Minggu, Februari 12, 2012

I'm Moslem. Don't Panic

"I'm Moslem. Don't Panic" kata-kata itu tertulis di kaos yang dikenakan Nathan Ellington, saat ia diwawancari wartawan pada tahun 2007 lalu. Tapi ia menolak difoto atau tampil di depan kamera televisi saat mengenakan kaos itu, karena khawatir ada orang yang merasa tersinggung dengan tulisan tersebut.

Nathan Levi Fontaine Ellington memang harus pandai menjaga sikap, karena ia termasuk figur masyarakat di Inggris. Lelaki kelahiran Bradford, West Yorkshire pada 2 Juli 1981, adalah pesepakbola yang namanya cukup terkenal di negeri itu.

Pemain Liga Premier yang sekarang bergabung dengan klub sepakbola Preston North End itu, sebenarnya sangat terbuka dengan keislamannya. Ia menjadi salah satu pesebakbola Muslim diantara pesepak bola Muslim lainnya yang bermain di Liga Premier seperti Mo Sissoko, Hameur Bouazza, Diomansy Kamara dan Nicolas Anelka.

Tapi menjadi seorang Muslim di Inggris bukan persoalan yang mudah, meski negara itu cukup terbuka dengan kaum Muslimin.

Ellington masuk Islam pada tahun 2004 setelah menikah dengan seorang muslimah asal Bosnia bernama Alma. Namun kakak Ellington bernama Jason yang lebih dulu masuk Islam, ikut berperan dalam keislamannya. Ellington, yang mengaku bukan seorang Kristiani yang taat sebelum masuk Islam, tidak menghadapi kendala berarti dari keluarganya saat memutuskan masuk Islam, dan menunjukkan komitmennya sebagai muslim dengan menjalankan semua kewajiban seperti puasa Ramadan dan salat lima waktu.

Ketika ditawari bermain untuk Klub Watford tahun 2007 lalu, Ellington bicara dari hati ke hati dengan manajer klub Aidy Boothroyd sebelum menandatangani kontrak, tentang keislamannya. "Saya bicara padanya tentang kewajiban yang harus saya lakukan sebagai seorang muslim. Saya menjelaskan masalah ini, karena sebagai seorang pemain yang muslim, saya dianggap berbeda dengan pemain lainnya. Ternyata, dia (Boothroyd) tidak masalah dengan semua itu," tutur Ellington yang dibayar 3,25 juta poundsterling oleh klub Watford.

Ia juga menyatakan tidak menemukan kesulitan dalam menjalankan ibadah, utamanya salat lima waktu di tengah jadwal latihan yang padat. Jika harus latihan sehari penuh, ia meminta waktu lima atau sepuluh menit saat waktu salat tiba.

"Saya selalu bawa sajadah. Manajer saya tidak mempermasalahkannya. Ia menghormati bahwa salat adalah sesuatu yang harus saya laksanakan," kata Ellington.

Ia beruntung karena pelatih dan manajernya bisa memberikan keleluasaan padanya untuk menjalankan ibadah, meski beberapa teman satu timnya sering menjadikannya sebagai bahan lelucon. Olokan yang membuatnya paling tak enak didengar adalah saat ia dipanggil "Beardo, namun Ellington tidak terlalu ambil pusing.

Di klub lain, seorang pemain dijuluki "Bomber" hanya karena pemain itu seorang muslim. "Sebagian orang berpikir itu sesuatu yang lucu, padahal sama sekali tidak lucu. Ada banyak isu yang lebih besar di luar sana. Banyak orang kehilangan nyawa, atau kehilangan orang yang mereka cintai. Ada garis batas yang harus ditarik," imbuhnya.

Menurut Ellington, jika hal semacam itu terjadi, masalahnya bukan pada agama tapi pada manusiannya. "Agama itu sendiri tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk. Islam mendorong Anda untuk memahaminya, mempelajarinya. Dan saya tidak menemukan hal-hal yang salah dalam Islam. Islam tidak mengajarkan Anda untuk jadi orang jahat," tukas Ellington.

"Anda tahu, selalu ada orang yang jahat dalam setiap agama. Tapi persoalannya bukan terletak pada ajaran agamanya yang jelek, tapi pada manusianya. Ini yang harus dipahami ... Mungkin pengetahuan mereka minim. Jika mereka mau berdiskusi dengan saya, saya dengan senang hati berbagi dengan mereka," tandasnya.

"Jujur, Islam tidak mempengaruhi aktivitas sepakbola saya. Saya memang melihat banyak prasangka buruk pada agama saya. Tapi dalam tim ini, saya tidak pernah mengalami serangan bernuansa rasis, justru teman saya yang bukan muslim yang mengalami hal itu," tukas Ellington. (ln/berbagai sumber)

"Aku akan Menyusulmu di Surga Kelak Anakku"

Oleh Redi Bintarto

“I will follow and catch you up later in the heaven.” Itulah kalimat yang diucapkan Julia, seorang ibu dengan rambut pirang di depan peti mayat anaknya. Ditaruhnya sebuah alquran di atas peti mati anak tersayangnya yang meninggal tiga hari yang lalu karena tertabrak kereta api.

Hati Julia tidak tenang, jiwanya terus memberontak dan bertanya, kenapa anak sekecil itu yang mati duluan, kenapa bukan dia yang mati. Hari-harinya berlalu tanpa ada semangat dalam hidupnya, hingga dia bertemu dengan Muhammad, seorang sopir taksi yang biasa berlalu lalang disekitar kota Wollongong untuk mengantarkan penumpang demi menghidupi keluarganya.

Pertemuan Julia dan Muhammad berawal di sebuah stasiun ketika Julia melambaikan tangan kearah taksi yang dikendarai oleh Muhammad. Muhammad lalu menghampiri Julia dan membukakan pintu seperti biasa dia melayani calon penumpangnya. Julia sedikit kaget dengan penampilan Muhammad yang berjenggot lebat, seraya dia bertanya, “Are you Moslem?” Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak biasa dilontarkan oleh calon penumpang taksi, karena dengan berbagai kejadian yang menimpa kebanyakan muslim di negeri yang bukan muslim, sehingga Muhammad sedikit tersinggung dan kaget, Ia pun balik bertanya, “Yes I am, and why did u ask me?”

Mengetahui sopir taksi yang ditanyai sedikit tersinggung, Juliapun tersenyum dan bilang, “Could you help me please?” Muhammad pun menjadi terheran dengan calon penumpangnya tersebut.
Tetapi sebelum dia sempat bertanya, Julia meneruskan pertanyaannya, “My daughter passed away five days ago, she had crashed by the train, and I can’t forget it, I believe it is destiny, I believe in Alloh. Please give me advise that it can kill my broken heart”.

“Are you moslem?” Muhammad balik bertanya. “No, I am not a moslem, but I believe it is destiny and I believe Alloh,” jawab Julia.

Muhammad bingung, ia hanya memandangi wanita yang tengah menangis dan mengiba tersebut. “Ok, let sit in my taxi, we chat inside,” kata Muhammad sambil mempersilahkan Julia memasuki taksinya.
Dalam perjalanan Muhammad bertanya kepada Julia, bagaimana dia bisa percaya takdir dan juga Alloh SWT. Juliapun menjelaskan, bahwa suami pertamanya adalah seorang muslim berkebangsaan Tunisia, namun suaminya pergi kembali ke Tunisia dan tidak kembali, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menikah lagi dengan Lorrice, seorang warga Australia yang beragama nasrani, dan mereka dianugerahi seorang anak perempuan yang akhirnya meninggal tertabrak kereta api di sebuah stasiun kereta api di daerah NSW.

Muhammad lalu menjelaskan kepada Julia, bahwa semua yang ada didunia ini adalah milik Alloh SWT dan kelak akan kembali kepada Alloh SWT. Dia juga menjelaskan bahwa anak yang meninggal ketika belum baligh, maka dia akan masuk surga seperti yang Alloh janjikan.
Julia menangis mendengar penjelasan itu. “Could I met her in the heaven next?” tanya Julia. “World and Heaven are Alloh’s have, you can enter the heaven and meet your daughter if you convert to Islam and practice all of what Alloh order to mankinds,” kata Muhammad.

“Could you explain to me about Islam?” Tanya Julia. “I can, but if you don’t mind, you can meet my brother, and he will explain to you more about Islam,” jawab Muhammad. “Ok, I will come, please call me as soon as possible when he could” jawab Julia. “Insyaalloh” jawab Muhammad.

Pertemuan itupun terjadi, Muhammad mengajak Syah Jamil, penceramah dari Essence of Life, kelompok pengajian di daerah Illawara yang biasa dilakukan di Omar Mosque dan Essence life center di daerah Wollongong NSW. Syekh Jamil bercerita dan menjelaskan tentang Islam dan mengapa hanya Islam agama yang benar, hingga hari itu juga Julia dan Lorrice memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat di dalam Omar Mosque.

Air mata Julia pun menetes dipipinya, “I never felt like this time, now I am a moslem and I do sure that I will follow and catch up my daughter later in the heaven,”kemudian ia memeluk Lorrice suaminya. Suasana pun semakin mengharukan dengan para jamaah yang mengucapkan selamat dan doa untuk keduanya. Allohuakbar!




Redi Bintartor_bintarto@yahoo.com
Wollongong, NSW

Senin, Mei 09, 2011

Islam, Pelabuhan Terakhir Ihsan Chua Gim Sam

Chua Gim Sam lahir dari keluarga yang pemuluk taoisme. Namun ia dan orangtuanya, seperti penganut taoisme pada umumnya, tidak paham dengan sejarah dan prinsip-prinsip ajaran taoisme, karena mereka menerima keyakinan itu atas dasar keyakinan turun temurun. Begitu pula Chua Gim Sam, sampai usian 9 tahun menerima agama turun temurun itu tanpa banyak bertanya.

Mengapa sampai usia 9 tahun? Karena pada saat itu, seorang guru dan teman-temannya di sekolah mengatakan bahwa mereka semua harus menjadi Kristiani. Jika mereka tidak mau menjadi seorang Kristiani, mereka akan dihukum mati. Chua kecil sangat takut akan ancaman itu. Karenanya, sejak saat itu, ia memeluk dua agama; taoisme karena turunan dari keluarga, dan Kristen karena takut akan ancaman. Sampai beranjak remaja, Chua yang asal Singapura, tidak bisa menentukan agama mana yang ia praktekkan dalam kehidupan sehari-seharinya.

Di Sekolah Menengah Pertama, Chua memilih agama Budha sebagai pilihan mata pelajaran agamanya di sekolah, dengan alasan agama itu paling mudah dipelajari. Doktrin agama Budha begitu berpengaruh pada hidupnya ketika itu, karena menurutnya, ajaran agama ini sangat logis dan praktis. Meski menurut Chua, ajaran Budha kurang mengenalkan konsep Tuhan sebagai Penguasa Tertinggi.

Petualangan Chua belajar agama berlanjut, ketika ia masuk ke sekolah milik misionaris St Andrew Junior High School. Di sekolah ini, seluruh siswa--kecuali yang muslim--wajib mengikuti pelajaran agama Kristen yang berbasis ajaran Protestan Anglikan. Seorang pastor yang mengajar prinsip-prinsip ajaran agama Protestan Anglikan membuat Chua yang ketika itu berusia 17 tahun, begitu terkesan sehingga ia yakin akan kebenaran ajaran agama itu.

Sampai lulus sekolah menengah atas, dan ia bergabung dalam akademi kemiliteran, Chua tidak pernah bisa betah ikut dalam satu jamaah gereja sesuai ajaran Kristen yang diyakininya. Ia merasa belum menemukan ajaran Kristen yang membuat hatinya tenang dan damai.

Tapi menjelang tahun terakhirnya di sekolah kemiliteran, seorang teman mengajaknya bergabung dengan gereja St. John St. Margaret. Di gereja inilah Chua merasa betah dan aktif dalam kegiatan gereja yang mengurusi anak-anak dan olah raga.

Mengenal Islam

Saat sedang giat-giatnya di gereja, Chua bertemu dengan seorang muslimah. Chua berusaha meyakinkan muslimah itu tentang ajaran Kristen di gerejanya, tapi ia terkesima dengan keteguhan muslimah tersebut yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, meski si muslimah tersebut tidak bisa menjelaskan kebenaran yang diyakininya itu.

Tapi peristiwa itu mendorong Chua untuk bertanya tentang Islam dengan seorang temannya yang juga muslimah. Lagi-lagi, Chua tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, karena temannya mengaku tidak mampu menjelaskan lebih mendalam tentang Islam. Sahabat Chua yang muslimah itu lalu menyarankan Chua untuk datang ke Darul Arqam jika ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Darul Arqam adalah sebuah Asosiasi Mualaf Singapura.

Chua mengikuti saran temannya itu, meski ia memandang Islam sebagai agama terorisme dan agama yang tidak masuk akal. "Alasan saya cuma, jika agama Islam adalah agama yang baik, maka penganutnya seharusnya juga manusia yang baik," kata Chua.

Selama ini, ujarnya, dari sedikit teman muslim yang dikenalnya, ada yang baik dan ada yang menurutnya bukan muslim yang baik. Ketika di sekolah menengah pertama, Chua ingat ada satu teman muslimnya, tapi tidak pernah berusaha menyebarkan ajaran Islam padanya.

"Keluarga saya juga tidak senang dengan Islam, karena mereka melihat apa terjadi di Timur Tengah dan melihat orang-orang muslim asal Malaysia yang menjadi pegawai ayah saya, rata-rata malas dan berperilaku kurang baik," ungkap Chua.

Namun Chua tetap datang ke Darul Arqam, dan langsung mengikuti kelas orientasi. Ia dikenalkan dengan seorang pembimbing bernama Remy. Dari Remi, Chua mengetahui dua hal yang membuatnya sangat tercengang. Pertama, bahwa Islam bukan agama yang berdasarkan pada "perasaan" seperti agama Kristen. Kedua, Remi mengatakan padanya, "Jangan terburu-buru masuk Islam, sampai kamu mengajukan pertanyaan sebanyak yang ingin kamu tahu. Kalau kamu sudah tidak punya pertanyaan lagi, barulah kamu memutuskan masuk Islam."

"Dalam ajaran Kristen, Anda tidak bisa mengajukan pertanyaan karena semakin banyak pertanyaan yang Anda ingin tahu jawabannya, Anda akan semakin bingung," kata Chua membandingkan pengalamannya selama ini sebagai Kristiani.

Setelah merenungkan dua hal penting tadi. Remi merekomendasikan Chua sebuah buku berjudul "Islam in Focus". Isi buku itu membuat Chua syok. Ia menemukan banyak hal yang tidak masuk akal dalam ajaran Kristen tapi tidak pernah ada penjelasannya, justru ia temukan jawabannya dalam buku tersebut. Ia juga syok menemukan fakta ada beberapa kesamaan prinsip dalam Islam dengan prinsip dalam agama Budha yang pernah dipelajarinya.

Sepekan kemudian, Chua kembali datang ke Darul Arqam dan mengikuti kelas untuk pemula. Di kelas ini, Chua belajar tentang rukun Iman dan rukun Islam. Tapi kelas itu membuatnya bosan sehingga Chua tidak pernah hadir lagi. Ia lebih memilih membaca buku tentang Islam berjudul "The Choice, Islam and Christianity" yang ditulis Ahmad Deedat dan "The Basis of Muslim Belief" yang ditulis oleh Gary Millier. Chua sangat terkesan dengan buku itu dan memutuskan untuk bertemu lagi dengan Remi.

Remi lalu mengenalkan Chua dengan Ustaz Zulkifli, yang kemudian menjadi teman Chua berdiskusi tentang Islam selama beberapa minggu. "Selama saya belajar Islam, saya juga berusaha mencari informasi tentang Islam dari buku-buku Kristen, tapi isinya menjelek-jelekkan Islam. Dengan bekal pengetahuan saya tentang Islam, saya bisa menyangkal semua klaim palsu yang dibuat oleh orang-orang Kristen tentang Islam," tukas Chua.

