Assalaamu'alaikum, Ustadz.
Ana mau nanya tentang haid. Misalnya di bulan Ramadhan haid selama 6 hari, kemudian bersih 2 hari tapi datang lagi 2 hari. Saya pernah nanya ke guru kalau yang dua hari yang suci itu harus dibayar. karena belum sampai 15 hari. Apakah benar demikian ustadz? Terima kasih atas jawabannya.
Assalaamu'alaikum.wb.wb
Maya
akhwat_padang at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Para ahli fiqih kalau ditanya seperti ini, mereka punya rumus mudah. Mereka membuat batas minimal dan maksimal masa haidh sekaligus masa minimal dan maksimal masa suci dari haidh.
Misalnya Al-Imam As-Syafi'i rahimahullah, beliau dalam mazhabnya menyebutkan bahwa masa haidh seorang wanita minimalnya sehari semalam dan maksimalnya 15 hari. Kemudian masa suci dari haidh minimalnya 15 hari, sedangkan maksimalnya tanpa batas.
Dengan dibuatnya rumus di atas, maka pertanyaan anda bisa dijawab dengan mudah. Yang jadi titik masalah adalah apakah jeda 2 hari terputus dari keluarnya darah itu termasuk haidh atau suci dari haidh?
Dengan rumus di atas, maka bisa dipastikan bahwa dua hari yang tidak keluar darah itu tetap dianggap haidh. Tidak bisa dianggap suci dari haidh, karena batas minimal masa suci dari haidh adalah 15 hari. Dan dikuatkan lagi dengan jumlah hari haidh ditambah hari yang dianggap sebagai haidh, semua masih di bawah angka 15 hari. Jumlahnya baru 10 hari.
Maka dengan demikian, dalam mazhab As-Syafi'i, keterangan dari ustadz yang anda tanyakan itu benar adanya. Dua hari yang anda anggap sebagai masa suci dari haidh itu tidak bisa dianggap sebagai masa suci. Meski pada hakikatnya memang sama sekali tidak ada darah yang keluar selama 2 hari itu. Namun secara hukum, anda masih dianggap mendapat haidh dan haram berpuasa. Sebab seorang wanita yang haidh tidak boleh berpuasa dan wajib menggantinya di bulan lain.
Al-'Adatu Muhakkamah
Mungkin anda bertanya, dari masa para ahli fiqih mendapatkan rumus-rumus itu. Adakah dalil-dalil sharih dan shahih yang menyebutkan batas minimal dan maksimal itu?
Jawabnya adalah dari hasil pengamatan dan ijtihad para fuqaha'. Mereka melakukan eksperimen dan penelitian pada faal tubuh wanita. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan dan membuat rumus batas mininal dan maksimal.
Di sini yang berlaku adalah sebuah kaidah al-'adatu muhakkamah, yaitu suatu yang sudah menjadi kebiasaan, meski tanpa dalil yang sharih dari nabi SAW, bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
Tentu saja karena merupakan hasil ijtihad, angka-angka hari di atas tidak merupakan hal yang mutlak. Sangat mungkin terjadi perbedaan rumus oleh fuqaha' lainnya.
Misalnya Al-Hanafiyah mengatakan bahwa paling cepat haid itu terjadi selama tiga hari tiga malam, dan bila kurang dari itu tidaklah disebut haid tetapi istihadhah. Sedangkan paling lama menurut madzhab ini adalah sepuluh hari sepuluh malam, kalau lebih dari itu bukan haid tapi istihadhah. Dasar pendapat mereka adalah hadis berikut ini:
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda: `Haid itu paling sepat buat perawan dan janda tiga hari. Dan paling lama sepuluh hari. (HR Tabarani dan Daruquthni dengan sanad yang dhaif)
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan paling cepat haid itu sekejap saja, bila seorang wanita mendapatkan haid dalam sekejap itu, batallah puasanya, salatnya dan tawafnya. Namun dalam kasus `iddah dan istibra` lamanya satu hari.
Sedangkan pendapat Al-Hanabilah sama dengan pendapat As-Syafi'iyah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar