Rabu, November 07, 2007

Sedikit Tertawa dan Banyak Menangis

Oleh Sigit Indriyono

” Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. ” (QS At-Taubah[9]:82). “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis. ” (QS An-Najm[53]: 43)

Allah SWT telah memberi karunia perasaan hati atau emosi kepada kita. Emosi akan bereaksi oleh sesuatu yang dilihat atau dirasakan. Diekspresikan dalam dua bentuk perasaan, yaitu kegembiraan dan kesedihan yang biasanya diikuti dengan kemarahan. Kegembiraan yang berlebihan maupun kesedihan yang mendalam apabila tidak dikendalikan akan menyebabkan luapan emosi. Kita harus bersikap wajar dalam menanggapi sesuatu hal, tidak emosional dan menghadapinya dengan tenang dan lapang dada.

Fenomena yang ada di masyarakat saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Orang dengan mudah melampiaskan emosi. Oleh suatu hal kecil yang tidak berkenan, timbul tindakan berlebihan karena kemarahan atau kekecewaan. Sebagai contoh, saat terjadi penggusuran oleh aparat yang berwenang. Aparat melampiaskan emosinya dengan bertindak secara keras di tengah isak tangis korban penggusuran yang melakukan perlawanan secara keras pula. Hal yang sering dijumpai pula adalah pendukung tim sepakbola yang kecewa karena tim yang didukungnya kalah. Pelampiasan kekecewaan dilakukan dengan merusak sarana umum yang merugikan orang banyak.

Masing-masing pihak menuruti hawa nafsu semata, dan mengabaikan hati nurani. Hanya keteguhan iman yang akan membuat seseorang bisa menguasai emosinya dalam setiap kejadian dengan izin Allah SWT.

Dengan iman yang teguh, semua qadha dan qadar akan diterima. Harus disadari, dalam dinamika kehidupan, kita akan selalu mengalami siklus suka dan duka, puas dan kecewa, sehat dan sakit, menang dan kalah, tertawa dan menangis sesuai kehendak-Nya. “ (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu “ (QS Al-Hadiid[57]: 23).

Rasulullah SAW bersabda, “Dua mata yang tidak akan terkena api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga dijalan Allah.” Menangis yang dimaksud dalam hadis di atas bukan tangis cengeng tanda putus asa. Namun, menangis karena Allah SWT, yang merupakan indikator kelembutan hati dan kepekaan jiwa. Tangisan yang ditimbulkan oleh getaran-getaran keimanan dalam sanubari. Terkadang kita sulit menangisi dosa dan kesalahan atau tidak menangis karena tidak menyadari betapa tidak berdayanya kita di hadapan kebesaran dan keagungan-Nya.

Pada saat suatu keinginan dapat tercapai, acapkali kita terlena, kegembiraan dirasakan. Tertawa terbahak diekspresikan. Tidak disadari bahwa apa yang telah dicapai merupakan karunia Allah SWT. Seyogyanya rasa syukur harus diungkapkan, tidak sekedar mengucapkan: “Alhamdulillah”. Karunia yang diberikan atas keinginan yang tercapai harus dimanfaatkan di jalan-Nya. Allah menjanjikan akan menambah nikmat jika kita bersyukur. ” Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS Ibrahim[14]: 7)

Tertawa berlebihan akan mematikan hati nurani. Tertawa yang baik adalah yang dicontohkan oleh Rasulullah, ” Aku tidak pernah melihat Rasulullah berlebih-lebihan ketika tertawa hingga terlihat langit-langit mulut beliau, sesungguhnya (tawa beliau) hanyalah senyum semata. ” (HR Bukhari).

Mengapa Palestina Kelihatan Lemah?

Assalamu'alaikum wr wb,

Ustadz yang dirahmati Allah,

Dari awal sejak Isreal menjadi negara (bahkan mendapat dukungan AS), Palestina seakan menjadi bulan-bulanan Israel. Sering kita melihat ketidakadilan dunia dengan menutup-nutupi fakta pembunuhan (pelanggaran HAM berat) yang dilakukan Israel.

Ustadz, kadang hati saya menjadi gemas, atau bahkan meradang ketika mendengan warga Palestina tak berdaya dianiaya Israel. Tapi, yang menjadi pertanyaan besar dalam hati saya dan sampai sekarang belum terjawab adalah: Mengapa seolah Palestina begitu lemah? Dibombardir, ditangkapi pemimpinnya, direbut wilayahnya. Apakah Palestina memang tidak mempunyai kekuatan militer untuk mebalas serangan Israel? Apakah Palestina tidak memiliki kekuatan senjata?

Mengapa justru yang melakukan pembalasan adalah kekuatan perlawanan (HAMAS). Di manakah kekuatan pemerintahan Palestina sesungguhnya? Seberapa besar kekuatan pertahanan mereka? Apakah selamanya Palestian hanya akan menngharapkan bantuan dari negara-negara Islam lainnya?

Saya sangat tersayat melihat penderitaan rakyat Palestina, tapi melihat tidak adanya perlawanan balasan dari militer Palestina, saya jadi ikut pasrah. Mohon dijawab ustadz, agar saya kembali bersemangat membela saudara kita di Palestina. Mohon maaf bila kurang berkenan.

Wassalamualaikum wr wb

Elmant
Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ketika Israel menjajah Palestina pertama kali, ada ketidak-seimbangan yang luar biasa.

Israel datang dengan membawa Talmud, sementara Palestina tidak pakai Al-Quran. Israel mengatas-namakan tuhan dalam berperang, sementara Palestina tidak mengatas-namakan Allah dalam melawan. Israel membawa serta 20 juta kekuatan yahudi di seluruh dunia dalam perang ini, sementara Palestina melupakan potensi1.500 juta um at Islam sedunia.

Israel bercita-cita mendirikan negara yahudi di dunia, sementara Palestina sibuk mengkotak-kotakknya umat dalam negara yang sempit. Israel berjuang atas nama agama, sementara Palestina berjuang atas nama nasionalisme sempit.

Maka ketika Palestina keok di depan yahudi Israel, banyak orang menganggukkan kepala sambil mengatakan, "Pantas saja kalah, ternyata kasusnya begitu" Dan kenyataannya memang Paletina tetap akan terus kalah kalau berjuang tidak atas nama Islam.

Barulah setelah ada gerakan Intifadhah tahun 1987 yang dipelopori oleh Harakah Muqawamah Islamiyah (HAMAS), umat Islam di Palestina seakan tersentak kaget. Ternyata perjuangan mereka lewat nasionalisme sempit yang selama ini mereka percayakan tidak menghasilkan apapun. Alih-alih mengusir penjajah, justru wilayah Palestina semakin hari semakin berkurang.

Rupanya kalau mereka mengatas-namakan Islam, bantuan akan mengalir dari seluruh umat Islam. Bukan lewat Goverment (G to G) tapi dari rakyat dunia Islam keumat Islam Palestina. Dan diplomasi curang yang selama ini secara timpang merugikan rakyat Palestina, ternyata harus diimbangi dengan jihad dan perlawanan bersenjata.

Rupanya selama ini Palestina lupa bahwa Yahudi paling takut dengan perlawanan pisik. Selama ini sebagian pemimpin negara Palestina berpikir bahwa yahudi akan jujur di meja perundingan. Ternyata ijtihad mereka salah. Justru Palestina dilumat habis di meja perundingan, kalah total dan bangkrut.

Sekarang ini Palestina baru sadar bahwa mengusir yahudi tidak bisa dilakukan di atas meja perundingan, tetapi harus di medan tempur yang sesungguhnya. Sejakanak-anak Palestina bisa melempari tentara yahudi dengan batu, sejak itu pula yahudi Israel berpikir sepuluh kali setiap kali ingin menguasai jengkal demi jengkal tanah Palestina.

Apalagi sekarang ini anak-anak itu sudah besar dan bisa meledakkan pusat-pusat kerumunan yahudi. Yahudi semakin mikir dan semakin ciut nyalinya. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Israel sudah sangat berkurang kekuatannya. Bahkan teman-teman mereka di beberapa dunia pun ikut mulai mikir untuk tidak jadi pindah ke wilayah pendudukan.

Perkembangan yang terbaru, pejuang Palestina sudah bisa membuat roket jarak dekat yang bisa langsung meratakan pemukiman yahudi ilegal dengan tanah. Meski masih belum terlalu diekspose media, namun tamu kita kemarin, Dr. Nawwaf bercerita bahwa roket-roket itu sudah bisa direkayasa untuk ditembakkan tepat langsung ke jantung Tel Aviv, Allahu Akbar.

Lalu apa peran pemerintah Palestina?

Sebagaimana kita sudah maklum, bahwa nyaris hampir semua pemerintahan di negeri Islam adalah pemerintahan yang kurang dekat dengan umat Islam. Kebanyakan mereka merupakan 'boneka' mainan kekuatan yahudi juga juga ujung-ujungnya. Tidaklah sekelompok orang menduduki jabatan di dalam pemerintahan suatu negeri Islam, kecuali atas restu dan ridha dari musuh-musuhnya.

Bahkan secara ekonomi pun nyaris semua negeri Islam sangat tergantung kepada kekuatan ekonomi negeri yang memusuhinya. Hutang melilit, ketergantungan ekonomi sampai ketergantungan masalah hukum, pendidikan, teknologi, peralatan militerdan seterusnya.

Semua yang dialami negeri Islam kurang lebihnya juga dialami oleh pemerintahan Palestina. Mereka amat tergantung dari keramahan musuh-musuhnya.

Tapi lain pemerintah lain rakyat. Kalau pemeritahnya taukut kehilangan kursi dan jabatan serta subsidi, maka rakyat tidak berpikir resiko apa-apa. Maka di mana-mana, kekuatan rakyat muslim yang berbicara. Lihat saja, Pemerintah Libanon diam seribu bahasa ketika negerinya diterjang roket. Yang maju menyerang justru Hizbullah. Demikian juga pemerintah Mesir, yang maju di masa lalu adalah 10.000 orang pasukan Ikhawanul Muslimin yang bukan pasukan resmi.

Bantuan kepada rakyat Palestina sekarang ini yang dikirimkan Indonesia juga bukan dari APBN, tapi dari umat Islam yang notabene sebagai rakyat.

Inilah realitanya yang kita perlu pahami sejak dini. Makanya sekarang kita sebagai rakyat, rasanya bukan waktunya lagi bicara agar Pemerintah secara resmi berjuang, biarkan saja rakyat yang berjuang. Toh kemerdekaan negeri kita sendiri dulu juga bukan hasil perjuangan para elit politik, melainkan karena perjuangan Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Tengku Umar, Tjoet Nja' Dhien, Panglima Polimdan seterusnya. Mereka tidak mewakili pemerintahan, tetapi mewakili rakyat dan ulama.

Dan inilah yang sekarang terjadi di Palestina, rakyat dan ulama yang maju berjuang secara pisik mengusir Israel. Pemerintahannya? Masih sibuk urusan perundingan dan diplomasi.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Rabu, Oktober 24, 2007

Puasa Syawwal

Oleh Fery Ramadhansyah

Rasulullah saw. Bersabda:“ Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian menyertainya berpuasa enam hari di bulan Syawal maka pahalanya sama seperti berpuasa sepanjang hari” (HR Muslim)

Berpuasa enam hari di bulan Syawwal sunnah hukumnya. Dilaksanakan boleh kapan saja selain tanggal satu Syawwal. Karena saat itu merupakan hari kemenangan bagi umat Islam. Dan demi merayakan hari tersebut, Allah mengharamkan hambaNya berpuasa.

Melaksanakan puasa ini tidak harus berurutan. Tidak mesti melakukannya enam hari sekaligus dalam seminggu. Boleh saja berkelang, asal penyelesaiannya masih dalam bulan Syawwal itu juga.

Ada satu hal yang cukup menarik untuk direnungkan dalam masalah ini. Semulanya mungkin kita berfikir kenapa setelah sebulan penuh menjalankan aktivitas puasa, kini ada puasa lagi. Tentu ini memiliki tujuan tersendiri. Karena tidak ada sesuatu yang disyariatkan oleh Allah kecuali di dalamnya ada manfaat.

Jika dilihat dari waktu pelaksanaannya, puasa Syawwal adalah salah satu bentuk follow up pembentukkan muslim menjadi seorang muttaqin yang sejati. Kalau hasil akhir dari pelaksanaan puasa Ramadhan yang lalu adalah takwa maka puasa Syawwal ini merupakan kelanjutan cara Allah membentuk hambaNya agar tetap bertakwa.
Firman Allah swt: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa” (QS;2:183)

Ini adalah cara yang tepat untuk membuat seorang muslim tetap berjalan di atas rel ketakwaan dalam menjalani kehidupan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan berkeluh kesah (QS. 70:20). Terkadang orang sering melupakan Allah kalau lagi senang. Oleh karena itu, meskipun dalam momentum lebaran yang syarat dengan kegembiraan tidaklah menjadikan kita melupakan Allah.

Tidak ada martabat yang lebih tinggi selain takwa. Seseorang baru dianggap mulia dalam pandangan Allah sesuai dengan ketakwaan yang ia miliki. “…Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu…” (QS. 49:13)

Dan dengan takwalah kemakmuran satu bangsa dapat diperoleh. Mungkin inilah kunci yang belum digunakan dalam mengatasi krisis yang berkepanjangan di negara kita. Oleh karena itu keluar dari Ramadhan, dan berada di bulan Syawwal semoga meningkatkan ketakwaan kita. Firman Allah swt: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..” (QS. 7:96)

Konser Black Eyed Peas, DPR, dan Moral Kita

Oleh Rizki Ridyasmara

Tadi malam, konser Black Eyed Peas, kelompok musik R&B asal Boston menggelar konser di Istora Senayan. Tak kurang dari 5000 penonton memadati gedung tersebut, dengan harga karcis di dekat panggung 850 ribu rupiah dan di tribun satu karcis dihargai setengah juta perak. Karcis seluruhnya ludes. Jika ditotal, para penonton telah rela membayar Rp 3. 500. 000. 000 (baca: tiga miliar tigaratus ribu rupiah!) hanya untuk menonton konser selama 90 menit!

Uang segitu sungguh cukup untuk membangun tiga gedung sekolah sederhana yang layak. Atau membuat puluhan ribu anak putus sekolah bisa kembali bersekolah. Tapi, ya kenyataanlah yang berbicara. Kepedulian sosial dan empati terhadap sesama, yang merupakan salah satu cerminan dari keimanan kita memang masih sebatas itu.

Di tengah lautan kemiskinan yang tiap hari kian menjepit leher jutaan rakyat negeri ini, di tengah samudera keputus-asaan yang tiap detik menghimpit harapan jutaan saudara kita, ternyata masih teramat banyak yang tega-teganya menghambur-hamburkan uang untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat.

Mereka, yang menonton konser itu, kebanyakan adalah anak-anak remaja kita. Ketidakpedulian mereka adalah hasil dari didikan yang kita berikan selama ini. Atau jangan-jangan mereka juga meneladani generasi tuanya yang tingkahnya juga sama-sama memuakkan? Bisa jadi.

Untuk mencari contoh kasus yang bisa mewakili hal itu di Indonesia ini teramat mudah. Lihat saja tingkah polah anggota DPR kita, tingkah polah pejabat kita, dari tingkat yang paling atas hingga strata bawah. Sikap tidak perduli pada kemiskinan rakyat, sikap memuakkan mereka, dengan jelas bisa terlihat.

Di tengah kesengsaraan rakyat, anggota DPR yang sudah dijejali aneka fasilitas kemewahan yang berasal dari utak-atik anggaran belanja negara (baca: merampok uang rakyat) masih saja ngotot meminta kenaikan gaji. Padahal gaji mereka sudah lebih dari cukup. Prestasi kerja juga sama sekali tidak ada istimewanya. Sudah demikian, mereka juga mempertahankan uang pensiun seumur hidup, dari hasil kerja cuma lima tahun. Ini sungguh-sungguh memuakkan.

Mereka ini hanya memikirkan cara untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya, ketimbang menunaikan amanah rakyat. Memang, tidak semuanya yang demikian. Tapi itulah gambaran umum, mayoritas, anggota DPR kita. Malah yang menyesakkan dada, banyak pula orang-orang yang tadinya tulus dan ikhlas, ketika menjadi anggota DPR tak kalah rakusnya dengan yang memang sudah rakus. Bukannya mewarnai, mereka malah ikut terwarnai. Mengenaskan, memang.

Para pejabat kita, termasuk anggota DPR, telah lama sudah lupa bahwa tugas utamanya adalah melayani kepentingan rakyat dan menunaikan amanah para pemilihnya. Sama sekali bukan untuk memperkaya diri sendiri. Sama sekali bukan untuk mencari uang untuk sandaran hidup dan sebagainya.

Sistem pemerintahan kita yang korup memang telah berurat berakar ke semua lini dan amat sulit, bahkan sepertinya mustahil, untuk membersihkannya. Amat mungkin, negeri ini memerlukan revolusi, bukan reformasi, untuk membabat habis semua anasir-anasir yang tidak benar, warisan Orde Baru-nya Suharto.

Para penyeru kebajikan, penjaga moral kita, sesungguhnya merupakan tugas para dai, para ustadz, dan para ulama. Namun ironisnya, banyak dari mereka yang juga terinfeksi wabah 'cinta dunia', sehingga mereka sesungguhnya 'Artis yang tengah akting menjadi ustadz', bukan 'Ustadz yang membina para atis'. Atau "politisi yang mengenakan topeng ustadz', bukan 'Ustadz yang selalu mengingatkan politisi'.

Membedakannya sungguh mudah. Jika mereka benar-benar Ustadz, Dai, atau Ulama, maka mereka akan menolak segala fasilitas mewah yang diambil dari uang rakyat. Mereka akan menolak pemberian kendaraan dinas mewah, menolak diberikan uang ini dan itu yang sesungguhnya bukan prestasi tapi memang kewajiban mereka (misal uang kehadiran rapat atau uang kehadiran acara luar kota), menolak uang pensiun seumur hidup (karena memang tidak layak), dan sebagainya. Mereka akan tetap pergi bekerja di gedung parlemen dengan kendaraan milik pribadi, atau jika tidak punya maka naik kendaraan umum. Ini baru jempolan. Berapa persenkah yang seperti ini?

Anak-anak muda kita, yang tidak perduli dan tidak memiliki empati terhadap sesamanya, merupakan wajah lain dari kelakuan generasi tuanya. Mereka merupakan cerminan dari diri kita sendiri.

Bersyukurlah jika kita sekarang ini mampu untuk hidup dan menghidupi keluarga tidak mengandalkan utak-atik uang anggaran (baca: uang rakyat). Bersyukurlah jika kita sekarang ini bisa hidup dan menghidupi keluarga dari hasil keterampilan yang kita miliki. Bersyukurlah, walau jumlahnya mungkin tidak sebanyak yang diterima anggota DPR dan pejabat negara lainnya, uang yang kita dapatkan adalah uang halal. Ini akan membuat kita dan keluarga kita menjadi manusia-manusia yang memiliki hati yang bersih, yang masih memiliki empati yang tinggi.

Bersyukurlah bila sekarang ini kita tidak termasuk bagian dari sistem yang korup dan sungguh-sungguh menghinakan. Bersyukurlah, jika kita bangun dari tidur kita pagi ini, mendapati kenyataan bahwa kita bukanlah pejabat...

Jangan Tidur Usai Sholat Subuh

Oleh Sigit Indriyono

Selesai makan malam, sambil menikmati istirahat bersama keluarga di rumah, kubuka e-mail inbox. Seorang teman, anggota mail list mengirim e-mail dengan lampiran slide Power Point. Kubuka slide halaman pertama. Judulnya ’Keutamaan Sholat Subuh Berjama’ah di Masjid’. Terdapat penjelasan di bawahnya, disarikan dari buku ‘Misteri Sholat Subuh’ karya DR. Raghib As-Sirjani. Kelihatannya sangat menarik dan bermanfaat. Segera ku-copy untuk dimasukkan dalam folder ibadah dari file-ku. Sehingga bisa dibaca dengan lebih seksama.

Sholat subuh merupakan ibadah yang bagi sebagian orang terasa berat untuk dilakukan di awal waktu. Mereka terbuai oleh nikmatnya tidur. Rutinitas kehidupan kita berupa siklus kantuk, tidur, bangun, dan beraktivitas merupakan karunia nikmat Allah SWT. Suatu sunatullah yang telah dilekatkan pada penciptaan manusia. ''Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. '' (QS An-Naba' [78]: 9). Adzan untuk panggilan sholat Subuh agak berbeda. Ada tambahan ucapan ashsholatu khoirumminan naum sebanyak dua kali yang artinya sholat lebih baik daripada tidur. Beberapa masjid mengumandangkan adzan Subuh dua kali. Adzan pertama sebagai tanda fajr-kadzib sedangkan adzan kedua adalah tanda telah sampainya saat fajr-shodiq. Fajr-shodiq merupakan waktu Subuh yang sebenarnya.

Fajr-kadzib masuk dalam periode sepertiga malam terakhir yang sangat istimewa. Dalam hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, bahwa pada saat sepertiga malam terakhir bagi siapa yang bermunajat kepada-Nya akan dipenuhi; yang memohon ampun akan diampuni, yang berdoa akan dikabulkan. Setelah mendengar adzan fajr-kadzib, seyogyanya kita segera bangun tidur, untuk melakukan qiyamul lail, sholat tahajud. Allah SWT menjanjikan kedudukan yang terpuji bagi mereka yang mendirikan sholat tahajud (QS Al-Israa' [17]: 79). Rasulullah SAW mengajarkan doa bangun tidur:''Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kami akan kembali. '' (HR Bukhari).

Perlu usaha agar kita bisa bangun di akhir malam. Jika sudah terbiasa, akan mudah dan ringan untuk dilaksanakan. Caranya dengan tidur malam di awal waktu dan makan malam secukupnya saja. Di samping itu, menjelang tidur malam kita niatkan akan mendirikan shalat tahajud semata-mata mencari keridhoan-Nya. Tidak lupa berdo’a sebelum tidur yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW: ''Dengan menyebut nama-Mu wahai Allah, aku hidup dan dengan menyebut nama-Mu aku mati. '' (HR Bukhari dan Muslim).

Doa di atas dengan izin Allah SWT akan menjadikan kita selalu dalam penjagaan-Nya dan ingat akan kematian. Kematian bisa datang kapan saja. Mungkin besok, mungkin lusa, atau mungkin pada saat sedang menikmati tidur. Umur kita dan bagaimana kita mati adalah rahasia-Nya. Kita harus selalu siap siaga setiap saat agar saat maut menjemput, dalam keadaan husnul khatimah.

Kubuka slide Power Point tentang keutamaan sholat Subuh berjama’ah di masjid. Beberapa sabda Rasulullah SAW didalamnya, memberikan motivasi untuk senantiasa mendirikan sholat Subuh berjama’ah di masjid. Salah satu di antaranya: “ Berikanlah kabar gembira bahwa barangsiapa yang sering berjalan dalam kegelapan menuju masjid akan mendapatkan cahaya yang sangat terang di hari kiamat “ (HR Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah). Yang dimaksud dengan berjalan dalam kegelapan menuju masjid adalah pergi ke masjid untuk sholat Isya’ dan sholat Subuh secara berjama’ah.

Waktu Subuh hingga matahari terbit adalah waktu yang penuh barokah yang seharusnya kita manfaatkan dengan optimal. Rasulullah SAW memberikan contoh dengan tidak pernah tidur lagi usai mendirikan sholat Subuh di masjid. Berdzikir, tilawah dan tadabbur Al-Qur’an adalah amalan yang bisa dilakukan ba’da sholat Subuh hingga terbit matahari. Banyak dzikir ma’tsurat diajarkan oleh beliau yang bisa diamalkan.

Jika sholat Subuh kita lakukan di masjid secara rutin dan setelahnya tidak tidur. Namun, diikuti dengan amalan di atas hingga matahari terbit, akan banyak keberkahan yang didapatkan. Setelah matahari sepenggalah naik, bisa dilanjutkan dengan sholat dhuha. Semuanya merupakan bekal ruhiyah yang akan memberikan spirit dalam melakukan kegiatan sehari-hari untuk meraih ridho Allah SWT. Kegiatan sebagai pelajar atau mahasiswa, kegiatan berbagai profesi atau keahlian, maupun kegiatan para pensiunan atau purnawirawan dalam mengisi waktu luang yang memberikan manfaat.

Bontang, 10 Syawal 1428 H/ 22 Oktober 2007

Berdoalah, Bekerjalah, Semoga Mendapat Berkah

Oleh Rifki

Pagi itu saya berada di kantor yang bukan tempat saya bekerja. Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang beberapa menit. Satu persatu karyawan berdatangan dan mengisi daftar hadir melalui aplikasi komputer. Untuk beberapa lama saya duduk di salah satu sudut sambil sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa bagian ruangan tersebut.

Sekitar pukul delapan tepat, waktunya mulai bekerja. Sesaat sebelum para karyawan di kantor tersebut mulai bekerja melaksanakan tugas masing-masing, dari balik meja besar yang memisahkan para karyawan dengan para pelanggan, seorang karyawan berpeci hitam berdiri. Sejurus kemudian, beliau mulai berbicara.

"Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokaatuh... Rekan-rekan, sebelum kita memulai aktifitas kita hari ini, marilah kita bersama-sama berdoa. " Dalam benak saya, rupanya berdoa sebelum bekerja sudah menjadi kebiasaan di tempat ini. Sebuah contoh yang bagus untuk ditiru.

Dalam Al-quran syrat Al-Mu’minun Ayat 60, Allah SWT berfirman “Berdoalah kepada-Ku, Aku akan memberikan. ” Berdoa adalah sebuah perintah, dan mengerjakannya tentu akan bernilai ibadah.

Berdoa dan bekerja ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa ditinggalkan salah satunya. Berdoa tanpa ada usaha atau kerja adalah sebuah kemalasan. Sebaliknya, bekerja tanpa diiringi dengan doa adalah sebuah kesombongan.

Lelaki tersebut mulai mengucapkan doa yang diamini oleh para karyawan, termasuk saya.

...". Ya Allah, berilah kami rizki yang lapang lagi halal. Dan jadikanlah rizki itu sebagai sarana kami beribadah kepadaMu. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untukMu Tuhan semsta alam. Tiada sekutu bagiMu dan demikianlah aku diperintahkan... "

Begitulah sebagian kata-kata dalam doa yang masih saya ingat.

-----------oooooooo000oooooooo-----------

ketika makan, berdoalah
semoga mengenyangkan dan mendapat berkah
mengisi tenaga kembali tuk bekerja dan beribadah

Ketika berangkat, berdoalah
walau sekedar dengan lafaz basmalah
ketika awal kaki melangkah

Ketika berjumpa, maka doa berbagilah
semoga keselamatan dan rahmat terlimpah
berjabat tangan menghapus dosa hingga berpisah

Ketika bekerja, berdoalah
meminta segala urusan semoga dipermudah
agar diri tak perlu berkeluh kesah

Ketika kembali, berdoalah
saat mengetuk pintu lantas masuk ke rumah
agar disambut senyum ramah hingga hilanglah rasa lelah

Ketika menutup mata, berdoalah
semoga setiap detik yang terlewati bernilai ibadah
dan bila mata tak terbuka lagi maka tiada rasa sesal dan bersalah

Ketika mata dibuka kembali, berdoalah
seraya lisan berucap ringan sebuah hamdalah
memulai hari baru untuk mengejar jannah

Rp 1.500, - = Rp 600.000, - (matematika Allah)

Oleh Bayu Gawtama

Tidak ada satu maksud apa pun ketika menuliskan cerita ini, semoga Allah menjaga hati ini dari sifat riya meski sebiji zarah pun.

_____________________________

Jum’at lalu, saya berangkat ke kantor dengan dada sedikit berdegub. Melirik ukuran bensin di dashboard motor, masih setengah. “Yah cukuplah untuk pergi pulang ke kantor”.

Namun, bukan itu yang membuat dada ini tak henti berdegub. Uang di kantong saya hanya tersisa seribu rupiah saja. Degubnya tambah kencang karena saya hanya menyisakan uang tidak lebih dari empat ribu rupiah saja di rumah. Saya bertanya dalam hati, “makan apa keluarga saya siang nanti?” Meski kemudian buru-buru saya hapus pertanyaan itu, mengingat nama besar Allah yang Maha Melindungi semua makhluk-Nya yang tawakal.

Saya berangkat, terlebih dulu mengantar si sulung ke sekolahnya. Saya bilang kepadanya bahwa hari ini tidak usah jajan terlebih dulu. Alhamdulillah ia mengerti. Soal pulangnya, ia biasa dijemput tukang ojeg yang –sukurnya- sudah dibayar di muka untuk antar jemput ke sekolah.

Sepanjang jalan menuju kantor saya terus berpikir, dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk menjamin malam nanti ada yang bisa dimakan oleh isteri dan dua putri saya. Urusan besok tinggal bagaimana besok saja, yang penting sore ini bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan.

Tiba di kantor, tiba-tiba saya mendapatkan sebungkus mie goreng dari seorang rekan kantor yang sedang milad (berulang tahun). Perut saya yang sejak pagi belum terisi pun mendesak-desak untuk segera diisi. Namun saya ingat bahwa saya tidak memiliki uang selain yang seribu rupiah itu untuk makan siang. Jadi, saya tangguhkan dulu mie goreng itu untuk makan siang saja.

Sepanjang hari kerja, terhitung dua kali saya menelepon isteri di rumah menanyakan kabar anak-anak. “sudah makan belum?” si cantik di seberang telepon hanya menjawab, “Insya Allah, ” namun suaranya terasa getir. Saat itu, anak-anak sedang tidur siang.

Pukul lima sore lebih dua puluh menit saya bergegas ke rumah. Sebelumnya saya sudah berniat untuk menginfakkan seribu rupiah di kantong saya jika melewati petugas amal masjid yang biasa ditemui di jalan raya. Sayangnya, sepanjang jalan saya tidak menemukan petugas-petugas itu, mungkin karena sudah terlalu sore. Akhirnya, sekitar separuh perjalanan ke rumah, adzan maghrib berkumandang. Motor pun terparkir di halaman masjid, dan seketika mata ini tertuju kepada kotak amal di pojok masjid. “bismillaah…” saya masukkan dua koin lima ratus rupiah ke kotak tersebut.

Usai sholat, setelah berdoa saya meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya, tangan saya menyentuh sesuatu di kantong celana. Rupanya satu koin lima ratus rupiah. Kemudian saya ceploskan lagi ke kotak amal yang sama.

Sesampainya di rumah, isteri sedang memasak mie instan. Semangkuk mie instan sudah tersaji, “kita makan sama-sama yuk…” ajak si manis. Kemudian saya bilang, “abang sudah kenyang, biar anak-anak saja yang makan”. Anak-anak pun lahap menyantap mie instan plus nasi yang dihidangkan ibu mereka. Rasanya ingin menangis saat itu.

***

Keesokan paginya, isteri menggoreng singkong untuk sarapan. Alhamdulillah masih ada yang bisa dimakan. Sebenarnya hari itu masih punya harapan. Seorang teman isteri beberapa hari lalu meminjam sejumlah uang dan berjanji mengembalikannya Sabtu pagi. Namun yang ditunggu tidak muncul. Bahkan ketika terpaksa saya harus mengantar isteri menemui temannya itu, pun tidak membuahkan hasil.

Tiba-tiba telepon saya berdering, “Pak, saya baru saja mentransfer uang satu juta rupiah ke rekening bapak. Yang empat ratus ribu untuk pesanan 20 buku bapak yang terbaru. Sisanya rezeki untuk anak-anak bapak ya…” seorang sahabat dekat memesan buku karya saya yang terbaru.

Subhanallah, Allahu Akbar! Saya langsung bersujud seketika itu. Saya hanya berinfak seribu lima ratus rupiah dan Allah membalasnya dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini matematika Allah, siapa yang tak percaya janji Allah? Yang terpenting, siang itu juga saya buru-buru mengeluarkan sejumlah uang dari yang saya peroleh hari itu untuk diinfakkan.

***

Saya bersyukur tidak memiliki banyak uang maupun tabungan untuk saya genggam. Sebab semakin banyak yang saya miliki tentu semakin berat pertanggungjawaban saya kepada Allah.

Bayugautama@yahoo.com

Catatan Iedul Fitri: Air Mata di Malam Takbiran

Oleh Bayu Gawtama

Selepas maghrib, bersama beberapa jamaah masjid Perumahan Taman Melati, bersiap untuk mendistribusikan zakat kepada para mustahik di sekitar komplek. Cukup banyak zakat yang terkumpul dari para penghuni komplek, selain zakat fitrah juga terdapat zakat maal, infak dan sedekah. Sesuai keputusan panitia, semua yang terkumpul akan didistribusikan tidak terkecuali.

Beberapa petugas pendistribusi sudah ditentukan, saya pun kebagian tugas menyampaikan ke beberapa rumah para calon penerima zakat.

Rumah satu:

Hanya sekitar lima belas menit dari komplek, menyusuri jalan yang gelap serta melewati beberapa petak kebun, sebuah rumah pun diketuk. Beberapa kali ucapan salam belum mendapat jawaban. Sampai kali keempat, barulah si empunya rumah menjawabnya, “wa’alaikum salam…” suaranya parau terdengar.

Tidak ada rumah lain di samping rumah tersebut. Ia seperti tinggal tak bertetangga, di sekelilingnya hanya kebun. Suasana rumah dan sekitarnya cukup gelap, sehingga saya pun tak bisa melihat secara jelas wajah penghuni rumah itu. Yang pasti, ia seorang lelaki tua berkisar 55 tahun. Tidak jelas apakah ia sendiri atau bersama keluarganya di rumah itu, yang pasti ia keluar sendirian dengan langkah tertatih. “terima kasih, sampaikan salam untuk para dermawan ya, ” ujarnya pelan.

Tidak ada suasana jelang hari raya di rumah berdinding triplek itu. Tidak ada hiruk pikuk persiapan menyambut lebaran seperti kebanyakan rumah lainnya. Beberapa saat kemudian saya pun meninggalkan lelaki itu, yang nampaknya tetap sendirian. Sedetik sebelum kaki melangkah, setitik airmata mengambang di pelupuk mata dan tak sanggup tertahankan.

Rumah dua:

Hanya lampu sentir –lampu terbuat dari kaleng yang diisi minyak tanah dengan satu sumbu kecil diatasnya- yang menerangi seisi rumah itu. Penghuni rumahnya, kakek nenek berusia di atas tujuh puluh tahun. “anak-anak dan cucu sudah tidak di sini, mereka tinggal jauh. Mungkin besok pas lebaran baru ke sini, ” ujar sang nenek, si kakek tersenyum mengiyakan.

Rumahnya terbuat dari bilik bambu, beberapa pondasi yang terbuat dari kayu sudah terlihat keropos. Bahkan bagian belakang rumahnya sudah sedikit miring, padahal di belakang rumah itu terdapat sungai kecil tempat aktifitas MCK (mandi cuci kakus) beberapa warga di kampung tersebut.

Dua sejoli tua itu, menjalani malam takbiran bersama sepi. Tanpa hiburan, hanya suara gemericik sungai kecil di belakang rumahnya yang terdengar. Setitik lagi air mata ini menyembul.

Rumah tiga:

Kondisi rumahnya agak lebih baik, cukup permanen namun terlihat sangat tidak terawat. Di beberapa bagian dindingnya terlihat pecah, bahkan bagian luar rumah itu belum diplester entah sudah berapa tahun lamanya. “yang penting bisa berteduh pak, mlester dan ngecat mah nanti saja kalau sudah ada uangnya, ” terang kepala rumah tangga itu.

Saya ingin bercerita satu hal saja yang membuat saya benar-benar tak sanggup menahan air mata. Ketika saya menyerahkan sebuah amplop –berisi uang seratus ribu rupiah- dan sekantong beras, ucapan syukurnya seperti menggelegar, “Ya Allah, terima kasih, alhamdulillah…”

Di depan saya, amplop itu dibukanya dan, “Anak-anak ayo kita berangkat, ” rupanya tempat yang dimaksud adalah toko baju. Hingga malam itu, tidak satu pun dari tiga anaknya yang sanggup dibelikan baju untuk berlebaran.

Bagaimana dengan sekantong beras itu? Keluarga itu sudah membeli sepuluh daun ketupat yang sudah jadi, namun belum tahu apakah mereka akan mengisinya atau tidak karena sampai malam itu mereka tidak punya beras sedikit pun.

Cukup… cukup sudah air mata saya. Maaf, saya tidak bisa melanjutkan cerita ini untuk rumah-rumah berikutnya. Saya tidak sanggup menuliskannya lagi.

***

Jika saya kembali mengingat tayangan di televisi tentang kecenderungan orang yang menciptakan antrian kaum fakir miskin untuk mendapatkan uang zakat dari seorang pejabat. Atau ketika saya melihat tayangan ribuan orang di sebuah daerah untuk berebut sedekah yang hanya sepuluh ribu rupiah saja, dan untuk senilai itu mereka rela berpanas-panasan, saling sikut, saling injak dan akhirnya jatuh pingsan. Semua tayangan itu hanya menggambarkan parade kemiskinan negeri ini yang takkan pernah selesai dituntaskan hanya dengan sepuluh atau lima puluh ribu rupiah saja.

Sungguh, mendatangi langsung para fakir miskin dan menyentuh tangan para penerima itu di rumahnya jauh lebih nikmat. Dan semestinya, memang kita yang mendatangi rumah-rumah fakir miskin, bukan sebaliknya. Semoga di masa yang akan datang tidak terulang lagi. (gaw)

Selasa, Oktober 02, 2007

Melestarikan I’tikaf dan Tradisi Nabi

Oleh Muhammad Rizqon

Firdaus (3), nampak asyik mengamati permainan outbound ‘flying fox’ pada arena bazar di Gelora Bung Karno. Dia nampak khusyuk dengan permainan yang dilihatnya. Sesekali dia tertawa karena melihat ada sesuatu yang menurutnya lucu. Dia nampaknya bisa membaca ekspresi wajah dan perasaan, terutama wajah-wajah kepanikan. Boleh jadi itu yang mengundang dia tertawa.

Saat umminya menawarkan, “Firdaus mau coba?” Dia berujar, “Entar Mi…” Kemudian dia kembali asyik memperhatikan anak-anak yang mencoba permainan outbound tersebut. Lucunya, dia banyak tertawa seakan dirinya lebih bisa dari mereka. Katanya, “Mi, Lihat mi. Lucu..ha..ha..ha..”
Aku yang melihat dia tertawa jadi ikut tertawa, bukan karena oleh mereka yang mencoba flying fox tetapi melihat tawa firdaus yang lucu terpingkal-pingkal seperti orang dewasa.

Tidak lama kemudian ia bilang ke Umminya, “Firdaus mau coba, Mi. ” Umminya sebenarnya agak kaget. Masalahnya, turunan dari flying fox tersebut cukup curam, dan tambang yang dibentangkan juga tidak panjang, hanya memanfaatkan pohon-pohon yang ada. Jadi begitu meluncur, ia akan cepat melaju, kemudian ditahan oleh ikatan yang berfungsi sebagai rem yang dikendalikan oleh panitia. Begitu sampai ke bawah, akan ada semacam hentakan yang cukup mengagetkan.

Untuk menyakinkan dirinya, Ummi Firdaus bertanya kepada panitia tentang resiko yang akan terjadi. Setelah menerima jawaban panitia, “Oh tidak apa-apa Bu, asal anaknya berani. Kita jaga, Insya Allah aman. ”, ummi Firdaus menoleh ke anaknya dan berujar, “Firdaus berani kan?” Firdaus mengangguk. Akhirnya setelah mendaftar dan membayar di kasir, panitia menyambut Firdaus dengan membesarkan hatinya. Rasanya dia menjadi pencoba yang paling kecil, sehingga banyak orang yang berdecak kagum akan keberaniannya.

Panitia mulai memasang simpul-simpul dan besi di tubuh Firdaus. Kemudian tubuhnya dinaikan ke papan luncur di atas pohon. Ikatan tali di tubuh mulai dipasangkan pada roda peluncur. Pembimbing memberikan instruksi, kemudian memberi aba-aba. “Bismillahirrahmanirrohim 1..2..3..” Lalu meluncurlah tubuh Firdaus dengan berpegangan pada kedua tali tergantung. “Sreeet…” Alhamdulillah, berhasil. Tiada wajah ketakutan, bahkan dia tertawa bahagia karena mengalami kejadian yang luar biasa dan ia berhasil melewatinya.

***

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS 2:183).

Ada satu pelajaran kenapa Firdaus berhasil dan tidak perlu gagal untuk pertama kali, yaitu ia belajar dari pengalaman anak-anak sebelumnya. Dia amati dan pelajari orang-orang yang berhasil mencobanya kemudian dipraktekkan. Suatu prinsip yang mudah dan sederhana untuk menapaki suatu keberhasilan.

Demikian halnya jika kita ingin berhasil dalam Ramadhan dengan meraih taqwa, kita harus jeli memaknai kata ‘min qoblikum (orang-orang sebelum kamu)’ dalam ayat tersebut di atas. Setelah saya renungi kata ‘min qoblikum’ rupanya memberikan hikmah yang luar biasa.

‘Min qoblikum’ memiliki dua pengertian, Pertama, yaitu orang-orang sebelum Nabi Muhammad SAW. Artinya syariat puasa sudah dijalankan oleh orang-orang sebelum beliau, dari Nabi Adam a. S. Hingga Nabi Isa a. S. Contoh yang lazim kita ketahui adalah ‘puasa Nabi Daud’ yang menjadi tradisi Nabi Daud a. S. Dan kaumnya, di mana sehari berbuka dan sehari berpuasa demikian seterusnya. Hikmah yang terkandung adalah Allah memerintahkan untuk melestarikan tradisi kebajikan. Tradisi kebajikan yang telah diajarkan oleh orang-orang sebelumnya, hendaknya dilestarikan dan disempurnakan sehingga menjadi lebih baik. Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi penutup, adalah penyempurna dari tradisi kebajikan yang disyariatkan sebelumnya.

Kedua, makna ‘min qoblikum’ bagi kita yang hidup sekarang ini, adalah Rasulullah SAW, sahabat dan para salafushsholeh. Kita diperintahkan berpuasa sebagaimana mereka berpuasa. Artinya kita diperintahkan mempelajari cara-cara mereka menjalankan puasa hingga mereka mencapai sukses (derajat ketaqwaan yang tinggi di sisi Allah). Kita mempelajari bahwa mereka di bulan Ramadhan sangat serius dan bersungguh-sungguh, banyak melakukan tilawah qur’an dan memperbanyak ibadah, menghindari ghibah, melakukan banyak sedekah, tidak banyak tidur, menghidupkan malam, melakukan I’tikaf 10 hari terakhir, dan lain-lain. Seharusnyalah kita juga melakukan tindakan dan dengan semangat yang sama. Kita tidak perlu membuat tradisi-tradisi baru. Tradisi kebajikan yang diajarkan Rasulullah sudah jelas dan terbukti hasilnya. Kita tinggal mempelajari dan mengikuti saja.

Sesuatu yang mudah sebenarnya, sebagaimana pola pikir si kecil Firdaus di atas. Tapi entah kenapa, apa karena tidak tahu, banyak dari kita yang tidak mau berkaca dari kehidupan Rasulullah SAW, sahabat dan salafushsholeh. Sungguh ironis, jika kita berulang kali melakukan kesalahan yang sama, karena tidak mengambil spirit dari mereka. Sebagian kita justru berkiblat kepada tokoh-tokoh yang boleh jadi tidak selaras dengan tradisi Nabi SAW.

Kata ‘min qoblikum’ ternyata menyimpan kekuatan pesan yang luar biasa. Dia berkait dengan esensi ajaran Islam yaitu menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan dalam melestarikan tradisi-tradisi kebajikan. Sering kali manusia berupaya melestarikan tradisi, tapi justru tradisi itu menjadi kontraproduktif bagi nilai ketaqwaan. Dengan melestarikan tradisi Nabi, sebenarnya kita menunjukkan ‘kecerdasan iman’ kita dalam menangkap pesan tauhidurrasul, “Asyhadu anna Muhammad Ar Rasulullah”.

Terpetik hikmah juga bahwa Islam adalah agama yang menghargai sejarah, karena ternyata sejarah memiliki daya pengaruh kuat dan luar biasa bagi orang-orang setelahnya. Jika sejarah dibelokkan oleh musuh Islam hingga yang terkesan adalah suatu kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan terorisme, maka sebenarnya musuh benar-benar hendak menciptakan generasi muslim bodoh, terbelakang, miskin dan berimage teror. Ada upaya-upaya dari musuh Islam yang mencoba membangun ‘inferioritas’ ummat dengan mengelabui sejarah. Sebaliknya, mereka selalu berupaya membangun ‘superioritas’ dengan menciptakan sejarah palsu melalui mitos-mitos atau film-film layar lebar. Inilah konspirasi yang kadang tidak kita sadari, padahal berdampak sangat luar biasa.

Sesungguhnya jika kita membangun landasan yang kuat dengan hanya mempelajari dan mengamalkan praktek-praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabat baik dalam level pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia, kita akan menemukan kejayaannya. Selama ini kita terpuruk karena meninggalkan tradisi-tradisi kebajikan dan tidak mau mencontoh dari kehidupan Rasulullah SAW.

***
Hari-hari Ramadhan berlalu tanpa terasa kita akan mendekati penghujung hari-harinya. Andai hari-hari yang lalu kita lewati Ramadhan dengan bermalas-malasan, di penghujung yang segera menjelang ini marilah kita optimalkan dengan menghidupkan tradisi Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus dianjurkan oleh Rasulullah SAW yaitu i’tikaf pada 10 hari terakhir.

Sungguh, kita akan merasakan hari-hari yang penuh makna. Penghujung malamnya adalah detik-detik berharga dan menjadi penentu perjalanan Sang Hamba di keesokan harinya. Di penghujung malam ini kita bersimpuh, merasakan ketidakberdayaan, merasakan kehinaan, merintih dengan cucuran derai air mata penyesalan, dan memanjatkan bait-bait do’a memohon cahaya atas kegelapan kehidupan.

Kita akan merasakan makna ikhlas untuk ditekuni sebagai jalan yang menghantarkan kita ke surga, merasakan mata hati yang terbuka terhadap hakikat dunia yang selalu membuat terlena dengan angan-angan maya, dan merasakan begitu dekatnya Rabb Sang Pencipta yang memiliki penjagaan dengan dzikir-dzikir yang kita lantunkan.

Subhanallah, suasananya penuh syahdu mengundang keharuan. Derai air mata akan dengan mudahnya tertumpah seiring dengan ketunduk hati untuk merendah dengan serendah-serendahnya, bersujud dengan sehina-hinanya. Allahu Akbar, Maha Suci Allah dengan segala ketinggian rahmat, kebesaran maghfirah, dan keagungan ampunan. Air mata yang tak kuasa tercurah memberi kesejukan jiwa, membeningkan hati, melembutan perasaan, dan menyapu segala dosa. Dan seiring dengan hilangnya kegelapan, cahaya terang menyinari jiwa yang menang. Allahu Akbar Wa lillahi al-hamdu.

Sungguh, kemenangan itu hanyalah semata-mata sebagai karunia Allah, untuk menyenangkan hati orang-orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan peserta ‘madrasah malam’ dalam kehidupan ini. Semoga kita bisa melestarikan tradisi menghidupan ‘detik-detik berharga’ ini hingga ajal menjelang sebagai tanda tiba saatnya menemui Rabb tersayang. Amin ya mujib assaailiin.

Waallahu’alam bishshawwab

Jumat, September 21, 2007

Hadits Tidurnya Orang Puasa Adalah Ibadah

Saya pernah mendengar orang berkata bahwa tidurnya orang berpuasa itu adalah ibadah. Tapi sampai saat ini saya tidak tahu, benarkah hal itu? Kalau memang benar, apakah itu merupakan hadits nabi atau bukan? Dan kalau memang hadits nabi, riwayatnya serta statusnya bagaimana?

Terima kasih atas jawabannya ustadz

Jhons
jhons@yahoo.com

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ungkapan seperti yang anda sampaikan, yaitu tidurnya orang berpuasa merupakan ibadah memang sudah seringkali kita dengar, baik di pengajian atau pun di berbagai kesempatan. Dan paling sering kita dengar di bulan Ramadhan.

Di antara lafadznya yang paling populer adalah demikian:

نوم الصائم عبادة وصمته تسبيح وعمله مضاعف ودعاؤه مستجاب وذنبه مغفور

Tidurnya orang puasa merupakan ibadah, diamnya merupakan tasbih, amalnya dilipat-gandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni.

Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa hal yang sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipat-gandakan, namun khusus lafadz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya.

Adalah Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy-Syu'ab Al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).

Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif teteapi sudah sampai derajat hadits maudhu' (palsu).

Hadits Palsu

Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadits nabawi.Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadits.

Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, yaitu bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadits.

Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga semakin menguatkan kepalsuan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadits.

Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma'in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemasu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah "manusia paling pendusta di muka bumi ini!"

Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh kita yang satu ini. Belaiu mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu haditsnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta.

Saking tercelanya perawi hadits ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadtis dari Sualiman bin Amr.

Iman Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, "Sulaiman bin AmrAn-Nakha'i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin minal muhadditsin wadhdhu'afa wal-matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanul I'tidal.

Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.

Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah SAW pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk tidur.

Kalau pun ada istilah qailulah, maka prakteknya Rasulullah SAW hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Euthanasia Menurut Hukum Islam

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Pak ustad yang dimulyakan Allah Swt. Akhir-akhir ini sering kita temukan tindakan medis yang dikenal dengan istilah euthanasia atau mempercepat kematian pasien.

Dalam tindakan ini dalih yang dipakai oleh dokter adalah untuk meringankan rasa sakit yang didera pasien atau dalih yang lain yaitu masalah ekonomi sang pasien yang kurang memadahi untuk memenuhi biaya pengobatan.

Pertanyaan yang ingin saya lontarkan adalah bagaimana pandangan Islam terhadap euthanasia tersebut? Dan mohon penjelasan makna euthanasia, macam-macam euthanasia beserta contohnya dan dalil-dalil yang membolehkan atau mengharamkan!

Terima kasih, semoga pas ustad selalu di bawah lindungan Allah Swt. Amin

Wassalammualiaikum Wr. Wb

Ana Widyawati
widya_wt87

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Euthanasia adalah sebuah istilah kedokteran. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian).

Euthanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Dua Macam Euthanasia

Kalau kita lihat dalam prakteknya, kita bisa membagi euthanasia menjadi dua macam. Pertama, euthanasia positif. Kedua, euthanasia negatif.

1. Euthanasia Positif

Eutanasia positif adalah tindakan memudahkan kematian si sakit -karena kasih sayang- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat) atau obat.

Contohnya, seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.

2. Eutanasia Negatif

Sedangkan euthanasia negatif adalah tindakan membiarkan saja pasien yang sudah parah sakitnya tanpa tindakan pengobatan.

Contohnya orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat bantu pernapasan di ruang ICU atau ICCU.

Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya.

Ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai `orang mati` yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

Dalam contoh tersebut, `penghentian pengobatan` merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif.

Hukum Euthanasia Positif

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) jelas-jelas tidak diperkenankan oleh syariat Islam. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis.

Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara pemberian obat overdossis yang pada hakikatnya merupakan racun yang keras, ataupun dengan menggunakan senjata tajam.

Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya.

Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah SAW, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Hukum Euthanasia Negatif

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif, maka semua berkisar pada `menghentikan pengobatan` atau tidak memberikan pengobatan.

Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat.

Dasar Kebolehan

Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasi negatif, yaitu tindakan mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan sebagainulama. Yaitubahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak sepenuhnyawajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegangolehimam-imam mazhab.

Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah.

Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetapmewajibkannya. Misalnyaapa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bion Hanbal, jugasebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan yang mustahab (sunnah).

Perbedaan Pendapat

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:

Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.` Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. `Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.` Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.

Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.

Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam `Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.

Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta`ala.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian-- di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut.

Di sisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pak Ustadz, saya mau bertanya mengenai masalah hadits. Sepengetahuan saya jarang sekali malah belum pernah saya menemukan hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah atau Ali bin Abi Tholib, kenapa ini bisa terjadi?

Padahal keduanya adalah orang yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW. Hal ini menjadi pertanyaan saya karena banyak dari golongan syiah yang menuduh bahwa muslim suni menghormati ahlul bait sebatas di bibir saja padahal sebenarnya mengingkarinya.

Terima Kasih atas jawaban Ustadz.

Wasalam

Echa

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Fatimah radhiyallahu 'anhamemang nyaris tidak pernah kita dapati riwayatnya, meski belum tentu benar. Namun Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuadalah orang yang cukup banyak meriwayatkan hadits.

Tapi yang pasti, kedekatan seseorang dengan diri Rasulullah SAW tidak ada kaitannya dengan jumlah hadits yang mereka riwayatkan kepada kita. Bukankah kita pun jarang mendengar hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallau 'anhu? Demikian juga dengan riwayat Umar dan Utsman bin Affan radhiyallau 'anhum ajma'in?

Dan dengan alasan yang nyaris mirip, kira-kira hal yang sama juga terjadi pada diri puteri tercinta beliau, Fatimah radhiyallahu 'anha. Meski sangat dekat, tidak lantas punya banyak hadits yang diriwayatkan.

Hakikat Meriwayatkan Hadits

Hal itu karena yang namanya meriwayatkan hadits sangat berbeda dengan kedekatan kepada nabi. Meriwayatkan hadits kira-kira sama dengan mengajar hadits. Tidak semua orang punya kesempatan mengajar hadits.

Padahal yang namanya mengajarkan hadits itu baru terjadi manakala nabi SAW sudah wafat. Kalau nabi masih hidup, maka yang mengajar tentu saja langsung Rasulullah SAW.

Penyebab adanya sebagian shahabat yang tidak terlalu banyak mengajarkan haditsbisa karena memang dibebani kesibukan yang lain yang menjadi tanggung-jawabnya.

Ataukarena usianya tidak panjang. Beberapa shahabat nabi ada yang meninggal sesaat nabi SAW meninggal. Salah satunya Fatimah puteri beliau, yang meninggal hanya berselang 5 bulan setelah meninggalnya nabi. Maka tentu saja beliau tidak sempat banyak meriwayatkan hadits.

Persahabatan Nabi dengan Abu Bakar

Al-Quran menyebutkan secara tegas persahabatan di antara Abu Bakar dengan diri Rasulullah SAW. Bahkan yang jadi khalifah setelah Rasulullah SAW adalah beliau. Boleh dibilang, Abu Bakar ra adalah manusia yang paling mengerti tentang diri Rasululllah SAW, dibandingkan dengan semua orang.

Lalu mengapa Abu Bakar ra jarang meriwayatkan hadits?

Jawabannya sederhana saja, karena urusan jarak kematian antara keduanya. Abu Bakar ra meninggal hanya sekitar 2 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Sementara dalam waktu dua tahun itu, beliau amat disibukkan dengan berbagai macam pe-er di internal umat Islam. Maka nyaris jarang sekali kita menerima hadits yang beliau riwayatkan.

Hari-hari di mana Abu Bakar hidup pasca wafatnya Rasulullah SAW adalah hari-hari tersibuk. Beliau adalah khalifah, di mana beliau punya kewajiban meneruskan memimpin dunia Islam, yang sedang mengalami berbagai tekanan dari internal atau pun eksternal.

Di kalangan sebagian bangsa arab, muncul gerakan riddah (murtad) yang harus dihadapi dengan menghabiskan waktu. Bersama dengan itu, beliau pun harus meneruskan peperangan yang telah dipersiapkan oleh Rasulullah SAW di mana Usamah bin Zaid menjadi panglimanya. Di wilayah keilmuwan, beliau juga disibukkan dengan maha proyek pengumpulan tulisan Al-Quran, sesuai proposal dari Umar bin Al-Khattab ra.

Jadi, nyaris tidak ada lagi kesempatan beliau untuk meriwayatkan hadits. Meski beliau boleh dibilang orang yang tahu tentang diri Rasulullah SAW.

Fatimah binti Muhammad radhiyallahu 'anha

Maka kasus yang sama juga terjadi pada diri Fatimah ra. Beliau hidup tidak lama setelah nabi wafat. Para sejarawan mengatakan bahwa puteri nabi ini wafat hanya berselang 5 bulan setelah kematian ayahandanya. Jadi mudah sekali menjawab masalah ini, yaitu mana sempat beliau meriwayatkan banyak hadits?

Pantas saja kita jarang menerima hadits yang beliau riwayatkan, rupanya beliau wafat tidak lama setelah ayahndanya wafat.

Keadaan Fatimah ra sangat berbeda dengan keadaan isteri Rasulullah SAW, Aisyah radhiyallahu 'anha. Beliau hidup hingga tahun 57, atau 58 atau 59 hijriyah. Bahkan sempat ikut berbagai macam even. Beliau pun menjadi rujukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan rumah tangga nabi. Dan beliau juga banyak meriwayatkan hadits yang bersifat agak teknis sebagaimana Abu Hurairah ra berikut ini.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu

Sebaliknya kita kenal Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu sebagai orang yang baru masuk Islam di masa-masa terakhir menjelang kematian Rasulullah SAW. Hanya beberapa saat saja beliau sempat bertemu dengan diri nabi SAW.

Namun sebagaimana kita tahu, shahabat yang satu ini termasuk orang yang paling banyak meriwayatkan hadits nabawi.

Lalu bagaimana penjelasannya?

Begini, meski pun Abu Hurairah ra hanya sebentar bertemu dengan nabi SAW. Diriwayatkan beliau baru bertemu nabi pada perang Khaibar tahun ke-7 hijriyah. Tiga tahun kemudian Rasulullah SAW wafat untuk selamanya.

Namun masa yang sebentar itu sangat efektif. Di masa yang sebentar itu, nyaris tiap saat beliau selalu mendampingi Rasulullah SAW.

Dan kalau kita perhatikan tipe hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, kebanyakan adalah hadits-hadits yang bersifat laporan pandangan mata serta umumnya hal-hal yang teramat teknis yang terjadi seputar diri Rasulullah SAW.

Bagaimana Rasulullah SAW berjalan, berdiri, makan, minum, bergerak-gerik, berbicara, tersenyum, tertawa, mengenakan baju corak dan warna apa dan seterusnya. Begitu banyak hal-hal kecil dan sederhana yang dilaporkan oleh Abu Hurairah.

Sehingga kalau dihitung, jumlahnya memang bisa menjadi sangat besar, jauh melebihi riwayat-riwayat para shahabat lainnya. Disebutkan bahwa beliau telah meriwayatkan tidak kurang dari 5374 hadits, 446 hadits di antaranya ditakhrij oleh Al-Bukhari.

Dan ini yang menarik, ternyata Abu Hurairah punya waktu yang sangat panjang untuk mengajarkan hadits-hadits sepeninggal Rasulullah SAW, karena beliau baru wafat 47 tahun kemudian setelah Rasulullah SAW meninggal. Beliau wafat tahun ke-57 hijriyah dalam usia cukup lanjut, 78 tahun.

Pantas saja beliau adalah orang nomor satu dalam jumlah kuantitas periwayatan hadits.

Ilustrasi

Sebagai ilustrasi sederhana, mari kita perhatikan dua situs berita di negeri kita. Yang satu detik.com dan yang satu eramuslim.com.

Kalau anda hitung berapa jumlah berita yang ada di detik.com, pasti anda akan kagum, karena jumlahnya sangat banyak. Namun kalau anda perhatikan lebih seksama, rupanya berita di detik.com itu pendek-pendek, meski memang cepat. Untuk satu kejadian, judul beritanya bisa mencapai belasan. Setiap ada perkembangan baru, pasti ada judul baru meski untuk satu kasus yang sama.

Padahal untuk kejadian yang sama, barangkali eramuslim.com hanya membuat satu judul saja. Sehingga eramuslim terkesan punya berita yang sedikit.

Nah, kira-kira Abu Hurairah itu melakukan apa yang dilakukan oleh detik.com, banyak haditsnya namun isinya simple, sederhana bahkan banyak yang pendek.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Kamis, September 13, 2007

Mengapa Bersedih?

Oleh Chandra Kurniawan

Betapa banyak bencana yang menimpa manusia. Yang kesemuanya berakhir dengan tangisan dan penderitaan. Ada yang kehilangan seluruh anggota keluarganya; kehilangan harta bendanya; terampas kekuasaannya; terusir dari negerinya; belum mendapatkan pendamping hidup. Semua ujian dan cobaan, kecil atau besar, sudah pasti datang tanpa perlu diminta. Sebelum ia datang menemui kita, sudah seharusnya kita menguatkan diri agar tidak terjungkal karenanya. Apalagi ketika menghadapi ujian yang sangat kecil, kita tidak mungkin kalah olehnya!

Namun, secepat ia datang, secepat pula ia pergi. Ujian dan cobaan sudah pasti pula akan segera berlalu. Seperti berlalunya malam dan datangnya fajar kebahagiaan. Atau seperti tamu yang numpang lewat sesaat. Atau seperti keadaan dunia, tempat persinggahan sementara ini. Sebuah tempat yang sudah pasti akan hancur binasa, dalam waktu dekat. Namun anehnya, banyak orang yang menangisi dunia ini, sementara tempat tinggal abadi kelak, tidak kita tangisi karena kita tidak tahu akan ke mana.

Airmata yang jatuh karena masalah-masalah duniawi hanyalah kesia-siaan belaka. Dia tidak memberikan apa-apa bagi ketenangan jiwa. Karena, dunia ini adalah tempat yang sangat rapuh untuk dijadikan tempat bersandar. Kita sering bersedih karena terlewatkan menonton acara TV kegemaran kita, tetapi kita tidak bersedih dengan terlambatnya kita dari shalat fardhu berjamaah. Kita sering bersedih karena waktu malam tidak diisi dengan pelbagai hiburan, canda tawa dan pembicaraan yang tiada berarti, tetapi kita tidak bersedih dengan malam yang tidak diisi dengan qiyamul lail. Kita bersedih karena sahabat kita mendapat kebahagiaan, sedangkan ketika kita mendapat kebahagiaan, kita mencibir teman yang sedang mendapat kemalangan. Oh, tidakkah kita telah banyak menumpuk kesedihan dalam hati kita?

Sedangkan bagi para wali-wali Allah, yang mereka sedihkan adalah urusan-urusan akhirat. Mereka sedih apabila di malam hari mereka tidak mengerjakan qiyamul lail. Mereka sedih apabila tidak mampu bersedekah, padahal mereka tidak punya kemampuan untuk itu. Mereka sedih apabila tidak shalat fardhu berjamaah. Mereka sedih ketika melakukan dosa, sekalipun dosa itu sangat ringan. Mereka menangis dikeheningan malam, memohon kepada-Nya, mengharap bantuan-Nya, pasrah kepada-Nya. Mereka merasa bahagia bersama Allah. Hati mereka selalu terhibur walau dalam keadaan sepi. Titik pusat perhatian mereka adalah akhirat. Mereka tidak mendengki dengan kenikmatan yang diperoleh orang lain. Hati mereka sabar. Jiwa mereka penuh ketulusan dan kekhusyuan. Bagi mereka, ujian dan cobaan adalah satu syarat untuk meninggikan derajat keimanan mereka. Mereka juga memandang, bencana-bencana itu tidak seberapa dibanding dengan bencana-bencana yang akan mereka terima kelak apabila mereka tidak bersabar dan banyak berkeluh kesah.

Salah seorang ulama tabi'in berkata, "Sejak empat puluh tahun yang lalu, saya tidak pernah bersedih karena sesuatu, sebagaimana kesedihanku lantaran fajar telah terbit." Simaklah pernyataan itu wahai sahabatku, tidaklah mereka bersedih karena hal-hal duniawi. Yang mereka sedihkan adalah berlalunya waktu di mana mereka merasa asyik berduaan dengan-Nya. Bandingkan dengan diri kita yang kerap bersedih karena hal-hal duniawi. Merenunglah! Mungkin karena hal itulah kita tidak pernah tidur dengan tenang, jiwa kita senantiasa resah dan gelisah, boleh jadi kita lebih mencintai dunia yang fana ini daripada akhirat yang kekal abadi.

Sahabatku, tidak ada jalan bagimu kecuali beriman dan bertakwa. Karena itulah sebaik-baik bekal perjalanan. Saat awan mendung membalut hatimu, kelak Allah akan memberikan cahaya mentari yang menyejukkan. Saat dadamu terasa kering karena kerasnya ujian, Allah akan menurunkan hujan rahmat ke dalam hatimu. Jika engkau beriman dan bertakwa, Allah akan menerima setiap amalmu, Allah akan membimbingmu hingga masa akhirmu. Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap detik yang telah engkau persembahkan untuk negeri akhirat.

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Yunus [10]: 62-65).

Meraih Keutamaan Membaca Qur’an

Oleh Muhammad Rizqon

Ahad pagi, saat mentari belum beranjak dari peraduannya, aku berjalan menuju sebuah kawasan Islamic centre di wilayah Pondok Gede. Tidak terlihat lalu lalang orang bepergian ke kantor atau anak-anak ke sekolah. Tetapi banyak muslimah datang berduyun-duyun. Ada yang berjalan kaki setelah turun dari angkot, ada yang berkendara sepeda motor, dan tidak sedikit pula yang mengendarai mobil. Suasananya mirip kawasan pondok pesantren putri. Semuanya bergerak menuju tempat yang sama, yaitu majelis di mana diadakan pengajaran memperbaiki bacaan al-Qur'an.

Saat kuberjalan, kudengar dari sebuah rumah, suara para muslimah ramai melafalkan Qur’an. Kemudian kuayunkan beberapa langkah, dari sudut rumah lainnya terdengar suara para muslimah yang juga ramai melantunkan Qur’an. Saat aku berada di pusat kawasan, kudengar di sekelilingku suara-suara Qur’an yang bergemuruh. Kuamati, mereka ada yang berlatih melafalkan huruf atau kata dari Qur’an, ada yang lancar, ada yang yang terbata-bata, ada yang melancarkan bacaan Qur’an, dan ada yang mengulang-ulang hafalan. Sungguh kurasakan lantunan Qur’an yang bergema dari berbagai sudut rumah itu, laksana melodi yang berpadu membentuk harmoni yang menyejukkan kalbu dan menggetarkan jiwa. Kawasan tersebut layaknya lautan lebah yang mendengungkan kalimat tasbih.

Itulah gambaran semaraknya para muslimah belajar membaca al-Qur’an. Aku mengagumi langkah-langkah muslimah menuju majelis belajar baca al-Qur’an itu. Mereka belajar dari berbagai penjuru daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi demi bisa membaca al-Qur’an. Mereka memilih hari Ahad, karena hari itulah mereka bisa meluangkan waktu dan tidak memiliki banyak kesibukan. Luar biasa kemauan mereka!.

Gelora muslimah yang ingin bisa membaca al-Quran, menjadikan muslimah yang datang pada hari Ahad sangat semarak. Lembaga tahsin memfungsikan rumah penduduk sekitar sebagai kelas. Syukur, pemilik rumah pun menyambut dengan antusias. Mereka berharap kebaikan dan keberkahan semata karena rumahnya digunakan untuk mempelajari al-Quran.

***

Ya, kesadaran akan pentingnya membaca Qur’an lah yang meringankan langkah-langkah mereka menuju tempat yang jauh dengan mengorbankan semua aktivitas lainnya. Mereka merasa perlu belajar membaca al-Qur’an karena di balik membaca al-Qur’an terkandung keutamaan-keutamaan yang sangat besar. Rasulullah bersabda: Membaca satu huruf dari al-Qur’an berbalas pahala satu amal kebajikan, dan pahala satu amal kebajikan dilipatkan sepuluh kali. Alif lam mim bukanlah satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf. Di Hadits lain dikatakan bahwa orang yang pandai membaca al-Qur’an maka ia bersama malaikat yang mulia lagi suci, sedangkan mereka yang terbata-bata membacanya, memperoleh dua pahala. Dan hadits yang cukup menggugah mereka adalah al-Qur'an pada hari kiamat akan datang memberi syafaat kepada para pembacanya.

Motivasi belajar mereka makin menggebu menjelang Ramadhan ini. Terbayang alangkah bahagianya orang yang pandai membaca al-Qur'an. Setiap hari di bulan Ramadhan secara rata-rata bisa membaca membaca satu hingga dua juz al-Qur'an bahkan bisa jadi lebih. Satu hurufnya saja berbalas sepuluh kebaikan. Di bulan Ramadhan tentu satu hurufnya yang dibacanya berpuluh-puluh kali lipat kebaikannya. Subhanallah.

Siapa yang tidak bergegas meraih kebaikan Qur’an, sesungguhnya dia orang yang merugi.

***

Aku heran, masih ada aja orang yang enggan belajar membaca al-Qur’an.

Aku bertetangga dengan seorang ibu. Ibu itu cukup dekat dengan kami. Dia sering datang ke rumah membantu pekerjaan tertentu. Kadang dipanggil untuk mengurut isteri atau bayiku. Jika ada hajat apapun ia kami libatkan. Kami selalu memberinya sejumlah uang semata-mata ingin meringankan dia yang dihimpit kesusahan. Kadang jika keperluannya besar, ia datang meminjam uang dengan tempo pembayaran yang tidak kami atur.

Sebagai orang yang sudah dikenal, isteriku coba memasukan nilai-nilai Islam ke dalam dirinya. Tak lama ia pun menggenakan jilbab. Kata-katanya jadi terjaga. Dan sholatnya pun jadi rajin.

Anak-anaknya coba kami bantu. Baik uang sekolah bulanan, atau dicarikan pekerjaan. Singkat cerita, dua anaknya kini sudah bekerja. Yang tertua sudah menikah. Dapurnya akan ringan karena dibantu oleh anak-anaknya yang sudah berpenghasilan. Dia tidak lagi banyak kekurangan uang seperti dulu.

Seiring dengan berkurangnya kesusahan, anehnya ia mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Ia mulai berpandangan sinis. Kini ia mulai menanggalkan jilbabnya. Bujukan-bujukan isteriku untuk istiqomah sudah tidak digubris lagi. Kini saat isteriku membentuk majelis taklim, ia tidak mau mengikuti. Padahal majelis taklim itu bebas dari muatan politik yang ia tuduhkan. Isteriku semata-mata mengajak mereka untuk bisa membaca al-Quran dan sedikit mengenal Islam.

Sungguh disayangkan, orang-orang baru banyak mendapat hidayah dari perantaraan isteriku, sedangkan dia yang sudah dikenal lama makin menjauh. Kini aku menyadari bahwa apa yang semua kebaikan yang dilakukannya dulu adalah tidak tulus. Didorong oleh suatu motif ekonomi belaka.

Sebagaimana kata-kata bijak, barang siapa yang tidak mau bersama kebaikan maka ia bersama dengan kemaksiyatan. Maka ia pun makin jauh dengan kelalaiannya. Keterjauhan itu selaras dengan keengganannya untuk belajar al-Qur'an.

Waallahu'alam

Kendali Ego

Oleh Bayu Gawtama

Jumat pagi itu, motor terpacu dengan kecepatan tidak kurang dari 60 km/jam ketika tiba-tiba saya melewati seorang pengendara motor lainnya yang berhenti mendadak. Penyebabnya, kantong besar berisi ikan yang masih hidup yang dibawanya pecah. Berhamburan lah air dan puluhan ikan itu ke jalan raya.

Saat itu saya sempat ragu untuk berhenti, ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan keraguan itu. Pertama, waktu sudah menunjukkan pukul 07. 50 WIB dan saya harus segera ke kantor. Sedangkan perjalanan ke kantor butuh waktu kurang lebih delapan hingga sepuluh menit lagi. Jika saya tetap melanjutkan perjalanan, biasanya tidak akan terlambat. Kedua, saya alergi ikan. Bukan hanya makan makhluk air itu, bahkan mencium ‘amis’nya pun sudah membuat saya terkena penyakit aneh seperti pusing, mual dan gatal-gatal.

Dua hal tersebutlah yang sempat memberatkan. Namun beberapa detik kemudian saya putar arah menuju lelaki yang jelas-jelas membutuhkan bantuan itu. Sejurus kemudian, mulailah tangan ini membantu memungut satu persatu ikan yang menggelepar di jalan raya, beberapa orang lainnya pun turut membantu.

Menurut lelaki pembawa ikan itu, ikan-ikan itu adalah pesanan seseorang yang hendak menggelar pesta. Si pemesan hanya akan membayar ikan yang segar dan bukan ikan yang sudah mati. Karenanya, ketika plastik ikannya pecah dan ikannya berhamburan ia sangat panik. “saya bisa dipecat bos nih…” keluhnya.

Beruntung, beberapa orang –dan alhamdulillah termasuk saya- cepat membantunya mengumpulkan ikan agar tidak ada yang mati. Boleh jadi, jika ia mengumpulkan sendiri puluhan ikan tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar dan sangat mungkin ada beberapa ikan yang mati. Saya tidak tahu persis berapa harga satu ikan tersebut, tinggal dikalikan berapa jumlah yang mati. Tapi berapa pun harganya, tetaplah berat buat si pengantar ikan tersebut.

Usai mengumpulkan ikan-ikan itu, si pengantar ikan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang membantunya. Namun saya bilang, “saya yang berterima kasih, telah diberi kesempatan berbuat baik di pagi hari”.

Ya, saya bersukur dan merasa berterima kasih karena bisa mengawali hari dengan sesuatu yang baik. Di samping itu, saya pun diberi pelajaran berharga tentang bagaimana mengendalikan ego. Saya tahu pasti akan terlambat ke kantor jika menolong orang tersebut. Namun resiko yang saya dapatkan mungkin hanya ‘catatan kecil’ dari HRD bahwa saya pernah terlambat beberapa menit. Tidak ada resiko pemecatan, pemotongan gaji atau caci-maki bos. Tapi bagi si pengantar ikan itu, ceritanya akan sangat berbeda. Ia bisa diminta mengganti ikan-ikan yang mati, kemudian dicaci-maki bosnya, dan akhirnya berujung pada pemecatan.

Dan yang kedua soal alergi ikan itu. Luar biasa, apa yang menjadi kekhawatiran saya selama ini berkaitan dengan ikan itu tidak terjadi. Saat memungut ikan dan sampai ke kantor hingga keesokan harinya tidak terjadi satu apapun terhadap diri saya. Tidak ada pusing, tidak mual maupun gatal-gatal setelahnya. Padahal, biasanya mencium bau ikan saja saya sudah menyingkir jauh-jauh. Meski bukan berarti saat ini saya sudah bisa makan ikan, karena tetap saja saya belum bisa. Tetapi yang jelas, hari itu ego saya terkendalikan dan yang ada dalam pikiran saat itu hanya satu; orang tersebut harus ditolong.

Soal ego memang gampang-gampang susah mengendalikannya. Tetapi saya meyakini satu hal, bahwa ego menolong wajib dikedepankan dan semoga menjadi kebiasaan yang baik buat saya. (gaw)

Http://gawtama. Multiply. Com

Lupa Bersyukur

Oleh Nunung Nurjanah

Bersyukur adalah hal yang sering saya lupakan. Lebih sering saya mengeluh, lebih sering saya melihat dari sisi yang negative, dan lebih sering saya membandingkan satu hal yang saya peroleh dengan hal baik yang sedang tidak saya peroleh.

Padahal Allah berfirman:
Bersyukurlah, maka akan Aku tambah nikmat-Ku

Ketika tangan tergores pisau, tergesa-gesa saya menilai betapa kurang beruntungnya saya pagi ini. Semestinya saya tidak harus tergores sehingga tak perlu ada darah dan luka. Seketika saya mengeluhkan tangan yang tak bisa secekatan sebelumnya.
Saya lupa, bahwa dengan hal kecil itulah Allah mengingatkan saya.
Betapa selama ini saya melupakan syukur kepada-Nya atas karunia 10 jari tangan yang bisa berfungsi dengan baik, tapi tidak difungsikan dengan benar. Masih sering saya tidak banyak membantu disaat orang lain memerlukan bantuan tangan saya. Masih sering saya malas-malasan melakukan kebaikan lewat tangan saya. Masih banyak daftar jelek yang dilakukan tangan saya daripada daftar baik yang dilakukannya.

Ketika mulut tak sengaja tergigit dan meninggalkan luka, secepat itu pula saya mengeluh akan kemungkinan tidak nikmatnya saya makan. Saya lupa bahwa Allah sungguh sayang kepada saya dan mengingatkan saya dengan cara-Nya yang indah. Betapa selama ini saya lupa mensyukuri nikmatnya. Lebih banyak kata-kata kosong yang saya ucapkan. Lebih banyak hati terluka karena ucapan saya. Lebih banyak kata tak bermanfaat yang terhambur dibandingkan mengumandangkan kalam-Nya.

Ketika kaki tersandung dan terluka, saat itu pula saya menyesalkan langkah saya yang tak lagi sempurna. Tak saya tahu bahwa itulah cara Allah mengingatkan saya atas kurangnya kaki berbuat baik, jarangnya kaki melangkah menuju tempat-tempat yang baik, atau tak seringnya kaki melangkah untuk bersilaturahmi, . Juga masih seringnya kaki berjalan tak bermanfaat dan melangkah ke tempat-tempat yang tak ada gunanya.

Jadi apa yang akan saya jawab dihari penghisapan kelak jika Allah menanyakan kebaikan apa yang telah tangan saya lakukan? Kata-kata baik apa yang telah saya ucapkan? Atau ke tempat baik manakah kaki telah saya langkahkan?

Saya tak punya jawaban.

Semestinya saya harus menyiapkan cermin besar yang akan selalu memberi pantulan jernih terhadap nikmat apa yang sudah saya peroleh.
Cermin lapang yang darinya saya bisa melihat betapa Allah telah memberi saya sebanyak yang saya inginkan, bahkan lebih dari itu.
Cermin tak retak yang akan memantulkan bahwa hal kurang baik yang saya terima adalah tak sebanding dengan banyaknya hal indah yang saya dapat.
Cermin jernih yang saya bisa dengan lapang dada menerima kekurangan yang saya terima dan berharap akan pahala Allah atas kesabaran saya menerimanya.

Ternyata saya masih harus banyak belajar Tentang hidup dan kehidupan Tentang rasa syukur yang tak pernah ada.
Tentang apa saja

Yang semoga akan menuntun saya kepada kebaikan di akhirat kelak.
Amin.

Selalu Memberikan Maaf

Oleh Dh. Devita

Dari dulu, saya selalu yakin bahwa sepanjang nyawa masih menempel di raga, Allah pasti akan menerima taubat seseorang. Betapapun seseorang tersebut berkali-kali melakukan kesalahan. Betapapun seseorang tersebut tak menyadari betapa Allah telah berulang kali memberikannya kesempatan untuk bertaubat. Oleh karena itulah, saya tidak pernah putus asa menyemangati seseorang yang saya kenal, yang saya tahu sudah begitu banyak kesalahan yang ia perbuat semasa hidupnya.

Kalau ditanyakan kepada orang lain, mungkin beragam tanggapan yang akan saya terima. Ada yang langsung bersikap sinis dan mengatakan bahwa dosa orang tersebut terlalu besar. Dan mungkin ada pula yang memilih bersikap skeptis bahwa seseorang tersebut tidak mungkin berubah sampai kapanpun. Saya adalah salah seorang terdekat dari seseorang tersebut, sebut saja si A, yang cukup mengetahui sejarah panjang ‘kelakuannya’ yang tak pernah tidak membuat orang lain geleng-geleng kepala. Bahkan untuk beberapa kasus, saya sendiri terhitung menjadi korban akibat perilakunya yang tidak bertanggung jawab.

Tetapi, entah kenapa, saya tetap saja ‘membela’ si A di hadapan orang lain seraya mengatakan: “Ia sedang berusaha untuk bertaubat”.

Banyak orang mungkin merasa heran dengan sikap saya tersebut. Padahal mereka mengetahui apa saja yang telah diperbuat oleh si A terhadap diri saya. Saya sendiri memang merasakan tak sedikit penderitaan yang saya rasakan akibat ulah si A tersebut. Tetapi, sekali lagi, entah kenapa saya selalu berusaha memaafkannya. Mungkin rasa sayang saya begitu besar pada si A. Mungkin di lubuk hati saya yang paling dalam, saya begitu mengharapkan si A untuk berubah, bertaubat, dan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Saya rasanya masih bisa membuka lebar-lebar hati saya untuknya. Apalagi dalam kurun waktu tiga tahun belakangan ini si A memang benar-benar berubah, menurut saya. Saya jadi mensyukuri keputusan saya untuk memaafkan segala perbuatan buruknya yang dilakukan pada saya.

Melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada dirinya, saya tak habis-habis mengucap syukur pada Allah. Bahkan kadang-kadang saya tidak percaya, bahwa si A bisa begitu berubah. Ia tak pernah tidak menunaikan shalat tepat waktu. Ketika adzan berkumandang, ia langsung bangkit dari aktivitasnya dan langsung mengambil wudhu. Saat hari Jumat tiba, ia dengan begitu bersemangat berjalan kaki dari rumah menuju masjid terdekat. Seringkali saya terharu melihatnya tersenyum-senyum pulang ke rumah dengan sajadah tersampir di pundak. Pun ketika saya mendapatinya begitu rajin berpuasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis.

Sewaktu ia berada di luar rumah, misalnya sedang berjalan-jalan ke sebuah mal, ia dengan percaya dirinya langsung menghampiri mushala untuk menunaikan shalat apabila waktunya telah tiba. Saya melihat semangat menuju kebaikan yang tak habis-habisnya pada diri si A. Dan rasanya saya ingin melakukan apapun untuk membuatnya tambah bersemangat, dan memberikan sedikit ilmu yang saya punya untuknya. Ternyata benar, memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah bisa jadi akan menimbulkan semangat pada dirinya untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Allah saja mengampuni seluruh dosa hamba-hamba-Nya, masa manusia tidak? Begitu keyakinan saya.

Dalam banyak diskusi yang kami lakukan, saya pun mendapati dirinya penuh keingintahuan tentang Islam. Tak jarang kami mengobrol lama mengenai hal-hal yang ingin diketahuinya. Dan saya sendiri merasakan bahwa sepertinya saya yang jadi bersemangat untuk menceritakan dan memberitahukan segala hal yang saya tahu kepadanya. Tak henti-hentinya saya bersyukur pada Allah akan kesempatan yang Ia berikan pada si A untuk memperbaiki diri.

Suatu hari, secara tak sengaja saya mendengar sebuah kabar mengejutkan dari seorang saudara saya. Ia mengatakan bahwa ia mengetahui si A melakukan lagi perbuatan yang sudah lama ia tinggalkan. Saya kontan saja kaget. Benar-benar tidak menyangka. Saya meminta saudara saya itu untuk memeriksa kembali, bahkan memintanya untuk memberikan bukti-bukti kepada saya akan perbuatan yang dilakukan si A.

Dan demikianlah, beberapa bukti yang secara tidak sengaja ditemukan oleh saudara saya itu, benar-benar membuat saya kaget. Sepertinya saya tidak mau percaya. Dan si A berusaha untuk berkilah, menghindari pertanyaan yang kami berdua sodorkan. Awalnya saya menemukan rasa sesal dan mungkin sedikit rasa takut pada diri si A bahwa perbuatannya telah diketahui. Tetapi ketika kedua kalinya saya memintanya untuk menjelaskan, pernyataan yang saya dapatkan adalah ”Apa ada yang salah?”

Saya rasanya tidak bisa lagi mengobati rasa kecewa ini, pada saat ini. Dan saya tidak tahu kapan saya akan bisa memberikan maaf untuknya yang ke sekian kalinya menyakiti lagi diri saya, dan juga keluarga kami. Kesalahan yang diperbuat untuk yang kedua kalinya, atau entah ke sekian kali. Memang ada saja ulah setan untuk menggoda manusia yang sedang berusaha bertaubat. Memang selalu ada ujian-ujian bagi orang-orang yang ingin meningkatkan keimanannya.

Memang hanya Allah yang memiliki kuasa untuk memberikan dan mencabut hidayah pada diri seseorang. Saya benar-benar kecewa. Tetapi satu hal yang saat ini sedang saya usahakan dengan sangat keras untuk tetap mendiami hati saya. Sebuah keyakinan bahwa taubat seseorang akan selalu diterima oleh Allah, sampai waktu ajalnya tiba nanti. Dan saya berdoa, agar Allah masih berkenan untuk memberikan ampunan serta kesempatan pada si A untuk sekali lagi bertaubat.

Dh_devita at yahoo dot com

FLP cabang Sengata