cukup untuk membuat wajah kita kuning. Pucat pasi nampak di wajah para petani yang sedang memanen. Jatuhnya harga gabah akibat tidak adanya regulasinya yang jelas., mahalnya harga pupuk menyebabkan masa tanam menjadi terlambat, dan kesulitan lainnya yang membuat para petani mati berdiri di tumpukan padi yang menggunung. Dan bangsa Indonesia menderita kelaparan di tengah-tengah sawah yang luas tak berujung. Ironis…!

Birunya laut yang menghampar bak permadani, dengan penghuninya yang menjanjikan kemakmuran bagi manusia. Ikan-ikan yang beraneka ragam bentuk dan rasanya. Plankton-plankton yang mengambang menyeimbangkan ekosistem kolam raksasa dan bermanfaat pula bagi manusia. Tapi penghuni pesisir kurus kering, sementara minyak ikan berlimpah ruah. Para nelayan hidup miskin di hamparan kaya rayanya lautan. Keindahan tiba-tiba menjadi sebuah neraka yang menakutkan menyambut kemarahan sang penciptanya. Mereka semakin bertambah haus ketika meminum airnya. Ironis…!

Wajah ibu pertiwi memang benar-benar sedang bersedih di percaturan bangsa-bangsa lain yang tertawa bahagia. Air matanya meluap membanjiri kota metropolitan sampai desa-desa terpencil sekali pun. Di belahan bumi yang lain, air matanya keruh menghitam dan panas menggenang, membuat tenggelam beberapa pemukiman penduduk. Mereka yang menyebabkan saling melempar tanggung jawab. Tidak ada yang bisa menghentikan tangisnya.

Tangisnya yang deras menyisakan guncangan hebat di tubuhnya. Terbelahlah bumi yang menjadi pijakan para manusia yang menjerit, berdoa, dan putus asa. Luluh lantak bangunan yang kokoh berdiri menantang. Teringat akan sebuah pesan dari manusia mulia, “Kemarahan sang ibu adalah kemarahan sang mahakuasa, keridhoan sang ibu merupakan keridhoan-Nya”.

Manusia bersorban yang dipenuhi jenggot tak mampu menahan lajunya kemaksiatan. Bahkan menyeret mereka kepada kemungkaran itu sendiri. Maling menjamur di kampung para kyai dan priyayi. Sang Raja tidak lagi dipatuhi rakyatnya. Kesenangan di atas penderitaan orang lain menjadi pemandangan memuakkan. Gema adzan hanya menjadi penghias udara, tak ada yang peduli. Mereka mengaku beriman tapi lalai dalam segala hal. Mereka mengaku isyhadi bi anna muslimun, tapi lupa akan eksistensi-Nya. Tapi tangan-Nya tak pernah berhenti mengulur, menolong para manusia kembali menata kehidupannya menuju lebih baik.

Selangkah kita mendekat kepada-Nya, seribu langkah Dia mendekat kepada kita. Kita berjalan menghampirinya, Dia berlari menyambut kita. Sejengkal kita mencoba merengkuhnya, sehasta Dia maju ke kita. Dia tidak pernah menutup pintu taubat selama matahari masih terbit di sebelah timur. Dia masih akan terus menunda hari akhir, ketika masih ada orang-orang soleh yang mengagungkan-Nya. Tiada kata terlambat sebelum segalanya menjadi terlambat.

Aku bergidik tersadar dari lamunan seraya bergumam, “nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau ingkari”. Sudah cukup kondisi ironi yang mampir di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Sudah saatnya membangun negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun gofur. Semuanya bermuara pada kita. Siapkah kita, mulai dari pucuk pimpinan sampai ke akar rakyat jelata menerima cahaya kebesaran-Nya?

Wallohu’alam

Theking_po@yahoo. Com

Benarkah Maulid Nabi Bukan dari Madzhab Syafi'i?

Assalamu'alaikum, ,

Saya telah mengikuti pembahasan al-ustadz mengenai madzhab As Syafi'i, dan di situ tertera bahwa salah satu tradisi seperti Maulid Nabi bukan tuntutan dari madzhab As Syafi'i, nah muncul pertanyaan dalam hati saya, benarkah seperti itu?

Berikut sedikit kutipan yang saya ambil mengenai perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW,

Jazakallah

Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat bahwa berdiri saat diba' adalah bid'ah yang tidak ada tendensinya sama sekali dalam Islam, Hal ini dikerjakan oleh masyarakat umum tiada lain hanya mengagungkan kepada nabi sehingga meskipun bid'ah tapi bid'ah hasanah.

Berkata al-halabi dalam kitab sirah:

"telah dikabarkan bahwa dihadapan imam subki pada suatu kali berkumpul banyak ulama ulama pada zaman itu, kemudian salah seorang dari mereka membaca perkataan Sharsari dalam memuji nabi, pada ketika itu Imam subki dan sekalian ulama yang hadir BERDIRI serempak menghormati nabi"

(I'anantut Thalibin Juz III/hal 364)

Imam Taqiyudin Subki adalah seorang ulama besar dalam mazhab syafii juga pengarang kitab "Takmilah al-Majmu" sambungan dari kitab "Al-Majmu syarah Muhadzab" by Imam nawawi.

Mahabbatul Muslim

Mukhsin

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang anda kutip dari kitab I'anatut Talibin itu sesungguhnya tidak serta merta mewakili pendapat mazhab As-Syafi'i bahwa hal itu menjadi tuntunan dan tuntutan (kewajiban) untuk merayakan haflah (pesta) peringatan kelahiran nabi Muhammad SAW setiap tahun.

Perkata merayakan pesta maulid nabi disikapi dengan cara yang berbeda-beda oleh para ulama. Mulai dari yang membolehkannya, atau memakruhkannya, hingga yang menganjurkannya.

Semua kembali kepada konteks dan kepentingannya, yang sangat tergantung dari kondisi sosial politik di masa masing-masing ulama.

Sebagai sebuah mazhab besar, tidak ada pernyataan resmi dari mazhab As-Syafi'i bahwa perayaan haflah maulid nabi Muhammad SAW tiap tahun sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan secara rutin.

Kita tidak akan menemukan di dalam kitab-kitab fiqih As-Syafi'iyah yang induk dan muktabar lafadz yang menyebutkan bahwa: peringatan maulid nabi hukumnya wajib atau sunnah serta harus selalu dirayakan setiap tahun oleh orang beriman.

Lafadz seperti itu juga tidak kita temukan di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab atau pun kitab 'terusannya'. Bahwa Imam As-Subki dan ulama lainnya berdiri pada saat itu, tidak lantas bisa dijadikan pendapat resmi mahab As-Syafi'i bahwa maulid itu wajib dikerjakan.

Paling tidak, kita bisa menyimpulkan bahwa sebagian dari ulama yang bermazhab As-Syafi'i telah melakukan penghormatan kepada nabi Muhammad SAW dengan cara berdiri saat syair tentang beliau dibacakan. Dan bahwa sebagian dari mereka tidak mengharamkan perayaan maulid nabi dengan bentuk demikian.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Pulang ke Jakarta, Masihkah Boleh Jama' Qashar?

Pak Ustadz,

Saya baru saja dipindah tugas dari Jakarta ke Pekanbaru. Sekarang saya tinggal di Pekanbaru sedangkan keluarga masih tinggal di Jakarta. Biasanya dalam satu bulan, 3 minggu saya tinggal di Pekanbaru dan 1 minggu pulang (tinggal) di Jakarta. Apakah ketika pulang ke Jakarta saya berhak untuk mendapatkan fasilitas shalat jama qoshor karena sekarang saya sudah tinggal (mukim) di Pekanbaru?

Mohon penjelasannya!

Moh. Rafi Akbar
mrafiakbar at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum waahmatullahi wabarakatuh,

Masalah yang anda tanyakan itu memang selalu jadi khilaf di kalangan ulama. Sumber khilafnya pada kriteria safat dan mukim. Sebagian ulama punya kriteria tertentu untuk batasan tempat mukim, yang belum tentu sama dengan pendapat ulama lain.

Sumber perbedaannya berada pada tidak adanya nash yang jelas dan tegas untuk menetapkan batas-batas kriteria yang dimaksud. Sehingga mereka pun berijtihad dengan apa yang bisa jadikan landasan.

Pendapat Pertama,

Ada yang mengatakan bahwa begitu anda pindah ke suatu kota yang bukan kota asal anda, maka tempat tinggal anda adalah kota yang sekarang anda tempati. Adapun kota asal anda sekarang justru menjadi bukan tempat mukim anda lagi.

Maka ketika anda ada di kota asal anda, anda termasuk musafir. Anda boleh shalat dengan jamak dan qashar.

Pendapat Kedua,

Ada lagi ulama yang mengatakan bahwa kota asal anda biar bagaimana pun ada negeri anda yang asli, sehingga tidak ada kebolehan bagi anda untuk menjamak qashar shalat di kota asli anda, meski sekarang anda sudah tidak menjadi penduduknya.

Karena ikatan batin antara anda dan kota kelahiran anda tidak akan hilang. Maka selamanya di kota itu anda tidak diperkenankan untuk menjama' dan mengqashar shalat.

Pendapat Ketiga,

Pendapat ini mungkin lebih mudah untuk diikuti. Mereka menetapkan bahwa seseorang dianggap bermukim di mana saja di muka bumi ini, asalkan sudah menetap selama 4 hari berturut-turut, baik di kota kelahirannya sendiri atau di kota di mana pun di dunia ini.

Jadi ukurannya masa berlaku selama 4 hari dengan diam dan menetap, tidak ke mana-mana keluar dari kota itu. Dan selama belum ekspire, anda masih punya fasilitas untuk menjama' dan mengqashar shalat. Begitu ekspired time-ya sudah lewat, maka anda wajib shalat tanpa jamak qashar.

Pendapat ini menggunakan pendekatan menetap 4 hari dengan mengacu kepada praktek Rasulullah SAW ketika menjama' dan mengqashar shalat selama ritual haji. Beliau mengqashar sejak tanggal 9, 10, 11 dan 12 Dzulhijjah. Baik ketika di Arafah, Muzdalifah maupun Mina. Setelah itu beliau kembali shalat yang sempurna.

Demikianlah ragam beda pandangan di kalangan ulama, yang mana saja yang lebih anda terima, insya Allah bukan hal bid'ah yang mengada-ada, karena semua berangkat dari ijtihad para ulama yang punya kapabilitas dan otoritas di bidang ijtihad.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum waahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Menggerakkan Jari Saat Tahiyat, Mana yang Sunnah?

Assalamu'alaikum wr. Wb.

Ustadz yang dirahmati Allah swt, saya ingin menanyakan hal yang sederhana tetapi mengusik juga karena berkaitan dengan ibadah yang paling penting bagi seorang muslim, yaitu shalat.

Saya ingin menanyakan soal menggerakkan jari telunjuk saat tahiyat dalam shalat. Dalil-dalilnya apa saja? Digerakkan saat membaca syahadat saja atau dari awal sampai akhir? Dan bagaimana cara menggerakkannya, dinaik-turunkan atau diputar?

Selama ini saya hanya menaikkan telunjuk sejenak saat membaca syahadat. Kemudian saya menonton vcd shalat nabi, dan melihat bahwa harus menggerakkan telunjuk. Saya coba membaca buku Sifat Shalat Nabi, tetapi tidak ada penjelasan yang rinci soal kapan dan bagaimana menggerakkan telunjuk ini.

Atas jawaban dari ustadz saya ucapkan terima kasih. Semoga saya bisa menyempurnakan shalat saya.

Wassalamu;alaikum wr. Wb.

Mujahidah

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Masalah menggerakkan jari telunjuk saat tahiyat di dalam shalat adalah masalah khilafiyah yang termasuk paling klasik. Kami katakan klasik, karena sejak zaman dahulu, para ulama sudah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat di antara mereka tidak kunjung selesai sampai ribuan tahun lamanya, bahkan sampai hari ini.

Masalahnya bukan karena para ulama itu hobi berbeda pendapat, juga bukan karena yang satu lebih shahih dan yang lain kurang shahih. Juga bukan karena yang satu lebih mendekat kepada sunnah dan yang lain kurang dekat. Masalahnya sangat jauh dan tidak ada kaitannya dengan semua itu.

Titik masalahnya hanya kembali kepada cara memahami naskah hadits, di mana ada dalil yang shahih yang disepakati bersama tentang keshahihannya, namun dipahami dengan cara yang berbeda oleh masing-masing ulama.

Sayangnya, teks hadits itu sendiri memang sangat dimungkinkan untuk dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Alias tidak secara spesifik menyebutkannya dengan detail dan rinci.

Yang disebutkan hanyalah bahwa Rasulullah SAW menggerakkan jarinya, tetapi apakah dengan teknis terus-terusan dari awal tahiyat hingga selesai, ataukah hanya pada saat mengucapkan 'illallah' saja, tidak ada dalil yang secara tegas menyebutkan hal-hal itu.

Dalil-dalil tentang Menggerakkan Jari

عن وائل بن حجر أنه قال في صفة صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم:(ثم قبض ثنتين من أصابعه وحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها) رواه أحمد والنسائي وأبو داود وغيرهم وهو حديث صحيح.

Dari Wail bin Hujr berkata tentang sifat shalat Rasulullah SAW, "Kemudian beliau mengengga dua jarinya dan membentuk lingkaran, kemudian mengangkat tangannya. Aku melihat beliau menggerakkan jarinya itu dan berdoa". (HR Ahmad, An-Nasai, Abu Daud dan lainnya dengan sanad yang shahih)

وعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال:(كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في الصلاة وضع يديه على ركبتيه ورفع إصبعه اليمين التي تلي الإبهام فدعا بها ) رواه مسلم.

Dari Abdullah bin Umar ra berkata, "Rasulullah SAW bila duduk dalam shalat meletakkan kedua tangannya pada lututnya, mengangkat jari kanannya (telunjuk) dan berdoa". (HR Muslim)

Dengan adanya kedua dalil ini, para ulama sepakat bahwa menggerakkan jari di dalam shalat saat tasyahhud adalah sunnah. Para ulama yang mengatakan hal itu antara lain adalah Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad bin Hanbal serta satu pendapat di dalam mazhab Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahumullah.

Tinggal yang jadi titik perbedaan adalah cara mengambil pengertian dari kata 'menggerakkan'.

  • Sebagian ulama seperti kalangan mazhab As-Syafi'i mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menggerakan hanyalah sekali saja, yaitu pada kata 'illallah'. Setelah gerakan sekali itu, jari itu tetap dijulurkan dan tidak dilipat lagi. Demikian sampai usai shalat.
  • Sebagian lainnya malah sebaliknya. Seperti kalangan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa gerakan menjulurkan jari itudilakukan saat mengucapkan kalimat nafi (Laa illaha), begitu masuk ke kalimat isbat (illallaah) maka jari itu dilipat kembali. Jadi menjulurkan jari adalah isyarat dari nafi dan melipatnya kembali adalah isyarat kalimat itsbat.
  • Sebagian lainnya mengerakkan jarinya hanya pada setiap menyebut lafadz Allah di dalam tasyahhud. Seperti yang menjadi pendapat kalangan mazhab Al-Imam Ahmad bin Hanbal.
  • Dan sebagian lainnya mengatakan bahwa tidak ada ketentuannya, sehingga dilakukan gerakan jari itu sepanjang membaca tasyahhud. Yang terakhir itu juga merupakan pendapat Syeikh Al-Albani. (Lihat kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140). Sehingga beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz tasyahhud.

Akan tetapi, sekali lagi kami katakan itu adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas menyebutkan hal itu. Sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat mungkin berbeda pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau belum secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya masih sangat terbuka luas.

Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya. Dan semuanya sesuai dengan sunnah nabi Muhammad SAW.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Ereksi Saat Shalat

Assalamualikum Wr. Wb.

Ustad, saya mo tanya beberapa hukum dalam solat.

  1. Bagaimana hukumnya menahan kentut dalam solat
  2. Bagaimana hukumnya bila terjadi ereksi pada saat solat

Atas jawaban ustd saya sampaikan terima kasih

Wasalam alikum Wr. Wb

Deem

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Menahan kentut hukumnya makruh, karena secara kesehatan kurang baik. Pak dokter tentu lebih mengerti bagaimana resiko dari menahan kentut dari sisi kesehatan biologis.

Namun kalau kita lihat secara hukum fiqih yang bersifat hitam dan putih, maka kita tetap pada ketentuan bahwa selama kentut belum terjadi, maka wudhu' tidak batal. Meski dengan cara menahannya.

Hal yang sama juga berlaku untuk kasus menahan kencing atau buang air besar, atau kasus-kasus menahan lainnya. Shalat dan wudhu'nya tidak batal, namun sebisa mungkin harus dihindari.

Jadi sebaiknya, sebelum wudhu dan shalat dilaksanakan, tunaikan dahulu semua hajat biologis, agar konsentrasi dalam shalat tidak terganggu. Dan shalat dalam keadaan menahan kebutuhan biologis semacam itu, meski tidak membatalkan, namun hukumnya makruh.

Ereksi Saat Shalat

Ereksi yang dialami oleh seseorang di saat sedang melakukanshalat tidaklah membatalkan secara hukum fiqih. Sebab di dalam daftar hal-hal yang membatalkan shalat, sama sekali tidak disinggung tentang kasus ereksi.

Walhasil, selama suatu hal tidak termasuk ke dalam kriteria yang membatalkan, apabila terjadi, maka tidak akan membatalkan. Dan itulah gunakan ilmu fiqih, yang sifatnya memberikan batasan hukum.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc