Rabu, November 29, 2006

Di Balik Sebuah Nama

Oleh Yon's Revolta


Carilah makna dalam kata-kata ini
Nafas manisku adalah sergapanNya
Karena nama-nama identik
dengan yang diberi nama
Adam melihat hakikat lewat nama-nama
(J. Rumi)

Nama anak sekarang bagus-bagus dan indah. Saya suka mencermati nama-nama anak para mantan aktivis dakwah kampus. Mereka kebanyakan memberi nama-nama anaknya yang diambil dari bahasa Arab. Artinya sungguh bermakna. Misalnya Azzam (kebulatan tekad), Azmi (keteguhan hati), Faiz (menang) atau Zahra (bunga), Alia (tinggi), Hasna (cantik), Huwaida (yang lemah lembut) dan sebagainya.

Saya yakin, mereka memberi nama anaknya tentunya juga punya harap. Agar anaknya mempunyai sifat atau seperti makna yang terkandung dibalik arti nama-nama itu. Ini merupakan sebuah awalan yang bagus untuk pembelajaran. Artinya, ketika mereka (anak-anak itu) berbuat yang tidak baik, mereka akan dibenturkan dengan hakikat nama yang dimilikinya. Dengan demikian akan merasa malu ketika seorang anak melakukan perbuatan yang tidak baik, atau tidak pantas dilakukan.

Tapi ini belumlah cukup.

Justru, yang terpenting adalah mengikutinya dengan pendidikan yang cukup untuk anak-anak itu. Agar kelak di kemudian hari, seorang anak tidak akan terjerumus melakukan berbagai tindakan menyimpang yang digariskan oleh Islam. Akan sangat disayangkan ketika mempunyai nama Muhammad misalnya, dia justru terlibat krimimalitas tingkat tinggi, tukang mabuk-mabukan atau pengguna obat-obatan terlarang. Dengan demikian, sama sekali tak mencerminkan nama mulia yang disematkannya.

Di balik nama adalah doa.

Ya, ketika kita memberikan nama, harapannya memang begitu. Kita berdoa agar Tuhan, Allah SWT bisa memberikan anugerah atas sifat-sifat yang disematkan pada nama-nama itu. Tapi sekali lagi, seperti yang telah saya singgung di atas, hal itu belum cukup. Allah SWT tentunya akan memberikan anugerah sesuai dengan usaha dan persangkaan hambanya. Nah, usaha tetap harus dilakukan dengan mendidik anak. Tak terkecuali bagi seorang ibu yang misalnya wanita karir sekalipun. Usaha mendidik anak, memberi perhatian, curahan kasih sayang tetap harus dilakukan. Karena memang inilah tugas seorang ibu yang akan berdampak buruk kalau ditinggalkan.

Nah, sekarang saatnya kita bercermin dengan rahasia di balik nama kita.

Setelah kita membicarakan nama-nama anak zaman sekarang. Kinilah saatnya kita sesekali merenungi nama kita sendiri. Apa arti nama kita, kalau belum tahu, cobalah tanyakan ke orang tua kita, atau carilah sampai ketemu tentang arti nama kita. Kalau sudah, bercerminlah, apakah perilaku kita, sifat kita itu sudah sesuai dengan kekuatan makna atas nama kita.

Kalau sudah, bersyukurlah dan melakukan proses lebih baik dan lebih baik lagi tetap harus dilakukan. Kalaupun belum, yah, tak ada kata lain selain kita memperbaiki diri. Mencoba menemukan jalan baru agar kita bisa menuju proses yang lebih baik dalam bimbingan agama kita. Memang demikianlah yang seharusnya dilakukan. Karena hidup adalah sebuah proses yang tiada henti. Proses menuju perbaikan atas diri agar sesuai dengan yang digariskanNya.

Selain itu, yang juga sering kali terjadi. Kita kadang tak sadar memberi julukan atau memanggil nama teman kita dengan sebutan yang tak mengenakkan, misalnya Bolot, Panjul, Si Gendut (Botol), kriting, item dsb. Kalau kita sering melakukan itu, cobalah rasakan apabila orang lain juga melakukan hal yang sama kepada kita. Tentu sakit hati bukan. Untuk itu, karena nama adalah doa. Kita panggil dan sebut saja nama-nama yang baik. Agar, mewujud pribadi-pribadi yang baik juga. Karena pribadi yang baik adalah kunci dari peradabann yang unggul. Semoga. (yon’s revolta)

~Snow Man Alone~
Purwokerto, 23.11.06.

http://penakayu.blogspot.com

Berpolitik Menurut Al-Qur'-an dan As-Sunnah


Ustadz, ana ingin bertanya.

Kalau dilihat dari realita yang sekarang, banyak sekali partai yang mengatas namakan partai Islam (PKB, PKS, PAN dan lain-lain) sehingga sebagai seorang muslim ada yang mewajibkan harus memilih salah satu dari beberapa partai tersebut atau bahkan sama sekali tidak memilih.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sesungguhnya atau sebenarnya dilihat dari sudut pandang Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam hal berpolitik/ berpartai? Ada nggak contohnya dari Nabi dan para sahabat? Mohon penjelasan, jazakumulloh khoiron katsiron.

Wassalam,

Abu Hurairah Ali Asmara
abuhurairah at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.

Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat belia yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.

Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid'ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.

Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.

Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda.

Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.

Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.

Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan.

Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen

Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid'ahkannya?

Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkansebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah stu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:

  1. Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
  3. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
  4. Muhammad Rasyid Ridha
  5. Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa'di: Ulama Qasim
  6. Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
  7. Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
  8. Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
  9. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
  10. Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani
  11. Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
  12. Syeikh Abdullah bin Qu'ud
  13. Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-'Asyqar
  14. Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq

Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?

1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

a. Fatwa Pertama

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da'i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:

Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.

Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da'i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

b. Fatwa Kedua

Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya?

Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.

Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta'yir melainkan dengan kata-kata yang baik.

Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).

Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)

Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

c. Fatwa Ketiga

Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?

Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.

Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

d. Fatwa Keempat

Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi'ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:

Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai'ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta'.

Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut:
Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.

Jawaban Seikh Bin Baz:

Wa 'alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,"Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan." Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,"Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan." Waffaqallahul jami' lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

Bin Baz

2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-'Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?

Syaikh Al-'Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan.

Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik.

Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.

Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?

Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.

Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:

Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?

Syaikh Al-'Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'.

Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan - Kuwait hal. 18-19)

Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.

3. Pendapat Imam Al-'Izz Ibnu Abdis Salam

Dalam kitab Qawa'idul Ahkam karya Al-'Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolakmafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya'ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.

Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendpat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen diperbolehkan.

4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:

Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati batas, meng hilangkan hak-hak,dfan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikasn syariat itu sempi sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.

Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurang nya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan halyang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar.mka permasalahannya jadi terbalik.

Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum allah dan rosulnya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa rosulnya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus rasulnya dan menurunkan kitabnya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara mak itulah syariat allah dan agamanya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.

Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itru sendiri. kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan allah dan rosulnya.

Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.

5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan

Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, "Apa itu parlemen?" Salah seorang peserta menjawab "Dewan legislatif atau yang lainnya" Syekh, "Masuk untuk berdakwah di dalamnya?" Salah seorang peserta menjawab, "Ikut berperan serta di dalamnya" Syekh, "Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?" Peserta, "Iya."

Syeikh: "Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit."

Salah seorang peserta, "Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia."

Syeikh: "Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?"

Salah seorang peserta, "Mengakui."

Syeikh: "Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apa bila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?

Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?

Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, "Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya dis isi kami" Nabi Yusuf saat itu menjawab, "Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai." Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.

Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, "Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar."

Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata "Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada Allah," tidak tidak boleh itu."

Salah seorang peserta, "Apa yang menjadi jalan keluarnya?"

"Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan" (Rekaman suara)

6. Syaikh Abdullah bin Qu'ud

Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?

Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.

Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.

Dan kita wajib mendoakan kaum msulimin dan manaruh simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mokmin adalah saudara bagi muklmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata:

"Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar" (QS. An-Nisaa: 73).

Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk saudarnya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya.

Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..

Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Hadits Tentang Zikir Bersama


Assalamualaikum, pak Ustaz

Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan kepada Ustaz, sekiranya Ustaz berkenan menjawabnya.

1. Sering saya mendengar bahwa zikir-zikir yang dibawakan secara bersama-sama itu tidak pernah dicontohkan oleh Rosul dan para sahabat rosul, apakah ini benar?

2. Bagaimana hukumnya untuk berzikir dan berdoa bersama yang sering dilakukan di masjid-masjid?

3. Tolong kami diberikan dalil-dalil Hadits yang sohih untuk kedua permasalahan tersebut, agar kami dapat panduan untuk kami melaksanakan atau tidak kedua ibadah tersebut.

Terima kasih atas tanggapannya Ustaz

Terima Kasih dan salam,

Suryono
yono_inco at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak ada orang yang bisa mengklaim bahwa zikir yang dilantunkan secara bersama-sama tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebab hadits dan riwayat yang secara detail menyebutan hal itu tidak pernah ada.

Yang ada hanyalah hadits-hadits menyebutkan adanya fenomena di mana orang-orang yang melakukan dzikir di dalam suatu forum atau majelis secara umum, tanpa penjelasan detail teknisnya.

Sehingga kita tidak bisa mengklaim bahwa teknis zikir yang dilakukan itu begini atau begitu. Apakah ada satu orang yang menjadi pimpinan zikir lalu para jamaah yang hadir mengikutinya, ataukah zikir itu dibaca bersama-sama dengan alunan lagu tertentu, ataukah mereka masing-masing berzikir sendiri-sendiri, tidak bersama dan tanpa komando. Semua itu tidak pernah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih.

Karena tidak adanya keterangan yang lebih detail tentang hal itu, maka muncullah banyak spekulasi di kalangan para ulama. Sehingga muncullah perbedaan pendapat yang masing-masing tidak berlandaskan nash yang sharih, kecuali hanya berdasarkan penafsiran, ijtihad, asumsi dan kecenderungan subjektif.

Di antara hadits yang berbicara secara umum tentang adanya majelis zikir antara lain:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا, يَذْكُرُونَ اَللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ, وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ, وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ أَخْرَجَهُ مُسْلِم

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tidaklah suatu kaum duduk pada sebuah majelis untuk berzikir kepada Allah, kecuali malaikat menaungi mereka, mencurahi mereka dengan rahmat serta nama mereka disebut di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya." (HR Muslim)

إن لله ملائكة يطوفون في الطرق يلتمسون أهل الذكر فإذا وجدوا قوماً يذكرون الله تعالى تنادوا هلموا إلى حاجتكم قال: فيحفونهم بأجنحتهم إلى السماء الدنيا

Sesungguhnya Allah punya malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari ahli zikir. Bila para malaikat itu menemukan suatu kaum yang sedang berzikir, mereka pun memanggil yang lainnya dan berseru,"Kemarilah laksanakan tugas kalian." Maka para malaikat itu menainginya dengan sayap mereka ke langit dunia. (HR Bukhari)

Oleh karena tidak adanya detail teknis serta kitab petunjuk teknis yang mengharuskan begini dan melarang begitu dalam format berzikir berjamaah, maka masalah ini akan tetap selalu menjadi lembah khilaf di kalangan para ulama.

Sedangkan berzikir dalam satu forum, lepas dari teknisnya seperti apa, adalah sesuatu yang sudah disepakati keutamaannya, pahalanya bahkan nilai ibadahnya. Sedangkan menafikan suatu pendapat dengan mengambil pendapat tertentu, tentu saja boleh dan dibenarkan. Selama tidak saling menghujat atau saling menuduh sesat sesama muslim.

Wallahua'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Siapakah Syeikh Albani?


Mohon penjelasan Ustaz tentang Syeikh Albani, sebab ada ulama yang menyebutkan beliau sebagai "syeikh kontoversial", "orang yang suka membuat hadist" terutama mengenai buku "Sifat Solat Nabi" halaman 158-159 tentang hadist tahyat menggerak-gerakkan jari telunjuk.

Khoiril Anwar
khoiril_anwar at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Syaikh Nashiruddin Al-Albani adalah salah satu tokoh yang pernah hidup di abad 20 sebagai ulama yang mendalami masalah kritik sanad hadits. Menjadi tenar -salah satunya- karena pendapat-pendapat beliau yang cenderung berbeda dari kebanyakan pendapat yang sudah dianut oleh umat Islam, baik di bidang ilmu hadits atau pun di bidang fiqih.

Salah satunya adalah pandangan beliau yang mengajak orang untuk tidak terpaku kepada pandangan dari mazhab-mazhab fiqih peninggalan para ulama. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu asing, karena sudah banyak dikampanyekan oleh para tokoh sebelumnya seperti Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha. Namun beliau menyampaikan dengan format yang berbeda dan lebih spesifik serta didukung oleh keahlian beliau di bidang kritik sanad hadits.

Kelahiran di Albania dan Hijrah ke Damaskus

Syeikh Nashiruddin Al-Albani lahir tahun 1914 masehi atau bertepatan dengan tahun 1333 hijriyah, di ibukota Albania saat itu, Asyqodar.

Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari'ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul) dan menjadi rujukan orang-orang dalam masalah agama.

Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana setelah Ahmad Zaghu raja Albania saat itu menyimpangkan negaranya menjadi kebarat-baratan.

Pendidikan Agama

Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah dengan baik. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah yang sangat fenomenal di dunia Islam. Namun setelah itu ayahnya punya pendapat tersendiri tentang madrasah An-Nizamiyah sehingga beliau keluar dan belajar dengan sistem tersendiri pelajarannya, seperti Quran, tajwid, nahwu, sharf serta fiqih mazhab Hanafi.

Beliau mengkhatamkan Al-Quran di tangan ayahnya sendiri dengan bacaan riwayat Hafsh dari Ashim. Beliau belajar kitab fiqih mazhab Al-Hanafi yaitu Maraqi al-Falah kepada Syeikh Said Al-Burhani, selain juga belajar lughah dan balaghah.

Secara pendapatan finansial, beliau bekerja sebagai tukang jam, sebuah keahlian yang diwariskannya dari ayahnya sendiri. Bahkan beliau sampai menjadi termasyhur di bidang service jam di Damaskus.

Sesungguhnya ayah beliau telah mengarahkan beliau untuk mendalami agama khususnya pada mazhab Al-Hanafi serta memperingatkan beliau untuk tidak terlalu menekuni ilmu hadits. Namun beliau tetap belajar ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya yang menunjang. Sehingga paling tidak beliau menghabiskan 20 tahun dari hidupnya dalam mempelajari ilmu hadits, karena pengaruh dari bacaan beliau pada majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Syaikh Rasyid Ridha rahimahullah.

Mendalami Ilmu Hadits di Perpustakaan

Beliau menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.

Bahkan kemudian beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.


Kontroversi Tentang Sosok Beliau

Syeikh Nashiruddin Al-Albani oleh beberapa kalangan sangat dihormati sebagai ulama yang setuju dengan pandangan-pandangannya, namun memang ada juga sebagian lainnya yang kurang suka kepada pendapatnya serta cara penyampaiannya yang khas.

Mereka yang gemar dengan pendapat beliau umumnya adalah kalangan muda yang getol mempelajari ilmu hadits. Namun kurang dalam mempelajari ilmu fiqih serta perangkat-perangkatnya. Paling tidak, sistematika fiqih yang beliau kembangkan beliau tidak sebagaimana umumnya sistematika ilmu fiqih yang digunakan oleh para ahli fiqih umumnya.

Misalnya buat beliau, kesimpulan hukum suatu masalah lebih sering ditetapkan semata-mata berdasarkan kekuatan riwayat suatu hadits. Sedangkan pertimbangan lainnya sebagaimana yang ada di dalam ilmu fiqih, termasuk pendapat para imam mazhab, seringkali ditepis oleh beliau.

Ketidak-sukaan sebagian orang kepada beliau biasanya dilatar-belakangi oleh kekurang-mengertian mereka kepada sosok beliau. Sehingga melahirkan pandangan yang kurang baik pada citra diri beliau. Bahkan beliau pernah mengalami dua kali dipenjara, yang konon disebabkan oleh masalah seperti ini.

Memang terkadang bahasa yang beliau gunakan boleh dibilang agak terbuka dan terlalu apa adanya. Sehingga membuat telinga sebagian orang yang membacanya dan kebetulan kena sindir beliau menjadi merah telinganya.

Selain itu beliau memang dikenal sebagai tokoh di bidang ilmu hadits yang cenderung tidak mau berpegang kepada pendapat-pendapat dari mazhab-mazhab fiqih yang ada. Kesan itu akan sangat terasa menyengat bila kita banyak mengkaji ceramah dan tulisan beliau, terutama yang menyangkut kajian fiqih para ulama mazhab.

Bagi beliau, pendapat para ulama mazhab harus ditinggalkan bila bertentangan dengan apa yang beliau yakini sebagai hasil ijtihad beliau dari hadits-hadits shahih. Apalagi bila menurut beliau, pendapat para ulama mazhab itu tidak didasari oleh riwayat hadits yang kuat sanadnya.

Bahkan beliau mudah menjatuhkan vonis ahli bid'ah kepada siapa saja yang menurut beliau telah berdalil dengan hadits yang lemah. Maksudnya lemah di sini adalah lemahmenurut hasil penelitian beliau sendiri. Termasuk juga pada masalah-masalah yang umumnya dianggap sudah final di kalangan para ahli fiqih. Buat beliau, semua itu harus diabaikan, bila berbeda dengan pandangan beliau dengan landasan ijtihad beliau di bidang ilmu hadits.

Barangkali hal-hal inilah yang sering menimbulkan pandangan tertentu di kalangan sebagian orang tentang sosok beliau.

Namun apa yang beliau sampaikan itu sebenarnya bukan sekedar omongan belaka, namun berangkat dari hasil ijtihad beliau pribadi. Dengan kapasitas ilmu hadits yang beliau miliki serta banyaknya beliau membaca di perpustakaan, maka apa yang menjadi pendapat beliau punya landasan ilmiyah, bukan asal bunyi.

Namun sebagaimana tradisi keilmuwan di dalam peradaban Islam, boleh saja para ulama saling berbeda pandangan satu dengan yang lainnya, namun kita diharamkan untuk saling ejek, saling cemooh, saling cela dan saling boikot, hanya lantaran perbedaan pandangan.

Apa yang menjadi pandangan Albani harus dihormati sebagai sebuah hasil ijtihad seorang yang telah menguasai satu cabang ilmu. Tentunya beliau berhak atas pendapatnya. Namun ijtihad yang dihasilkan oleh seorang ulama tidaklah harus menggugurkan ijtihad ulama lain yang juga telah mengerahkan semua kemampuannya. Biarlah hasil-hasil ijtihad saling berbeda, sehingga memberikan ruang gerak yang luas kepada umat Islam ini.

Beberapa Tugas yang Pernah Diemban

Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar hadits dan ilmu-ilmu hadits di Universitas Islam Madinah meski tidak lama, hanya sekitar tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H.

Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu.

Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam'iyah Islamiyah di sana. Mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Wafat Beliau dan Warisannya

Beliau wafat pada hari Jum'at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Karya-karya beliau amat banyak yang menjadi warisan kepada dunia Islam, sebagian sudah dicetak, namun ada yang masih berupa manuskrip, bahkan ada yang hilang, semua berjumlah 218 judul. Antara lain:

  1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  2. Al-Ajwibah an-Nafi'ah 'ala as'ilah masjid al-Jami'ah
  3. Silisilah al-Ahadits ash-Shahihah
  4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal maudhu'ah
  5. At-Tawasul wa anwa'uhu
  6. Ahkam Al-Jana'iz wabida'uha

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Mencuci Celana yang Ada Maninya Dicampur dengan Cucian Lain


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya mau menanyakan tentang, "mimpi" apabila mimpi itu membuat saya "keluar" maka celana saya kena nodanya. Apabila saya mencuci celana tersebut disatukan dengan cucian lain (merendamnya) bersamaan, apakah noda dalam celana saya itu meluber ke mana-mana? Maksud saya jadi pakaian lain di dalam rendaman itu terkena "nodanya" dan hal itu apakah membuat pakaian lain dan khususnya celana saya itu juga apabila dipakai shalat tidak sah karena nodanya itu meskipun sudah di cuci?

Firman
rio_algorithm at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada dua hal yang perlu kita ketahui dalam menjawab pertanyaan anda. Pertama, air mani manusia bukanlah benda najis menurut jumhur ulama. Kedua, najis yang bercampur dengan air yang banyak, tidak akan mengubah hukum air itu menjadi najis, selama tidak ada indikasi air itu berubah menjadi najis.

a. Masalah Pertama

Air mani yang keluar dari kemaluan seseorang sesungguhnya bukan benda najis. Air mani adalah satu pengecualian dari ketentuan bahwa segala benda yang keluar lewat kemaluan hukumnya najis. Baik berbentuk padat, cair atau gas.

Air kencing, mazi, wadi, darah, nanah, batu dan semua yang keluar lewat kemaluan ditetapkan para ulama sebagai benda najis. Kecuali air mani, hukumnya bukan najis.

Dalil dari tidak najisnya air mani ada banyak, di antaranya adalah hadits berikut ini:

لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ وَفِي لَفْظٍ لَهُ: لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ

Dari Aisyah ra. berkata, "Aku mengerok mani dari pakaian Rasulullah SAW dan beliau memakainya untuk shalat." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku menggaruk dengan kuku-ku mani yang kering dari pakaian beliau." (HR Muslim)

Dengan hadits ini, para ulama umumnya mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Tindakan Aisyah isteri beliau mengerok atau menggaruk dengan kuku sisa mani yang sudah mengering di pakaian beliau menunjukkan bahwa air mani tidak najis. Sebab kalau najis, maka seharusnya Aisyah ra. mencucinya dengan air hingga hilang warna, aroma atau rasanya.

Tindakan Aisyah menurut sebagian ulama dilatar-belakangi rasa malu beliau melihat Rasulullah SAW, suaminya, shalat dengan pakaian yang belepotan sisa mani. Maka dikeriknya setelah kering agar tidak terlihat nyata, meski sesungguhnya tetap masih ada sisa mani kering yang menempel.

Namun sebagian kecil ulama memang ada yang mengatakan bahwa air mani itu najis. Misalnya pendapat Al-Hanafiyah, Malik, Ahmad pada sebagian riwayat dan Al-Hadawiyah. Di antara dasaryang melandaskan pendapat mereka adalah hadits berikut ini:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Aisyah ra. mengatakan, ”Biasa Rasulullah SAW. mencuci mani kemudian keluar shalat memakai sarung itu dan saya melihat bekasnya cucian sarung itu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Tindakan Rasulullah SAW mencuci bekas mani di pakaiannya menunjukkan bahwa mani itu najis.

Namun pendapat ini dibantah oleh para ulama yang mengatakan bahwa air mani tidak najis dengan beberapa jawaban. Antara lain:

  1. Hadits ini meski secara riwayatnya shahih, namun tidak menunjukkan kewajiban untuk mencuci bekas mani yang menempel di pakaian. Tetapi hanya menunjukkan keutamaan untuk mencucinya dan hukumnya hanya sunnah.
  2. Kalau ada beberapa hadits yang bertentangan secara lahir, padahal masing-masing punya sandaran yang kuat, maka sebelum menafikan salah satunya, harus dicarikan dulu kesesuaian antara dalil-dalil itu. Dan menyimpulkan bahwa mani tidak najis adalah bentuk kompromi atas semua dalil yang ada. Sedangkan tindakan nabi yang mencuci bekas mani, harus dipahami bukan sebagai keharusan, melainkan kepantasan dan kesunnahan.
  3. Meski pun Al-Hanafiyah mengatakan bahwa air mani itu najis, namun mereka berpendapat bahwa untuk mensucikan bekas mani cukup dengan mengeriknya setelah kering, tidak perlu dicuci.

b. Masalah Kedua

Seandainya anda lebih cenderung kepada pendapat bahwa air mani itu najis, maka barangkali masalah yang kedua ini bisa menjadi jalan keluar.

Air yang jumlahnya banyak bila kejatuhan atau tercampur dengan benda najis yang sedikit, tidak akan berubah hukumnya menjadi najis. Selama air it tidak berubah warnanya menjadi warna najis, atau berubah baunya menjadi bau najis, atau berubah rasanya menjadi rasa najis.

Seandainya pada salah satu pakaian yang dicuci ada najisnya, misalnya air kencing, atau darah, nanah, kotoran manusia, muntah dan sejenisnya, lalu pakaian itu direndam di air bersama dengan pakaian lainnya, maka selama air rendaman itu tidak mengalami perubahan menjadi najis, maka air itu tidak najis. Indikatornya bisa menggunakan salah satu dari tiga hal di atas yang kami sebutkan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Selasa, November 28, 2006

Keadilan Ilahi

Oleh Chandra Kurniawan


Saya teringat ketika saya mendapat musibah seorang ustadz menasihati saya dengan berkata, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Potongan ayat itu terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 286. Pada saat itu saya tidak begitu memedulikan nasihat itu. Karena saya anggap musibah yang menimpa saya terlalu berat. Namun setelah musibah itu berlalu, saya kembali teringat dengan potongan ayat itu.

Saya kemudian merenungi potongan ayat itu, apa maknanya? Ternyata ayat itu ada kelanjutannya, “Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” Sampai di sini saya berkata dalam hati, “Ayat ini berbicara tentang Kemaha-adilan Allah terhadap makhluk-Nya.” Hendaknya manusia sadar akan bahaya dari perbuatan jahatnya, karena Allah akan membalasnya cepat atau lambat, di dunia dan di akhirat. Dan balasan itu tidak mungkin berlebihan dan tidak mungkin pula kurang, sesuai dengan dosa yang bersangkutan.

Saya kemudian berpikir, musibah yang telah menimpa saya tidak lain disebabkan oleh kejahatan yang telah saya lakukan. Dan pada saat itu, Allah menegur saya untuk kembali kepada-Nya. Tidak mungkin bagi Allah untuk menyiksa hamba-Nya yang taat karena di dalam al-Quran sendiri dinyatakan, Allah akan memberi rezeki yang melimpah, berkah, kesejahteraan, rahmat dan keselamatan pada orang-orang bertakwa. Jadi jika direnungkan kembali potongan ayat yang berbunyi, “Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya,” artinya “Dia mendapat banyak nikmat dari kebajikan yang dikerjakannya.” Sebaliknya, “Dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya”, artinya “Dia mendapat bencana dari kejahatan yang diperbuatnya.”

Bagaimana jadinya jika bencana itu sudah menimpa kita? Apa yang mesti kita lakukan? Apakah hanya diam, menangis, dan berpangku tangan? Ternyata Allah memberikan jawabannya pada potongan ayat selanjutnya. Allah Swt. berfirman, “(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, jangan Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”

Doa itu dimaksudkan, kita memohon agar setiap dosa yang telah kita lakukan segera mendapat ampunan-Nya; agar musibah yang menimpa kita tidak melebihi kesanggupan kita. Dengan cara itulah akibat siksa dari dosa itu menipis, bahkan hilang. Betapa Allah telah menunjukkan keagungan dan kemahakuasaan-Nya dari ayat ini. Betapa sangat besar makna ayat Allah ini. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

http://penulis-muda.blogdrive.com

seruling_daud@yahoo.com

Halalkah Bekerja di Media Televisi? (Pertanyaan Lanjutan)


Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz yang dirahmati Allah SWT, sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas jawaban pertanyaan yang saya ajukan sebelumnya. Setelah saya membaca, di situ ustadz mengatakan bahwa tidak semua acara di televisi 100% maksiat semua, ok saya setuju dengan pendapat itu. Yang ingin saya tanyakan adalah:

1. Berarti pendapatan stasiun televisi itu tidak 100% halal semua, begitu juga tidak 100% haram semua?
2. Sementara dari pendapatan stasiun televisi itu di antaranya dipakai untuk membayar gaji karyawannya, bagaimana kita bisa tahu berapa persentase gaji kita yang halal dan berapa persen yang haram?
3. Apakah perlu kita pilah-pilah dengan asumsi persentase seperti saya sebutkan pada pertanyaan no. 2, karena kita ingin menghindari yang haramnya dan berusaha bersikap wara' misalnya?

Demikian pertanyaan lanjutan dari saya, mohon maaf kalau terlalu kepanjangan, karena saya jadi ikut memikirkan akan kebimbangan kakak saya dalam melangkah ke kehidupan selanjutnya yang jadi agak terhambat dengan adanya masalah ini di antaranya dia jadi ragu-ragu untuk menikah dengan bekerja di stasiun televisi itu.

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Mohon pencerahannya.

Wassalam,

Eka Khopitra Usman
eka_u at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bersikap wara' memang baik, tetapi juga harus diimbangi dengan ilmu. Sebab bila tidak, sikap wara' malah akan menjerumuskan dan membuat kita tidak bisa hidup tenang.

Kalau kita bicara secara ilmu halal dan haram, maka pada dasarnya selam kita tidak terlibat secara langsung dengan transaksi yang haram, maka kita tidak akan terkena keharamannya.

Contoh mudahnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, beliau berjualan dan makan rizqidan mengambil keuntungan bertransaksi dengan orang yahudi. Padahal para yahudi ini makan riba, suka memeras, menipu dan punya sumber-sumber pemasukan yang tidak halal lainnya. Tapi Rasulullah SAW tidak memutuskan kontak bisnis dengan mereka. Bahkan seringkali kita dapati beliau menggadaikan hartanya kepada yahudi.

Kalau kita pakai logika wara' yang ekstrim, maka seharusnya Rasulullah SAW berlepas diri dari makan rizqikarena berbisnis dengan yahudi, yang terkenal suka makan harta yang haram. Tetapi realitasnya, beliau SAW telah melakukannya. Sementara urusan halal dan haram dalam Islam ditetapkan berdasarkan apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh beliau SAW.

Kami ingin memberi sedikit contoh perbandingan, untuk sekedar memberi ruang buat anda agarmengambil kesimpulan sendiri.

Di negeri kita ini ada jutaan pegawai negeri yang bekerja setiap hari. Ada yang kerja di kantor, ada yang jadi guru, ada yang jadi petugas di kelurahan, kecamatan, bahkan ada juga yang menjadi petugas Kantor Urusan Agama. Menurut anda, kira-kira gaji yang tiap bulan mereka terima itu halal atau tidak?

Sebelum anda menjawab gaji mereka halal atau tidak, mari kita lihat realitanya dulu:

  1. Bukankah negara kita ini menggaji pegawai negeri dari APBN? Dan bukankah APBN kita ini sebagiannya di dalam dari hutang luar negeri? Bukankah sistem pinjamannya menggunakan sistem riba? Berarti kalau menggunakan logika anda, sekian persen dari keuangan negara kita ini ada haramnya. Jadi negara kita menyelenggarakan keuangan yang bersifat ribawi. Padahal seringan-ringannya dosa riba itu sama seperti menikahi ibu kandung sendiri. Apakah anda ingin mengatakan bahwa gaji pegawai negeri itu halal atau haram?
  2. Ditambah lagi, bank-bank konvensional di negeri ini diberikan 'nafas buatan' oleh negara. Berarti keuangan negara ini tidak lepas dari sistem ribawi juga kan?
  3. Kemudian, ketika gaji kepada pegawai negeri diberikan, mereka menerimanya lewat bank-bank konvensional.

Sekarang silahkan jawab, apakah gaji pegawai negeri itu haram hukumnya? Atau setengah haram? atau bagaimana?

Mari kita lihat lagi contoh lain dan lebih mudah, bukankah anda tiap hari menggunakan listrik, telepon, air dan lainnya. Bukankah semua itu disediakan oleh perusahaan negara (BUMN) atau swasta yang juga tidak lepas dengan sistem ribawi? Kalau menggunakan logika anda, berarti kita semua ini menikmati fasilitas yang beraroma ribawi juga.

Dan yang terakhir, uang kertas dan logam yang ada di saku kita, bukankah itu dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) yang menggunakan sistem ribawi? Berarti setiap orang yang memegang uang tunai tidak lepas dari aroma ribawi.

Karena itu, berdasarkan interaksi bisnis Rasulullah SAW dengan orang kafir dan terutama yahudi, ada semacam garis batas antara hasil keringat langsung yang halal, dengan harta milik orang lain tempat kita menimba nafkah. Keduanya tidak bisa dicampur-aduk begitu saja.

Kecuali bila kita bekerja di tempat yang 100% haram, seperti tempat pelacuran, mafia kejahatan, atau industri obat terlarang, minuman keras dan sejenisnya. Dan kondisi itu, barulah hukumnya haram.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Bisakah Kita Masuk Surga Tanpa ke Neraka?


Assalaamualaikum.

Akhir-akhir ini saya memikirkan hubungan antara katanya manusia adalah tempatnya salah dan khilaf dan masuknya manusia ke surga bukan atas ibadahnya melainkan karena rahmatnya Alloh. Bila demikian saya berkesimpulan manusia yang beriman (kecuali nabi dan wali) pasti masuk surga namun masuk neraka dahulu untuk membersihkan dosanya. Pertanyaannya:

1. Mungkinkah secara syariat kita bisa meraih surga tanpa ke neraka dahulu dan bagaimana caranya?

2. Adakah jaminan orang sekaliber Aa Gym atau ustaz sendiri yang sehari-harinya berda'wah masuk surga tanpa ke neraka terlebih dahulu?

3. Kalau tidak ada jaminan apa yang ustadz lakukan agar masuk surga tanpa ke neraka terlebih dahulu?

Maaf kalau pertanyaannya dianggap nyeleneh

Junaedi
ejun at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Mungkin saja ada orang yang masuk surga langsung, tanpa harus masuk ke neraka lebih dahulu. Dan orang-orang seperti itu bukan terbatas pada nabi dan rasul saja.

Di masa nabi SAW, ada seorang wanita yang berzina lalu hamil. Namun dia bertaubat dan minta dihukum rajam hingga mati. Ketika jenazahnya sudah tergelatak, Umar bin Al-Khattab mencacinya, namun dicegah oleh Rasulullah SAW. Beliau SAW malah mengatakan bahwa wanita ini telah diampuni semua dosanya dengan kualitas taubat yang cukup untuk dibagikan kepada 70 ahli Madinah.

Di dalam Al-Quran bertabur ayat yang menggambarkan orang-orang yang meninggal dan langsung masuk surga, tidak perlu mampir di neraka. Banyak caranya, tapi kunci utamanya hanya satu, yaitu mati dalam keadaan tidak punya dosa apapun. Kalau pun ada dosa, hanya sedikit dan bisa terkover dengan pahala amalan yang sangat banyak.

Tidak Ada Jaminan Langsung Masuk Surga

Tidak ada seorang pun yang dijamin untuk langsung masuk surga, kecuali hanya para nabi dan rasul saja. Para shahabat nabi yang mulia, para tabi'in, tabi'it tabi'in, para ulama besar sepanjang sejarah termasuk para orang shalih yang masyhur, tidak ada satu pun yang pernah ada yang menjamin mereka pasti masuk surga, tanpa lewat neraka.

Sebab semua itu rahasia Allah SWT, akan seperti apa nasib kita di akhirat nanti. Boleh jadi seseorang di dunia ini dikenal sebagai orang yang shalih di mata manusia, tapi di mata Allah SWT belum tentu shalih. Boleh jadi dia punya amal yang banyak, tapi siapa yang tahu kalau amalnya itu sia-sia, atau tidak diterima, atau habis karena harus menebus banyak kesalahan dan dosa yang tidak terlihat di mata manusia.

Semua itu adalah misteri ilahi, tidak ada yang tahu dan bisa menilainya di dunia ini, kecuali hati nurani masing-masing dan tentunya Allah SWT.

Namun di balik semua itu, kita pun juga tidak boleh berburuk sangka kepada Allah SWT. Sebab selain sifat-Nya Yang Maha keras siksa-Nya, Allah SWT juga tuhan yang Maha Pengampun dan Penyayang.

Maka mintalah ampun tiap hari dan sepanjang masa, atas semua dosa yang kita lakukan. Baik yang kita sengaja atau pun yang tidak kita sengaja. Baik yang kecil maupun yang besar. Kalau nabi SAW yang dijamin tidak punya dosa itu saja masih minta ampun sehari tidak kurang 100 kali, maka bagaimana dengan kita?

Yang penting sekarang ini kita berserah diri kepada semua yang telah Allah perintahkan, serta menjauhkan diri dari segala yang dilarangnya.

Bahkan kita pun tidak boleh memandang enteng orang yang 'biasa-biasa' saja. Mungkin di dunia ini tidak pernah dikenal sebagai orang yang banyak amalnya, tetapi ternyata di akhirat mendapat perhitungan yang dimudahkan Allah, sehingga masuk surga langsung dengan mudahnya.

Maka posisi kita haruslah berada antara dua perasaan, yaitu khauf (takut) dan raja' (harapan). Takut atas ancaman masuk neraka karena banyak dosa. Dan harapan akan mendapatkan ampunan dan kasih sayang Allah. Keseimbangan di antara keduanya akan melahirka iman yang kuat dan rasa cinta yang mendalam kepada Allah.

Sebaliknya, kalau hanya takut saja, akhirnya akan menjadikan kita selalu berputus asa. Kalau hanya harapan saja, bisa-bisa kecewa di akhirat nanti dan di dunia ini tidak pernah takut dosa.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Hadits yang Mengharamkan Seseorang Berpuasa


Assalamualaikum wr. wb.

Adakah hadist yang menyatakan tentang haramnya seseorang yang menjalankan puasa jika sudah mendengar takbiran? Ini berdasarkan pengalaman lebaran tahun ini antara versi Depag dengan Muhammadiyah.

Wassalamualaikum wr. wb.

Makyani
makyani at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Berpuasa di hari raya Fithr (lebaran) dan juga di hari Adha (lebaran haji) hukumnya haram, berdasarkan hadits shahih berikut ini:

نهى رسول الله صلى الله ليه وسلم عن صيام يومين: يوم الفطر ويوم الأضحى متفق عليه

Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari: hari Fithr dan hari Adha. (HR. Muttafaq 'alaihi)

Namun larangan itu berlaku bila sudah dipastikan bahwa hari itu adalah benar-benar yang dimaksud. Maka larangan untuk berpuasa bukan bila kita mendengar suara takbiran, tetapi bila telah dipastikan masuknya tanggal 1 Syawwal.

Suara takbiran yang mengalun bukanlah metode untuk memastikan apakah bulan Ramadhan sudah usah atau belum. Metode yang benar adalah dengan rukyatul hilal, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya‘ban menjadi 30 hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bila hilal telah terlihat, meski hanya oleh sebagian orang saja, maka orang-orang yang tidak melihatnya wajib ikut berbuka. Paling tidak yang berada pada radius tertentu. Dengan pengecualian bila jarak antara orang yang melihat hilal dengan mereka cukup jauh. Dan dalam masalah batasan jarak ini, para ulama berbeda pendapat.

Akan tetapi inti masalahnya bahwa jatuhnya tanggal 1 Syawwal itu memang ditetapkan berdasarkan terlihat atau tidaknya hilal syawwal. Bukan berdasarkan ada orang yang takbir atau tidak. Sebab bisa saja seseorang bertakbir tanpa dasar pengetahuan atas sudah jatuhnya 1 Syawwal, atau bisa saja karena memang ada perbedaan pendapat dalam menentukannya.

Masalah Perbedaan Pendapat

Sebagaimana kita ketahui bahwa di negeri kita, masalah perbedaan penetapan jatuhnya 1 Syawwal memang lumayan kompleks dan sedikit rumit. Sebab setiap kelompok dan jam'iyah mereka punya hak untuk berijtihad sendiri, sesuai dengan apa yang dia yakini. Tanpa pernah merasa butuh untuk duduk bersama dengan sesama umat muslimin lainnya.

Seolah-olah mereka yakin 100% bahwa ijtihad mereka mutlak benar, serta rada 'gengsi' untuk mau berbagai pendapat dengan yang lainnya. Ditambah lagi mandulnya pemerintah serta kekurang-populernya di mata umat, karena beragam sebab yang panjang untuk diceritakan di sini, tapi intinya umat tidak terlalu merasa wajib untuk ikut ketentuan pemerintah dalam masalah penetapan 1 Syawwal. Bahkan pimpinan Muhammadiyah malah mengusulkan agar pemerintah tidak usah mengatur penetapan jatuhnya hari raya agama.

Kami memandang bahwa ungkapan itu menunjukkan betapa pemerintah memang sama sekali tidak punya wibawa di mata umatnya. Alih-alih mau mengikuti ketetapan pemerintah, justru para pemuka agama minta agar pemerintah tidak usah ikut campur. Mungkin karena selama ini dianggap bukan menambah mudah, tapi malah bikin susah.

Bayangkan, kalau para tokoh agama saja sudah tidak punya rasa percaya kepada pemerintah, berarti ada yang kurang beres di dalam pemerintahan, atau di kalangan tokoh agama, atau pada keduanya.

Melihat kenyataan demikian, maka cita-cita untuk bisa duduk bersama antara pemerintah dan elemen-elemen umat Islam rasanya masih jauh panggang dari api. Apalagi kalau kita lihat realitas selama ini yang selalu muncul ketidak-kompakan, maka semakin jauh rasanya kesamaan penetapan lebaran itu.

Bagaimana penetapan hari raya di negeri Islam lain?

Berbeda dengan di Indonesia, umat Islam di beberapa negara timur tengah seperti Saudi atau Mesir, mereka tidak pernah direpotkan dengan perbedaan penetapan. Meski antara Saudi dan Mesir seringkali berbeda, tetapi perbedaan itu tidak terjadi di dalam satu negara. Kedua penduduk negeri memang terpisah secara georgrafis, sehingga perbedaan seperti yang kita rasakan di Indonesia tidak terjadi.

Hal itu karena umat Islam di dalam negeri mereka kompak bersama dengan pemerintah. Pemerintah punya wibawa dan dipatuhi umat, tetapi pemerinthnya juga mau tunduk kepada ulama yang berwibawa dan berilmu. Sehingga terjadi harmoni yang indah. Tidak seperti di negeri kita, ulama tidak ada, pemerintahnya tidak dipatuhi, ya jadilah nasib kita seperti ini, centang perenang!!!

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Rabu, November 15, 2006

Memberi dan Memberi

Oleh Syaifoel Hardy


‘Memberi dan memberi’. Ungkapan ini, tidak dikenal. Yang lebih umum adalah ungkapan Bahasa Inggris: memberi dan menerima’ (take and give). Orang yang memberi dalam prinsip ini, seolah-olah berhak untuk menerima. Pada ungkapan ini, bahkan ‘mengambil’ (take) lebih didahulukan ketimbang ‘memberi’ (give). Tendensinya egois.

Dalam kamus Islam, ungkapan ini tidak tepat. Pemberian di dalam Islam harus ikhlas, tanpa mengharapkan balasan apapun. ‘Take and give’, mengajarkan kita untuk menanti imbalan atas jasa atau bantuan yang kita berikan kepada orang lain.

Jangankan mengharapkan balasan dalam bentuk material; mengungkap-ungkap pemberian saja, itu sudah berarti ‘menyakiti’ pemberian. “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak mereka bersedih hati.” (Al-Quran, Al-Baqarah: 262).

Memberi secara ikhlas itu berat sekali (Al-Quran, Al-Balad: 12-17). Apalagi jika pemberian itu kepada orang lain yang tidak memiliki hubungan persaudaran dengan kita sama sekali. Kalau kita memberi bantuan pada ibu, bapak, anak, isteri, suami, saudara sepupu, keponakan, atau tetangga, tidak ada yang perlu ‘diherankan’, karena sudah kewajiban kita. Namun, akan lain persoalannya jika pemberian itu kita lakukan pada orang lain. Iman kita lah yang sedang diuji.

Selama bertahun-tahun saya merasakan, betapa Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah, keselamatan, kesehatan, rejeki, dan sejuta kenikmatan lainnya. Selama itu saya merasa tidak pernah berbagi kenikmatan ini dengan ‘orang luar’. Yang saya maksud adalah, orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah atau persaudaraan sama sekali dengan saya.

Saya mengenal teman sekamar saya itu sembilan tahun sudah. Waktu itu, dia biasa datang ke kantor perusahaan kami, sebagai supplier. Sesekali saya lihat di ruang tamu bagian pembelian barang perusahaan. Karena sering muncul di sana, jadilah kami akrab.

Perkenalan kami yang sesaat memang tidak bisa dipakai sebagai pedoman bahwa seseorang itu baik atau buruk. Apalagi bila pergaulan itu lebih terbatas kepada urusan bisnis, perusahaan atau kantor. Tapi saya percaya, Abdul Karim namanya, 52 tahun, asal India Selatan, orangnya baik. Perkataan baik ini saja juga belumlah cukup. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa kriteria kebaikan seseorang bisa diukur ketika bertamu bermalam di rumahnya, memberi hutang atau pernah tidaknya kita menempuh perjalanan jauh bersama. Tiga kejadian ini merupakan dasar penentuan mengukur kebaikan seseorang.

Pada tahun ketiga, sesudah beberapa kali pindah apartemen, saya sengaja memutuskan untuk tinggal sendiri. Tidak lagi sharing. Apalah artinya hemat sedikit uang, kalu harus sering korban perasaan. Begitulah kesan saya selama tiga tahun hidup dengan sharing ini. Ada saja kendala dan persoalannya.

Pengalaman saya yang sudah-sudah membuktikan betapa sulitnya mencari partner, teman se kamar. Apalagi di negeri asing di mana orang Indonesia amat langka. Bagi saya, latar belakang kebangsaan tidak jadi soal. Yang penting saling pengertian sebagai teman, itu sudah lebih dari persyaratan yang cukup. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya ini orangnya baik. Sama sekali tidak demikian! Persoalannya hanyalah terletak pada banyaknya perbedaan, yang kadang membutuhkan ekstra sabar, agar bisa menyesuaikan antara satu dan lainnya.

Beberapa perbedaan itu misalnya: saya lebih suka jam sepuluh malam, lampu sudah mati. Tapi teman sekamar lebih senang nonton televisi dulu. Saya senang makan pedas, teman sekamar lebih suka manis. Saya lebih suka pakaian harus ditaruh dalam almari, tanpa banyak gantungan di luar, teman sekamar lebih suka cowboy-an. Saya lebih suka sandal diletakkan pada tempat yang tersedia, teman sekamar lebih enak kalau pakai sandal di dalam kamar yang berkarpet.

Nah! Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang kalau tidak diantisipasi dengan bijaksana, bukannya teman yang kita dapat, malah musuh yang beranak-pinak.

Tiga bulan saya tinggal sendirian di dalam sebuah studio flat, ternyata ‘membosankan’. Tidak saya pungkiri, dalam banyak kesempatan saya menyukai privasi. Terutama pada saat baca, belajar, atau sedang menulis. Namun saya akui, bahwa dalam beberapa hal, saya juga butuh teman berdiskusi, berbicara tentang kondisi dan perkembangan yang ada di dunia dewasa ini hingga persoalan pribadi. Kebutuhan berinteraksi sebagai makhluk sosial tidak bisa dihindari. Bukankah Rasulullah SAW sendiri selalu bersama sahabat-sahabat beliau kemanapun beliau pergi?

Pertimbangan yang terakhir inilah yang mendorong saya untuk memutuskan, sharing lagi. Tapi siapa yang cocok untuk menjadi partner kamar saya ya? Sesudah muter-muter mencari-cari orangnya, saya menawarkan pada diri sendiri, Abdul Karim, seandainya dia bersedia.

Bapak tiga anak ini, kerjanya sebagai sopir di sebuah perusahaan spare parts mobil. Saya lihat kerjanya berat dibandingkan saya. Berangkat pukul tujuh tiga puluh pagi, istirahat siang pukul dua hingga tiga. Sesudah itu, jam tiga sore kerja lagi hingga jam delapan malam. Walaupun jam delapan rampungnya, seringkali sampai di rumah hingga jam sembilan malam, atau lebih.

Awal-awal dia tinggal bersama, saya biasa saja menanggapi segala keluhannya, baik fisik maupun psikologis. Seperti yang saya sebutkan di atas, menciptakan suasana persaudaraan dan persahabatan itu tidak gampang. Butuh waktu lama. Jadi, kalau dia mengeluh pinggangnya sakit, mata merah, alergi pada kulit-kulitnya karena panas, dan capek sekali selepas kerja, semuanya kurang begitu saya pedulikan dalam bulan-bulan pertama.

Niat saya insyallah dari semula ingin membantunya. Makanya, sejak dia tinggal di apartemen, saya tidak menginginkan duitnya. Saya bukan dari kalangan eksekutif yang banyak uang. Tapi untuk membayar apartemen sederhana seperti yang kami tempati insyaallah saya mampu, tanpa ‘intervensi’ finansial Abdul Karim.

Bulan-bulan pertama kami tinggal, saya selalu bikin sarapan sendiri. ‘Saya tidak butuh teh, saya tidak butuh kopi. Kalau Abdul Karim mau sarapan dan minum, silahkan bikin sendiri.’ Itulah di antara beberapa prinsip hidup saya waktu itu. ‘Toh dia sudah cukup saya bantu.’ Entahlah. Kata-kata itu, begitu saja dijejalkan syetan ke dalam telinga yang menembus hati saya. Hal ini berlangsung sekitar satu tahun lamanya.

Manusia tidak ada yang sempurna. Saya banyak kesalahan, Abdul Karim kadang-kadang juga lupa.

Satu hal yang saya kurang senang pada diri bapak yang sekolah dasar saja tidak tamat ini adalah, biasa bangun siang. Otomatis dia tidak melaksanakan sholat Fajar tepat pada waktunya. Alias bangkong. Bangun pagi, memang berat sekali.

Suatu hari, saya menyiapkan teh-susu untuk kami berdua. Biasanya, kalau saya bikin teh, tidak pernah saya cuci ketelnya. ‘Biar Abdul Karim saja yang membersihkan nanti. Toh saya sudah bikinkan dia teh. Ngapain dia harus enak-enak?’ Begitulah. Sekali lagi, syetan berkunjung ke dalam hati dan pikiran dengan segudang negativisme.

Anehnya, setiap kali saya berpikir negatif seperti itu, setiap kali pula timbul kegelisahan pada batin saya. Ayat yang termuat dalam Al-Quran di atas (Al-Baqarah: 262), sepertinya kembali terngiang-ngiang dalam pikiran dan hati ini. ‘Mengapa saya tidak ikhlas atas bantuan yang saya berikan kepada sopir ini?’

Begitulah!

Apartemen kami kecil sekali. Tak lebih dari empat kali enam meter. Hanya cukup untuk dua orang. Kamar mandi di depan, kemudian ruang tamu sekaligus kamar tidur dan tempat masak di pojokan. Tidak tersedia dapur.

Suatu hari, ketika saya sedang menyiapkan teh, pagi hari tentu saja, saya pandangi wajah Abdul Karim yang sedang tidur nyenyak. Belum bangun dan menunaikan sholat Fajar. Entah karena apa, saya begitu merasa bersalah selama ini, karena kekurang-ikhlasan saya, meski terbatas hanya menyiapkan teh dan sarapan pagi.

Padahal, orang ini jauh lebih tua dari pada saya. Saya layak menghormatinya. Saya berkewajiban membantu meringankan bebannya. Dua puluh lima tahun dia kerja. Betapa beratnya jadi sopir. Andai saja saya yang mengalami, belum tentu mampu dan kuat seperti dia.

Sejak itu, saya menyesal sekali. Saya tekadkan untuk membantu dan membantunya. Saya tidak akan iri apakah dia ikut membersihkan rumah atau tidak. Apakah dia mau belanja atau tidak. Apakah dia mau memasak atau tidak. Apakah dia akan siapkan makan siang buat saya atau tidak. Apakah dia akan buang sampah atau tidak. Apakah dia mau menyeterika baju saya atau tidak. Saya tidak peduli! Yang saya inginkan adalah memberi dan memberi. Saya tidak menginginkan balasan apapun darinya. Ucapan terimakasih sekalipun! Bukan itu semua tujuan saya!

Kegondokan hati dan kemarahan saya lantaran dia tidak melaksanakan sholat Fajar pada waktunya juga saya kurangi. Pada hari Jum’at khususnya, dia seringkali menirukan ayat-ayat Suci Al-Quran, manakala dibacakan Ayat yang sama dalam acara televisi di pagi hari. Dalam suasana begini biasanya saya singgung dia dengan kata-kata yang juga saya ‘lagukan’ sebagaimana orang-orang membaca Al-Quran: “Saya tidak sholat Fajar tepat pada waktunya........ saya tidak solat Fajar.......”.
Dia bilang: “Jangan begitu!” sambil tersenyum. Nampaknya paham dengan sindiran saya.

Hal itu berlangsung terus menerus dan dalam waktu lama sekali. Saya tidak perlu ceritakan detail berapa lamanya. Hingga suatu hari, dia bilang:
“Bangunkan saya besok pagi ya?” pintanya. Maksudnya, waktu sholat Fajar tiba.

Subhanallah. Saya merasa bahagia sekali sejak hari itu. Kebahagiaan ini saya simpan dalam-dalam. Tidak saya tunjukkan kepadanya. Padahal semula, saya sudah nyaris give up dengan kelakuan dia untuk tidak pernah bangun pagi dan sholat Fajar di masjid. Padahal sebelumnya, dia tidak menggubris sama sekali kalau pintu apartemen saya buka. Gesekan suara pintu juga tidak mampu mengusik lelap tidurnya.

Saya memang tidak berharap Abdul Karim akan bangun pagi dan ke masjid, lantaran bantuan yang saya berikan. Saya menghendaki dia beribadah ikhlas karena Allah SWT semata. Alhamdulillah. Semua ini ternyata ada buahnya. Sejak pagi itu, kami selalu berdua berangkat ke masjid.

Abdul Karim, dikenal di antara rekan-rekan saya anggota pengajian warga Indonesia sebagai satu-satunya orang India yang hampir tidak pernah absen saya ajak ikut serta dalam berbagai acara sosial dan keagamaan warga Indonesia di Emirates. Kesederhanaannya, saling-pengertiannya sebagai saudara seiman, telah menambah jam terbang saya dalam belajar: memberi dan memberi. Bukan memberi dan menerima.

Pagi ini, ketika saya selesaikan alinea terakhir artikel ini, lepas sholat Fajar, Abdul Karim tidur lagi. Saya maklum, karena sesudah itu, dia harus kerja, mencari nafkah buat isteri dan tiga anaknya nun jauh di sana. Pagi ini, dan pagi-pagi berikutnya, biarlah saya yang akan bikin teh dan sarapan pagi. “Saya mengejar pahala dari sisiMu ya Allah! Sungguh, saya tidak menginginkan apapun darimu Abdul Karim saudaraku. Bagi saya, Allah SWT telah lebih dari cukup memberikan segala yang saya butuhkan. Saya hanya berharap ridha dariNya!”

Syaifoel.saderu@dewa.gov.ae

Shalat Hadiah untuk Orang Tua


Ass. Wr. wb.

Ustadz saya mau nanya tentang shalat hadiah untuk orang tua kita yang telah meninggal dunia. Bagaimana tata caranya dan ayat apa yang paling bagus kita bacakan dan doa yang harus kita bacakan? Mohon bantuannya ustadz.

Wasalam

Iin Erpianto
erpianto at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kalau pun ada dalil tentang shalat yang diniatkan untuk hadiah kepada seseorang yang telah wafat, maka shalat itu adalah shalat jenazah. Sedangkan shalat khusus tertentu yang judulnya untuk dihadiahkan kepada orang yang sudah wafat, kami belum menemukan dasar masyru'iyahnya dari sumber-sumber yang valid.

Hal ini berbeda dengan berhaji dengan niat untuk dihadiahkan kepada seseorang, baik masih hidup atau sudah wafat, yang memang ada dasar masyru'iyahnya. Istilahnya adalah haji badal.

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, "Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?" Rasul menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR Bukhari)

Dengan adanya dasar masyru'iyahnya, maka boleh buat kita untuk melakukannya. Semua teknisnya sama persis dengan haji untuk diri sendiri, kecuali niatnya saja yang dikhususkan untuk orang yang dibadalkan.

Namun untuk ibadah shalat, kami belum pernah mendengar adanya badal, baik untuk orang yang masih hidup atau pun untuk mereke yang sudah wafat. Baik hubungannya antara orang tua dan anak, atau pun tidak ada hubungannya.

Karena itu kami mohon maaf karena tidak bisa menjawab pertanyaan anda. Bahkan kami tidak merekomendasikan anda untuk melakukannya, lantaran belum jelas dasar-dasarnya. Padahal masalah yang anda tanyakan itu benar-benar masalah ibadah mahdhah, yang rujukannya harus pasti dari apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Doa, Ilmu, Amal Jariah dan Bacaan Quran

Namun bila anda berniat ingin membahagiakan orang tua yang sudah di alam barzakh, anda masih bisa melakukan banyak hal. Dan tentunya pahalanya akan bisa disampaikan kepada almarhum.

Misalnya, anda berdoa memohon kepada Allah SWT agar almarhum di alam kuburnya diberikan kelapangan, cahaya, kenikmatan dan kebahagiaan. Doa yang anda panjatkan ini insya Allah akan dikabulkan, asalkan memenuhi semua syarat dan aturan dalam berdoa. Esensinya bisa dalam bentuk memintakan ampunan kepada Allah SWT, sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut ini:

Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur? Rasul SAW menjawab, "Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu'min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti menyusul)." (HR Muslim)

Selain itu anda boleh juga memberi sedekah, infaq atau mengikhlaskan harta kekayaan tertentu di jalan Allah, untuk diniatkan agar pahalanya disampaikan kepada almarhum di alam barzakh. Teknik ini pun jelas dasar masyru'iyahnya dan insya Allah akan disampaikan.

Dari Abdullah bin Abbas ra. bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya, "Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya?" Rasul SAW menjawab, "Ya." Saad berkata, "Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya." (HR Bukhari).

Anda juga bisa memanfaatkan ilmu yang barangkali pernah diajarkan oleh almarhum sejak masih hidup, dalam bentuk apa saja yang penting bermanfaat. Ketika ilmu yang pernah almarhum ajarkan itu menjadi bermanfaat, maka beliau di alam barzakh tetap akan menerima aliran pahala kebajikan dari Allah.

Semua hal di atas telah dilandasi dengan sunnah Rasulullah SAW yang telah bersabda:

Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo'akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya. (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad).

Membaca Al-Quran untuk Orang Meninggal

Adapun membaca Al-Quran dengan niat agar pahalanya disampaikan kepada orang yang sudah wafat, memang menjadi perbedaan di kalangan para ulama. Bukan karena tidak ada dalilnya, namun karena dalil itu multi tafsir, bisa ditafsirkan dengan beragam versi.Di antaranya:

Dari Ma'qil bin Yasar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bacakanlah surat Yaasiin atas orang yang meninggal di antara kalian." (HR Abu Daud, An-Nasaa'i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

Jantungnya Al-Quran adalah surat Yaasiin. Tidak seorang yang mencintai Allah dan negeri akhirat membacanya kecuali dosa-dosanya diampuni. Bacakanlah (Yaasiin) atas orang-orang mati di antara kalian." (ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Hadits ini dicacat oleh Ad-Daruquthuny dan Ibnul Qathan, namun Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkannya.

Dari Abi Ad-Darda' dan Abi Dzar ra. berkata, "Tidaklah seseorang mati lalu dibacakan atasnya surat Yaasiin, kecuali Allah ringankan siksa untuknya." (HR Ad-Dailami dengan sanad yang dhaif sekali)

Adalah Ibnu Umar ra. gemar membacakan bagian awal dan akhir surat Al-Baqarah di atas kubur sesuah mayat dikuburkan. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang hasan).

Mereka yang menolak terkirimnya pahala bacaan untuk orang meninggal berargumen bahwa semua hadits tentang perintah Rasulullah SAW untuk membacakan Al-Quran atas orang meninggal itu harus dipahami bukan kepada orang meninggal, melainkan kepada orang yang hampir meninggal. Jadi menjelang kematiannya, bukan pasca kematiannya atau setelah dikuburkannya.

Namun argumentasi mereka dibantah oleh As-Syaukani, penyusun kitab Nailul Authar. Beliau mengatakan bahwa lafadz yang ada di dalam hadits itu jelas-jelas menyebutkan kepada orang yang meninggal. Kalau ditafsirkan kepada orang yang belum mati, mereka harus datang dengan qarinah. (Lihat Nailur Authar jilid 4 halaman 52)

Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menuliskan dalam kitab Riyadhush-Shalihin dalam judul: Doa untuk mayyit setelah dikuburkan dan berdiri di kuburnya sesaat untuk mendoakannya dan memintakan ampunan untuknya serta membacakan Al-Quran, menyebutkan bahwa Al-Imam As-syafi'i rahimahullah berkata, "Sangat disukai untuk dibacakan atasnya Al-Quran. Kalau sampai bisa khatam, tentu sangat baik."

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny halaman 758 menuliskan bahwa disunnahkan untuk membaca Al-Quran dikubur dan dihibahkan pahalanya.

Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad pernah mengatakan bahwa hal itu bid'ah, namun kemudian beliau mengoreksi kembali pernyataannya.

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik rahimahumallah berpendapat bahwa membacakan Al-Quran buat orang yang sudah wafat itu tidak ada dalam sunnah. Namun Al-Qarafi dari ulama kalangan mazhab Al-Malikiyah mengatakan yang berbeda dengan imam mazhabnya.

Jadi intinya, masalah ini memang khilaf di kalangan ulama. Sebagian mengakui sampainya pahala bacaan Al-Quran untuk orang yang telah meninggal, sedangkan sebagian lainnya tidak menerima hal itu. Dan perbedaan pendapat ini adalah hal yang amat wajar. Tidak perlu dijadikan bahan permusuhan, apalagi untuk saling menjelekkan satu dengan lainnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Shalat Subuh Disaksikan Para Malaikat, Maksudnya?


Asslamualaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang saya hormati, perkenankan saya mengajukan beberapa pertanyaan yang selama ini mengganjal fikiran saya tentang masalah shalat. Di dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa "Dirikanlah shalat subuh, karena sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan para malaikat." Kenapa hanya shalat subuh yang disaksikan para malaikat? Bukankah shalat yang lain dan juga amal perbuatan manusia dicatat oleh malaikat?

Pertanyaan kedua, dalam Al-Qur'an ada anjuran kita untuk berdo'a dg menggunakan Asmaul-Husna. Bagaimana cara mengamalkannya? Mohon pencerahan dari pak ustadz. Terima kasih

Jazakumullah khoiron

Edy Suhendi
edy_suhendi at eramuslim.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tentu saja malaikat menyaksikan semua shalat setiap hamba, bukan hanya shalat shubuhnya saja. Bahkan semua gerak gerik, tindak tanduk serta segala yang tersirat di dalam kepala kita, Allah SWT telah mengetahuinya. Dan tidak lepas dari catatan para malaikat.

Namun mengapa ada firman Allah SWT yang menyebutkan bahwa shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat?

Pertama, ayat itu tidak boleh langsung ditafsirkan dengan pendekatan mahfum mukhalafah, atau pendekatan terbalik. Kalau Allah SWT menyebutkan bahwa shalat shubuh itu disaksikan oleh para malaikat, bukan berarti shalat selain shubuh tidak disaksikan.

Kedua, penjelasan lebih dalam tentang mengapa Allah SWT mengatakan bahwa shalat shubuh itu disaksikan adalah karena ada momentum khusus yang terjadi saat shalat shubuh.

Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmizy disebutkan bahwa salah satu sebab mengapa shalat Shubuh itu disaksikan oleh para malaikat, karena pada waktu shubuh itu disaksikan oleh malaikat malam dan juga oleh malaikat siang.

Mari kita perhatikan hadits berikut ini baik-baik:

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang firman Allah SWT, "Wa Qur'anal fajri inna qur'anal fajri kana masyhuda: Disaksikan oleh malaikat malam dan malaikat siang. (HR. Tirmizy dengan derajat hasan shahih)

Jadi momentum yang kami maksud itu adalah adanya dua rombongan malaikat yang menjadi saksi atas shalat shubuh yang dikerjakan seorang hamba. Yaitu malaikat malam dan malaikat siang. Sedangkan shalat lainnya, hanya disaksikan oleh satu rombongan malaikat. Kalau shalat itu shalat malam, maka disaksikan oleh malaikat malam. Sedangkan kalau shalat itu siang hari, maka disaksikan hanya oleh malaikat siang saja.

Selain itu juga ada riwayat yang lebih shahih oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah.

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan shalat berjamaah dengan shalat sendirian adalah 25 derajat. Dan malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada saat shalat shubuh." (HR Bukhari)

Maka sudah jelas apa yang menjadi pertanyaan anda dengan adanya kedua hadits di atas.

Berdoa dengan Al-Asmaul Husna

Allah SWT itu punya banyak nama. Namun untuk mengetahui nama-nama Allah SWT, hanya boleh lewat riwayat yang shahih baik ayat Quran maupun sunnah yang shahihah.

Haram buat kita untuk memanggil Allah SWT dengan nama yang kita karang sendiri. Sebab belum tentu sesuai dengan penamaan Allah SWT atas diri-Nya.

Namun pernyataan banyak orang bahwa nama-nama Allah itu hanya terbatas 99 saja, adalah sebuah pernyataan yang kurang tepat. Nama-nama Allah SWT ternyata jauh lebih banyak dari 99 buah. Dan rujukannya adalah ayat Quran atau hadits yang shahih.

Selama ada penjelesan tentang nama Allah SWT yang sah dari kedua sumber itu, kita akui sebagai nama Allah. Sebaliknya, bila tidak ada penjelasan resmi dari keduanya, maka haram kita memanggil Allah SWT dengannya.

Di antara manfaat yang secara sah Allah SWT sebutkan dari banyaknya nama-nama Allah SWT itu adalah agar kita menyapa dan memanggilnya dalam berdoa kepadanya. Demikian Allah SWT perintahkan kepada kita dalam firman-Nya.

Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raf: 180)

Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaaul husna dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu."(QS. Al-Isra': 110)

Ketika seseorang mengharapkan rahmat dan kasih sayang Allah SWT, maka dia berdoa dengan memanggil nama Allah yang terkait dengan sifat rahman dan rahim-Nya. Sedangkan ketika meminta agar musuh-musuh Islam dihancurkan misalnya, maka kita berdoa dengan memanggil nama-Nya yang terkait dengan kekuatan dan kedahsyatan-Nya. Dan demikian seterusnya sehingga kita bisa meminta sesuai dengan konteksnya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.