Ia terus belajar tentang Islam dengan membaca Al-Quran dan membaca buku-buku tentang Islam. Chua juga berdiskusi dengan sejumlah ustaz yang berusaha membantunya menemukan jalan kebenaran Islam.

Suatu hari, kata Chua, Ustaz Zulkifli menanyakan padanya "Kapan kamu akan masuk Islam". Chua tak bisa menjawab pertanyaan itu, tapi ia memikirkannya dalam-dalam sampai ia tidak bisa menemukan satu alasan pun untuk tidak memeluk Islam. Akhirnya, Chua memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dan menambahkan kata "Ihsan"--sebagai nama muslimnya--di depan nama aslinya.

Keluarga Chaos

Keluarga Ihsan Chua Gim Sam awalnya tidak menganggap serius bahwa anak mereka sudah memeluk Islam. Mereka, kata Ihsan, berpikir bahwa dirinya cuma memakai nama Islam tapi tetap akan makan babi dan bergaya hidup nonmuslim.

Tapi begitu keluarganya tahu bahwa ia benar-benar sudah menjadi seorang muslim dan menjalankan ajaran Islam, situasinya jadi chaos dan makin runyam, ketika Ihsan Chua ikut berpuasa di bulan Ramadan. Ia nyaris diusir kedua orang tuanya. Selama berbulan-bulan, Ihsan mengalami tekanan dari keluarganya.

"Saya tidak makan di rumah. Saya dituding tidak mencintai keluarga saya lagi. Hampir setiap hari terjadi pertengkaran antara saya dan keluarga. Saya berusaha menjelaskan tentang Islam pada mereka, tapi mereka tidak tahu," imbuh Ihsan Chua.

Lama kelamaan, ia jadi takut pulang ke rumah. Ihsan pulang jika sudah larut malam. Namun suatu malam, ibunya datang mendekati dan mengatakan bahwa ia tidak perlu pulang ke rumah larut malam. Ibunya bilang bahwa ayahnya sangat khawatir melihat Ihsan selalu pulang malam.

"Ibu juga menawarkan akan memasak makanan buat saya secara terpisah," kata Ihsan yang tentu saja bahagia melihat perubah sikap orang tuanya.

Sekarang, hampir semua keluarganya makan makanan halal. "Ibu lebih nyaman memasak makanan yang bisa dimakan seluruh keluarga, termasuk anak lelakinya yang muslim. Situasi di rumah pun makin membaik. Alhamdulillah," tandas Ihsan menutup kisahnya menjadi seorang muslim. (ln/NMC)

Carilah Jalan Menuju Hidayah Rabbmu

Abud Dzar yang menyambut seruan dakwah Nabi Shallahu alaihi wa sallam, sesudah Nabi menyebarkan kepadanya dengan sederhana lgi mudah seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Sesudah itu Abu Dzar ra langsung pergi ke bukit Shafa, lalu berteriak : "Hai orang-orang Quraiys, aku telah mengakui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah".

Kalimat sangat menyengat perasaan pemimpin yang melampaui batas dari kalangan orang-orang kafir Quraiys. Mereka berdatangan kepadanya dari segala penjuru dan langsung memukulinya beramai-ramai, hinga hampir saja Abu Dzar tak sadarkan diri dan tubuhnya bermandikan darah. Rasul pun datang kepadanya,sedang tubuhnya penuh dengan darah, karena luka pukulan mereka dan keadaannya seakan-akan mengatakan :

"Jika memang menyenangkan hatimu apa yang telah dilakukan oleh orang yang dengki kepada kami, maka luka ini tidak lah terasa sakit , jika engkau merasa ridha kepadaku".

Rasul Shallahu alaihi wa sallam tersenyum dan bersabda : "Aku tidak memerintahkan ini kepadamu".

Apa artinya pembelaan seperti ini? Apa artinya pengobanan seperti ini?

Selanjutnya, Nabi Shallahu alaihi wa sallam bersabda : "Sekarang pulanglah ke kampung kaummu. Sampai bersua nanti!

Abu Dzar ra pulang dan menebarkan hidayah kepada kaumnya, karena sesungguhnya seorang muslim pada hari dia masuk Islam, tujaun agar dengan Dia memberi petunjuk kepada banyak orang, karena manusia sangat membutuhkan seruan dakwahnya.

"Engkau adalah perbendaharaan mutiara, dan pertama dalam kemelut dunia, meskipun mereka tidak mengenalmu. Engkau adalah dambaan semua generasi, mereka merindukan seruanmu yang tinggi, meskipun tidak mendengarmu".

Abu Dzar bangkit dan mengumpulkan semua kabilahnya di padang sahara, lalu berkata kepada mereka : "Darahku haram bagi darahmu, tubuhku haram bagi tubuhmu, dan harta haram bagi hartamu, sebelum kamu beriman kepada Allah", tegas Abu Dzar. Selanjutnya, Abu Dzar menerankgan agama Islam, seperti yang didengarnya dari Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.

Belum lagi ia tidur pada malam itu telah beriman sebanyak 70 keluarga berikut dengan kaum wanita, kaum pria, dan anak-anak mereka. Selanjutnya, Abu Dzar menghadap ke rah sebuah pohon yang ada di sana dan dia mulai bermeditasi, karena sesungguhnya dia belum mengetahui shalat dan memang shalat waktu itu belum difardhukan.

Ketika Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, tiba-tiba datang Abu Dzar di barisan paling depan dari kaummnya yang telah beriman. Para shahabat pun keluar. Mereka mengira bahwa di sana ada pasukan musuh yang datang dengan maksud menyerang kota Madinah.

Nabi Shallahu alaihi wa sallam keluar pula bersama dengan para shahabatnya dan ternyata yang datang adalah Abu Dzar, seorang lelaki yang hidup atas dasar kalimah "laa ilaaha illalloh", dan bersujud kepada Tuhan yang telah menurunkan kalimah "laa ilaaha illalloh", sed ang dibelakangnya adalah para muridnya yang telah berhasil diislamkannya.

Setelah melihat kedatangan peringatan dini yagn membawa berita gembira alias Abu Dzar ra ini, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tersenyum :

"Tiada seorang pun yang bernaung di kolong langit dan bercokol diatas hamparan bumi ini lebh jujur ucapannya, selain Abu Dzar", ujar Rasul Shallahu alaihi wa sallam.

Jadi, penyebab yang paling besar bagi seorang hamba untuk meraih hidayah ialah bila mempunyai keinginan yang keras untuk mendapatkannya sebagaimana yang disebutkan dlam firman-Nya :

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepad mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar berserta orang-orang yang berbuat baik". (QS : al-Ankabut : 69).


oleh Aidh Abdullah al-Qarni


Jumat, Oktober 17, 2008

Sasaran dan Karakteristik Dakwah Ikhwan

Persatuan takkan terwujud tanpa rasa cinta. Tingkat cinta yang paling rendah adalah kedamaian hati (salamatu shadr), dan yang paling tinggi adalah mendudukkan orang lain lebih tinggi dari sendiri (itsar).

(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)

Karakter Pertama: Ikatan Keimanan yang Kuat dalam Dakwah yang Dibangun di atas Ukhuwwah.

HAL ini yang pernah disebutkan oleh Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah dalam rukun kesembilan:
“Yang dimaksud dengan ukhuwah adalah, perpaduan hati dan ruh dengan aqidah. Aqidah merupakan tali pengikat yang paling kuat dan tinggi. Ukhuwwah adalah pasangan iman, sedangkan berpecah belah (tafarruq) adalah pasangan kekufuran. Kekuatan paling utama berpangkal pada kekuatan persatuan (quwwatul wihdah).

Persatuan takkan terwujud tanpa rasa cinta. Tingkat cinta yang paling rendah adalah kedamaian hati (salamatu shadr), dan yang paling tinggi adalah mendudukkan orang lain lebih tinggi dari sendiri (itsar).

Allah swt. berfirman:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang- orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9).

Seorang ikhwan sejati memandang saudaranya lebih utama dari dirinya. Sebab, jika ia tidak berbuat demikian maka saudaranya yang lain pun tidak memandangnya lebih utama dari dirinya. Bila
mereka tidak memandang dirinya lebih utama, maka ia tidak akan memandang mereka lebih utama.
“Sesungguhnya serigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan diri dari kelompoknya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (5/196;4/446); Abu Daud (548), Nasa'i (2/82-83). Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

“Dan orang-orang mu'minin dan mu'minat masing-masing mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lainnya. Memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.” (QS. at-Taubah: 71).

Ikhwan bersandar pada sesuatu yang dapat menjadikan ukhuwwah itu dapat lestari, yakni melalui sikap ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla. Tak ada yang dapat memelihara ukhuwwah sebagaimana pemeliharaan sikap ta'at kepada Allah dan menjauh dari semua kema'shiatan kepada-Nya. Ukhuwwah yang berdiri di atas taqwa akan terus berlaku baik di dunia hingga akhirat.
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa." (QS. az- Zukhruf: 67)

Dan tak ada yang dapat memelihara ukhuwwah dari kehancuran sebagaimana keampuhan perisai iman dan amal shalih.

Allah swt. berfirman, “...Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini...” (QS. Shad: 24)

Karena itulah, Iblis la'natullah tidak menyukai mekarnya rasa cinta dan ukhuwwah di antara para juru da'wah. Iblis selalu berupaya menyulut perselisihan antar mereka. Seorang Ikhwan hendaknya selalu berkata yang paling baik, dan perbedaan pendapat di antara mereka hendaknya tidak merusak wujud rasa kasih dan cinta antar-mereka.

Karakter Kedua:
Ikatan Organisasi (Tanzhim) yang Kokoh Dibangun di atas Rasa Percaya (Tsiqah)

INILAH ikatan yang pernah diterangkan oleh Ustadz al-Banna rahimahullah dalam rukun kesepuluh:

"Yang dimaksud dengan tsiqah adalah ketenangan hati seorang jundi (prajurit) kepada pimpinannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya. Sebuah ketenangan yang dalam hingga menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan."

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa: 65)

Pemimpin adalah bagian dari da’wah. Tak ada da’wah tanpa pemimpin. Tingkat tsiqah secara timbal balik antara pemimpin dan jundi, adalah parameter kekuatan organisasi sebuah jama’ah,
kekuatan strategi, kesuksesannya dalam mencapai tujuan dan dapat mengalahkan semua kendala dan kesulitan yang menghalangi jama’ah mencapai tujuannya.

"Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu
lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. Taat dan mengucapkan
perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad:20-21)

Beberapa Kesalahan dalam Membangun Tsiqah

1. Pemimpin yang menuntut tsiqah dari para anggotanya, tanpa disertai penunaian mahar tsiqah itu sendiri.

Tsiqah terhadap pimpinan takkan terwujud melalui tuntutan belaka, tapi melalui perasaan yang tumbuh dalam diri jundi tentang kemampuan pemimpinnya, kelayakannya, kebijaksanaannya, yang diperoleh melalui sentuhan hubungan secara langsung, beramal dan
melalui sikap-sikap harian pemimpinnya. Inilah yang dimaksud dengan mahar tsiqah.

2. Pemimpin yang tak mampu menanam, memelihara dan membangun rasa tsiqah.

Semakin banyak ia berhubungan dengan anggota, semakin lemah rasa tsiqah anggota kepadanya. Kondisi ini dapat terjadi, baik lantaran ketidaktahuan pemimpin tentang cara berinteraksi
dengan jiwa manusia, karena kelalaiannya, atau karena ia tidak dapat membina orang-orang yang ada di sekelilingnya dan tidak mampu menjalin hubungan dengan mereka.

Beberapa hal yang dapat membantu tumbuhnya rasa tsiqah:

1. Tidak terburu memvonis salah seorang anggota jama'ah secara tidak hak.

2. Perasaan setiap anggota dalam harakah tentang kebenaran sebuah kebijakan dan tindakan pimpinan. Karenanya, setiap kebijakan dari pimpinan harus disertai latar belakarang atau
alasan, terkecuali dalam kondisi darurat menyangkut keamanan jama'ah (amniyah).