Senin, September 25, 2006

Pencari Hidayah

Oleh Hafizah Nur


Cuaca panas sekali siang itu, namun kesejukan ruangan ber-AC di rumah salah seorang teman saya membuat kami nyaman mengikuti pengajian bulanan yang diadakan muslimah Indonesia di Kampung Melayu ini. Kampung Melayu, begitulah sebutan untuk komunitas Indonesia yang tinggal saling berdekatan di Jepang. Ada beberapa Kampung Melayu di sekitar Tokyo. Tempat tinggal saya saat itu di Ayase, di sebelah Tenggara kota Tokyo. Komunitasnya terdiri dari beberapa keluarga Indonesia, yang rata-rata bersuamikan pelajar, pekerja atau menikah dengan orang Jepang.

Pengajian bulanan kali ini diisi oleh seorang muallaf Jepang. Sebut saja Halimah san, seorang muslimah yang bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupnya, sampai ia memutuskan untuk menjadi muslim. Berawal dari kegersangannya dalam menjalani kehidupan di Amerika, yang hanya dilaluinya dengan rutinitas belajar dan belajar. Dia ingin mengenal Tuhan, tetapi tak tahu bagai mana caranya. Dia mencoba mengatasinya dengan berbagai cara. Membaca buku tentang berbagai agama di dunia, sampai melakukan meditasi, satu cara untuk mencapai ketenangan. Tapi tak ada satu pun yang memuaskan hatinya. Sampai suatu ketika, ia berkunjung ke sebuah restoran muslim Afrika. Terpesona dengan keramahan yang ditunjukkan oleh pemiliknya, meskipun terhadap orang yang berbeda ras dan agama dengannya. Ketertarikannya semakin dalam ketika ia datang ke Malaysia dan melihat muslim di sana melaksanakan Islam dengan baik. Kemudian ia kembali ke Tokyo dan memutuskan untuk menjadi muslim. Saat ini Halimah san sudah menikah dengan Muslim Pakistan dan memiliki tiga orang anak. Berjilbab rapi dan terus menerus bersemangat meningkatkan pengetahuannya tentang Islam.

Hidayah. Tidak ada yang kuasa menolaknya ketika ia menghampiri. Bahkan kepada orang sekuat Umar ra., yang dianggap jagoan kaum musyrikin Makkah di zaman nabi saw. Umar ra. masuk Islam justeru ketika berniat untuk membunuh Nabi. Hidayah itu hadir secepat angin. Mengalihkan kebenciannya menjadi cinta hanya karena mendengar lantunan awal surat Thoha dari Al-Qur’an.

Saya jadi teringat juga dengan seorang muslimah Jepang, sebut saja Megumi san. Persahabatannya dengan orang Indonesia membuatnya tertarik untuk mempelajari Islam lebih jauh. Saat kembali ke Tokyo, Megumi san aktif mengikuti kajian Islam yang diselenggarakan oleh Masjid Otsuka. Meskipun belum muslim, interaksinya dengan muslimah dari berbagai negara di Otsuka menariknya lebih dalam ke lingkaran kehidupan Islami. Ia mencoba menerapkan apa yang ia tahu tentang Islam, seperti mencoba melakukan sholat. Terharu dengan usahanya untuk bangun di waktu subuh, ketika dingin begitu menggigit. Hal yang sangat berat, bahkan untuk orang Islam sendiri. Sampai di suatu hari di bulan Romadhan. Ia mencoba ikut serta merasakan lapar dan hausnya berpuasa. Ketika ifthor bareng di Masjid Otsuka, ada rasa lain yang menyelinap ke dalam dirinya. Semacam ketenangan yang lain. Saat itu saya sempat berbincang dengannya dan mengharap dia mendapatkan hidayah dari Allah, kembali ke dalam pangkuan Islam. Tak disangka ketika ia hendak pulang, dan sudah sampai di stasiun Otsuka, Seperti ada suara yang memerintahkannya untuk kembali dan mengikrarkan syahadat saat itu juga. Akhirnya ia pun berbalik dan mengikuti suara hatinya. Allahu Akbar. Ternyata hidayah itu datang padanya di hari itu.

Saya juga banyak bertemu dengan muslimah Indonesia yang justeru mendapat hidayah di sini. Mereka memang muslim sejak lahir. Tetapi di negerinya sendiri tidak ada sedikitpun keinginan untuk menggali Islam lebih dalam atau menjadi muslim yang lebih baik. Banyak juga di antara mereka yang tenggelam dalam kehidupan maksiat. Bahkan bertemu dengan suami, yang berkebangsaan Jepang, di saat bekerja di dunia malam. Tapi ternyata Allah masih sayang kepada mereka. Di tengah gemerlap kota Tokyo. Jauh dari suara azan. Jauh dari tempat-tempat menggali ilmu agama, justeru di sinilah mereka mencari hidayah. Mereka bosan dengan kemaksiatan, dan ingin mencoba ketenangan yang baru. Yang lebih abadi. Saya mengenal baik salah satunya. Saat ini ia sudah berjilbab dan mencoba membangun keluarga Islami dengan suaminya yang nihonjin.

Sebagaimana paman Rosulullah, Abu Tholib, yang sangat dekat dengan Nabi. Ia mengorbankan dirinya untuk membantu Dakwah Nabi, tetapi justeru tak menerima Islam sampai akhir hayatnya. Sebaliknya, banyak juga orang yang mencari hidayah justeru di tengah-tengah merajalelanya kemaksiatan. Seperti Cat Steven atau Yusuf Islam, yang memilih menjadi muslim di puncak ketenarannya sebagai seorang bintang. Ia rela meninggalkan semua kesenangan yang sudah berada dalam genggamannya demi Islam.

Yah, itulah hidayah. Hanya Allah yang tahu, siapa yang berhak menerimanya. Saya hanya berharap, semoga saya dan orang-orang yang saya cintai termasuk orang yang bersemangat menggapai hidayah itu. Dan bisa mendapatkan rahmat-Nya. Hidup dalam naungan hidayah-Nya. Semoga.

Nihonjin: orang Jepang

Tiga hari menjelang Romadhan...
Marhaban ya. Romadhan, marhaban ya syahrusshiyaam..

Hifizahn at yahoo dot com (FLP-Jepang)

Imam Tarawih dan Penceramah Menerima Harta Zakat?


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, saya ingin menanyakan hal-hal sebagai berikut:

1. Berapa persen bagian untuk amil zakat dari seluruh zakat yang diterima oleh amil?

2. Bolehkah zakat tersebut diberikan kepada yang telah mengimami sholat tarawih/memberikan ceramah tarawih, dengan alasan jihad fi sabilillah? Kalau boleh berapa persen untuk bagian ini?

Jazakallahu atas jawabannya.

Wassalamu'alaikum warahamatullahi wabarakatuh

Abi Fatta

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Umumnya para ulama menyebutkan bahwa bagian hak yang boleh diterima oleh amil zakat adalah 1/8 dari jumlah total zakat yang telah dikumpulkan.

Pendapat mereka berangkat dari ayat Al-Quran yang menyebutkan 8 ashnaf yang berhak menerima zakat.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah: 60)

Karena jumlahnya ada 8 bagian dan amil termasuk salah satunya, maka logikanya adalah semua harta zakat itu dibagi 8 sama besar. Satu bagiannya berarti 1/8 dari total harta zakat. Maka 1/8 itulah yang menjadi hal untuk para amil secara keseluruhannya.

Demikian juga ashnaf lainnya seperti para muallaf yang dibujuk hatinya, para budak, orang-orang yang berutang, fi sabilillahdan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Kesemuanya punya hak maksimal yaitu 1/8.

Tetapi khusus buat mereka yang faqir dan miskin, ketentuan bahwa maksimal jatah hanya 1/8 tidak berlaku. Mengingat tujuan utama pemberian zakat itu memang kepada mereka. Bahkan sebisa mungkin harta zakat itu diprioritaskan terlebih dahulu buat mereka, baru setelah kebutuhan mereka dianggap cukup, ashnaf yang lain boleh dipikirkan.

Zakat Buat Imam/Penceramah Tarawih

Kalau kita lihat secara pembagian ashnaf di atas, jelas sekali bahwa imam shalat tarawih dan penceramah bukan termasuk ashnaf yang berhak menerima harta zakat. Sebab yang dimaksud dengan fi sabilillah pada hakikatnya adalah orang-orang yang berperang di jalan Allah, demi mempertahankan agama dan negeri Islam.

Jihad fi sabilillah punya karakteristik khusus yang tidak bisa disamakan begitu saja dengan tugas ceramah atau jadi imam. Jihad itu beresiko pada kematian, sedangkan tugas ceramah/imam tidak. Jihad itu meninggalkan anak isteri dan kampung halaman, berjaga berbulan-bulan di tapal batas, maka wajar bila para mujahidin diberi jatah dari harta zakat, sebagai tanggung-jawab negara atas nafkah bagi keluarganya.

Adakah imam shalat dan penceramah punya persamaan dengan para mujahidin? Istfati qalbaka, mintalah fatwa dari hati nuranimu...

Akan tetapi bila seorang imam atau penceramah tarawih itu punya kriteria sebagai orang miskin atau fakir, maka mereka boleh mendapatkan harta zakat itu. Bukan karena beliau jadi imam atau jadi penceramah, melainkan karena beliau orang miskin atau fakir.

Dengan demikian, kita tidak memelintir tafsir Al-Quran seenaknya saja. Sebab penjelasan tentang hal itu harus juga dikaitkan dengan praktek di masa nabi. Adakah imam shalat atau penceramah diberi uang zakat di masa itu?

Dr. Yusuf Al-Qaradawi mensyaratkan bila ingin menganggap kegiatan dakwah berhak mendapatkan harta zakat, maka haruslah yang punya nilai-nilai perjuangan dan sebisa mungkin menyerupai sebuah jihad di medan tempur. Pada saat itu barulah para juru dakwah itu boleh diberi harta zakat.

Beliau mencontohkan seperti para juru dakwah di berbagai Islamic Center di negeri minoritas muslim, mereka tak ubahnya seperti para pejuang Islam yang memperjuangkan penyebaran Islam. Meski bukan dengan pedang, tapi nilai perjuangan mereka tidak kurang penting dibandingkan dengan para mujahidin.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Mengamalkan Hadis Dhaif


Assalamualaikum Ustaz,

Bolehkah dan apa hukumnya seseorang itu beramal dengan hadis dhaif? Setahu saya, hadis dhaif hanya boleh digunakan dalam fadhail amal (fadhilat-fadhilat amalan). Bolehkah ustaz terangkan secara lebih lanjut.

Wassalam,

Amir Lukman
al_hafiz at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau kita telusuri pendapat para ulama, paling tidak kita bisa mendapatkan tiga kecenderungan yang berbeda dalam menanggapi masalah hadits dhaif.

1. Kelompok Pertama

Mereka adalah kalangan yang secara mutlak menolak mentah-mentah semua hadits dhaif. Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nashehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.

Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu'in, Ibnu Hazm dan lainnya.

2. Kelompok Kedua

Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.

Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:

  • Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha'if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
  • Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
  • Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
  • Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.

3. Kelompok Ketiga

Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu'). Bagi mereka, sedhai'f-dha'if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.

Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarokdan yang lainnya.

Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata,'Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan."

Hadits Dhaif Berbeda dengan Hadits Palsu

Perlu untuk kita ketahui bersama bahwa hadits dhaif itu sendiri berbeda sekali dengan hadits palsu. Hadits dhaif masih dianggap sebagai hadits nabi, hanya saja sebagian ulama dengan kriteria yang sangat ketat menganggap bahwa sebagian perawinya tidak lulus standar 'adil dan dhabith yang mereka tetapkan. Sementara ulama hadits lainnya, mungkin tidak seketat mereka dalam mencari cacat dan aib seorang perawi hadits.

Dan yang paling terkenal sangat ketat dalam masalah menyeleksi para perawi hadits adalah Al-Imam Al-Bukhari dan juga Al-Imam Muslim. Pantaslah kalau kedua kitab shahih mereka dinobatkan menjadi kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al-Quran. Hal itu lantaran mereka berdua sangat streng, ketat, tajam dan 'tidak kenal ampun' dalam upaya mereka.

Konon dari sekitar 50 ribuan hadits yang Al-Bukhari seleksi, hanya tersisa sekitar 5.000-an saja yang dianggap shahih. Itu pun ada banyak hadits yang terulang-ulang. Sehingga angka sesungguhnya hanya sekitar 2.000-an hadits saja.

Rupanya, tidak semua hadits yang dianggap tidak lolos seleksi itu pasti dhaifnya. Sebab di luar hadits shahih yang ditetapkan oleh Al-Bukhari, masih banyak hadits shahih. Contohnya adalah kitab shahih yang disusun oleh Imam Muslim. Banyak sekali hadits yang tidak lolos seleksi oleh Al-Buhari, tapi oleh Imam Muslim diloloskan. Dan berlaku juga dengan sebaliknya.

Kalau pada hadits shahih, para ulama hadits telah berbeda pendapat dalam penentuannya, maka demikian juga halnya dengan hadits dhaif, mereka pun sudah pasti berbeda pendapat juga. Maka sangat mungkin ada sebuah hadits yang dikatakan dhaif oleh si fulan, tetapi tidak didhaifkan oleh ulama lainnya.

Kesimpulannya, khilaf atau beda pendapat itu bukan terjadi di kalangan ahli fiqih saja, tetapi di kalangan ahli hadits pun tidak kalah serunya perbedaan itu.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Memakai Jam Tangan di Pergelangan Tangan Kiri, Tasyabbuhkah?


Assalamualaikum wr. wb.

Yth. Bapak Ustadz,

Saya baru saja bertemu dengan seorang teman muslim yang ikut aliran tertentu. Ketika dia melihat saya memakai jam tangan di pergelangan tangan kiri, dia berkata bahwa itu termasuk tasyabbuh, seperti mengikuti orang kafir, dan sebaiknya jam dipakai di tangan kanan, karena kebanyakan orang kafir memakai jam tangan di pergelangan tangan kiri, bukan kanan. Nah, apakah benar begitu, pak Ustadz?

Saya jadi takut, apakah saya tidak perlu memakai jam tangan saja biar aman? Rasanya jadi serba salah, sebenarnya sejauh apa batasan-batasan tasyabuh itu, pak Ustadz? Apakah termasuk cara memakai jam tangan, kacamata, sepatu, topi juga di-tasyabuhkan?

Terima kasih banyak atas jawaban dan penjelasan pak Ustadz

Wassalamualaikum wr. wb.

Susi Wulandari
susiwlndr at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Rasulullah SAW memang melarang umatnya dari menyerupai orang kafir. Untuk itu beliau bersabda:

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ

Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum itu." (HR Abu Daud dan Ibnu Hibbab menshahihkannya).

Sedemikian pentingnya masalah ini sehingga sampai nabi mengancam bahwa orang yang secara sengaja meniru gaya orang kafir, divonis bahwa dirinya telah menjadi pengikut mereka.

Hanya saja yang jadi pertanyaannya sekarang adalah: manakah yang termasuk kriteria tasyabbuh (menyerupai) orang kafir?

Apakah bila orang kafir di barat makan roti, lalu kita dianggap menyerupai mereka karena kita ikut makan roti jua? Padahal bukankah justru nabi SAW dahulu tidak makan nasi tapi malah makan roti?

Apakah bila orang kafir pakai celana panjang dan kemeja, lalu kita dianggap mengikuti orang kafir gara-gara pakai celana panjang dan kemeja?

Untuk menjawab masalah ini, paling tidak ada dua parameter yang perlu diperhatikan:

a. Parameter pertama, masalah niat. Bila seseorang melakukan sesuatu dengan niat semata-mata meniru gaya dan lagak orang kafir, maka perbuatan itu terlarang dan termasuk ke dalam kriteria meniru orang kafir.

b. Parameter kedua, masalah bentuk teknisnya. Yang dikatakan tindakan meniru atau menyerupai orang kafir adalah bila suatu perbuatan itu merupakan ciri khas milik suatu agama tertentu. Bukan budaya yang bersifat umum dan dilakukan oleh banyak bangsa di dunia ini.

Misalnya tanda salib, hiasan pohon nataldanpenggunaan lonceng di rumah ibadah yang merupakan ciri khas kaum nasrani. Ini merupakan ciri khas agama itu dan kalau ada umat Islam secara sengaja meniru-niru hal-hal seperti ini, termasuk ke dalam orang yang diancam di hadits tadi.

Demikian juga bila kita mengenakan logobintang David yang merupakan ciri khas kaum yahudi. Atau membakar pedupaan atau shio yang dibakar khusus untuk penyembahan kalangan konghuchu atau Budha, semua termasuk sesuatu yang menjadi ciri khas satu kaum atau agama tertentu.

Lalu bagaimanakan dengan menggunduli kepala, apakah bisa termasuk kategori menyerupai para pendeta Budha (shaolin)?

Jawabnya tergantung niatnya. Sebab di dalam syariat Islam, juga ada perintah atau anjuran untuk menggunduli kepala, yaitu saat selesai dari ibadah haji/umrah. Maka menggundulkan kepala berarti bukan ciri khas suatu agama saja. Dalam hal ini, parameter yang pertama yang menentukan, yaitu apakah seseorang berniat meniru gaya para shaolin itu atau tidak?

Maka jawaban atas masalah jam tangan yang dikenakan di tangan kiri, apakah benar hal itu merupakan ciri khas pemeluk agama tertentu? Ataukah hanya sekedar asumsi berlebihan saja? Kalau memang benar merupakan 'hak milik' yang merupakan ciri khas agama tertentu, tentu harus ada pembuktiannya, baik lewat literatur maupun lewat pengakuan para pemuka agama yang bersangkutan.

Tapi kalau kita pertimbangkan secara sederhana, rasanya kok tidak ada kaitannya. Tapi silahkan saja dilakukan penelitian lebih mendalam dan buktikan bahwa pakai jam tangan di kiri itu merupakan ciri khas suatu agama tertentu. Tapi sebelum agar pembuktian yang pasti dan valid, kita belum boleh mengeluarkan vonis tertentu, apalagi mengharamkannya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatulahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Hukum Bersetubuh di Waktu Sahur


Pak ustadz, kalau suami-isteri bersetubuh sebelum sahur dan melakukan mandi janabahnya setelah memasuki sholat subuh, apakah dibolehkan?

AR

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hubungan seksual diharamkan pada saat kita sedang dalam keadaan berpuasa. Bila hal itu dilakukan di dalam puasa Ramadhan, selain membatalkan puasa, juga pelakunya terkena kaffarat.

Makna kaffarat adalah denda karena pelanggaran kesucian bulan Ramadhan. Bentuknya ada tiga level. Pertama, diwajibkan untuk membebaskan budak. Kedua, diwajibkan untuk berpuasa 2 bulan berturut-turut. Ketiga, diwajibkan untuk memberi makan fakir miskin sejumlah 60 orang.

Namun bila hubungan suami-isteri itu dilakukan di luar jam-jam kewajiban puasa, walau beberapa menit menjelang waktu shubuh, atau beberapa menit setelah masuknya waktu Maghrib, hukumnya halal.

Karena batas waktu puasa sejak mulai masuknya waktu Shubuh, bukan imsak, hingga masuknya waktu Maghrib. Sedangkan di luar kedua waktu itu, tidak wajib puasa. Sehingga boleh saja bila melakukan hal-hal yang diharamkan saat berpuasa.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah: 187)

Masalah mandi janabah yang anda tanyakan, sebenarnya tidak menjadi masalah. Sebab syarat puasa itu berbeda dengan syarat shalat. Kalau shalat membutuhkan syarat berupa kesucian dari hadats kecil dan hadats besar, maka ibadah puasa justru tidak mensyaratkan keduanya.

Sehingga boleh-boleh saja seorang yang sedang dalam keadaan berhadats besar (janabah) untuk berpuasa, dengan melewati waktu shubuh dalam keadaannya seperti itu. Dalam kata lain, seseoran yang belum mandi janabah lalu melewati waktu shubuh dalam keadaan itu, hukum puasanya tetap sah.

Tinggal yang harus dikerjakan adalah bahwa dia tetap wajib melakukan shalat shubuh. Dan shalat shubuhnya mensyaratkan kesucian dari hadats besar dan hadats kecil sekaligus. Sebelum waktu shubuhnya selesai, dia harus sudah mandi janabah dan selesai mengerjakan shalat shubuh.

Kebolehan masih melakkukan hubungan suami-isteri di saat-saat sahur ini juga harus dilakukan dengan hati-hati, serta dengan sangat memperhatikan masuknya waktu shubuh. Sebab bila keasyikan dan lupa waktu, lalu masih melakukannya padahal shubuh sudah masuk waktunya, maka akibatnya bukan hanya puasanya yang batal, tetapi juga terkena denda (kaffarat) yang lumayan berat. Karena itu pesan kami, boleh dilakukan tapi hati-hati dan ingat waktu.

Ingat bahwa anda melakukannya pada waktu injury time, jadi watch out!

Wallahu a'lam bishsawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Sedekah Cerdas



Siapa ingin doanya terkabul/dibebaskan dari kesulitan, hendaknya ia membantu/mengatasi kesulitan orang lain (HR. Ahmad).

Kepada siapa Anda memberikan sedekah kemarin? satu hari sebelum kemarin? satu pekan yang lalu? bagaimana dengan hari ini atau besok? kemana sedekah Anda disalurkan? Sekadar merata-rata jawaban yang mungkin keluar dari sederet pertanyaan di atas, pilihan pertama boleh jadi jatuh ke tangan anak-anak yatim, kemudian fakir miskin, janda, dan lansia berada di urutan berikutnya.

Salah satu kelebihan orang-orang yang sering bersedekah terletak pada keikhlasan. Mereka sangat percaya dan tak pernah mempertanyakan kemana dan kepada siapa sedekahnya berlabuh. Terkecuali bagi mereka yang lebih senang menyerahkannya langsung kepada penerima manfaat. Namun bagi para penyedekah yang meletakkan amanahnya di pundak para pengelola sedekah/infak, kepercayaan menjadi dasarnya.
Meski bukan berarti mereka yang tidak menyalurkannya lewat lembaga pengelola sedekah, dianggap tidak percaya kepada berbagai lembaga tersebut. Ini hanya soal `selera` masing-masing individu yang tidak boleh diganggu-gugat dan patut dihormati.

Yang perlu diingat, kepercayaan bukan berarti tak perlu tahu kemana sedekah Anda tersalurkan. Boleh saja setiap individu meminta penjelasan kepada siapa dan untuk apa sedekah yang disalurkannya tertuju. Bukan bermaksud mengabaikan prinsip keikhlasan, namun dalam bersedekah sebaiknya Anda tahu alamat sedekah tertuju. Seperti bunyi hadits di atas, ketika Anda ingin membantu mengatasi kesulitan orang lain, tahukah Anda siapa yang dimaksud orang lain itu? Siapa yang saat ini sedang mengalami kesulitan? mana yang lebih utama untuk diatasi terlebih dulu?

Mari coba kita petakan. Pertama, anak-anak yatim. Jelas mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa mengalami kesulitan selama mereka masih dalam usia berketergantungan dan belum memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri. Mereka adalah titipan Allah kepada hamba lainnya yang mampu dan berkewajiban menafkahi anak-anak yatim. Kedua, fakir miskin. Mereka kaum lemah yang memerlukan uluran tangan, dengan tujuan agar mereka mampu berdiri dan mandiri. Ingat, konsepnya harus memberdayakan bukan membuat mereka terus menerus tidak berdaya. Sehingga bersedekah harus mentargetkan para penerima manfaat pada beberapa jenjang. Dari penerima meningkat menjadi tak lagi membutuhkan bantuan karena sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Tak sampai di situ, harus terus mendapatkan bimbingan agar status mereka juga meningkat menjadi pemberi sedekah. Jika semua penerima sedekah kelak akan menjadi penyedekah, indah nian negeri ini.

Golongan ketiga yang berhak mendapatkan sedekah, yakni para janda dan lansia. Keduanya nyaris memiliki persoalan yang sama, yakni kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi andalannya. Para janda yang kehilangan tulang punggung pencari nafkahnya, perlu mendapatkan bantuan agar ia terbebas dari kesulitan. Konsepnya tetap sama, yakni memberdayakan agar kelak mampu menjadi orang yang mandiri dan bisa menghidupi keluarganya tanpa perlu lagi menunggu bantuan orang lain. Sedangkan para lansia, mereka telah pula kehilangan masa produktifnya. Tenaganya tak lagi seperti dulu untuk bisa mencari rizki sendiri.

Golongan lainnya, adalah mereka yang bukan anak yatim, bukan fakir miskin, bukan pula janda atau lansia, namun tetap membutuhkan bantuan karena tengah mengalami kesulitan. Antara lain, orang-orang yang terlilit hutang dan orang-orang yang terkena musibah/bencana.

Bencana alam kerap terjadi di negeri ini, dan setiap bencana menyisakan kepedihan mendalam bagi para korban. Tak hanya lantaran kehilangan anggota keluarga yang dicintai, tetap status semi permanen yang berubah dalam sekejap. Pengusaha berubah menjadi orang yang tak punya apa-apa, dermawan yang tiba-tiba harus mengemis meminta bantuan, serta orang-orang yang biasa berkecukupan seketika sangat berkekurangan, untuk mendapatkan makan pagi pun menunggu jatah. Kehidupan pun berubah drastis, rumah mewah tersulap menjadi tenda darurat yang harus berbagi tempat dengan ribuan korban lainnya. Sungguh, para korban bencana juga sangat membutuhkan sedekah dari orang-orang yang tak terkena bencana.

Sejatinya mereka bukan orang-orang yang akan menjadi penerima bantuan terus menerus, asalkan sedekah Anda tetap tersalurkan untuk mereka. Selama masih ada orang-orang yang tetap peduli nasib mereka, para korban bencana itu akan segera terbebas dari status penerima bantuan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena, asal mereka adalah orang-orang yang kuat, mandiri, dan bahkan juga para dermawan.

Jika Anda senang bersedekah, dan mengalamatkannya kepada anak-anak yatim, fakir miskin, janda, langsia dan orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan, maka bersedekahlah untuk para korban bencana. Karena di lokasi bencana juga terdapat orang-orang yang Anda cari alamat sedekah Anda. Anak yatim, fakir miskin, janda, lansia, orang-orang kesulitan karena tertimpa musibah, merekalah alamat sedekah Anda. Wallaahu` a`lam



Kerjasama Eramuslim dan Aksi Cepat Tanggap

Rekening :

BSM Warung Buncit No. 0030124084 a.n. Eramuslim - ACT
BCA Megamall Ciputat No. 6760303028 a.n. Aksi Cepat Tanggap - Eramuslim

Jumat, September 22, 2006

Akhir Sebuah Entitas Yang Bernama 'Israel'


Oleh: Abdul Wahhab al-Masiri

COMES: -Pada tanggal 17 Agustus 2006 lalu, saat terjadi perang Arab-'Israel' keenam dan ketika pesawat-pesawat tempur Zionis Israel meluluhlantakkan kota, desa dan infrastruktur Lebanon dengan menumpahkan darah warga sipil tak berdosa, harian 'Israel' Ma'ariv menurunkan sebuah tulisan yang ditulis wartawan Jonathan Shem dengan judul "Tel Aviv didirikan tahun 1909 dan di tahun 2009 akan menjadi puing-puing”.

Dalam tulisan itu disebutkan:"Seratus tahun lalu mereka mendirikan kota pertama Yahudi dan seratus tahun berikutnya, setelah mengurung diri, hilang dari peredaran." Apa yang membawa si penulis tersebut sampai berbicara tentang sebuah akhir, akhir 'Israel'. Padahal kekuatan militer Zionis Israel pada puncaknya, serta dukungan politik, dana dan militer tak terbatas dari AS? Bagaimana mungkin ia bisa menafsiri sikap seperti itu?

Sebagai awal tulisan ini harus kita sebutkan bahwa ada sebuah realita yang nyaris hilang di benak kebanyakan dunia Arab. Yaitu, soal akhir dari 'Israel' itu sudah mengakar dalam diri Zionis Israel. Sampai sebelum berdirinya entitas Zionis Israel itu sendiri, mayoritas kaum Zionis tahu bahwa rencana Zionisme adalah sebuah rencana yang mustahil dan mimpi kaum Zionis itu akan menjadi sebuah halayan belaka.

Pascaberdirinya entitas Zionis Israel dan para pemukim Yahudi mewujudkan 'kemenangan' atas militer Arab, mulai nyaring suara-suara akan berakhirnya entitas tersebut.

Di tahun 1954, Menteri Pertahanan dan Luar Negeri 'Isael' saat itu, Moshe Dayan, dihadapan jenazah temannya yang dibunuh oleh para pasukan berani mati Palestina mengatakan;"Kita harus siap dan bersenjata, kita harus kuat dan perkasa, agar jangan sampai pedang ini terlepas dari genggaman kita dan dunia akan berakhir."

Berakhir, adalah sebuah kata yang terpatri dalam benak mereka. Para korban yang mereka usir dari tanah air dan tempat tinggalnya, bersama-sama para keturunannya berubah menjadi pasukan berani mati yang mengetok pintu meminta tanah yang telah dirampas para penjajah tersebut.

Oleh karena itu, seorang penyair 'Israel' Chaem Gory memandang bahwa setiap orang 'Israel' dilahirkan "dan di dalamnya ada pisau yang akan menyembelihnya", "Tanah ini (yaitu 'Israel') tak habis-habisnya", selalu meminta tambahan tempat penggalian dan peti-peti mayat. Pada setiap kelahiran pasti ada kematian, dan setiap permulaan pasti ada akhirnya.

Sebuah cerita berjudul "Dalam menghadapi hutan" yang ditulis cerpenis 'Israel' Abraham Yahusha di pertengahan awal di tahun 60-an menceritakan tentang kejiwaan seorang pelajar 'Israel' yang ditugasi menunggu hutan yang diurus oleh Dana Moneter Nasional Yahudi di sebuah wilayah desa milik Arab yang disikat habis oleh orang-orang Yahudi Zionis bersama desa dan kota-kota lainnya.

Walau si penjaga hutan ini selalu bersenandung tentang persatuan, ia selalu menghadapi seorang Arab tua bisu salah seorang penduduk desa, bersama puterinya sedang merawat hutan. Lalu tumbuhlah hubungan cinta dan benci antara seorang Arab ini dengan orang 'Israel'. Si 'Israel' ini takut upaya balas dendam dari orang Arab yang menderita bersama keluarganya akibat pembersihan etnis yang dilakukan oleh Zionis Israel pada tahun 1948.

Akan tetapi walaupun dalam kondisi seperti itu, si penjaga hutan menemukan dirinya serba salah. Bahkan tanpa disadari, ia membantu orang tua itu menyalakan api di hutan tersebut.

Pada akhirnya, saat orang tua Arab itu berhasil menyalakan api di hutan, si penjaga melepaskan segala perasaan kejiwaannya dan merasakan ketenangan yang aneh setelah hutan itu ludes dibakar api. Yaitu, setelah akhir perjalanan 'Israel'!

Dalam pertemuan tertutup di Pusat Kajian Politik dan Strategi di Harian Al-Ahram, Mesir, seorang jendral Perancis, Andre Bauver, yang pernah memimpin pasukan Perancis dalam perang Segitiga melawan Mesir di tahun 1956, memberitahukan kepada kami sebuah peristiwa aneh. Dan itu ia saksikan sendiri.

Di akhir tahun 1967, ia pernah bertemu dengan Isaac Rabin, atau tepatnya beberapa hari usai perang enam hari melawan pasukan Arab. Ketika keduanya terbang di atas udara Gurun Sinai saat pasukan Zionis Israel pulang ke ‘negara’ nya dengan membawa kemenangan telak. Jendral Bauver menyampaikan ucapan selamat kepada Rabin atas kemenangan militernya. Namun ia terkejut saat Rabin mengatakan;”Tapi apakah ini semua akan kekal?” Ketika di puncak, sang jendral itu tahu tentang keniscayaan sebuah akhir perjalanan negara Yahudi itu.

Masalah akhir dari Zionis Israel ini, banyak yang tidak senang membahasnya di ‘Israel’. Namun hal ini terus memusingkan mereka saat terjadi krisis. Contoh saja, di saat terjadi Intifadhah tahun 1987, ketika konsensus Zionis tentang permukiman mulai berguguran, juru bicara pemukim Yahudi, Israel Harel mengingatkan bahwa jika nanti terjadi bentuk penarikan atau kompromi apapun (maksudnya penarikan pasukan sepihak). Maka itu tidak hanya berhenti di garis hijau (perbatasan 1948), sebab akan ada kemunduran spiritual yang akan bisa mengancam keberadaan negara itu sendiri (Jerusalem Post, 30 Januari 1988).

Ketua Majelis Regional Samera, Sharon (dalam perdebatan dengannya), “Jalan diplomasi ini adalah akhir dari permukiman Yahudi, itulah akhir dari ‘Israel’” (Ha’aretz 17 Januari 2002). Bahkan para pemukim Yahudi mengeluh-eluhkan bahwa penarikan dari Nablus itu berarti penarikan dari Tel Aviv.

Bersamaan dengan munculnya Intifadhah Al-Aqsha (Intifadhah jilid II) beberapa koran ‘Israel’ sering membahas soal akhir dari entitas Zionis Israel. Salah satunya, Yediot Aharonot (27/1/2002) menurunkan tulisan berjudul “Mereka membeli vila-vila di luar untuk antisipasi datangnya hari yang hitam”. Di hari dimana orang-orang ‘Israel’ itu tidak senang untuk memikirkannya, yaitu berakhirnya entitas Zionis Israel!

Tema itu juga muncul di dalam tulisan Ya’el Bazmelmad (Ma’ariv, 27/12/2001) yang memulai tulisannya dengan mengatakan;”Saya selalu berusaha untuk menjauhkan ide yang cukup merisaukan ini, namun selalu berada di benakku saat aku berpikir. Apakah akhir dari negara (‘Israel’) ini sama seperti berakhirnya gerakan permukiman?”

Gid’aun Eist meringkas sikap ini dengan ungkapannya, “Menangislah wahai ‘Israel’ (Yediot Aharonot, 29/1/2002).

Bahkan majalah Newsweek (2/4/2002) menurunkan edisinya dengan cover majalah bergambar bintang ‘Israel’ dan didalamnya ada sebuah pertanyaan berikut;”Masa depan ‘Israel’; bagaimana caranya bisa tetap kekal?” Untuk mempertegas maksud dari cover itu, majalah tersebut menuliskan; “Apakah negara Yahudi itu akan masih bisa hidup? Dengan jaminan apa? Dengan identitas apa?”

Tapi yang terpenting lagi adalah apa yang ditulis penulis ‘Israel’, Amos Allon yang mengatakan bahwa ia menegaskan di saat terjadi rasa pesimis khawatir kalau nanti sudah tidak ada lagi.” “Sudah saya katakan kepada Anda bahwa apa yang saya khawatirkan itu hanyalah separuhnya saja.” (yang separuhnya lagi bahwa masa itu benar-benar hilang).

Pembicaraan tentang berakhirnya riwayat entitas Zionis Israel, sering dibahas dalam tulisan Eitan Haber dengan judul “Malam bahagia wahai sang pesimis… dan duka menyelimuti ‘Israel’” (Yediot Aharonot, 11/11/2001). Penulis itu mengisyaratkan bahwa militer AS bersenjatakan peralatan militer yang modern. Namun semua masih ingat gambar atau foto heli-heli tempur AS terbang mengitari di udara kedubes AS di Saigon dalam upaya mengevakuasi orang AS dan para anteknya dalam suasana yang sangat mencekam, sampai matipun sudah terbayang. Pesawat helikopter adalah simbol kekalahan, penyerahan dan kabur dari musuh di saat yang tepat.

Kemudian sang penulis melanjutkan tulisannya dengan mengatakan;”Tentara invanteri di Vietnam Utara berhasil menghancurkan orang-orang bersenjata dengan persenjataan modern. Rahasianya adalah pada ruh (jiwa) yang mendorong para pejuang dan pemimpinnya itu untuk menang. Ruh disini artinya spiritual, kegigihan dan kesadaran akan kebenaran konsep serta perasaan akan tidak adanya pilihan yang lain. Dan ini yang tidak dimiliki oleh ‘Israel’ yang sekarang sedang dirundung duka.”

Penulis lain, Abraham Bourg dalam tulisannya (Yediot Aharonot, 29/8/2003) mengatakan bahwa “Akhir dari rencana Zionisme internasional sudah diambang pintu kegagalan. Di sana ada fenomena riil bahwa generasi kita ini adalah generasi terakhir dari Zionisme.”

Mungkin masih ada yang namanya negara Yahudi, tapi akan sangat berbeda sekali, aneh dan jelek. Karena negara ini kehilangan rasa keadilan yang mungkin bisa melanggengkannya. Bangunan struktural Zionisme internasional sudah mulai retak. Sama seperti tempat-tempat resepsi murah yang ada di Al-Quds (Jerusalem). Dimana sejumlah orang gila sedang asyik berdansa di lantai atas, sementara tiang-tiang di lantai bawah mulai goyah.”

Dengan tema yang baru, dalam tulisan Liron London (Yediot Aharonot, 27/11/2003) berjudul “Tanda-tanda kiamat sudah mulai dekat kepada negara ‘Israel’”. Dalam tulisan itu menyebutkan; “Dalam konferensi imunitas sosial yang dilaksanakan pada pekan ini, diketahui bahwa mayoritas orang ‘Israel’ mengeluhkan jika nantinya negara ini (‘Israel’) akan eksis setelah 30 tahun kemudian. Data yang menggegerkan ini menunjukkan bahwa tanda-tanda akhir zaman semakin dekat.

Saat Mahkamah Internasional memutuskan soal pembangunan tembok ‘rasis’ pemisah dan menyatakan illegal, maka mulailah awal dari akhir negara Yahudi itu dibicarakan.

Tentu sebuah pertanyaan dengan sendirinya akan muncul; kenapa bisa ada berita tentang akhir dari riwayat Zionisme yang mengusir orang-orang ‘Israel’ itu? Kita akan mendapatkan banyak penyebabnya. Tapi yang paling urgen adalah para pemukim Yahudi itu tahu bahwa disana ada sebuah hukum sosial yang berlaku pada semua kekuatan penjajah. Yaitu bahwa semua penjajah yang memberangus penduduk asli (seperti di Amerika Utara dan Australia) akan diberikan kekekalan. Sedangkan yang gagal memberangus penduduk asli (seperti kerajaan Inggris yang dikenal dengan pasukan Salib, Aljazair dan Afrika Selatan) akan berujung kepada kemusnahan.

Sementara para pemukim Yahudi sendiri tahu dengan baik bahwa penjajahannya di Palestina ini adalah model yang nomer dua (yang pasti musnah) dan tidak ada pengecualian dalam hukum itu. Orang-orang Zionis Israel tahu bahwa dirinya hidup di atas tanah yang pernah disinggahi kerajaan Inggris, yang berakhir pada kemusnahan.

Dan yang lebih mempertegas lagi adalah eksistensi Barat dan Zionis. Pada awalnya bersatu dengan rencana salibis dan rencana Zionis lalu saling bergandengan tangan. Floyd George, PM Inggris yang berkuasa saat keluarnya Deklarasi Balfour, secara tegas menyatakan bahwa Jendral Allenby yang memimpin pasukan Inggris menduduki Palestina, pada akhirnya berhasil memperoleh kemengan dengan kampanye salibisnya.

Atau bisa kita katakan bahwa rencana Zionisme adalah rencana Inggris itu sendiri setelah menjadi sekuler dan setelah SDM Yahudi dipermak, dinormalisasi dan disekulerasisi menggantikan SDM Kristen.

Oleh karena itu, para ilmuwan ‘Israel’ sedang mempelajari pilar-pilar SDM, ekonomi dan militer bagi entitas Inggris serta hubungan antara eksistensi ini dengan negeri yang didudukinya. Banyak peneliti Zionis Israel yang konses meneliti tentang problematika permukiman dan imigran yang dihadapi oleh entitas Inggris, serta mencoba memahami tentang faktor-faktor kegagalannya.

Kepeduliaan atau keseriusan ini tidak hanya pada kalangan akademisi saja. Para politisi pun, seperti Isaac Rabin dan Moshe Dayan juga konsen dengan masalah permukiman dan imigran. Pada bulan September 1970 Isaac Rabin mencoba melakukan perbandingan antara kerajaan Inggris dan ‘negara’ Zionis, dimana ia sampai pada satu kesimpulan bahwa bahaya utama yang mengancam ‘Israel’ adalah pembekuan imigran. Hal ini, menurut Rabin, yang akan menyebabkan matinya negara karena kurangnya pasokan darah segar dan baru didalamnya.

Seorang penulis ‘Israel’ lainnya, Jury Avnery dan mantan anggota parlemen ‘Israel’ Knesset adalah salah satu pemukim Yahudi yang tahu sejak awal akan gagalnya rencana Zionis dan mimpi mereka tersebut.

Oleh karena itu, sejak tahun 50-an majalah Haolam Hezza (Dunia Ini) diluncurkan oleh Avenry yang khusus melakukan kritik kepada politik dan kebijakan Zionis Israel. Sebelumnya juga, Avenry mengingatkan akan akhir kerajaan Inggris yang tidak menyisakan selain sejumlah kerusakan.

Avenry juga menerbitkan sebuah buku berjudul “Israel Tanpa Zionisme” (1968) didalamnya dilakukan perbandingan mendalam antara kerajaan Inggris dan negara Zionis Israel. Menurut perbandingan itu, ‘Israel’ seperti kerajaan Inggris yang dikepung secara militer karena tidak mempedulikan akan eksistensi Palestina dan menolak pengakuan bahwa ‘tanah yang dijanjikan’ itu sudah ditempati oleh bangsa Arab sejak ratusan tahun yang lalu.

Pada tahun 1983, Avenry kembali kepada tema yang sama, setelah perang Zionis Israel atas Lebanon. Dalam makalah di majalah Haolam Hezza dengan judul “Apa yang akan terjadi di akhir nanti?”, Avenry mengisyaratkan bahwa kerajaan Inggris menjajah tanah di atas bumi yang lebih luas dari tanah yang dijajah oleh negara Zionis Israel. Orang-orang Inggris itu mampu di segala hal kecuali hidup dalam perdamaian, karena solusi moderat dan hidup berdampingan secara damai merupakan keanehan pada pembentukan utama bagi gerakan Zionisme ini.

Ketika generasi baru meminta perdamaian maka semua upaya hilang secara cuma-cuma bersamaan dengan datangnya aliran baru dari para pemukim Yahudi. Hal ini menunjukkan betapa kerajaan Inggris tidak pernah menghilangkan watak kepemilikannya kepada permukiman.

Sampai pada lembaga militer dan ekonomi Inggris yang memainkan peran secara aktif dalam upaya menggulung upaya perdamaian, upaya ekspansi Inggris terus berlangsung selama satu generasi hingga dua generasi. Lalu kondisi galau meliputi mereka dan ketegangan antar Kristen Inggris di satu sisi dan para kader kelompok Kristen Timur di pihak lain. Hal inilah yang menyebabkan lemahnya masyarakat permukiman Inggris dan lemahnya dukungan dana serta SDM dari Barat.

Pada saat yang sama, gelombang baru Islam mulai menggeliat dengan munculnya gerakan menekan kepada kerajaan Inggris. Umat Islam menemukan jalan-jalan perdagangan alternatif yang menggantikan jalan-jalan yang biasa dijadikan singgahan Inggris. Setelah generasi pertama pemimpin kerajaan Inggris meninggal dunia, mereka digantikan oleh generasi yang lemah. Sedangkan umat Islam disirami oleh darah baru dari para pemimpin agung, mulai dari Sholahuddin Al-Ayyubi hingga Zaher Pebras. Perimbangan kekuatan sekarang berpihak kepada kekuatan selain Inggris. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa menghentikan kekalahan yang dialami oleh kerajaan salib tersebut!

Hari ini, berita akan berakhirnya riwayat Zionis Israel kembali bergaung setelah perang keenam usai dan kehebatan perlawanan bangsa Lebanon menghadapi kebrutalan Zionis Israel.

Orang-orang Zionis Israel tahu batas kekuatannya dan mereka akan terus menuju kepada akhir riwayatnya. Sama seperti yang disampaikan oleh budayawan ‘Israel’ Shalomo Raikh “’Israel’ akan menelan kekalahan demi kekalahan hingga sampai kepada akhir riwayatnya yang pasti datang”.

Kemenangan-kemenangan militer itu tidak bisa mewujudkan apa-apa. Karena perlawanan jihad terus berlangsung yang akhirnya berakibat kepada apa yang disebut oleh sejarawan ‘Israel’ Jacob Talmun “Kemenangan yang mandul”. Wallahu a’alam bisshawab (Aljazeera.net/AMRais)

Jelang Ramadhan

Oleh Seriyawati


Persiapan menyambut tamu agung bulan suci Ramadhan sudah dimulai sejak bulan Sya'ban atau bulan Rajab. Malah para sahabat Rasulullah melakukan persiapan menjelang Ramadhan setengah tahun sebelumnya.

Di milis-milis yang saya ikuti pun banyak berseliweran email-email tentang Ramadhan. Kami saling unjuk kegembiraan dalam menyambut bulan yang dinanti-nantikan itu. Ramadhan, bulan yang penuh rahmat, ampunan lagi penuh kebahagiaan. Ganjaran pahala yang berlipat ganda diberikan kepada orang-orang yang beramal saleh.

Bulan Sya'ban adalah bulan di mana orang-orang sibuk. Sibuk memperbanyak amalan, membenahi diri, sibuk membenahi rumah lalu sibuk mempersiapkan mudik. Ada kesibukan lain lagi, yaitu membayar puasa (qadha) yang belum dilakukan dan memperbanyak puasa sunat.

Anas Bin Malik ra. berkata,' 'Ketika kaum Muslimin memasuki bulan Sya'ban, mereka sibuk membaca Alquran dan mengeluarkan zakat mal untuk membantu fakir miskin yang berpuasa.''

Selama 6 tahun tinggal di Jepang, baru sekali saya dan anak-anak merasakan berpuasa dan berlebaran di tanah air. Selebihnya puasa Ramadhan kami lalui di negeri yang minoritas pemeluk agama Islamnya. Sepi. Sedih dan sendiri. Perasaan itulah yang dominan mewarnai hari-hari pertama berpuasa. Tak ada suara bedug atau adzan Maghrib pertanda saat berbuka. Tak ada suara ramai anak-anak pergi sholat tarawih ke masjid. Apalagi lomba adzan anak-anak, belum ada. Riuh pikuk anak-anak, remaja putri dan ibu-ibu yang memakai mukena, tak ada. Hanya terlihat hilir mudik orang Jepang yang bergegas pulang atau pergi.

Menjelang bulan suci Ramadhan, banyak persiapan yang ingin dilakukan. Kesiapan fisik dan mental dicanangkan, amalan-amalan sunat pun dimemokan, surat-surat Al-Quran yang ingin dihapal pun dituliskan. Selain itu membenahi hapalan surat-surat pendek Al-Quran dan sibuk menuliskannya ke huruf Hiragana, agar anak-anak saya mudah menghapalkannya.

Menjauhkan mata dari pandangan yang diharamkan Allah, menyiapkannya untuk mencermati ayat-ayat Al-Quran.
Menyiapkan telinga untuk mendengarkan murottal Qur'an, untaian merdu ayat-ayat Allah dilantunkan dan menjauhkan telinga dari yang tak layak didengar.

Menyiapkan mulut untuk membaca Al-Quran dan berdzikir serta menjauhi dari berkata-kata tak bermanfaat apalagi membicarakan tentang orang lain, yang dengan itu tidak disukainya.
Menjaga tangan, kaki dan anggota badan agar terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah. Mempersiapkannya supaya tetap sehat dan kuat untuk melakukan ibadah sholat malam.

Menjauhkan hati dari pikiran-pikiran kotor dan prasangka buruk. Memenuhi hati dengan mengingat-NYA, merindukan-NYA dan harapan berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Janji Allah kepada orang-orang yang berpuasa adalah mereka akan bertemu dengan-Nya untuk menerima balasan puasanya itu. Dan janji Allah adalah pasti.

***

Di bulan Ramadhan amalan sunnah dihitung sebagai amalan fardhu, dan amalan fardhu diberi ganjaran 70 kali lipat. Puasa fiisabilillah akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun.
Puasa Ramadhan akan memberi syafaat di yaumil akhir. Terbukanya pintu surga Ar-Rayyan bagi orang-orang yang berpuasa. Juga menghapus dosa-dosa yang lalu.

"Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain," sabda Rasulullah. Siapa yang tak tergiur dengan balasan sebesar itu?

Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib karomallahu wajhah berdiri dan berkata, "Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama pada bulan ini?" "Ya Abul Hasan, amal yang paling utama pada bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah Azza wa Jalla," jawab Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam. (HR Ibnu Khuzaiman, Ibnu Hibban dan Baihaqi).

Jelang Ramadhan dengan mengoptimalkan upaya, memotivasi diri melakukan banyak amalan-amalan selama bulan Ramadhan, yang penuh dengan kebaikan.

Menjelang bulan suci penuh berkah dan rahmat, kita ingin berada dalam keadaan hati yang jernih, ikhlas, lapang dan tenang.
Semoga kita jelang Ramadhan dengan kesiapan fisik yang kuat dan hati yang ikhlas, dan mendapatkan malam Lailatur Qadar, amiin.

Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin.

Wallahu'alam bisshowab.

Nagoya, Sept 2006 seri27@bintang7.net

Ziarah Kubur sebelum Puasa Ramadhan


Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh

Ustaz, ma'af, saya langsung ke inti pertanyaan. Kapankah batasan waktu dan jam atau hari-hari yang baik yang dianjurkan untuk kita berziarah kubur seandainya misal 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu tgl 23 September 2006?

Ada berbagai pendapat yang saya terima dan sepertinya saya belum puas sebelum Ustaz menjelaskannya berikut jika ada hadits-hadits pendukung tentang hal ini, juga pendapat masing-masing Imam Mazhab.

Billahi sabililhaq

Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh,

Jhoni Wisma Wansyah
jwansyah at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sayang sekali ternyata kami tidak menemukan dalil yang menganjurkan waktu yang paling baik untuk berziarah kubur. Apalagi jika dikaitkan dengan kedatangan bulan Ramadhan. Yang ada hanyalah anjuran untuk berziarah kubur, karena mengingatkan kita kepada kematian. Tapi waktunya tidak pernah ditentukan. Jadi boleh kapan saja, tidak harus menjelang masuknya bulan Ramadhan.

Adapun kebiasaan yang sering kita saksikan di tengah masyarakat untuk berziarah kubur menjelang datangnya Ramadhan, kami yakin bahwa mereka melakukannya tanpa punya dalil yang eksplisit dari nabi SAW. Dalil yang mereka gunakan hanyalah dalil umum tentang anjuran berziarah kubur. Sedangkan dalil yang mengkhususkan ziarah kubur menjelang Ramadhan, paling tinggi hanya sekedar ijtihad. Itu pun masih sangat mungkin disanggah.

Beliau SAW tidak pernah menganjurkan secara tegas bahwa bila Ramadhan menjelang, silahkan kalian berziarah ke kuburan-kuburan. Atau kalau ke kuburan jangan lupa pakai pakaian hitam-hitam, dan juga jangan lupa bawa kembang buat ditaburkan. Sama sekali tidak ada nashnya, baik di Al-Quran maupun di Sunnah nabi-Nya.

Dan memang semua fenomena itu terjadi begitu saja, tanpa ada ulama yang memberian arahan dan penjelasan. Padahal masyarakat kita ini terkenal sangat agamis dan punya semangat besar untuk menjalankan agama. Sayangnya, mereka tidak punya akses untuk bertanya kepada para ulama syariah yang ahli di bidangnya.

Yang tersedia hanya para penceramah, da'i, atau ahli pidato yang digelembungkan namanya lewat media massa, sehingga sangat tenar bahkan masuk ke wilayah selebriti, tetapi sayangnya mereka kurang punya perhatian dalam masalah hukum Islam, apalagi sampai kepada kritik sanad hadits-hadits nabawi.

Ini perlu dipikirkan agar jangan sampai kejahilan di tengah umat ini terus-menerus terjadi, bahkan menjadi tradisi. Sudah waktunya bila umat ini punya akses kuat kepada para ulama ahli syariat, untuk meluruskan kembali kehidupan mereka sesuai dengan syariat Islam yang lurus. Jauh dari pola ikut-ikutan tanpa manhaj yang benar.

Namun sekedar mencaci dan mengumpat atau menuduh bahwa mereka itu ahli bid'ah, atau jahiliyah, atau tidak sejalan dengan manhaj ahli sunnah, tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan dalam banyak kasus, malah akan menimbulkan masalah.

Kita berharap proses pencerahan umat untuk mengenal syariah ini tidak terkotori dengan adab yang buruk, atau dengan sikap arogan, yang hanya akan membuat objek dakwah kita semakin menjauh. Yang dibutuhkan adalah pemberian pemahaman secara simpatik, cerdas, dan tetap menghargai serta tidak mempermalukan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Bercampur Mazhab


Assalamualaikum, pak ustaz.

Saya ingin bertanya 2 soalan kepada ustaz,

1) Adakah diharuskan mencampur mazhab sebagaimana dilakukan sebahagian orang kerana ada ustaz mengatakan ianya haram?

2) Bagaimana jika kita tidak ikut mana mana mazhab dan hanya mengikut hadis yang sohih sebagaimana dilakukan oleh Imam Bukhari? Ibnu Qayyim al-Jauzi juga ada menulis banyak keburukan jika meninggalkan hadis dan hanya ikut mazhab kerana ada juga fatwa imam Syafie yang bercanggah dengan hadis sohih dan yang mana perlu didahulukan, ajaran mazhab atau hadis sohih?

Salafi

Jawaban

Assalamu 'aaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seringkali orang salah persepsi dalam memandang mazhab fiqih. Seolah mazhab-mazhab itu pecahan umat untuk saling bertentangan dalam segala hal.

Padahal sesungguhnya munculnya mazhab itu boleh dibilang justru sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami nash-nash syariah. Sebab tidak semua orang mampu menarik kesimpulan hukum. Tidak semua orang mampu untuk berijtihad sesuai dengan kaidahnya.

Bukhori Bermazhab Juga

Jangan dikira bahwa mazhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermazhab. Di dalam kitab Al-Imam Asy-Syafi'i bainal mazhabaihil Qadim wal Jadid, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab Syafi'i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.

Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam menyeleksi hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistimbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid mutlak. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam mazhab Syafi'i. Dengan demikian beliau adalah salah satu ulama besar yang bermazhab, yaitu mazhab Syafi'i.

Ada juga di antara murid mazhab As-Syafi'i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istimbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri mazhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi'i mengetahui muridnya mendirikan mazhab sendiri? Beliau berkomentar, "Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal."

Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya 6.000-an ayat Quran plus 5.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja mudah sekali buat setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah bahwa bahwa nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi? Apakah hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu saja tidak, sebab imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam kitab shahihnya harus ditolak.

Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah hukum agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya.

Mengapa harus demikian?

Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya. Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa?

Tentu perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan khusus dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah hukukmnya halal atau haram.

Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?

Jawabnya, para ulama mazhab-mazhab itulah yang telah berjasa besar untuk melakukan 'mega proyek' itu. Dan mereka -alhamdulillah- adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlas, karena tidak pernah minta bayaran.

Masa perkembangan mazhab-mazhab besar dunia fiqih dimulai pada kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi SAW, yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam Mazhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Mereka semua adalah guru dari umat Islam, karena merekalah yang telah berjasa melakukan isitmbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah,sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci, lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.

Bahkan mereka telah meletakkan dasar-dasar istimbath hukum, yang kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang mampu melakukan istimbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah satu metode yang telah mereka rintis.

Karena itulah keempat mazhab mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.

Perbedaan Mazhab

Namun yang menarik, meski masing-masing punya metode istimbath hukum yang terkadang berbeda, tetapi sebenarnya hubungan anterpersonal di antara mereka sangat dekat. Jauh dari gambaran sekte-sekte agama Kristen yang justru saling berbunuhan. Mereka justru saling berguru dan saling membangkan guru dan muridnya. Dan yang terpenting, tidak ada satu pun yang melecehkan pendapat guru ata muridnya. Semua sangat menghormati bukan sekedar basa-basi, tapi langsung dari hati.

Adapun perbedaan pendapat di antara mereka memang sangat mungkin terjadi. Bukankah dahulu di masa nabi SAW sekalipun, seringkali para shahabat saling berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum. Kurang apa shalihnya para shahabat itu? Tapi urusan berpendapat dalam masalah ijtihad, seorang Umar ra bisa saja tidak sependapat dengan ijtihad nabi Muhammad SAW, kecuali bila wahy yang turun.

Bahkan para nabi utusan Allah, tidak luput dari perbedaan pandangan dalam masalah hukum. Mereka acap kali punya sudut pandang yang brbeda, meski sama-sama menerima wahyu dari Allah.

Termasuk juga para malaikat yang maksum itu, banyak diriwayatkan mereka pun suka berbeda pendapat. Misalnya dalam kasus masuk surganya seorang penjahat yang telah membunuh 100 nyawa. Malaikat Rahman ingin membawanya ke surga, tapi malaikat azab ingin membawanya ke neraka. Malaikat pun bisa berbeda pendapat sesama mereka.

Maka kalau para shahabat mungkin berbeda pendapat, para nabi sering berbeda pendapat, bahkan para malaikat dimungkinkan berbeda pendapat, sangat manusiawi bila para imam mazhab masing-masing punya keistimewaan khas dalam menarik kesimpulan hukum atas jutaan butir nash-nash syariah.

Semua sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan para imam itu, termasuk sosio-kultural mereka, kebiasaan, ketersediaan bahan baku, bahkan hasil-hasil temuan di bidang iptek.

Tidak Ada yang Paling Shohih

Mungkin akan muncul pertanyaan, kalau mazhab-mazhab itu ada dan diakui keberadaannya, lalu manakah yang paling shahih?

Jawabnya kesemuanya shahih, dalam arti kesemuanya merupakan hasil-hasil ijtihad luar biasa para ulama, yang sudah dijamin keabasahannya. Boleh dibilang kesemuanya shohih dan kesemuanya benar. Siapa pun muslim berhak bermazhab dengan salah satu dari mazhab itu, atau mengambil satu pendapat dari sekian banyak pendapat dari masing-masing mazhab.

Kita ibarat masuk ke sebuah Hypermarket raksasa, di mana di dalamnya dipenuhi dengan beragam barang kebutuhan yang tentunya sudah diseleksi. Ada berbagai macam barang dengan berbagai macam merek dan vendor yang tersedia. Tentu saja semua sudah lulus seleksi dan uji coba. Masing-masing tentu dengan ciri dan keistimewaan masing-masing. Tinggal selera kita saja yang menentukannya. Dan tidak perlu kita memaksakan selera pribadi kepada orang lain. Sebab lidah tiap orang tidak sama, demikian juga kebutuhan masing-masing juga tidak sama.

Tapi bagaimana kalau ada mazhab yang kurang shahih atau malah sesat?

Tentu saja secara alami akan tersingkir dari panggung sejarah. Dahulu sebenarnya bukan hanya ada 4 mazhab itu saja, tapi puluhan bahkan lebih banyak lagi. Tapi secara seleksi alam, yang berhasil bertahan hanya 4 mazhab itu saja.

Kalau kita ibaratkan dengan hypermarket tadi, kira-kira konsumen sudah tahu mana produk yang berkualitas dan mana yang hanya 'ecek-ecek' saja. Segera barang yang kurang berkualitas akan tidak laku di pasaran dan akhirnya tidak diproduksi lagi.

Tapi Bolehkah Kita Gonta-ganti Mazhab Atau Mengambil Pendapat Secara Acak?

Sebenarnya Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan kepada kita bahwa kalau sudah bertanya kepada si A, maka jangan lagi bertanya kepada si B. Perintah beliau adalah bertanyalah kepada orang yang sesuai dengan keahliannya. Meski orang itu ada banyak, tidak jadi soal. Bahkan semakin banyak alternatif jawabannya, semakin baik. Karena kita bisa melakukan perbandingan atas semua jawaban itu.

Dengan logika hypermart di atas, sangat dibolehkan kita membeli barang dari produsen yang berbeda, yang penting sesuai dengan kebutuhan kita. Tidak ada kewajiban untuk hanya membeli dari satu produsen saja.

Meski juga tidak ada larangan bisa seseorang merasa cocok dengan satu merek dan tidak mau menggantinya dengan merek lain. Maka mulai dari pakaian, kendaraan, makanan, termasuk alat elektronik miliknya, berasal dari satu produsen yang sama.

Maka Islam membolehkan seseorang berpegang pada satu mazhab saja, kalau memang dia rela dan menginginkannya. Tapi jangan sampai selera pribadinya itu dipaksakan kepada orang lain.

Bukankah perbedaan mazhab ini sering jadi faktor pemicu perpecahan?

Alih-alih meributkan perbedaan pandangan antar mazhab, kita justru sangat berbahagia dan sangat diuntungkan dengan adanya perbedaan pandangan dari berbagai mazhab.

Sebab dunia Islam itu sangat luas, membentang dari ujung barat Maroko sampai ujung Timur Marauke, pastilah muncul berbagai macam perbedaan keadaan masyarakat. Dan semua itu pasti membutuhkan jawaban syariah yang tepat.

Dengan kekayaan khazanah intelektual warisan dari para pendiri mazhab itu, kita dengan mudah bisa menyelesaikan banyak persoalan. Kesemuanya sah dan benar, tinggal menyesaikannya dengan beragam tipe masalah.

Hanya mereka yang terlalu awam dan kurang punya wawasan yang baik, yang mau-maunya berantem dengan sesama muslim hanya lantaran perbedaan mazhab. Memang sangat kita sayangkan masih adanya kalangan yang demikian. Misalnya, begitu dia melihat saudaranya shalat tidak sama dengan cara shalatnya, langsung dicaci dan dimakinya, bahkan tudingan ahli bid'ah pun bertubi-tubi dilontarkan kepadanya. Padahal ilmu yang dimiliki hanya terbatas pada satu dua rujukan saja, namun lagak dan gayanya seperti mufti kerajaan. Nauzu billahi min zalik.

Padahal meski seandainya di dunia ini hanya ada satu sumber nash syariah saja, misalnya hanya ada Al-Quran saja, pastilah umat Islam tetap berbeda pendapat dalam menarik kesimpulan hukum.

Padahal kita punya jutaan sumber nash syariah, dengan beragam kemungkinan nilai derajat keshahihannya, dengan beragama esensi kandungan materinya, dengan beragam redaksinya, semuanya hanya akan sampai kepada satu titik, yaitu perbedaan pendapat.

Kalau setiap perbedaan pendapat harus ditanggapi dengan cacian, makian, tuduhan ahli bid'ah dan seterusnya, ketahuilah bahwa semua itu justru mencerminkan kedangkalan ilmu para pelakunya. Sama sekali tidak menggambarkan keulamaannya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Al-Quran Terkena Najis


Assalamu' alaykum wr. wb.

Ustad Ahmad Sarwat yang insya Allah dirahmati Allah SWT.

Ustadz, kami memiliki putri yang saat ini berusia 1 tahun, saat ini putri kami Alhamdulillah telah mampu berjalan sendiri, dan mulai mengambil barang-barang yang berada di dekatnya.

Dan kebetulan putri kami suka mengambil Al-Quran (mushaf ) dan membuka-bukanya, karena berharap agar dia mencintai Al-Quran besar nanti kami membiarkan putri kami membuka-bukanya. Tetapi pernah suatu ketika tanpa kami sadari dia pipis dan membasahi al-Quran yang dipegangnya.

Bagaimana hukumnya jika Al-Quran terkena najis dan apa yang harus dilakukan jika terkena najis? Saya waktu itu hanya mengelap dan mengeringkan Al-Quran tersebut.

Mohon penjelasan ustadz mengenai hal ini.

Wasalamu' alaykum wr. wb.

Abu Izzah
iwibisana at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Meski niatnya baik, tetapi kalau boleh kami berpendapat, sebaiknya kita tidak memberikan anak umur 1 tahun 'mainan' berupa mushaf Al-Quran. Sebab mushaf Al-Quran adalah benda yang suci dan mulia. Kita wajib mensucikannya dan memuliakannya. Bahkan bila ingin menyentuhnya, kita wajib suci dari hadats besar. Malah sebagian ulama mewajibkan harus suci dari hadats kecil.

Sementara kalau kita berikan mushaf suci itu kepada anak-anak, apalagi yang masih berusia 1 tahun, akan sangat besar kemungkinannya mushaf itu malah tidak terhormat. Anak itu mungkin saja merobeknya, atau mengoyaknya, atau bahkan mengunyahnya. Belum lagi kalau dikencinginya seperti yang telah terjadi pada anak anda. Untungnya cuma pipis, bagaimana kalau dia buang air besar?

Maka sebaiknya anda ganti saja mainannya itu dengan barang lain, yang lebih sesuai dengan anak seusianya.

Mungkin logika anda baik dari segi niat. Misalnya, kalau sejak kecil sudah terbiasa bermain dengan mushaf, nanti kalau sudah besar akan mencintai mushaf. Logika ini mungkin saja benar, tetapi bukan berarti kalau tidak begitu nanti kalau besar tidak cinta Quran.

Bukankah para shahabat nabi SAW dahulu tidak pernah diberi mainan mushaf? Bahkan banyak di antara mereka yang masuk Islam setelah dewasa, bahkan sempat jadi musuh Islam terlebih dahulu. Tapi ketika mareka masuk Islam, jadilah mereka para pengawal Al-Quran, di mana hidup mereka bersama bayang-bayang Al-Quran.

Mereka bukan saja cinta mushaf Al-Quran, tetapi menghafal luar kepala seluruh isi mushaf. Mereka pandai membunyikannya dengan benar dan fashih, serta paham betul detail-detail isi Al-Quran. Walau pun masa kecil mereka tidak pernah memain-mainkan mushaf Al-Quran.

Di dalam hadits kita pernah mendengar bahwa Aisyah ra. ketika masih kecil punya mainan. Tapi bukan mushaf Al-Quran. Mainannya sama dengan mainan anak zaman sekarang, yaitu boneka berbentuk kuda. Rasulullah SAW mengetahuinya dan hanya tersenyum saja. Ini menunjukkan bahwa mainan itu tidak harus mushaf, tetapi mainan apa saja yang kira-kira sesuai dengan usia anak itu.

Tapi kalau ingin juga memberi stimulan ke otaknya agar mengenal Al-Quran sejak kecil, mengapa tidak anda bacakan saja sendiri ayat-ayat Al-Quran saat berdua dengannya? Atau ketika menggendongnya, atau menidurkannya?

Boleh juga pakai kaset, meski kalau anda sendiri yang membacanya pasti akan lebih besar manfaatnya.

Mushaf Terkena Najis

Adapun mushaf yang terlanjur kena najis, kalau masih bisa disucikan dengan air lalu dikeringkan, silahkan saja. Tapi kalau sudah tidak mungkin lagi disucikan, maka sebaiknya dimusnahkan saja. Sehingga kita tidak terkategorikan sebagai orang yang menghina mushaf Al-Quran, lantaran membiarkannya dikencingi anak kecil.

Di masa Utsman ra. sebagai khalifah, ketika beliau memusnahkan mushaf yang tidak standar, caranya adalah dengan dibakar. Mungkin cara beliau ra. ini tidak ada salahnya bila anda tiru.

Sebab kalau mushaf itu dibiarkan saja mengandung najis, malah tidak ada gunanya. Sebab siapapun yang memakainya akan terkena najis. Minimal bau najisnya akan sangat mengganggu.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Tetap Syirikkah Orang Kafir setelah Mendapat Hidayah Allah?


Assalammualaikum wr. wb.

Ustadz yang terhormat, Kita tahu bahwasannya ALLAh itu maha pengampun dari setiap dosa hambanya yang mau bertobat-kecuali dosa syirik, yaitu perbuatan yang menyekutukan ALLAH. Bagaimana dengan mereka yang sudah mendapatkan hidayah dari ALLAH kemudian memeluk agama Islam, yang notabene agama mereka itu melakukan penyembahan kepada tuhan selain ALLAH, berarti apakah mereka itu meskipun sudah masuk Islam tetap membawa dosa? Demikian, atas atas terjawabnya pertanyaan ini saya ucapkan terima kasih.

Wassalammualaikum wr. wb.

Jojon

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Jawabnya tentu saja tidak. Sebab orang kafir dan musyrikin Makkah yang kerjanya sehari-hari menyembah 360 berhala di sekeliling Ka'bah, begitu masuk Islam, maka mereka jadi shahabat nabi SAW.

Hanya sedikit dari para shahabat nabi SAW itu yang dulunya bukan penyembah berhala. Tetapi ketika mereka masuk Islam, maka semua dosanya langsung dihapus Allah. Termasuk semua dosa syirik yang pernah dilakukannya.

Bahkan 10 orang shahabat dijamin masuk surga. Juga jaminan kepada para ahli Badar. Juga jaminan kepada shahabat yang ikut dalam Bai'at Aqabah, termasuk jaminan keridhaan Allah SWT kepada seluruh shahabat.

Semua itu menjelaskan bahwa masuk Islamnya seseorang musyrik ke dalam Islam akan menghapus semua dosanya di masa lalu, termasuk dosa syirik.

Lalu bagaimana dengan ayat yang menyebutan bahwa Allah SWT tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa selainnya?

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa': 48)

Penjelasannya, bahwa yang dimaksud dosa syirik tidak diampuni adalah bila dosa syirik itu terbawa mati dan pelakunya belum sempat bertaubat selama di dunia. Dosa selain syirik, apabila terbawa mati, masih bisa ditebus dengan ampunan. Misalnya dengan adanya amal baik. Namun khusus dosa yang dilahirkan dari perbuatan syirik, tidak ada pengampunan di akhirat.

Maka kesempatannya justru ketika di dunia selama masih hidup. Dan ikrar bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah akan menggugurkan dosa-dosa syirik. Ikrar itulah yang diucapkan oleh seorang kafir musyrik ketika masuk Islam. Setelah mengucapkan ikrar itu, resmilah dia menjadi muslim dan otomatis semua dosa syiriknya langsung di-delete all. Maha suci Allah...

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Sedekah Cerdas



Siapa ingin doanya terkabul/dibebaskan dari kesulitan, hendaknya ia membantu/mengatasi kesulitan orang lain (HR. Ahmad).

Kepada siapa Anda memberikan sedekah kemarin? satu hari sebelum kemarin? satu pekan yang lalu? bagaimana dengan hari ini atau besok? kemana sedekah Anda disalurkan? Sekadar merata-rata jawaban yang mungkin keluar dari sederet pertanyaan di atas, pilihan pertama boleh jadi jatuh ke tangan anak-anak yatim, kemudian fakir miskin, janda, dan lansia berada di urutan berikutnya.

Salah satu kelebihan orang-orang yang sering bersedekah terletak pada keikhlasan. Mereka sangat percaya dan tak pernah mempertanyakan kemana dan kepada siapa sedekahnya berlabuh. Terkecuali bagi mereka yang lebih senang menyerahkannya langsung kepada penerima manfaat. Namun bagi para penyedekah yang meletakkan amanahnya di pundak para pengelola sedekah/infak, kepercayaan menjadi dasarnya.
Meski bukan berarti mereka yang tidak menyalurkannya lewat lembaga pengelola sedekah, dianggap tidak percaya kepada berbagai lembaga tersebut. Ini hanya soal `selera` masing-masing individu yang tidak boleh diganggu-gugat dan patut dihormati.

Yang perlu diingat, kepercayaan bukan berarti tak perlu tahu kemana sedekah Anda tersalurkan. Boleh saja setiap individu meminta penjelasan kepada siapa dan untuk apa sedekah yang disalurkannya tertuju. Bukan bermaksud mengabaikan prinsip keikhlasan, namun dalam bersedekah sebaiknya Anda tahu alamat sedekah tertuju. Seperti bunyi hadits di atas, ketika Anda ingin membantu mengatasi kesulitan orang lain, tahukah Anda siapa yang dimaksud orang lain itu? Siapa yang saat ini sedang mengalami kesulitan? mana yang lebih utama untuk diatasi terlebih dulu?

Mari coba kita petakan. Pertama, anak-anak yatim. Jelas mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa mengalami kesulitan selama mereka masih dalam usia berketergantungan dan belum memiliki kemampuan menghidupi diri sendiri. Mereka adalah titipan Allah kepada hamba lainnya yang mampu dan berkewajiban menafkahi anak-anak yatim. Kedua, fakir miskin. Mereka kaum lemah yang memerlukan uluran tangan, dengan tujuan agar mereka mampu berdiri dan mandiri. Ingat, konsepnya harus memberdayakan bukan membuat mereka terus menerus tidak berdaya. Sehingga bersedekah harus mentargetkan para penerima manfaat pada beberapa jenjang. Dari penerima meningkat menjadi tak lagi membutuhkan bantuan karena sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Tak sampai di situ, harus terus mendapatkan bimbingan agar status mereka juga meningkat menjadi pemberi sedekah. Jika semua penerima sedekah kelak akan menjadi penyedekah, indah nian negeri ini.

Golongan ketiga yang berhak mendapatkan sedekah, yakni para janda dan lansia. Keduanya nyaris memiliki persoalan yang sama, yakni kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi andalannya. Para janda yang kehilangan tulang punggung pencari nafkahnya, perlu mendapatkan bantuan agar ia terbebas dari kesulitan. Konsepnya tetap sama, yakni memberdayakan agar kelak mampu menjadi orang yang mandiri dan bisa menghidupi keluarganya tanpa perlu lagi menunggu bantuan orang lain. Sedangkan para lansia, mereka telah pula kehilangan masa produktifnya. Tenaganya tak lagi seperti dulu untuk bisa mencari rizki sendiri.

Golongan lainnya, adalah mereka yang bukan anak yatim, bukan fakir miskin, bukan pula janda atau lansia, namun tetap membutuhkan bantuan karena tengah mengalami kesulitan. Antara lain, orang-orang yang terlilit hutang dan orang-orang yang terkena musibah/bencana.

Bencana alam kerap terjadi di negeri ini, dan setiap bencana menyisakan kepedihan mendalam bagi para korban. Tak hanya lantaran kehilangan anggota keluarga yang dicintai, tetap status semi permanen yang berubah dalam sekejap. Pengusaha berubah menjadi orang yang tak punya apa-apa, dermawan yang tiba-tiba harus mengemis meminta bantuan, serta orang-orang yang biasa berkecukupan seketika sangat berkekurangan, untuk mendapatkan makan pagi pun menunggu jatah. Kehidupan pun berubah drastis, rumah mewah tersulap menjadi tenda darurat yang harus berbagi tempat dengan ribuan korban lainnya. Sungguh, para korban bencana juga sangat membutuhkan sedekah dari orang-orang yang tak terkena bencana.

Sejatinya mereka bukan orang-orang yang akan menjadi penerima bantuan terus menerus, asalkan sedekah Anda tetap tersalurkan untuk mereka. Selama masih ada orang-orang yang tetap peduli nasib mereka, para korban bencana itu akan segera terbebas dari status penerima bantuan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena, asal mereka adalah orang-orang yang kuat, mandiri, dan bahkan juga para dermawan.

Jika Anda senang bersedekah, dan mengalamatkannya kepada anak-anak yatim, fakir miskin, janda, langsia dan orang-orang yang tengah berada dalam kesulitan, maka bersedekahlah untuk para korban bencana. Karena di lokasi bencana juga terdapat orang-orang yang Anda cari alamat sedekah Anda. Anak yatim, fakir miskin, janda, lansia, orang-orang kesulitan karena tertimpa musibah, merekalah alamat sedekah Anda. Wallaahu` a`lam



Kerjasama Eramuslim dan Aksi Cepat Tanggap

Rekening :

BSM Warung Buncit No. 0030124084 a.n. Eramuslim - ACT
BCA Megamall Ciputat No. 6760303028 a.n. Aksi Cepat Tanggap - Eramuslim

Kamis, September 21, 2006

Ada Semangat dalam Ramadhan

Oleh Satria Hadi Lubis

Suatu ketika, seorang alim diundang berburu. Sang alim hanya dipinjami kuda yang lambat oleh tuan rumah. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya. Semua kuda dipacu dengan cepatnya agar segera kembali ke rumah. Tapi kuda sang alim berjalan lambat. Sang alim kemudian melepas bajunya, melipat dan menyimpannya, lalu membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda yang mereka tunggangi lebih cepat.

Dengan perasaan heran, tuan rumah bertanya kepada sang alim, ”Mengapa bajumu tetap kering?” ”Masalahnya kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju,” jawab sang alim ringan sambil berlalu meninggalkan tuan rumah.

Dalam perjalanan hidup, kadangkala kita mengalami kesalahan orientasi (persepsi) seperti tuan rumah dalam cerita di atas. Kita menginginkan sesuatu namun tidak memiliki orientasi seperti yang diinginkan, sehingga akhirnya kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan.

Begitu pula dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Banyak orang yang menginginkan ibadahnya di bulan Ramadhan dapat merubah dirinya menjadi lebih baik. Namun setelah Ramadhan, ternyata sifat dan perilakunya kembali seperti semula. Tak berubah secara signifikan. Ia hanya mendapatkan lapar dan haus. Persis seperti yang disabdakan Nabi saw, ”Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa pun, kecuali lapar dan haus.”

Hal itu karena orientasinya keliru. Ia tidak tahu hikmah di balik keagungan bulan Ramadhan. Salah satu dari sekian banyak hikmah Ramadhan yang sering dilupakan orang adalah fungsinya sebagai pembangkit semangat hidup. Ramadhan sesungguhnya adalah bulan motivasi (syahrul hamasah). Ramadhan semestinya mampu menjadikan setiap muslim yang beribadah di dalamnya menjadi termotivasi hidupnya.

Coba kita lihat apa yang terjadi pada diri nenek moyang kita (para sahabat dan ulama sholihin) setelah ditempa Ramadhan. Mereka menjadikan Ramadhan sebagai ajang pembakaran semangat yang membara. Sejarah mencatat dengan tinta emas sepak terjang mereka yang produktif. Banyak orang yang tak tahu, karena memiliki motivasi yang tinggi, umat Islam terdahulu menjadi penguasa dunia selama lebih kurang 14 abad. Lebih lama daripada kejayaan Eropa. Apalagi dari Amerika yang baru berjaya di akhir abad ini.

Kejayaan Islam yang demikian lama di masa lalu tak bisa dipisahkan dari semangat nenek moyang kita untuk selalu bersemangat dan produktif dalam berkarya. Beberapa contoh bisa disebutkan di sini. Ibnu Jarir, misalnya, mampu menulis 14 halaman dalam sehari selama 72 tahun. Ibnu Taymiyah menulis 200 buku sepanjang hidupnya. Imam Ghazali adalah peneliti di bidang tasawuf, politik, ekonomi dan budaya sekaligus. Al-Alusi mengajar 24 pelajaran dalam sehari. Sedang Jabir bin Abdullah rela menempuh perjalanan selama satu bulan demi mendapatkan satu riwayat hadits. Fatimah binti Syafi’i pernah menggantikan lampu penerangan untuk ayahnya (Imam Syafi’i) sebanyak 70 kali.

Semangat mereka terangkum dalam perkataan Abu Musa Al-Asy’ari ra.yang pernah ditanya oleh sahabatnya, ”Mengapa Anda tidak pernah mengistirahatkan diri Anda?” Abu Musa menjawab, ”Itu tidak mungkin, sesungguhnya yang akan menang adalah kuda pacuan!” Suatu ungkapan indah yang menggambarkan semangat yang membara, jiwa yang selalu ingin berkompetisi, berani dan pantang menyerah.

Semangat Itu Ada di Depan Kita

Semangat nenek moyang kita yang luar biasa dalam beramal tak bisa dilepaskan dari orientasi mereka yang benar terhadap fungsi ibadah dalam Islam, termasuk fungsi ibadah Ramadhan sebagai ajang melejitkan motivasi (achievement motivation training). Beda dengan kebanyakan kaum muslimin saat ini yang lebih memahami ibadah Ramadhan sebagai kegiatan seremonial dan tradisi tanpa makna.

Beberapa bukti yang menunjukkan fungsi Ramadhan sebagai bulan pemotivasian adalah:

1. Shaum (puasa)

Tahukah Anda bahwa kekuatan semangat dapat mengalahkan kekuatan fisik? Itulah yang Allah latih kepada kita di bulan Ramadhan. Selama sebulan kita dilatih untuk mengalahkan nafsu yang berasal dari tubuh kasar kita; nafsu makan, minum, dan seksual. Kenyataannya, di bulan Ramadhan kita mampu mengalahkan tarikan nafsu demi memenangkan semangat ruh kita.

Sayangnya, latihan itu tidak dilanjutkan dalam skala kehidupan yang lebih luas dan dalam waktu yang lebih lama setelah Ramadhan, sehingga banyak di antara kita yang hidupnya tidak bersemangat dan produktif dalam beramal. Padahal kunci motivasi itu adalah kemampuan mengalahkan kekuatan fisik. Itulah yang kita lihat pada diri Abdullah bin Ummi Maktum ra.yang matanya buta tapi ngotot untuk ikut berperang bersama Rasulullah. Juga pada diri Cut Nyak Dien atau Jenderal Sudirman, yang pantang menyerah kepada pasukan kolonial walau dalam kondisi sakit parah.

2. Tarawih

Ramadhan sebagai syahrul hamasah juga terlihat dalam pelaksanaan sholat tarawih. Sholat tarawih artinya sholat (di waktu malam) yang dilakukan dengan santai. Di zaman sahabat, sholat tarawih biasa dilakukan sepanjang malam. Dengan bacaan yang panjang dan diselingi juga dengan istirahat yang lama. Bahkan pernah dalam satu riwayat, para sahabat melakukan sholat tarawih berjama’ah sampai menjelang subuh.

Hikmah dari ibadah tarawih yang dilakukan dengan santai dan tidak terburu-buru adalah untuk membentuk watak kesabaran dan ketekunan. Kita tahu, kesabaran dan ketekunan adalah kunci dari motivasi. Tidak mungkin seseorang itu termotivasi dan produktif berkarya tanpa memiliki sifat sabar dan tekun. Watak inilah yang dimiliki oleh nenek moyang kita, sehingga mereka menjadi umat yang jaya di masa lalu.

Hal ini berbeda dengan pelaksanaan sholat tarawih di masa kini. Di mana waktunya tidak lebih dari 1-2 jam. Bahkan seringkali dilakukan tergesa-gesa. Hikmah tarawih sebagai ibadah yang melatih watak kesabaran dan ketekunan menjadi hilang, sehingga lenyap pulalah salah satu sarana pelatihan umat Islam untuk menjadi orang yang termotivasi hidupnya.

3. I’tikaf

Sarana lain yang disediakan Allah SWT untuk membentuk ruh semangat adalah i’tikaf. Ibadah i’tikaf berarti diam menyepi (untuk mengingat Allah) dan meninggalkan kesibukan duniawi. Bagi laki-laki, i’tikaf dilakukan di masjid. Sedang bagi perempuan dilakukan pada ruangan khusus di rumahnya.

Nabi Muhammad saw tidak pernah meninggalkan ibadah i’tikaf ini sepanjang hidupnya. Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat dan orang-orang sholih sepeninggal beliau. Sudah menjadi hal yang lazim di masa nenek moyang kita bahwa setiap Ramadhan masjid penuh dengan orang-orang yang i’tikaf.

Bandingkan dengan kondisi sekarang. I’tikaf menjadi ibadah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin. Padahal ibadah ini sangat penting untuk kontemplasi diri. Dalam i’tikaf, kita melakukan uzlah (pertapaan) sebagai modal penting untuk bangkit dari keterpurukan atau sebagai momen untuk berubah. Nabi Muhammad saw berubah dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa (nabi) setelah uzlah ke Gua Hiro. Lalu Allah menggantikan sarana uzlah tersebut dengan i’tikaf untuk kita. Agar kita meniru perubahan menjadi manusia luar biasa tersebut seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.

Allah meminta kita agar mengulangi momen uzlah tersebut setiap tahun, sehingga kita selalu termotivasi untuk berubah semakin baik dari tahun ke tahun. Dari bulan ke bulan. Bahkan dari hari ke hari. Nabi saw bersabda, ”Barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemaren, ia celaka. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemaren, ia merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemaren, ia beruntung.”

Ramadhan sebagai bulan pemotivasian seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh kita semua. Sungguh beruntunglah mereka yang menggunakan Ramadhan sebagai ajang peningkatan motivasi hidupnya. Lalu dengan modal Ramadhan ia mengisi hari-harinya di luar Ramadhan dengan semangat yang membara untuk beramal melesat ke angkasa kemuliaan. Sungguh, ada semangat dalam Ramadhan.**

Satria Hadi Lubis, MM, MBA
Konsultan Manajemen Kehidupan dan
Penulis Buku-Buku Pengembangan Pribadi