Jumat, September 22, 2006

Akhir Sebuah Entitas Yang Bernama 'Israel'


Oleh: Abdul Wahhab al-Masiri

COMES: -Pada tanggal 17 Agustus 2006 lalu, saat terjadi perang Arab-'Israel' keenam dan ketika pesawat-pesawat tempur Zionis Israel meluluhlantakkan kota, desa dan infrastruktur Lebanon dengan menumpahkan darah warga sipil tak berdosa, harian 'Israel' Ma'ariv menurunkan sebuah tulisan yang ditulis wartawan Jonathan Shem dengan judul "Tel Aviv didirikan tahun 1909 dan di tahun 2009 akan menjadi puing-puing”.

Dalam tulisan itu disebutkan:"Seratus tahun lalu mereka mendirikan kota pertama Yahudi dan seratus tahun berikutnya, setelah mengurung diri, hilang dari peredaran." Apa yang membawa si penulis tersebut sampai berbicara tentang sebuah akhir, akhir 'Israel'. Padahal kekuatan militer Zionis Israel pada puncaknya, serta dukungan politik, dana dan militer tak terbatas dari AS? Bagaimana mungkin ia bisa menafsiri sikap seperti itu?

Sebagai awal tulisan ini harus kita sebutkan bahwa ada sebuah realita yang nyaris hilang di benak kebanyakan dunia Arab. Yaitu, soal akhir dari 'Israel' itu sudah mengakar dalam diri Zionis Israel. Sampai sebelum berdirinya entitas Zionis Israel itu sendiri, mayoritas kaum Zionis tahu bahwa rencana Zionisme adalah sebuah rencana yang mustahil dan mimpi kaum Zionis itu akan menjadi sebuah halayan belaka.

Pascaberdirinya entitas Zionis Israel dan para pemukim Yahudi mewujudkan 'kemenangan' atas militer Arab, mulai nyaring suara-suara akan berakhirnya entitas tersebut.

Di tahun 1954, Menteri Pertahanan dan Luar Negeri 'Isael' saat itu, Moshe Dayan, dihadapan jenazah temannya yang dibunuh oleh para pasukan berani mati Palestina mengatakan;"Kita harus siap dan bersenjata, kita harus kuat dan perkasa, agar jangan sampai pedang ini terlepas dari genggaman kita dan dunia akan berakhir."

Berakhir, adalah sebuah kata yang terpatri dalam benak mereka. Para korban yang mereka usir dari tanah air dan tempat tinggalnya, bersama-sama para keturunannya berubah menjadi pasukan berani mati yang mengetok pintu meminta tanah yang telah dirampas para penjajah tersebut.

Oleh karena itu, seorang penyair 'Israel' Chaem Gory memandang bahwa setiap orang 'Israel' dilahirkan "dan di dalamnya ada pisau yang akan menyembelihnya", "Tanah ini (yaitu 'Israel') tak habis-habisnya", selalu meminta tambahan tempat penggalian dan peti-peti mayat. Pada setiap kelahiran pasti ada kematian, dan setiap permulaan pasti ada akhirnya.

Sebuah cerita berjudul "Dalam menghadapi hutan" yang ditulis cerpenis 'Israel' Abraham Yahusha di pertengahan awal di tahun 60-an menceritakan tentang kejiwaan seorang pelajar 'Israel' yang ditugasi menunggu hutan yang diurus oleh Dana Moneter Nasional Yahudi di sebuah wilayah desa milik Arab yang disikat habis oleh orang-orang Yahudi Zionis bersama desa dan kota-kota lainnya.

Walau si penjaga hutan ini selalu bersenandung tentang persatuan, ia selalu menghadapi seorang Arab tua bisu salah seorang penduduk desa, bersama puterinya sedang merawat hutan. Lalu tumbuhlah hubungan cinta dan benci antara seorang Arab ini dengan orang 'Israel'. Si 'Israel' ini takut upaya balas dendam dari orang Arab yang menderita bersama keluarganya akibat pembersihan etnis yang dilakukan oleh Zionis Israel pada tahun 1948.

Akan tetapi walaupun dalam kondisi seperti itu, si penjaga hutan menemukan dirinya serba salah. Bahkan tanpa disadari, ia membantu orang tua itu menyalakan api di hutan tersebut.

Pada akhirnya, saat orang tua Arab itu berhasil menyalakan api di hutan, si penjaga melepaskan segala perasaan kejiwaannya dan merasakan ketenangan yang aneh setelah hutan itu ludes dibakar api. Yaitu, setelah akhir perjalanan 'Israel'!

Dalam pertemuan tertutup di Pusat Kajian Politik dan Strategi di Harian Al-Ahram, Mesir, seorang jendral Perancis, Andre Bauver, yang pernah memimpin pasukan Perancis dalam perang Segitiga melawan Mesir di tahun 1956, memberitahukan kepada kami sebuah peristiwa aneh. Dan itu ia saksikan sendiri.

Di akhir tahun 1967, ia pernah bertemu dengan Isaac Rabin, atau tepatnya beberapa hari usai perang enam hari melawan pasukan Arab. Ketika keduanya terbang di atas udara Gurun Sinai saat pasukan Zionis Israel pulang ke ‘negara’ nya dengan membawa kemenangan telak. Jendral Bauver menyampaikan ucapan selamat kepada Rabin atas kemenangan militernya. Namun ia terkejut saat Rabin mengatakan;”Tapi apakah ini semua akan kekal?” Ketika di puncak, sang jendral itu tahu tentang keniscayaan sebuah akhir perjalanan negara Yahudi itu.

Masalah akhir dari Zionis Israel ini, banyak yang tidak senang membahasnya di ‘Israel’. Namun hal ini terus memusingkan mereka saat terjadi krisis. Contoh saja, di saat terjadi Intifadhah tahun 1987, ketika konsensus Zionis tentang permukiman mulai berguguran, juru bicara pemukim Yahudi, Israel Harel mengingatkan bahwa jika nanti terjadi bentuk penarikan atau kompromi apapun (maksudnya penarikan pasukan sepihak). Maka itu tidak hanya berhenti di garis hijau (perbatasan 1948), sebab akan ada kemunduran spiritual yang akan bisa mengancam keberadaan negara itu sendiri (Jerusalem Post, 30 Januari 1988).

Ketua Majelis Regional Samera, Sharon (dalam perdebatan dengannya), “Jalan diplomasi ini adalah akhir dari permukiman Yahudi, itulah akhir dari ‘Israel’” (Ha’aretz 17 Januari 2002). Bahkan para pemukim Yahudi mengeluh-eluhkan bahwa penarikan dari Nablus itu berarti penarikan dari Tel Aviv.

Bersamaan dengan munculnya Intifadhah Al-Aqsha (Intifadhah jilid II) beberapa koran ‘Israel’ sering membahas soal akhir dari entitas Zionis Israel. Salah satunya, Yediot Aharonot (27/1/2002) menurunkan tulisan berjudul “Mereka membeli vila-vila di luar untuk antisipasi datangnya hari yang hitam”. Di hari dimana orang-orang ‘Israel’ itu tidak senang untuk memikirkannya, yaitu berakhirnya entitas Zionis Israel!

Tema itu juga muncul di dalam tulisan Ya’el Bazmelmad (Ma’ariv, 27/12/2001) yang memulai tulisannya dengan mengatakan;”Saya selalu berusaha untuk menjauhkan ide yang cukup merisaukan ini, namun selalu berada di benakku saat aku berpikir. Apakah akhir dari negara (‘Israel’) ini sama seperti berakhirnya gerakan permukiman?”

Gid’aun Eist meringkas sikap ini dengan ungkapannya, “Menangislah wahai ‘Israel’ (Yediot Aharonot, 29/1/2002).

Bahkan majalah Newsweek (2/4/2002) menurunkan edisinya dengan cover majalah bergambar bintang ‘Israel’ dan didalamnya ada sebuah pertanyaan berikut;”Masa depan ‘Israel’; bagaimana caranya bisa tetap kekal?” Untuk mempertegas maksud dari cover itu, majalah tersebut menuliskan; “Apakah negara Yahudi itu akan masih bisa hidup? Dengan jaminan apa? Dengan identitas apa?”

Tapi yang terpenting lagi adalah apa yang ditulis penulis ‘Israel’, Amos Allon yang mengatakan bahwa ia menegaskan di saat terjadi rasa pesimis khawatir kalau nanti sudah tidak ada lagi.” “Sudah saya katakan kepada Anda bahwa apa yang saya khawatirkan itu hanyalah separuhnya saja.” (yang separuhnya lagi bahwa masa itu benar-benar hilang).

Pembicaraan tentang berakhirnya riwayat entitas Zionis Israel, sering dibahas dalam tulisan Eitan Haber dengan judul “Malam bahagia wahai sang pesimis… dan duka menyelimuti ‘Israel’” (Yediot Aharonot, 11/11/2001). Penulis itu mengisyaratkan bahwa militer AS bersenjatakan peralatan militer yang modern. Namun semua masih ingat gambar atau foto heli-heli tempur AS terbang mengitari di udara kedubes AS di Saigon dalam upaya mengevakuasi orang AS dan para anteknya dalam suasana yang sangat mencekam, sampai matipun sudah terbayang. Pesawat helikopter adalah simbol kekalahan, penyerahan dan kabur dari musuh di saat yang tepat.

Kemudian sang penulis melanjutkan tulisannya dengan mengatakan;”Tentara invanteri di Vietnam Utara berhasil menghancurkan orang-orang bersenjata dengan persenjataan modern. Rahasianya adalah pada ruh (jiwa) yang mendorong para pejuang dan pemimpinnya itu untuk menang. Ruh disini artinya spiritual, kegigihan dan kesadaran akan kebenaran konsep serta perasaan akan tidak adanya pilihan yang lain. Dan ini yang tidak dimiliki oleh ‘Israel’ yang sekarang sedang dirundung duka.”

Penulis lain, Abraham Bourg dalam tulisannya (Yediot Aharonot, 29/8/2003) mengatakan bahwa “Akhir dari rencana Zionisme internasional sudah diambang pintu kegagalan. Di sana ada fenomena riil bahwa generasi kita ini adalah generasi terakhir dari Zionisme.”

Mungkin masih ada yang namanya negara Yahudi, tapi akan sangat berbeda sekali, aneh dan jelek. Karena negara ini kehilangan rasa keadilan yang mungkin bisa melanggengkannya. Bangunan struktural Zionisme internasional sudah mulai retak. Sama seperti tempat-tempat resepsi murah yang ada di Al-Quds (Jerusalem). Dimana sejumlah orang gila sedang asyik berdansa di lantai atas, sementara tiang-tiang di lantai bawah mulai goyah.”

Dengan tema yang baru, dalam tulisan Liron London (Yediot Aharonot, 27/11/2003) berjudul “Tanda-tanda kiamat sudah mulai dekat kepada negara ‘Israel’”. Dalam tulisan itu menyebutkan; “Dalam konferensi imunitas sosial yang dilaksanakan pada pekan ini, diketahui bahwa mayoritas orang ‘Israel’ mengeluhkan jika nantinya negara ini (‘Israel’) akan eksis setelah 30 tahun kemudian. Data yang menggegerkan ini menunjukkan bahwa tanda-tanda akhir zaman semakin dekat.

Saat Mahkamah Internasional memutuskan soal pembangunan tembok ‘rasis’ pemisah dan menyatakan illegal, maka mulailah awal dari akhir negara Yahudi itu dibicarakan.

Tentu sebuah pertanyaan dengan sendirinya akan muncul; kenapa bisa ada berita tentang akhir dari riwayat Zionisme yang mengusir orang-orang ‘Israel’ itu? Kita akan mendapatkan banyak penyebabnya. Tapi yang paling urgen adalah para pemukim Yahudi itu tahu bahwa disana ada sebuah hukum sosial yang berlaku pada semua kekuatan penjajah. Yaitu bahwa semua penjajah yang memberangus penduduk asli (seperti di Amerika Utara dan Australia) akan diberikan kekekalan. Sedangkan yang gagal memberangus penduduk asli (seperti kerajaan Inggris yang dikenal dengan pasukan Salib, Aljazair dan Afrika Selatan) akan berujung kepada kemusnahan.

Sementara para pemukim Yahudi sendiri tahu dengan baik bahwa penjajahannya di Palestina ini adalah model yang nomer dua (yang pasti musnah) dan tidak ada pengecualian dalam hukum itu. Orang-orang Zionis Israel tahu bahwa dirinya hidup di atas tanah yang pernah disinggahi kerajaan Inggris, yang berakhir pada kemusnahan.

Dan yang lebih mempertegas lagi adalah eksistensi Barat dan Zionis. Pada awalnya bersatu dengan rencana salibis dan rencana Zionis lalu saling bergandengan tangan. Floyd George, PM Inggris yang berkuasa saat keluarnya Deklarasi Balfour, secara tegas menyatakan bahwa Jendral Allenby yang memimpin pasukan Inggris menduduki Palestina, pada akhirnya berhasil memperoleh kemengan dengan kampanye salibisnya.

Atau bisa kita katakan bahwa rencana Zionisme adalah rencana Inggris itu sendiri setelah menjadi sekuler dan setelah SDM Yahudi dipermak, dinormalisasi dan disekulerasisi menggantikan SDM Kristen.

Oleh karena itu, para ilmuwan ‘Israel’ sedang mempelajari pilar-pilar SDM, ekonomi dan militer bagi entitas Inggris serta hubungan antara eksistensi ini dengan negeri yang didudukinya. Banyak peneliti Zionis Israel yang konses meneliti tentang problematika permukiman dan imigran yang dihadapi oleh entitas Inggris, serta mencoba memahami tentang faktor-faktor kegagalannya.

Kepeduliaan atau keseriusan ini tidak hanya pada kalangan akademisi saja. Para politisi pun, seperti Isaac Rabin dan Moshe Dayan juga konsen dengan masalah permukiman dan imigran. Pada bulan September 1970 Isaac Rabin mencoba melakukan perbandingan antara kerajaan Inggris dan ‘negara’ Zionis, dimana ia sampai pada satu kesimpulan bahwa bahaya utama yang mengancam ‘Israel’ adalah pembekuan imigran. Hal ini, menurut Rabin, yang akan menyebabkan matinya negara karena kurangnya pasokan darah segar dan baru didalamnya.

Seorang penulis ‘Israel’ lainnya, Jury Avnery dan mantan anggota parlemen ‘Israel’ Knesset adalah salah satu pemukim Yahudi yang tahu sejak awal akan gagalnya rencana Zionis dan mimpi mereka tersebut.

Oleh karena itu, sejak tahun 50-an majalah Haolam Hezza (Dunia Ini) diluncurkan oleh Avenry yang khusus melakukan kritik kepada politik dan kebijakan Zionis Israel. Sebelumnya juga, Avenry mengingatkan akan akhir kerajaan Inggris yang tidak menyisakan selain sejumlah kerusakan.

Avenry juga menerbitkan sebuah buku berjudul “Israel Tanpa Zionisme” (1968) didalamnya dilakukan perbandingan mendalam antara kerajaan Inggris dan negara Zionis Israel. Menurut perbandingan itu, ‘Israel’ seperti kerajaan Inggris yang dikepung secara militer karena tidak mempedulikan akan eksistensi Palestina dan menolak pengakuan bahwa ‘tanah yang dijanjikan’ itu sudah ditempati oleh bangsa Arab sejak ratusan tahun yang lalu.

Pada tahun 1983, Avenry kembali kepada tema yang sama, setelah perang Zionis Israel atas Lebanon. Dalam makalah di majalah Haolam Hezza dengan judul “Apa yang akan terjadi di akhir nanti?”, Avenry mengisyaratkan bahwa kerajaan Inggris menjajah tanah di atas bumi yang lebih luas dari tanah yang dijajah oleh negara Zionis Israel. Orang-orang Inggris itu mampu di segala hal kecuali hidup dalam perdamaian, karena solusi moderat dan hidup berdampingan secara damai merupakan keanehan pada pembentukan utama bagi gerakan Zionisme ini.

Ketika generasi baru meminta perdamaian maka semua upaya hilang secara cuma-cuma bersamaan dengan datangnya aliran baru dari para pemukim Yahudi. Hal ini menunjukkan betapa kerajaan Inggris tidak pernah menghilangkan watak kepemilikannya kepada permukiman.

Sampai pada lembaga militer dan ekonomi Inggris yang memainkan peran secara aktif dalam upaya menggulung upaya perdamaian, upaya ekspansi Inggris terus berlangsung selama satu generasi hingga dua generasi. Lalu kondisi galau meliputi mereka dan ketegangan antar Kristen Inggris di satu sisi dan para kader kelompok Kristen Timur di pihak lain. Hal inilah yang menyebabkan lemahnya masyarakat permukiman Inggris dan lemahnya dukungan dana serta SDM dari Barat.

Pada saat yang sama, gelombang baru Islam mulai menggeliat dengan munculnya gerakan menekan kepada kerajaan Inggris. Umat Islam menemukan jalan-jalan perdagangan alternatif yang menggantikan jalan-jalan yang biasa dijadikan singgahan Inggris. Setelah generasi pertama pemimpin kerajaan Inggris meninggal dunia, mereka digantikan oleh generasi yang lemah. Sedangkan umat Islam disirami oleh darah baru dari para pemimpin agung, mulai dari Sholahuddin Al-Ayyubi hingga Zaher Pebras. Perimbangan kekuatan sekarang berpihak kepada kekuatan selain Inggris. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa menghentikan kekalahan yang dialami oleh kerajaan salib tersebut!

Hari ini, berita akan berakhirnya riwayat Zionis Israel kembali bergaung setelah perang keenam usai dan kehebatan perlawanan bangsa Lebanon menghadapi kebrutalan Zionis Israel.

Orang-orang Zionis Israel tahu batas kekuatannya dan mereka akan terus menuju kepada akhir riwayatnya. Sama seperti yang disampaikan oleh budayawan ‘Israel’ Shalomo Raikh “’Israel’ akan menelan kekalahan demi kekalahan hingga sampai kepada akhir riwayatnya yang pasti datang”.

Kemenangan-kemenangan militer itu tidak bisa mewujudkan apa-apa. Karena perlawanan jihad terus berlangsung yang akhirnya berakibat kepada apa yang disebut oleh sejarawan ‘Israel’ Jacob Talmun “Kemenangan yang mandul”. Wallahu a’alam bisshawab (Aljazeera.net/AMRais)

Tidak ada komentar: