Oleh Hafizah Nur
Ada isak haru di hari perpisahan natsu camp* Masjid Otsuka. Semua sister berjabat tangan dan berpelukan erat. Berharap, mudah-mudahan di tahun depan, bisa kembali berjumpa. Bersama-sama belajar Islam dalam suasana yang berbeda, di alam pegunungan, di Sebelah Barat Daya kota Tokyo.
“Mbak Nadia, selamat ya... barokallah, acaranya sukses,” seruku kepada seorang sister Nihonjin yang fasih berbahasa Indonesia. Penanggung jawab bagian muslimah, yang selalu sibuk ke sana kemari memperhatikan kebutuhan peserta, sekaligus mengelola acara agar bisa dinikmati peserta dengan baik. “Alhamdulillah, terima kasih atas bantuannya,” balasnya, sambil menjabat tangan saya erat.
Sudah empat tahun saya selalu mengikuti kepanitiaan camp Otsuka. Kepanitiaannya diikuti oleh sister dari Indonesia dan Jepang. Bahkan tahun ini sister dari Singapura juga ikut serta di dalamnya. Terlibatnya sister dari berbagai negara membuat kepanitiaan ini menjadi unik. Rapat-rapat menggunakan dua bahasa, Indonesia dan Jepang. Kadang diselingi dengan bahasa Inggris, agar sister dari Singapura dapat mengerti dengan baik jalannya rapat. Terbayangkan, betapa lamanya waktu rapat yang harus dijalani dengan pengalihan bahasa ini? Belum lagi perbedaan gaya kerja dan pola pikir sering membuat rapat berlarut-larut. Membuat suntuk para peserta rapat. Tapi ini harus dijalani bila ingin acara camp ini sukses.
Teringat awal-awal saya bergaul dengan Nadia san, yang selalu mendapat amanah penanggung jawab di tiga tahun terakhir (Selain karena ia fasih berbabahasa Indonesia, jiwa kepemipinan nya juga patut diacungi jempol). Sering kali kami saling salah faham. Bahkan kadang kesalahpahaman itu memicu pertengkaran kecil di antara kami. Saya ingat, gaya berpikir sister dari Indonesia yang cenderung lebih global dan kurang meperhatikan detil-detil bila dibandingkan sister nihonjin, sering menimbulkan masalah. Sister Indonesia bagus dalam hal konsep, tapi lemah ketika menerjemahkannya ke dalam detil-detil acara. Itu bagi sister Nihonjin. Bagi sister dari Indonesia, sister nihonjin terlalu detil, malah kadang menghabiskan waktu membicarakan yang detil-detil seperti itu. Selain itu bagi sister nihonjin, sister dari Indonesia sering kali bekerja dalam sistem SKS (sistem kebut semalam), kalau sudah kepepet waktu, baru pikiran bisa jalan, baru pekerjaan bisa bagus. Sementara pikiran sister Indonesia, yang penting pekerjaan beres, suka-suka kami mau bekerja seperti apa pun juga.
Di awal-awal kerja sama itulah masa-masa tersulit. Harus menyesuaikan diri dengan gaya bekerja dan berpikir yang berbeda. Saling berlapang dada dengan kesalahan-kesalahan kecil yang kami perbuat. Lambat laun kami sadar, tidak mungkin bisa merubah gaya kerja atau gaya pikir seseorang dalam waktu singkat. Apa lagi yang sudah terbentuk jauh-jauh hari oleh budaya tanah air. Lebih arif bila kami saling memahami dan menyesuaikan diri dengan kerja masing-masing. Kami sadar, ini baru sebagian kecil dari wujud amal jama’i* yang diperintahkan dalam Islam. Kalau hal yang kecil ini bisa kami lalui, mimpi besar kami, agar umat Islam di seluruh dunia bisa bersatu dan bekerja sama, mudah-mudahan bisa terwujud.
Alhamdulillah, sejalan dengan semakin manisnya ukhuwah di antara kami, kerja sama kami ditahun berikutnya menjadi lebih ringan. Kami jadi tahu tugas-tugas apa yang cocok dilakukan oleh masing-masing orang. Sudah bisa saling mengandalkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh setiap sister. Dan setiap tahunnya, acara Natsu Camp Otsuka bisa dibilang sukses dengan peserta dari berbagai negara.
Note:
Amal jama’i: Kerja sama
Natsu camp: camp musim panas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar