Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz Rahimakumullah,
Dalam musyawarah di masjid kami ada silang pendapat tentang apakah nanti Sholat Iedul Fithri 1 Syawal 1427 H. dilaksanakan di dalam masjid atau di luar masjid. Sejak tahun 2002 (masjid berdiri secara parsial) dan belum punya lahan tanah tambahan, kami selalu melaksanakannya di dalam masjid (di lantai 2) plus aula masjid di lantai satu (dengan TV monitor). Alhamdulillah, sekarang kami sudah memperoleh tanah tambahan (sekitar 620 m2) di samping masjid hasil dari wakaf ummat yang sekarang sudah dipasang paving-block cukup rapi dan sehari-hari dipergunakan sebagai tempat parkir mobil/motor.
Sebagian dari kami berpendapat, dengan adanya lahan tanah kosong di atas, cukuplah bagi kita untuk secara konsekuean melaksanakan sunnah Rasulullah SAW untuk melaksanakan sholat Ied di luar masjid (di lapangan/halaman). Sebagian lain berpendapat untuk tetap dilaksanakan di dalam masjid (lantai 2) ditambah Aula (lantai 1) plus tambahan di halaman seperti yang dilaksanakan tahun lalu dengan alasan utama adalah kekhawatiran lahan tanah tambahan tersebut tidak dapat menampung jumlah ja’maah sholat Ied yang diproyeksikan justru semakin meningkat. Di samping itu lahan parkir tidak dapat digunakan yang akan berakibat semrawutnya pengaturan parkir mobil/motor dan membuat jama’ah kapok untuk sholat di masjid kami. Kerepotan lainnya menyangkut hal-hal teknis (memindahkan sound-system, mimbar dll. ke luar dan lain sebagainya).
Ada beberapa pertanyaan kami kepada Ustadz untuk mohon pencerahannya sesuai dengan dalil yang syar'i,agar kami (pengurus masjid) dapat melaksanakan ibadah sholat Ied sesuai dengan tuntunan agama yang benar:
1. Apakah melaksanakan Sholat Iedul Fithri (juga Iedul Adha nanti) di lapangan atau di luar masjid hanya sekadar khilafiyah atau sudah berupa sunnah mu’akkadah berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang shohih? Kalau boleh, mohon juga disitir haditsnya.
2. Apabila kita memang secara hukumnya seharusnya melaksanakannya di luar masjid dalam rangka keta’atan kepada sunnah Rasulullah SAW, adakah pertimbangan-pertimbangan yang membolehkan (misalnya seperti adanya keterbatasan tempat dan kendala-kendala yang kami hadapi di atas) sehingga bisa dihukumi sebagai ”dharurat”?
3. Dan hal-hal lainnya yang Ustadz anggap perlu sehingga kami bisa tetap menjalin ukhuwah dan musyawarah dalam tuntunan yang benar.
Demikian, atas penjelasan Ustadz dalam waktu yang tidak terlalu lama, kami atas nama pengurus masjid mengucapkan jazakumullahu khairon katsiro.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jawad Satuju
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Meski waktu pelaksanaan shalat Ied masih lama, tapi kami paham bahwa sebagai panitia pelaksanaan shalat itu, anda pasti membutuhkan jawabannya sekarang. Sebab persiapan shalat itu mestinya sudah sejak jauh-jauh hari dilakukan, termasuk kepastian masalah tempat. Karena itu kami upayakan untuk bisa memberi jawabannya sejak sekarang ini.
Para fuqoha telah sepakat bahwa semua tempat yang bersih dan bisa menampung jama’ah yang banyak jumlahnya bisa dipergunakan sebagai tempat untuk melaksanakan sholat Ied. Baik itu di Masjid atau di tanah lapang. Namun demikian, mereka menyatakan pelaksanaan sholat tersebut di tanah lapang adalah lebih utama, karena biasanya bisa menampung jumlah jamaah yang lebih banyak.
Dalilnya adalah hadits shahih berikut ini:
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِيَخْرُجُ يَوْمَ اَلْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى اَلْمُصَلَّى, وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ اَلصَّلَاةُ, ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ اَلنَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ- فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Abi Sa’id Al-Khudri r.a. mengatakan, “Biasa Rasulullah SAW keluar pada hari raya ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha ke mushalla dan pertama-tama yang dikerjakan shalat ‘ied kemudian berdiri menghadap kepada orang-orang untuk menasehati mereka dan mengajarkan kepada mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits shahih ini tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat Ied di mushalla. Tapi pengertiannya bukan seperti yang kita sering sebut sekarang ini, yaitu bangunan yang mirip masjid tapi lebih kecil. Mushalla yang dimaksud di masa beliau adalah shakhra', yaitu tanah yang luas di padang pasir.
Meski beliau tinggal di Madinah, di samping masjid An-Nabawi, namun shalat Ied tidak dilakukan di dalamnya. Sebaliknya, shalat itu dilakukan di padang pasir yang luas, sebagaimana yang biasa dilakukan pada saat shalat istisqa' dan lainnya.
Berlandaskan hadits di atas, maka kebanyakan ulama menetapkan bahw shalat Ied harus dilakukan di tanah lapang. Sesuai contoh dari nabi SAW tersebut.
Namun sebagian ulama lainnya tidak menjadikan padang pasir sebagai syarat sahnya shalat Ied. Bagi mereka, baik di masjid maupun di padang pasir, keduanya sah-sah saja untuk dijadikan tempat shalat Ied. Meski tetap lebih utama bisa dilakukan di padang pasir.
Hanya saja fuqoha madzhab Syafi’i menyatakan bahwa keutamaan sholat 'Ied di tanah lapang hanya berlaku jika memang masjid yang biasa digunakan untuk melakukan shalat terlalu sempit.
Sedangkan jika masjid tersebut luas, maka melaksanakan shalat di masjid adalah lebih utama sebagaimana yang biasa dilakukan di Masjidil Haram.
Alasan mereka karena masjid itu pastilebih bersih dan lebih mulia dari pada tanah lapang.
Al-Imam An-Nawawi, salah satu ulama dari kalangan mazhab As-syafi'i menukil dalam kitabnya, Al-Majmu' Syarahul Muhazzab, perkataan Imamnya: Sendainya masjid cukup luas dan shalat dilakukan di tanah lapang, tidak ada masalah. Sedangkan bila masjid itu sempit tapi tetap dilakukan shalat Ied di dalamnya, maka dibenci.
Sebab bila masjid ditinggalkan dan shalat di padang pasir, tidak akan menimbulkan kemudharatan. Sebaliknya, bila masjid sempit tapi tetap saja dilakukan shalat Ied di dalamnya, orang-orang akan berdesakan, bahkan bisa jadi sebagiannya akan tertinggal.
Keterangan seperti ini bisa kita baca lebih luas di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah jilid 27 halaman 245.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar