Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Alhamdulillah, Allahuma sholi 'ala Muhammad wa'ala ali ajma'in.
Pak ustadz, apa benar bahwa syariat adalah produk hukum ciptaan manusia? Apa penafsiran-penafsiran klasik akan membawa atau menyeret kita ke masa silam?
Apa Interpretasi terhadap teks baru akan memiliki makna apabila konteksnya sesuai dengan konteks kekinian bukan dengan konteks masa lalu? Apakah Interpretasi teks yang tidak sezaman tidak memiliki arti yang siginifikansi apa pun? Apakah ilmu Fiqh yang terdahulu produk hukum yang tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Dinasti Abbasiyah, di mana sejarah Islam pada fase ekspansi saat itu?
Pertanyaan ini saya ajukan untuk mengklarafikasi pendapat para sindikat orientalis yang selalu menggonggong di setiap saat dan selalu menerbitkan buku-buku yang mendiskriditkan ajaran-ajaran Islam yang sudah MAPAN apa lagi mereka mengkampanyekan ISLAM TANPA SYARIAT! Padahal tanpa disadari mereka masih menggunakan syariat, mau kemana mereka haji kalau tanpa syariat, bahkan dibakar saja mayat-mayat mereka kalau mereka telah mati jangan dikubur, karena itu syariat. Atau dikasih buat makan binatang-binatang yang doyan, lumayan SEDEKAH, itu juga kalau binatang itu MAU.
Sebelumnya saya ucapkan Jazakumullah.
Ahmad Wanto
aw at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syariat, Benarkah Hanya Produk Hukum Ciptaan Manusia?
Cara demikian memang trik licik kalangan liberalis dalam rangka memasukkan keraguan pada syariat Islam. Mereka menggunakan logika yang terlalu picik, tapi cukup efektif buat kalangan yang kurang bersih hatinya serta dangkal ilmunya. Sehingga dengan mudah bisa ditipu mentah-mentah.
Siapa bilang syariah itu produk ciptaan manusia? Seandainya memang betul hanya buatan manusia, pastilah sudah musnah ditelan zaman. Sebab usia syariah Islam sudah lebih dari 1.400 tahun lamanya.
Tetapi hari ini ulama di Sudan tetap sama pendapatnya dengan ulama Cina tentang detail-detail syariah. Begitu juga ulama Mesir tetap berpandangan sama dengan ulama Indonesia. Semua ulama tetap sepakat bahwa zina, homoseksual, lesbianisme itu haram. Semua tetap sepakat bahwa khamar, judi, mencuri,menipu dan seterusnyahukumnya juga haram. Bahkan pada detail-detail perkara syariah pada sebagian besarnya tetap sama.
Seandainya hanya buatan manusia, pastilah ulama sudah mengubahnya, menambahinya, menguranginya atau menyelengkannya. Tapi ternyata tidak, syariah Islam tetap utuh seperti baru turun kemarin sore. Padahal ada bentangan waktu 14 abad lamanya. Kecuali kalangan liberalis yang hobinya menyelewengkan syariah, tidak ada satu pun ulama yang mengacak-acaknya.
Adanya perbedaan mazhab, ternyata hanya berkisar pada ijtihad yang tidak terlalu prisipil. Bahkan sangat wajar kalau seorang ulama berganti-ganti hasil ijtihad. Tapi dalam perkara yang esensial, semua tetap berada dalam satu barisan. Mengapa demikian?
Jawabnya karena syariat itu tidak lain adalah Al-Quran dan sunnah, yang kemudian dikupas isinya, dibuat sistematikanya demi memudahkan penjabarannya, serta ditarik kesimpulan hukumnya. Meski ada peran akalmanusia pada proses itu, namun tetap saja esensi kita sedang menjalankan Al-Quran dan sunnah. Para ulamatidak pernah membuat hukum sendiri, kecuali hanya dari kedua sumber itu saja.
Dengan demikian, sebuah kesalahan fatal kalau disimpulkan bahwa syariat adalah produk tangan manusia.
Benarkah Penafsiran Klasik akan Menyeret Kita ke Masa Silam?
Kalau pun seandainya anggapan ini benar, tidak ada salahnya juga. Sebab masa silam kita umat Islam ini adalah masa kejayaan. Kita malah bangga dengan masa silam kita yang gemerlap itu.
Berbeda dengan masa silamnya orang barat, guru para liberalis itu. Masa silam mereka adalah bangkai, darah, siksaan, peperangan, jeritan kesakitan, kebodohan, kejumudan dan keabsolutan gereja. Wajar kalau mereka sangat anti dengan istilah masa silam.
Sebaliknya buat kita umat Islam, kalau mengingat masa silam, yang muncul adalah kebanggaan, naiknya harga diri serta kewibawaan. Betapa Eropa yang jorok dan kampungan itu datang ke negeri Islam sambil terkagum-kagum. Raja mereka datang sambil bersujud dan mencium sepatu para khalifah Islam.
Jadi apa yang ditakutkan dengan istilah 'menyeret kita ke masa silam'?
Kecuali kalangan liberalis yang rabun sejarah Islam, tidak ada seorang muslim pun yang malu dengan masa lalunya. Kita adalah muslimin yang bangga dengan masa lalu kita, bangga dengan generasi pendahulu kita. Mereka adalah bintang-bintang terang di langit yang menerangi jagat raya.
Apa Interpretasi terhadap teks baru akan memiliki makna apabila konteksnya sesuai dengan konteks kekinian bukan dengan konteks masa lalu?
Di dunia ini memang ada hal-hal yang berubah, tapi tidak semua hal berubah. Bahkan kita tidak asing dengan istilah 'sejarah akan berulang', meski pelakunya berbeda.
Demikian juga dengan hukum syariat, tidak perlu diubah selama memang tidak semuanya berubah. Dari dulu yang namanya zina adalah hubungan tidak sah antara laki-laki dan wanita bukan mahram. Zaman mau berubah, tetap saja zina masih ada dan tetap ada terus. Karena itu aturan syariahnya tetap masih up to date.
Laki-laki masih suka berzina dengan perempuan. Itu sudah ada sejak dulu dan hari ini masih terjadi. Lalu apa urusannya kita harus mengubah definisi zina? Sejak dulu laki-laki pasti akan tertarik bila melihat aurat wanita, lalu apa urusannya kita harus mendefinisikan ulang pengertian aurat.
Kecuali bila nanti seluruh umat manusia berubah semuanya jadi robot, kepalanya terbuat dari logam, matanya dari kelereng, rambutnya dari kawat, tangan, badan dan kaki dari baja, barulah saat itu kita melakukan kajian ulang tentang batas dan definisi aurat laki dan perempuan.
Perubahan dunia itu ada, tapi terbatas hanya pada wilayah tertentu saja. Sementara sebagian besar esensi dan fenomena kehidupan tetap sama. Karena itu hukum-hukumnya tetap sama. Kalau pun harus ada penyesuaian hukum syariah, harus memenuhi syarat dan keterkaitan. Dan hal ini sudah dilakukan oleh para ulama sejak dahulu. Bahkan syariah telah mampu menjawab masalah-masalah yang seandainya akan terjadi di masa depan.
Apakah ilmu Fiqh yang terdahulu produk hukum yang tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Dinasti Abbasiyah,di mana sejarah Islam pada fase ekspansi saat itu??
Ini adalah pandang yang paling keliru dari kalangan orientalis dan liberalis tentang sejarah Islam. Segala sesuatu tentang syariat Islam selalu mereka hubung-hubungkan dengan pergolakan politik di masa tertentu.
Tentu saja semua itu bukan tanpa tujuan. Tujuan mereka ingin mencoreng Islam dari dua sisi sekaligus. Pertama, mereka ingin mencoreng sejarah politik dunia Islam. Nyaris semua teori para orientalis tentang sejarah Islam sangat mentah, awam, terlalu spekulatif dan menyederhanakan masalah. Ditambah lagi dengan niat busuk yang sudah sejak awal sangat membara.
Kedua, mereka juga ingin mencoreng syariat Islam, dengan cara menuduh bahwa syariat Islam hanyalah buatan para ulama kerajaan, yang disusun demi kepentingan politis belaka. Astaghfirullahal-adhzim.
Betapa lucu dan sangat mengada-ada sekali analisa 'para ahli' itu. Dari mana mereka dapat ide liar semacam itu. Kalau saja mereka mau belajar bahasa arab, lalu membaca kitab sejarah Islam yang asli, tentu saja mereka tidak akan terjebak dengan keteledoran separah ini.
Apakah mereka tidak membaca sejarah para ulama? Tidakkah mereka tahu bahwa banyak sekali para ulama yang justru dimusuhi oleh para khalifah? Lihat bagaimana Imam Malik dan Imam Ahmad disiksa dan dipenjara oleh penguasa. Lihat bagaima Al-Hallaj bin Yusuf telah berbuat sewenang-wenang kepada para ulama.
Kalau dikatakan bahwa para ulama itu menulis syariah dengan tangan mereka demi penguasa atau dipengaruhi oleh penguasa, tentu sangat aneh. Kejadian seperti ini hanya mungkin terjadi di Eropa, di mana faktanya bahwa raja dan gereja bekerja sama untuk kepentingan bersama. Raja punya kepentingan, sementara pendeta (gereja) juga punya kepentingan. Kebetulan masing-masing punya potensi. Raja punya kekuasaan dan senjata, gereja pandai berkhotbah. Maka kolaborasi raja dan gereja sangat menghiasi sejarah eropa. Meski masing-masing tetap punya wilayah yang saling dijaga.
Tapi dalam Islam tidak demikian. Para ulama tidak pernah takut dengan penguasa, terutama bila penguasa itu zalim. Dan para penguasa pun sangat hormat kepada para ulama, karena mereka tahu bahwa para ulama itu bicara jujur dan berkata dengan hati. Sama sekali tidak tergiur uang, pangkat atau jabatan.
Kerancuan Para Liberalis
Kita hanya bisa memandang kasihan kepada saudara-saudara kita yang terkontaminasi paham sesat liberal. Mereka masih sangat muda, bahkan tidak sedikit dari mereka yang sebenarnya mahasiswa pandai dan berprestasi. Tapi sayang sekali mereka masih terlalu lugu dan mudah dikibuli oleh senior mereka sendiri.
Apa lacur, melihat profesor Yahudi saja sudah jatuh terkagum-kagum. Dalam otak mereka seolah yang mengerti sejarah dan syariah itu hanya guru mereka yang orientalis itu. Padahal justru guru mereka masih itu belajar mengeja, ilmunya dangkal, karena itu mereka sangat tidak layak didengar apalagi diikuti.
Bagaimana mereka bisa mengklaim bahwa diri mereka adalah ilmuwan atau peneliti, kalau baca sejarah saja hanya dari buku terjemahan? Seharusnya mereka malu dengan gelar-gelar yang memberhala.
Sayangnya, asesoris gemerlap itu sempat menyilaukan banyak mahasiswa muslim kita, terutama di perguruan tinggi Islam sendiri. Dan akhirnya, tidak sedikit di antara mereka yang tergiur lalu ikutan mencoba. Apalagi ketika diiming-imingi bea siswa ke luar negeri, pasti mereka tidak melewatkannya dan sangat bangga. Dalam alam berpikir mereka, kalau sampai ada mahasiswa Islam disekolahkan ke Amerika, Eropa atau Australia, itu sudah puncak cita-cita. Nanti pulang bisa berbahasa Inggris cas-cis-cus sambil memamerkan gelar PHd-nya.
Padahal yang sesungguhnya terjadi tidak lain hanyalah proses 'cuci otak total', kemudian ketika pulang para korban itu bisa mengoceh aneh tentang agama dan syariah. Dan sudah pasti nyeleneh dan sesat.
Sayyid Qutub Pernah Ditargetkan
Tidak tanggung-tanggung, di Mesir dahulu ada Sayyid Qutub yang diberi bea siswa ke Amerika. Beliau seorang mahasiswa jenius, pandai dan sangat berprestasi. Modusnya sama dengan yang dialami mahasiswa kita, diberi bea siswa ke Amerika untuk menjalani 'cuci otak'.
Tetapi rupanya Allah SWT Maha Kuasa, alih-alih tercuci otaknya, Sayyid Qutub justru mampu mematahkan semua argumen para orientalis itu. Bahkan beliau malah pulang ke negerinya dan bergabung dengan pergerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun. Saking kesalnya melihat kegagalan operasi mereka pada tokoh yang satu ini, kekuatan konspirasi barat itu akhirnya bekerja sama dengan penguasa Mesir untuk menangkap beliau dan pada akhirnya menjatuhkan hukuman mati. Beliau pun syahid menghadap Allah SWT dengan meninggalkan karya-karya gemilang.
Tapi bagaimana dengan mahasiswa Indonesia? Adakah merekamampu bersikap seperti Sayyid Qutub? Bisakah mereka diberangkatkan ke Amerika nun jauh di sana, tapi kemudian malah mematahkan argumentasi profesor bejat di sana? Adakah di antara mereka yang bisa tetap menegakkan kepala di depan para profesor Yahudi kafir itu, tanpa harus mereka malu, minder dan bodoh pada agamanya?
Rasanya kita masih harus kecewa untuk urusan satu ini. Sebab yang terjadi justru sebaliknya, setiap kali ada mahasiswa kita yang pulang dari Amerika belajar agama, pasti jadi dedengkot pemikiran sesat liberalisme. Mereka tidak lain hanya budak-budak yang telah dibeli otak, jiwa dan hatinya. Sungguh-sungguh memprihatinkan.
Masih berapa banyak lagi yang akan menyusul?
Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar