Jumat, Desember 01, 2006

Jepang, Di sini Cinta Bersemi

Oleh Lizsa Anggraeny


Terbata-bata terdengar suara dari wanita setengah baya yang duduk di hadapan. Tangannya berusaha mengeja huruf demi huruf yang tercetak dalam buku Iqra "Belajar Cepat Membaca Al-Qur'an." Sesekali tampak berusaha membetulkan ikatan penutup kepala yang menutupi sebagian rambut pirangnya. Kemudian akan terhenti sejenak ketika sampai pada huruf-huruf yang dianggapnya sulit dilafalkan.

"It's alright? Did my spelling was true?" Sesekali keluar pertanyaan untuk memastikan betul tidaknya bacaan.

Mrs. A, begitu panggilannya. Salah seorang isteri konsulat Bosnia yang baru beberapa minggu saya kenal. Meski lahir dan besar sebagai muslim, namun baru tergerak hatinya untuk belajar membaca Al-Qur'an di usianya yang sudah senja.

Jepang, di negara inilah keinginan itu muncul. Di saat kehidupan terasa bebas, apa saja bisa didapat, kebosanan mulai terasa. Ada suatu ruang kosong yang tidak bisa ditimbun dengan keindahan dunia yaitu kekosongan jiwa. Di mana setiap perbuatan yang dilakukan terasa hampa dan melelahkan. Rasa gelisah, putus asa, kecewa kerap timbul. Sandaran berupa kejayaan, ketenaran dan kekayaan, tidak dapat menopang pijakan saat diri goyah.

Sampai suatu saat Mrs. A menyadari bahwa Islamlah obat dari kekosongan jiwa. Di mana Islam mengajarkan sikap optimis. Bahwa hidup itu memiliki makna. Allah akan memberi balasan kepada siapapun yang berbuat baik, meskipun kebaikan itu hanya sebesar biji dzarrah. Kesadarannya menghantarkan diri khilaf untuk kembali menjadi hamba yang berserah diri.

***
Dua minggu ke belakang, saya mendapat kabar gembira dari salah seorang sahabat melalui telpon. "Teteh, saya sekarang sudah dijilbab! Do'akan biar mantap yah." Ummu S, nama pemilik suara tersebut. Kami berkenalan setahun yang lalu dalam sebuah pengajian. Usianya lebih muda beberapa tahun dari saya.

Menikah dengan pria Jepang adalah pilihannya. Dengan harapan sang pria yang hidup berkecukupan akan membawanya ke gerbang kebahagiaan. Namun sayang, ternyata kebahagiaan yang diimpikannya hanyalah semu. Kedudukannya sebagai isteri, sering didentikan dengan 'pembantu' bagi suami. Perlakuan kasar secara fisik ataupun melalui ucapan yang melukai hati sering terlontar dari laki-laki yang seharusnya menjadi qawwam bagi dirinya. Perintah-perintah otoriter adalah peraturan mutlak yang tidak boleh dilanggar. Ia terkurung dalam istana impiannya.

Lemahnya iman dan tidak kuatnya dasar pijakan ruhiyah, menyebabkan ia ia terombang ambing dalam kehampaan. Jiwanya terasa kosong. Semua yang dilakukannya terasa tak berarti. Rasa percaya diri hilang. Tak ada lagi semangat untuk menjalani hidup. Hari-hari dilaluinya melalui sebuah kebahagian bernama pachinko. Kebahagiaan semu yang justru makin menyeretnya ke dalam keterpurukan.

Sampai suatu hari, Allah membimbingnya untuk datang ke sebuah pengajian keliling di daerahnya. Kehangatan suasana Islami, persaudaraan atas cinta kasih karena Allah dalam perkumpulan tersebut begitu membekas di hati Ummu S. Di sana ia serasa menemukan kembali jati dirinya yang hilang. Tersadar bahwa Islamlah obat mujarab yang dapat mengatasi semua kemelut hatinya. Dengan mendekatikan diri kepada Allah, akan didapat suatu tenaga penuh untuk mengusir penderitaan hati. Karena Allah telah menjanjikan, bersama kesulitan akan ada kemudahan.

***
Antara Mrs. A dan Ummu S memang tidak ada kaitannya. Berbeda umur, situasi dan kondisi. Namun sepertinya saya perlu menggaris bawahi negara tempat tinggal kedua sahabat tersebut, yaitu Jepang. Sebuah negara sekuler yang sangat tak peduli akan keberadaan agama. Kehidupan bebas, hedonisme, dan individu telah menjadi ciri negara ini.

Siapa yang menyangka, justru di negara Jepang inilah kehadiran Islam-sang penyejuk, begitu berarti. Di antara hingar bingar kebebasan, kegalauan hidup dan rasa frustasi, sebuah cinta tumbuh bersemi.

Cinta yang didambakan seseorang kala dihadang berbagai persoalan hidup, kehilangan harapan dan tak tahu jalan penyelesaian. Cinta yang memompakan sikap optimis, mendatangkan kesejukan serta menjadi pengisi kekosongan jiwa. Didamba oleh setiap mukmin yang sadar akan hakekat dirinya tak lebih dari seorang hamba.

Cinta Ilahi, tidak ada sesuatu yang lebih manis dan menyenangkan selain dari mencintai Allah. Yang menjadi ruh bagi iman dan amal.

Semoga, cinta tersebut mendapat sambutan dari Sang Kekasih. Tidak hanya bertepuk sebelah tangan-mencintai, tetapi dicintai pula oleh Sang Kekasih. Meraih mahabbatullah, sebuah manzilah yang diperebutkan orang-orang beriman.

Wallahu'alam bisshowab

Keterangan:
Pachinko = Pinball Jepang untuk judi

Sepenggal catatan aishliz et FLP Jepang

Khutbah Jumat Harus Bahasa Arab?


Assalamu Alaikum War. Wab

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah dan taufiqnya kepada kita semua. Amin.

Saya sudah 1 bulan di Univ. Vienna, Austria, mengikuti short course selama 3 bulan. Saya menemukan fenomena menarik selama mengikuti shalat Jumat di sini. Setelah khatib menyampaikan khotbah-1 dalam bahasa ARAB, khatib duduk kemudian panitia masjid menyampaikan intisari khotbah tersebut dan atau menyampaikan informasi tentang dunia Islam dalam bahasa Jerman. Sesudah itu khatib berdiri menyampaikan khotbah ke-2.

Saya jadi teringat juga di Indonesia ada beberapa masjid yang khatibnya menyampaikan khotbah dalam bahasa ARAB tapi tanpa terjemahan dengan alasan bahwa Rasulullah SAW menyampaikan khotbahnya dalam bahasa ARAB dan karena khotbah adalah bagian dari shalat jumat (ibadah mahdah) jadi kita tidak boleh merobahnya dalam bahasa Indonesia.

Pertanyaan saya adalah:

1. Apakah dibolehkan panitia atau seseorang menyela khatib pada saat duduk sebelum khotbah kedua, seperti yang dilakukan di sini?

2. Apakah khotbah dalam bahasa ARAB adalah yang paling sesuai dengan syariah Islam dan khotbah dalam bahasa Indonesia adalah termasuk melakukan perubahan terhadap sunnah Rasulullah?

3. Jika khotbah dalam bahasa Arab itu lebih sesuai syariah. Mungkin ada baiknya kita melakukan hal yang sama dengan di sini dan setelah khatib menyampaikan khotbahnya ada yang menyampaikan intisari atau terjemah dari khotbah tersebut kedalam bahasa Indonesia.

4. Selama di sini saya sangat sering menjamak shalat Zhuhur-Ashar dan Maghrib-Isya, karena padatnya kegiatan saya di kampus dan berpegang pada hadits yang diriwayatkan oleh (Ibnu Abbas?) bahwa Rasulullah pernah menjamak shalat tanpa ada keadaan yang memaksa beliau shalat jamak. Apakah yang saya lakukan sudah betul dan berapa lama seseorang dibolehkan menjamak shalat?

Demikian dan jadzakallah atas kesediannya untuk menjawab pertanyaan saya.

Wassalam,

Lewa

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya sudah ada ketentuan bahwa saat khatib sedang berkhutbah, maka tidak boleh ada orang yang berbicara, menyela, berkomentar atau apapun pembicaraan lainnya. Meksipun tujuannya untuk menterjemahkan isi khutbah kepada orang yang tidak mengerti isinya.

Larangan itu tetap berlaku bahwa pada saat jeda antara dua khutbah, di mana khatib saat itu melakukan duduk sejenak. Sebab jeda itu bagian dari khutbah. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ اَلْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا, وَاَلَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ, لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ, بِإِسْنَادٍ لَا بَأْسَ بِهِ

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang berbicara pada hari Jumat sedangkan imam sedang berkhutbah, dia seperti keledai yang membaca kitab. Sedangkan yang berkata, "Diamlah," maka dia tidak mendapat Jumat." (HR Ahmad)

حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي "اَلصَّحِيحَيْنِ" مَرْفُوعًا: إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ, فَقَدْ لَغَوْتَ

Hadits Abi Hurairah ra. di dalam shahihain marfu', "Bila kamu berkata kepada temanmu: diamlah, pada hari Jumat sementara imam berkhutbah, maka kamu telah sia-sia." (HR Bukhari dan Muslim)

Maka kalau mau diterjemahkan, sebaiknya yang menterjemahkan adalah si khatibnya sendiri. Sehingga termasuk bagian dari khutbah. Tapi seandainya si khatib sama sekali tidak mampu menerjemahkannya, boleh dilakukan oleh orang lain, tetapi setelah khutbahnya selesai.

Haruskah Berkhutbah dengan Bahasa Arab

Memang ada sedikit polemik di masa lalu tentang keharusan berkhutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kalangan bersikeras bahwa khutbah Jumat itu harus dilakukan dalam bahasa Arab. Namun sebagian lagi menolaknya.

Mereka yang bersikeras dengan bahasa Arab berdalil bahwa khutbah Jumat adalah bagian dari ibadah ritual shalat Jumat, bahkan disebut-sebut sebagai pengganti dua rakaat yang dihilangkan. Aslinya shalat Dzhuhur itu 4 rakaat, lalu dihilangkan menjadi dua rakaat saja dalam shalat Jumat. Kemanakah hilangnya 2 rakaat lagi? Jawabnya menurut mereka adalah dengan adanya 2 khutbah.

Dan karena posisinya menggantikan 2 rakaat shalat, maka nilainya sama dengan ibadah mahdhah shalat. Maka bahasanya pun harus dengan bahasa Arab, sebagaimana shalat.

Adapun alasan bahwa kalau memakai bahasa Arab, maka orang-orang yang tidak paham bahasa Arab akan sia-sia, menurut mereka tidak jadi masalah. Karena shalat pun dilakukan dalam bahasa Arab, tetapi mereka tidak bisa bahasa Arab. Dan shalat itu tetap wajib dilakukan. Maka demikian juga dengan khutbah berbahasa Arab.

Sedangkan mereka yang bersikeras untuk mengganti bahasa Arab dengan bahasa yang dimengerti jamaah, berangkat dari pendapat bawa khutbah Jumat itu bukan pengganti shalat dua rakaat. Menurut mereka, esensi khutbah itu adalah nasehat dan wasiat. Kalau disampaikan dengan bahasa yang tidak dipahami oleh pendengarnya, apalah gunanya.

Jalan Tengah

Kalau dibiarkan saja kedua pendapat itu mempertahankan sikap masing-masing, mungkin akan terjadi perpecahan yang berbuntut kepada permusuhan. Padahal kedua pendapat itu sebenarnya bisa disatukan tanpa harus menarik otot emosi dan kemarahan.

Misalnya, mereka yang mewajibkan bahasa Arab dalam khutbah, sesungguhnya hanya mewajibkannya pada rukun khutbah saja. Tidak pada semua bagian khutbah. Dan rukun khutbah Jumat itu hanya ada lima.

  • Rukun Pertama: mengucapkan hamdalah, yaitu memuji Allah SWT. Cukup dengan membaca alhamdulillah. Dan semua orang muslim pasti tahu maknanya. Tidak perlu diterjemahkan.
  • Rukun Kedua: membaca shalawat kepada nabi SAW, misalnya menyebut allahumma shalli ala muhammad. Lafadz ini juga pasti tidak asing lagi buat telinga manusia yang mengaku muslim. Tidak perlu diterjemahkan sekali pun sudah paham maksudnya.
  • Rukun Ketiga: menyampaikan wasiat atau nasihat untuk bertaqwa. Misalnya mengucapkan lafadz ittaqullah. Itu saja sudah cukup dan tidak perlu diterjemahkan lagi karena semua orang tahu maksudnya.
  • Rukun Keempat: membaca sepotong yang mudah dari ayat Quran. Seperti mengucapkan surat wal-ashri, atau bahkan sepenggal ayat quran saja.
  • Rukun Kelima: membaca doa atau permintaan ampunan untuk umat Islam. Seperti membaca lafadz allahummghfir lilmuslimin.

Di luar kelima rukun itu, boleh saja seorang khatib berbicara dalam bahasa yang dipahami oleh kaumnya. Bahkan kelima rukun tadi boleh diterjemahkan juga ke dalam bahasa mereka, asalkan bahasa Arabnya tetap dibaca.

Cara ini bisa dipakai karena tidak ada ketentuan bahwa bila khatib mengucapkan lafadz di luar bahasa Arab, akan membatalkan khutbahnya. Artinya, seorang khatib boleh menambahi khutbahnya dengan bahasa lainnya, asalkan pada kelima rukun itu dia menggunakan bahasa Arab, walau hanya sepotong saja.

Masalah Syarat Kebolehan Menjama' Shalat

Hadits yang anda sampaikan itu boleh dikerjakan, namun dengan pengertian bahwa beliau SAW pernah melakukannya dalam kondisi tertentu. Bukan untuk waktu yang lama dan bersifat terus menerus.

Misalnya, ketika anda dalam keadaan macet yang akut, di mana sama sekali tidak ada kesempatan untuk melakukannya, padahal anda sudah berupaya untuk melakukannya.

Akan tetapi hadits itu tidak berada dalam kapasitas bahwa hal itu terjadi setiap hari selama anda melewati masa-masa kuliah. Sebab hal itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya.

Maka sebaiknya anda melakukan shalat dengan benar dan lengkap, bukan dengan mencari-cari pembenaran sendiri. Sedangkan alasan kesibukan kuliah memang bisa kami pahami, namun satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa shalat itu pekerjaan yang simple, sederhana, mudah dan singkat. Mungkin hanya butuh 2 menit saja untuk sebuah shalat Dzhuhur yang 4 rakaat itu. Waktunya sama dengan waktu yang anda butuhkan untuk sekedar buang air kecil. Bahkan bisa lebih singkat dari itu.

Kalau anda dibolehkan sekedar buang air kecil ke toilet, maka anda pun seharusnya punya keluasan waktu untuk bisa sekedar melakukan shalat.

Bahkan anda tidak harus mengerjakannya di dalam masjid, atau tempat shalat khusus. Anda bisa melakukannya di mana saja, sambil pamit mau ke toilet. Bisa anda lakukan di lorong, bawah tangga, halaman, kebun, teras rumah, trotoar, selasar, koridor, halte bus atau bahkan di depan WC sekalipun. Kalau perlu sambil antri menunggu lift, ATM, periksa dokter dan lainnya.

Bahkan anda tidak perlu harus pakai sajadah, kain sarung, peci (kopiah), tasbih, baju koko dan beragam atribut lainnya. Yang penting aurat anda tertutup.

Bahkan bila memang tidak ada air, anda toh boleh tayammum. Tidak perlu repot-repot, cukup tepukkan kedua tangan anda ke lantai yang anda injak lalu sapukan ke wajah dan kedua tangan, jadilah.

Kalau orang Jepang terkenal hobi membaca di mana pun dan kapan pun, maka sebagai muslim anda perlu punya hobi juga, yaitu hobi shalat di mana pun dan kapan pun. Tidak ada satu pun undang-undang di dunia ini yang melarang seorang muslim melakukan shalat. Seandainya anda shalat di mana pun, anda punya hak untuk melakukannya. Tidak ada hak bagi siapapun untuk anda melakukan shalat.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Anak Belum Mandiri, Apakah Semua Warisan Ayah Jatuh ke Tangan Ibu?


Assalamu'alaykum wr. wb.

Usadz, ayah saya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Saat beliau meninggal, harta yang beliau tinggalkan: rumah tinggal, mobil pribadi, dan beberapa aset rumah kontrakan. Tapi beliau juga meninggalkan sejumlah hutang. Yang ingin saya tanyakan:

1. Bagaimana pembagian warisnya untuk tiap-tiap ahli warisnya (anak laki-laki, perempuan, isteri, ibu)?

2. Lalu bagaimana cara penyerahannya, apakah semua aset yang ada harus dikalkulasi, lalu dijual dan selanjutnya baru dibagi (setelah dikurangi jumlah hutang)?

3. Jika saya dan adik-adik saya yang juga termasuk ahli waris masih dalam tanggungan ibu kandung, yang dalam hal ini isteri ayah, jadi semua harta seharusnya jatuh ke tangan ibu. Begitu bukan? Lalu bagaimana posisi nenek (ibu ayah), jika beliau ridha untuk memberikan bagian beliau untuk pendidikan kami, cucu-cucunya, apakah masih ada kewajiban kami untuk memberikan bagian beliau? Atau kami tetap harus memenuhi hak beliau ketika pendidikan kami semua telah selesai?

Saya mohon jawabannya, karena masalah ini sudah cukup lama saya ingin tanyakan, tapi jawaban tiap-tiap orang berlainan. Karenanya ustadz, jika ada ayat atau hadits yang berkaitan, mohon dilampirkan.

Jazakallah.

Wassalamu'alaykum wr. wb.

_rie_
xyxyam48 at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Seharusnya jawaban yang anda terima tidak berlain-lainan, seandainya anda bertanya kepada orang yang menguasai ilmu faraidh. Kalau ternyata jawaban yang anda terima berlain-lainan, boleh jadi ada banyak sebab. Misalnya, orang yang anda tanyakan itu tidak mengerti ilmu faraidh (ilmu pembagian warisan). Dan kalau benar karena sebab ini, sungguh memang sangat fatal.

Perlu anda pahami baik-baik bahwa tidak semua penceramah menguasai ilmu ini, meski beliau bisa ceramah berjam-jam. Juga tidak semua ustadz bisa membagi warisan dengan ilmu faraidh, bila belum pernah mempelajarinya.

Padahal ilmu faraidh adalah ilmu yang nyata dan kelihatan. Semua dalilnya lengkap dan mudah dipelajari. Dan bila telah dipelajari dengan benar, seharusnya jawabannya pasti selalu sama. Kecuali bila seseorang menjawab bukan dengan ilmu faraidh.

Ketentuan dan Langkah Pembagian Warisan

1. Langkah Pertama

Sebelum bicara tentang pembagian warisan, kita perlu menetapkan terlebih dahulu harta almarhum dan memisahkannya dengan yang bukan harta beliau.

Boleh jadi ada harta yang dimiliki bersama dengan orang lain. Misalnya dengan isterinya atau siapapun. Maka harus dipisahkan terlebih dahulu, jangan sampai ikut dibagi waris.

2. Langkah Kedua

Berikutnya adalah menunaikan semua hutang almarhum yang belum terlunasi. Termasuk wasiat untuk memberikan sejumlah harta kepada orang-orang tertentu kalau memang pernah berwasiat. Namun ketentuannya tidak boleh lebih dari 1/3 nilai total harta almarhum.

Dan yang menerima wasiat tidak boleh ahli waris. Sebab ahli waris sudah punya jatah tersendiri dalam pembagian harta.

3. Langkah Ketiga

Setelah semua urusan selesai, maka baru kita bicara pembagian warisan.

Untuk itu kita harus menentukan dulu siapa saja yang merupakan ahli waris dan siapa yang bukan ahli waris. Boleh jadi kita mengira seorang anggota keluarga adalah ahli waris, padahal ternyata dia bukan ahli waris almarhum. Misalnya menantu, mertua, anak tiri, saudara angkat dan lainnya. Meski bagian dari kelaurga atau sudah seperti keluarga, tetapi mereka bukan ahli waris.

Jumlah ahli waris sebenarnya banyak sekali, bisa mencapai 25 orang. Tetapi dalam implementasinya, yang benar-benar akan menerima warisan seringkali berkurang.

Hal itu terjadi karena ada ketentuan hijab dalam pewarisan. Hijab artinya penutup, yaitu keberadaan seorang ahli waris yang menutup hak ahli waris lainnya. Baik menutup secara sebagiannya sehingga warisannya jadi berkurang, atau pun hijab secara keseluruhan sehingga haknya hilang sama sekali.

Berdasarkan data yang anda berikan, maka semua memang termasuk ahli waris, yaitu:

  1. anak laki-laki alamrhun
  2. anak perempuan almarhum
  3. isteri almarhum
  4. ibu almarhum

4. Langkah Keempat

Setelah kita mendapatkan daftar ahli waris, kini tinggal menetapkan nilai warisan yang akan diterima oleh masing-masing.

Ketentuannya adalah bahwa ahli waris itu terbagi menjadi dua jenis, yaitu ashabul fardh dan ashabul ashabah.

a. Ashabul fardh adalah jenis ahli waris yang sudah ditetapkan prosentase haknya.

Misalnya ibu almarhum berhak sebesar 1/6 atau 1/3 dari total harta almarhum. Misalnya lainnya adalah isteri, yang haknya adalah 1/4 atau 1/8 dari total harta milik almarhum. Kenapa ada dua pilihan? Karena memang itu ketetapan dari Allah, yang jelas-jelas menyebutkan keadaan tertentu.

b. Ashabul ashabah adalah jenis ahli waris yang tidak punya nilai prosentase pasti atas haknya dalam warisan. Mereka hanya menerima sisa harta yang telah ditetapkan untuk kepada para ashabul furudh.

Misalnya anak laki-laki almarhum, dia tidak punya nilai yang pasti dalam bentuk prosentase hak warisan. Besarnya bergantung sisa harta yang telah diberikan kepada ashahabul furudh.

Implementasi

Kalau berdasarkan data di atas, maka isteri dan ibu almarhum termasuk ashabul furudh. Sedangkan kedua anak almarhum baik yang laki dan yang perempuan, termasuk ashabah. Maka kita berikan dulu harta warisan ini kepada ibu dan isteri. Sisanya kita berikan kepada anak-anak almarhum.

a. Warisan untuk Ibu Almarhum

Warisan untuk ibu almarhum adalah 1/6 dari total harta yang diwariskan. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan. (QS. An-Nisa': 11)

b. Warisan untuk Isteri Almarhum

Isteri almarhum mendapat 1/8 bagian dari total harta yang dibagi waris. Bukan 1/4 bagian karena almarhum punya keturunan yang berhak mendapat warisan, yaitu anak laki dan perempuan. Dasarnya adalah firman Allah SWT:

Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. (QS An-Nisa: 12)

Dengan demikian, harta yang jumlah asalnya 1 bulat itu telah dikurangi dengan 1/6 dan 1/8. Sisanya akan kita berikan kepada anak-anak almarhum. Tapi berapakah sisanya?

Mudah saja, mari kita ingat-ingat pelajaran SD zaman dulu. Kita kurangkan angka 1 dengan 1/6 dan 1/8. Hitungannya begini

1 - (1/6+1/8) = sisa

1 - (4/24 + 3/24) = sisa

1 - 7/24 = sisa

24/24 - 7/24 = 17/24

Kita sudah temukan bahwa sisa harta warisan yang masih ada yaitu 17/24 bagian. Dan itu adalah hak untuk para ashabah. Yang dalam hal ini adalah anak laki dan perempuan almarhum.

c. Hak untuk Anak-anak

Sayang sekali anda tidak menyebutkan berapa jumlah anak laki-laki dan berapa jumlah anak perempuan almarhum yang masih hidup. Sehingga tidak jelas berapakah warisan yang akan diterima oleh masing-masingnya.

Tetapi untuk memudahkan, mari kita pakai asumsi saja. Misalnya, anak laki memang hanya ada satu dan anak perempuan juga cuma satu orang, maka ketentuannya adalah bahwa bagian yang diterima anak laki harus 2 kali lipat lebih besar dari anak perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (QS. An-Nisa': 11)

Maka kita bagi angka 17/24 menjadi tiga bagian sama besar, lalu dua bagian kita beri kepada anak laki dan satu bagian kita beri kepada anak perempuan. Hitungannya sederhana saja:

  • untuk anak laki adalah 2/3 x 17/24 = 34/72 bagian
  • untuk anak perempuan 1/3 x 17/24 = 17/72 bagian

Hasil akhirnya tinggal kita sandingkan saja daftar ahli waris dengan masing-masing bagiannya seperti berikut:

  • Ibu 1/6 = 12/72 bagian atau 16.6% dari total warisan
  • Isteri 1/8 = 9/72 bagian atau 12.5% dari total warisan
  • Anak laki 34/72 bagian atau 47.2% dari total warisan
  • Anak Perempuan 17/72 bagian atau 23.61% dari total warisan

5. Langkah Kelima

Setelah kita dapatkan jatah dan besaran prosentase masing-masing ahli waris, tinggal kita serahkan saja kepada musyawarah para ahli waris tentang teknis serah terimanya.

Karena sangat boleh jadi bentuk harta yang dibagi waris bukan berbentuk uang tunai, melainkan benda-benda. Seperti tanah, rumah, perabot, kendaraan, bahkan surat tagihan hutang atau saham.

Boleh saja rapat ahli waris menetapkan bahwa semua bentuk harta benda dikonversikan dalam bentuk nilai nominal. Lalu dibagikan berdasarkan nilai nominal itu.

Atau bisa juga langsung dijual kepada pihak ketiga, duitnya dibagi sesuai dengan nilai prosentase masing-masing.

Atau bisa juga dipilah berdasarkan kesepakatan dan kondisinya, mungkin sebagian ada yang dijual, sebagian ada yang dimiliki bersama dengan nilai kepemilikan sesuai dengan prosentase masing-masing, dan sebagiannya lagi dijual kepada sesama ahli waris.

Terakhir...

Seandainya ada dari ahli waris yang tidak mau menerima warisan atau merelakan warisan itu untuk diberikan kepada ahli waris lain atau mungkin malah orang lain, maka pembagian di atas dilaksanakan terlebih dahulu. Baru kemudian yang bersangkutan memberikan harta yang sudah menjadi haknya kepada siapa yang diinginkannya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Bolehkah Berdagang dengan Mengambil Laba Lebih dari 30%?


Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz, saya punya sedikit permasalahan mengenai pengambilan keuntungan/laba yang lebih dari 30%. Kalau tidak salah, saya pernah mendengar bahwa cara berdagang Rasulullah SAW itu tidak pernah lebih dari 30% dari harga awal beli dagangannya. Lalu saya punya produk dagangan yang jika saya jual barang tersebut keuntungannya itu hampir 100% atau dua kali lipat dari harga awal belinya.

Jika saya mencoba untuk mengurangi keuntungannya hingga 30%, maka saya telah berani untuk menurunkan harga pasaran, dan saya mungkin akan ditegur bahkan dilarang oleh pedagang lain karena melakukan perbuatan yang demikian. Jadi, apakah saya tetap berdagang dengan keuntungan yang menurut saya ini terlalu berlebihan, ataukah saya harus tetap mengikuti anjuran Rasulullah?

Terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Rizka Rahman
kaka_rahman at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebenarnya tidak ada ketentuan batas maksimal margin keuntungan dalam syariat Islam. Setiap orang bebas menjual barang dengan harga berapa saja, bahkan lebih dari 100% dari nilai belinya. Bahkan ratusan persen dari harga belinya sekalipun tidak pernah ada larangan.

Apa yang pernah anda dengar tentang keuntungan yang diambil oleh Rasulullah SAW dalam berdagang yang tidak pernah lebih dari 30% perlu dikritisi.

Pertama, kita wajib mengkritisi sejauh mana keshahihan hadits tersebut. Sebab dalam menentukan hukum syariah dengan berlandaskan pada riwayat hadits nabawi, hanya hadits yang benar-benar valid dan maqbulsaja yang boleh dijadikan landasan.

Sedangkan bila riwayat itu lemah, apalagi palsu, maka kita diharamkan untuk menjadikannya sebagai landasan syariah.

Kedua, kita wajib meneliti apakah hal itu dilakukan oleh Rasulullah SAW pada masa belau belum menjadi nabi ataukah setelah diangkat menjadi nabi. Mengapa?

Karena yang boleh dijadikan dasar hukum syariah hanyalah apa yang beliau lakukan setelah mendapat wahyu. Bila sebelum beliau jadi nabi, maka meski tetap dapat hidayah dari Allah, namun nilainya bukan sebagai risalah dalam syariah Islam.

Sementara kita tahu bahwa aktifitas perdagangan yang beliau lakukan kebanyakan sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Di mana beliau pernah diajak oleh pamannya, Abu Thalib, pergi berdagang ke Syam. Juga pernah berdagang sendiri membawa modal dari Khadijah ditemani oleh Maysarah. Namun semua itu dilakukannya jauh sebelum diangkat menjadi nabi. Setelah jadi nabi, beliau relatif tidak melakukan aktifitas berjualan sebagai seorang pedagang yang mendapatkan penghidupan keluarganya. Penghidupan (maisyah beliau) dari hasil rampasan perang setelah hijrah ke Madinah.

Ketiga, kalau pun benar beliau pernah berdagang di masa kenabian dengan riwayat yang shahih, tindakannya yang tidak mengambil margin keuntungan lebih dari 30% itu belum tentu menjadi dasar pelarangan. Kecuali ada qarinah (keterkaitan) dari dalil lainnya yang punya nilai penegasan bahwa mengambil keuntungan di atas 30% itu haram.

Ketentuan dalam Margin Keuntungan

Sesungguhnya yang perlu diperhatikan dalam menetapkan margin keuntungan bukan pada angka prosentase keuntungannya, melainkan pada sisi penzaliman.

Bentuk penzaliman itubisa kita gambarkan misalnya bila seseorang punya barang yang tidak dijual di tempat lain kecuali hanya dia seorang yang menjualnya, sementara barang itu merupakan hajat hidup orang banyak, maka bila dia menaikkan harga setinggi-tingginya tanpa alasan yang kuat, di situlah lewat penzalimannya.

Sebagai contoh nyata adalah di daerah yang kekeringan air, ada seorang yang menjual air dengan menaikkan harga yang amat tidak wajar, dengan mengambil kesempatan dalam kesempitan masyarakat, maka inilah yang kami maksud dengan penzaliman. Seharusnya si pedagang peka dengan keluhan dan kesulitan masyarakatnya. Bahkan kalau perlu dia tidak perlu menjual air, tetapi membagikannya dengan gratis.

Bila kasusnya di luar seperti yang dicontohkan di atas, yaitu masyarakat punya alternatif lain untuk mendapat barang kebutuhannya dengan harga yang murah dan mudah, silahkan saja naikkan harga semaunya. Nanti mekanisme pasar lah yang akan menjawabnya.

Orang yang memasang harga setinggi-tingginya pasti barangnya tidak akan laku. Sebab pesaingnya bisa memberi harga yang amat miring dengan kualitas yang sama, serta dengan pelayanan yang standart. Maka orang akan berduyun-duyun untuk membeli barang dari pesaingnya, sementara si penjual yang memasang harga yang semahal-mahalnya sebentar kemudian akan gulung tikar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Hujjah Hadits Ahad dalam Masalah Aqidah


Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz, ana lagi bingung tentang masalah HADITS AHAD. Ada golongan yang menganggap bahwa hadits ahad tidak bisa di jadikan hujjah dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad masih termasuk ke dalam dzon (keraguan). Sebagian lagi berpendapat bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah asalkan shahih. Tolong diterangkan beserta dalilnya. Syukron atas jawabannya, jazakalloh ahsanal jaza...

Wasalamu'alaikum Wr. Wb.

Agus Priyanto
agsoseu at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang ada beberapa orang yang menghukumi hadits ahad sebagai hadits yang lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dasar aqidah.

Di antara yang berpendapat demikian antara lain An-Nadham (w. 221-223 H) dan Al-Jubbai (w. 303 H) dari kalangan Mu'tazilah yang sejak abad ke-2 hijriyah telahberpendapat demikian. Termasuk di masa sekarang ini adalah Syeikh Muhammad Syalthut yang menulis di dalam bukunya Al-Islamu Aqidatan wa Syari'atan.

Sedangkan jumhur ulama, menurut Ibnu Hazm, baik dari kalangan ahli sunnah, syiah, khawarij, qadariyah dan lainnya, semua sepakat menerima keberadaan hadits ahad sebagai landasan aqidah.

Kelemahan Pendapat Ini

Pendapat yang menolak hadits ahad sebagai landasan aqidah ini oleh para pakar hadits dikritik karena ada sedikit keterpelesetan penggunaan istilah. Yang benar sesungguhnya bukan hadits ahad, melainkan hadits dhaif. Hadits dhaif adalah hadits yang lemah dari segi periwayatannya, sehingga kekuatannya dari segi tsubut masih diragukan. Oleh karena itu masalah-masalah yang urgen seperti aqidah tidak boleh didasarkan dengan hadits dhaif.

Adapun hadits ahad punya pengertian yang jauh berbeda dengan hadits dhaif. Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi. Dan keberadaan hanya satu orang perawi dalam sebuah thabaqat tidak berpengaruh apa-apa terhadap kekuatan sebuah periwayatan. Yang penting perawi yang sendirian itu tsiqah serta tidak punya cacat atau luka (majruh).

Sehingga sebuah hadits ahad bisa saja tetap berstatus shahih, bila perawinya memenuhi syarat keshahihan suatu hadits. Sebab lawan dari hadits ahad bukanlah hadits shahih, melainkan hadits mutawatir. Sedangkan lawan dari hadits shahih adalah hadits dhaif.

Hadits mutawatiradalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Menurut As-Suyuthi, jumlah itu minimal 10 orang di tiap jenjangnya.

Sedangkan hadits ahad adalah lawan dari hadits mutawatir. Para ulama hadits biasa membuat definisi bahwa semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits ahad. Lalu hadits ahad itu bisa dibagi lagi menjadi tiga level lagi yaitu: hadits masyhur, hadits 'aziz dan hadits gharib.

Pembagian hadits ahad menjadi masyhur, 'aziz dan gharib tidaklah bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan diterima (maqbul) atau tidak diterimanya (mardud) suatu hadits, tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya jumlah sanad dan perawi suatu hadits.

Kalau kita bicara tentang keshahihan atau kekuatan derajat suatu hadits, maka kita tidak berbicara jumlah perawi. Tetapi yang kita bicarakan adalah status ketsiqahan sang perawi. Sedangkan ketika kita bicara tentang hadits ahad dan hadits mutawatir, kita hanya bicara tentang jumlah perawi, yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan status keshahihan suatu hadits. Meski tetap ada hubungannya.

Oleh karena itu, yang benar adalah bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah. Sedangkan hadits ahad, asalkan perawinya tsiqah, tetap bisa berstatus shahih dan bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah.

Dalil Hadits Ahad Bisa Dijadikan Landasan Masalah Aqidah

1. Pengiriman Da'i ke Berbagai Wilayah

Dakwah Raslullah SAW tidak terbatas hanya di kota Makkah dan Madinah saja, tetapi juga merambah ke segala penjuru negeri arab, bahkan sampai ke luar negeri arab. Untuk itu Rasulullah SAW mengutus satu orang shahabat ke masing-masing wilayah untuk mengajak penduduknya masuk Islam.

Salah satunya adalah Muaz bin Jabal diutusbeliau SAW ke negeri Yaman. Dari wawancara antara Rasulullah SAW dengan beliau sebelum berangkat, jelas sekali bahwa misi yang diemban adalah mengajarkan tauhid dan masalah aqidah.

Kalau dilihat dari pengertian hadits ahad, maka dikirimnya Muaz ra. ke Yaman adalah merupakan fenomena hadits ahad, sebab beliau sendirian saja di tengah wilayah yang dijadikan objek dakwah. Kalau pun disebut-sebut bahwa Abu Musa Al-Asy'ari juga dikirim ke Yaman, ternyata ke wilayah yang berbeda.

Maka klaim bahwa hadits ahad tida bisa dijadikan dasar masalah aqidah, gugur dengan sendirinya. Sebab datangnya Muaz ra. ke Yaman untuk mengajarkan seluruh ajaran Islam adalah sebuah kasus hadits ahad. Namun tidak pernah ada yang mempermasalahkan keIslaman penduduk Yaman, meski hanya disampaikan oleh satu orang pembawa berita.

2. Surat Nabi kepada Para Raja Dunia

Surat-surat yang dikirim kepada para raja dunia oleh Rasulullah SAW juga merupakan bagian dari fenomena hadits ahad. Padahal isinya justru masalah yang paling esensial dalam Islam.

Kalau dikatakan hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah, maka tidak ada gunanya surat-surat itu dikirimkan.

3. Berita tentang Pemindahan Kiblat

Ketika turun ayat tentang pemindahan qiblat dari Masjid Al-Aqsha di Palestina ke Masjid Al-Haram di Makkah, para shahabat sedang melakukan shalat shubuh d masjid Quba', tiba-tiba datang seorang yang membawa berita bahwa telah turun ayat yang memerintahkan pemindahan kiblat. Maka mereka tidak mempermasalahkan jumlah yang membawa berita. Sehingga saat itu juga mereka langsung balik arah.

Kalau seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah atau syariah, maka para shahabat tidak akan begitu saja menerima berita turunnya wahyu itu.

4. Hadits Nabawi

Juga ada hadits nabawi berikut ini yang menegaskan bahwa berita yang dibawa hanya oleh satu orang, tetap bisa dijadikan dasar dan hujjah atas masalah yang penting semacam aqidah dan sebagainya.

Allah SWT telah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian dia menyampaikannya lagi kepada orang lain sebagaimana yang dia dengar. (HR Tirimizy)

Hadits ini jelas sekali menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya kembali, meski dilakukan hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik terkait dalam masalah aqidah, syariah atau lainnya.

Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidahIslam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya.

Karena semua aqidah itu dilandasi dengan dalil-dalil yang berasal dari hadits ahad, tidak sampai mutawatir.

Bahkan sebagian besar syariat Islam akan terhapus, karena jumlah hadits mutawatir sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah hadits ahad.

Yang benar adalah bahwa hadits ahad itu banyak yang shahih, sehingga tetap bisa dijadikan landasan aqidah, syariah dan semuanya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Rabu, November 29, 2006

Di Balik Sebuah Nama

Oleh Yon's Revolta


Carilah makna dalam kata-kata ini
Nafas manisku adalah sergapanNya
Karena nama-nama identik
dengan yang diberi nama
Adam melihat hakikat lewat nama-nama
(J. Rumi)

Nama anak sekarang bagus-bagus dan indah. Saya suka mencermati nama-nama anak para mantan aktivis dakwah kampus. Mereka kebanyakan memberi nama-nama anaknya yang diambil dari bahasa Arab. Artinya sungguh bermakna. Misalnya Azzam (kebulatan tekad), Azmi (keteguhan hati), Faiz (menang) atau Zahra (bunga), Alia (tinggi), Hasna (cantik), Huwaida (yang lemah lembut) dan sebagainya.

Saya yakin, mereka memberi nama anaknya tentunya juga punya harap. Agar anaknya mempunyai sifat atau seperti makna yang terkandung dibalik arti nama-nama itu. Ini merupakan sebuah awalan yang bagus untuk pembelajaran. Artinya, ketika mereka (anak-anak itu) berbuat yang tidak baik, mereka akan dibenturkan dengan hakikat nama yang dimilikinya. Dengan demikian akan merasa malu ketika seorang anak melakukan perbuatan yang tidak baik, atau tidak pantas dilakukan.

Tapi ini belumlah cukup.

Justru, yang terpenting adalah mengikutinya dengan pendidikan yang cukup untuk anak-anak itu. Agar kelak di kemudian hari, seorang anak tidak akan terjerumus melakukan berbagai tindakan menyimpang yang digariskan oleh Islam. Akan sangat disayangkan ketika mempunyai nama Muhammad misalnya, dia justru terlibat krimimalitas tingkat tinggi, tukang mabuk-mabukan atau pengguna obat-obatan terlarang. Dengan demikian, sama sekali tak mencerminkan nama mulia yang disematkannya.

Di balik nama adalah doa.

Ya, ketika kita memberikan nama, harapannya memang begitu. Kita berdoa agar Tuhan, Allah SWT bisa memberikan anugerah atas sifat-sifat yang disematkan pada nama-nama itu. Tapi sekali lagi, seperti yang telah saya singgung di atas, hal itu belum cukup. Allah SWT tentunya akan memberikan anugerah sesuai dengan usaha dan persangkaan hambanya. Nah, usaha tetap harus dilakukan dengan mendidik anak. Tak terkecuali bagi seorang ibu yang misalnya wanita karir sekalipun. Usaha mendidik anak, memberi perhatian, curahan kasih sayang tetap harus dilakukan. Karena memang inilah tugas seorang ibu yang akan berdampak buruk kalau ditinggalkan.

Nah, sekarang saatnya kita bercermin dengan rahasia di balik nama kita.

Setelah kita membicarakan nama-nama anak zaman sekarang. Kinilah saatnya kita sesekali merenungi nama kita sendiri. Apa arti nama kita, kalau belum tahu, cobalah tanyakan ke orang tua kita, atau carilah sampai ketemu tentang arti nama kita. Kalau sudah, bercerminlah, apakah perilaku kita, sifat kita itu sudah sesuai dengan kekuatan makna atas nama kita.

Kalau sudah, bersyukurlah dan melakukan proses lebih baik dan lebih baik lagi tetap harus dilakukan. Kalaupun belum, yah, tak ada kata lain selain kita memperbaiki diri. Mencoba menemukan jalan baru agar kita bisa menuju proses yang lebih baik dalam bimbingan agama kita. Memang demikianlah yang seharusnya dilakukan. Karena hidup adalah sebuah proses yang tiada henti. Proses menuju perbaikan atas diri agar sesuai dengan yang digariskanNya.

Selain itu, yang juga sering kali terjadi. Kita kadang tak sadar memberi julukan atau memanggil nama teman kita dengan sebutan yang tak mengenakkan, misalnya Bolot, Panjul, Si Gendut (Botol), kriting, item dsb. Kalau kita sering melakukan itu, cobalah rasakan apabila orang lain juga melakukan hal yang sama kepada kita. Tentu sakit hati bukan. Untuk itu, karena nama adalah doa. Kita panggil dan sebut saja nama-nama yang baik. Agar, mewujud pribadi-pribadi yang baik juga. Karena pribadi yang baik adalah kunci dari peradabann yang unggul. Semoga. (yon’s revolta)

~Snow Man Alone~
Purwokerto, 23.11.06.

http://penakayu.blogspot.com

Berpolitik Menurut Al-Qur'-an dan As-Sunnah


Ustadz, ana ingin bertanya.

Kalau dilihat dari realita yang sekarang, banyak sekali partai yang mengatas namakan partai Islam (PKB, PKS, PAN dan lain-lain) sehingga sebagai seorang muslim ada yang mewajibkan harus memilih salah satu dari beberapa partai tersebut atau bahkan sama sekali tidak memilih.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sesungguhnya atau sebenarnya dilihat dari sudut pandang Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam hal berpolitik/ berpartai? Ada nggak contohnya dari Nabi dan para sahabat? Mohon penjelasan, jazakumulloh khoiron katsiron.

Wassalam,

Abu Hurairah Ali Asmara
abuhurairah at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.

Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.

Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid'ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.

Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.

Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda.

Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.

Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.

Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan.

Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen

Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid'ahkannya?

Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:

  1. Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
  3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
  4. Muhammad Rasyid Ridha
  5. Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa'di: Ulama Qasim
  6. Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
  7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
  8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
  9. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
  10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani
  11. Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
  12. Syeikh Abdullah bin Qu'ud
  13. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-'Asyqar
  14. Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq

Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?

1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

a. Fatwa Pertama

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da'i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:

Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.

Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da'i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

b. Fatwa Kedua

Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya?

Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.

Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta'yir melainkan dengan kata-kata yang baik.

Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).

Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)

Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

c. Fatwa Ketiga

Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?

Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.

Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

d. Fatwa Keempat

Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi'ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:

Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai'ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta'.

Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.

Jawaban Seikh Bin Baz:

Wa 'alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,"Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan." Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,"Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan." Waffaqallahul jami' lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

Bin Baz

2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-'Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?

Syaikh Al-'Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan.

Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik.

Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.

Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?

Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.

Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:

Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?

Syaikh Al-'Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'.

Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)

Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.

3. Pendapat Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam

Dalam kitab Qawa'idul Ahkam karya Al-'Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya'ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.

Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen diperbolehkan.

4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:

Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.

Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik.

Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.

Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan rosulnya.

Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.

5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan

Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, "Apa itu parlemen?" Salah seorang peserta menjawab "Dewan legislatif atau yang lainnya" Syekh, "Masuk untuk berdakwah di dalamnya?" Salah seorang peserta menjawab, "Ikut berperan serta di dalamnya" Syekh, "Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?" Peserta, "Iya."

Syeikh: "Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit."

Salah seorang peserta, "Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia."

Syeikh: "Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?"

Salah seorang peserta, "Mengakui."

Syeikh: "Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?

Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?

Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami" Nabi Yusuf saat itu menjawab, "Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai." Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.

Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, "Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar."

Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata "Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada Allah," tidak tidak boleh itu."

Salah seorang peserta, "Apa yang menjadi jalan keluarnya?"

"Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan" (Rekaman suara)

6. Syaikh Abdullah bin Qu'ud

Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?

Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.

Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.

Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata:

"Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar" (QS. An-Nisaa: 73).

Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya.

Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..

Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Hadits Tentang Zikir Bersama


Assalamualaikum, pak Ustaz

Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan kepada Ustaz, sekiranya Ustaz berkenan menjawabnya.

1. Sering saya mendengar bahwa zikir-zikir yang dibawakan secara bersama-sama itu tidak pernah dicontohkan oleh Rosul dan para sahabat rosul, apakah ini benar?

2. Bagaimana hukumnya untuk berzikir dan berdoa bersama yang sering dilakukan di masjid-masjid?

3. Tolong kami diberikan dalil-dalil Hadits yang sohih untuk kedua permasalahan tersebut, agar kami dapat panduan untuk kami melaksanakan atau tidak kedua ibadah tersebut.

Terima kasih atas tanggapannya Ustaz

Terima Kasih dan salam,

Suryono
yono_inco at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak ada orang yang bisa mengklaim bahwa zikir yang dilantunkan secara bersama-sama tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebab hadits dan riwayat yang secara detail menyebutan hal itu tidak pernah ada.

Yang ada hanyalah hadits-hadits menyebutkan adanya fenomena di mana orang-orang yang melakukan dzikir di dalam suatu forum atau majelis secara umum, tanpa penjelasan detail teknisnya.

Sehingga kita tidak bisa mengklaim bahwa teknis zikir yang dilakukan itu begini atau begitu. Apakah ada satu orang yang menjadi pimpinan zikir lalu para jamaah yang hadir mengikutinya, ataukah zikir itu dibaca bersama-sama dengan alunan lagu tertentu, ataukah mereka masing-masing berzikir sendiri-sendiri, tidak bersama dan tanpa komando. Semua itu tidak pernah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih.

Karena tidak adanya keterangan yang lebih detail tentang hal itu, maka muncullah banyak spekulasi di kalangan para ulama. Sehingga muncullah perbedaan pendapat yang masing-masing tidak berlandaskan nash yang sharih, kecuali hanya berdasarkan penafsiran, ijtihad, asumsi dan kecenderungan subjektif.

Di antara hadits yang berbicara secara umum tentang adanya majelis zikir antara lain:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا, يَذْكُرُونَ اَللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ, وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ, وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ أَخْرَجَهُ مُسْلِم

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah suatu kaum duduk pada sebuah majelis untuk berzikir kepada Allah, kecuali malaikat menaungi mereka, mencurahi mereka dengan rahmat serta nama mereka disebut di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya." (HR Muslim)

إن لله ملائكة يطوفون في الطرق يلتمسون أهل الذكر فإذا وجدوا قوماً يذكرون الله تعالى تنادوا هلموا إلى حاجتكم قال: فيحفونهم بأجنحتهم إلى السماء الدنيا

Sesungguhnya Allah punya malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari ahli zikir. Bila para malaikat itu menemukan suatu kaum yang sedang berzikir, mereka pun memanggil yang lainnya dan berseru,"Kemarilah laksanakan tugas kalian." Maka para malaikat itu menainginya dengan sayap mereka ke langit dunia. (HR Bukhari)

Oleh karena tidak adanya detail teknis serta kitab petunjuk teknis yang mengharuskan begini dan melarang begitu dalam format berzikir berjamaah, maka masalah ini akan tetap selalu menjadi lembah khilaf di kalangan para ulama.

Sedangkan berzikir dalam satu forum, lepas dari teknisnya seperti apa, adalah sesuatu yang sudah disepakati keutamaannya, pahalanya bahkan nilai ibadahnya. Sedangkan menafikan suatu pendapat dengan mengambil pendapat tertentu, tentu saja boleh dan dibenarkan. Selama tidak saling menghujat atau saling menuduh sesat sesama muslim.

Wallahua'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Siapakah Syeikh Albani?


Mohon penjelasan Ustaz tentang Syeikh Albani, sebab ada ulama yang menyebutkan beliau sebagai "syeikh kontoversial", "orang yang suka membuat hadist" terutama mengenai buku "Sifat Solat Nabi" halaman 158-159 tentang hadist tahyat menggerak-gerakkan jari telunjuk.

Khoiril Anwar
khoiril_anwar at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.

Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.

Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus

Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.

Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.

Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.

Pendidikan Agama

Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.

Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.

Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.

Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.

Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan

Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.

Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.


Kontroversi Tentang Sosok Beliau

Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.

Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.

Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.

Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.

Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.

Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.

Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.

Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid'ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.

Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.

Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.

Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.

Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.

Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Wafat Beliau dan Warisannya

Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:

  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal maudhu'ah
  5. At-Tawasul wa anwa'uhu
  6. Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Mencuci Celana yang Ada Maninya Dicampur dengan Cucian Lain


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya mau menanyakan tentang, "mimpi" apabila mimpi itu membuat saya "keluar" maka celana saya kena nodanya. Apabila saya mencuci celana tersebut disatukan dengan cucian lain (merendamnya) bersamaan, apakah noda dalam celana saya itu meluber ke mana-mana? Maksud saya jadi pakaian lain di dalam rendaman itu terkena "nodanya" dan hal itu apakah membuat pakaian lain dan khususnya celana saya itu juga apabila dipakai shalat tidak sah karena nodanya itu meskipun sudah di cuci?

Firman
rio_algorithm at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada dua hal yang perlu kita ketahui dalam menjawab pertanyaan anda. Pertama, air mani manusia bukanlah benda najis menurut jumhur ulama. Kedua, najis yang bercampur dengan air yang banyak, tidak akan mengubah hukum air itu menjadi najis, selama tidak ada indikasi air itu berubah menjadi najis.

a. Masalah Pertama

Air mani yang keluar dari kemaluan seseorang sesungguhnya bukan benda najis. Air mani adalah satu pengecualian dari ketentuan bahwa segala benda yang keluar lewat kemaluan hukumnya najis. Baik berbentuk padat, cair atau gas.

Air kencing, mazi, wadi, darah, nanah, batu dan semua yang keluar lewat kemaluan ditetapkan para ulama sebagai benda najis. Kecuali air mani, hukumnya bukan najis.

Dalil dari tidak najisnya air mani ada banyak, di antaranya adalah hadits berikut ini:

لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ وَفِي لَفْظٍ لَهُ: لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ

Dari Aisyah ra. berkata, "Aku mengerok mani dari pakaian Rasulullah SAW dan beliau memakainya untuk shalat." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku menggaruk dengan kuku-ku mani yang kering dari pakaian beliau." (HR Muslim)

Dengan hadits ini, para ulama umumnya mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Tindakan Aisyah isteri beliau mengerok atau menggaruk dengan kuku sisa mani yang sudah mengering di pakaian beliau menunjukkan bahwa air mani tidak najis. Sebab kalau najis, maka seharusnya Aisyah ra. mencucinya dengan air hingga hilang warna, aroma atau rasanya.

Tindakan Aisyah menurut sebagian ulama dilatar-belakangi rasa malu beliau melihat Rasulullah SAW, suaminya, shalat dengan pakaian yang belepotan sisa mani. Maka dikeriknya setelah kering agar tidak terlihat nyata, meski sesungguhnya tetap masih ada sisa mani kering yang menempel.

Namun sebagian kecil ulama memang ada yang mengatakan bahwa air mani itu najis. Misalnya pendapat Al-Hanafiyah, Malik, Ahmad pada sebagian riwayat dan Al-Hadawiyah. Di antara dasaryang melandaskan pendapat mereka adalah hadits berikut ini:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Aisyah ra. mengatakan, ”Biasa Rasulullah SAW. mencuci mani kemudian keluar shalat memakai sarung itu dan saya melihat bekasnya cucian sarung itu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Tindakan Rasulullah SAW mencuci bekas mani di pakaiannya menunjukkan bahwa mani itu najis.

Namun pendapat ini dibantah oleh para ulama yang mengatakan bahwa air mani tidak najis dengan beberapa jawaban. Antara lain:

  1. Hadits ini meski secara riwayatnya shahih, namun tidak menunjukkan kewajiban untuk mencuci bekas mani yang menempel di pakaian. Tetapi hanya menunjukkan keutamaan untuk mencucinya dan hukumnya hanya sunnah.
  2. Kalau ada beberapa hadits yang bertentangan secara lahir, padahal masing-masing punya sandaran yang kuat, maka sebelum menafikan salah satunya, harus dicarikan dulu kesesuaian antara dalil-dalil itu. Dan menyimpulkan bahwa mani tidak najis adalah bentuk kompromi atas semua dalil yang ada. Sedangkan tindakan nabi yang mencuci bekas mani, harus dipahami bukan sebagai keharusan, melainkan kepantasan dan kesunnahan.
  3. Meski pun Al-Hanafiyah mengatakan bahwa air mani itu najis, namun mereka berpendapat bahwa untuk mensucikan bekas mani cukup dengan mengeriknya setelah kering, tidak perlu dicuci.

b. Masalah Kedua

Seandainya anda lebih cenderung kepada pendapat bahwa air mani itu najis, maka barangkali masalah yang kedua ini bisa menjadi jalan keluar.

Air yang jumlahnya banyak bila kejatuhan atau tercampur dengan benda najis yang sedikit, tidak akan berubah hukumnya menjadi najis. Selama air it tidak berubah warnanya menjadi warna najis, atau berubah baunya menjadi bau najis, atau berubah rasanya menjadi rasa najis.

Seandainya pada salah satu pakaian yang dicuci ada najisnya, misalnya air kencing, atau darah, nanah, kotoran manusia, muntah dan sejenisnya, lalu pakaian itu direndam di air bersama dengan pakaian lainnya, maka selama air rendaman itu tidak mengalami perubahan menjadi najis, maka air itu tidak najis. Indikatornya bisa menggunakan salah satu dari tiga hal di atas yang kami sebutkan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Selasa, November 28, 2006

Keadilan Ilahi

Oleh Chandra Kurniawan


Saya teringat ketika saya mendapat musibah seorang ustadz menasihati saya dengan berkata, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Potongan ayat itu terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 286. Pada saat itu saya tidak begitu memedulikan nasihat itu. Karena saya anggap musibah yang menimpa saya terlalu berat. Namun setelah musibah itu berlalu, saya kembali teringat dengan potongan ayat itu.

Saya kemudian merenungi potongan ayat itu, apa maknanya? Ternyata ayat itu ada kelanjutannya, “Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” Sampai di sini saya berkata dalam hati, “Ayat ini berbicara tentang Kemaha-adilan Allah terhadap makhluk-Nya.” Hendaknya manusia sadar akan bahaya dari perbuatan jahatnya, karena Allah akan membalasnya cepat atau lambat, di dunia dan di akhirat. Dan balasan itu tidak mungkin berlebihan dan tidak mungkin pula kurang, sesuai dengan dosa yang bersangkutan.

Saya kemudian berpikir, musibah yang telah menimpa saya tidak lain disebabkan oleh kejahatan yang telah saya lakukan. Dan pada saat itu, Allah menegur saya untuk kembali kepada-Nya. Tidak mungkin bagi Allah untuk menyiksa hamba-Nya yang taat karena di dalam al-Quran sendiri dinyatakan, Allah akan memberi rezeki yang melimpah, berkah, kesejahteraan, rahmat dan keselamatan pada orang-orang bertakwa. Jadi jika direnungkan kembali potongan ayat yang berbunyi, “Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya,” artinya “Dia mendapat banyak nikmat dari kebajikan yang dikerjakannya.” Sebaliknya, “Dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya”, artinya “Dia mendapat bencana dari kejahatan yang diperbuatnya.”

Bagaimana jadinya jika bencana itu sudah menimpa kita? Apa yang mesti kita lakukan? Apakah hanya diam, menangis, dan berpangku tangan? Ternyata Allah memberikan jawabannya pada potongan ayat selanjutnya. Allah Swt. berfirman, “(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, jangan Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

Doa itu dimaksudkan, kita memohon agar setiap dosa yang telah kita lakukan segera mendapat ampunan-Nya; agar musibah yang menimpa kita tidak melebihi kesanggupan kita. Dengan cara itulah akibat siksa dari dosa itu menipis, bahkan hilang. Betapa Allah telah menunjukkan keagungan dan kemahakuasaan-Nya dari ayat ini. Betapa sangat besar makna ayat Allah ini. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

http://penulis-muda.blogdrive.com

seruling_daud@yahoo.com