Oleh Rizki Ridyasmara
Tadi malam, konser Black Eyed Peas, kelompok musik R&B asal Boston menggelar konser di Istora Senayan. Tak kurang dari 5000 penonton memadati gedung tersebut, dengan harga karcis di dekat panggung 850 ribu rupiah dan di tribun satu karcis dihargai setengah juta perak. Karcis seluruhnya ludes. Jika ditotal, para penonton telah rela membayar Rp 3. 500. 000. 000 (baca: tiga miliar tigaratus ribu rupiah!) hanya untuk menonton konser selama 90 menit!
Uang segitu sungguh cukup untuk membangun tiga gedung sekolah sederhana yang layak. Atau membuat puluhan ribu anak putus sekolah bisa kembali bersekolah. Tapi, ya kenyataanlah yang berbicara. Kepedulian sosial dan empati terhadap sesama, yang merupakan salah satu cerminan dari keimanan kita memang masih sebatas itu.
Di tengah lautan kemiskinan yang tiap hari kian menjepit leher jutaan rakyat negeri ini, di tengah samudera keputus-asaan yang tiap detik menghimpit harapan jutaan saudara kita, ternyata masih teramat banyak yang tega-teganya menghambur-hamburkan uang untuk hal yang sama sekali tidak bermanfaat.
Mereka, yang menonton konser itu, kebanyakan adalah anak-anak remaja kita. Ketidakpedulian mereka adalah hasil dari didikan yang kita berikan selama ini. Atau jangan-jangan mereka juga meneladani generasi tuanya yang tingkahnya juga sama-sama memuakkan? Bisa jadi.
Untuk mencari contoh kasus yang bisa mewakili hal itu di Indonesia ini teramat mudah. Lihat saja tingkah polah anggota DPR kita, tingkah polah pejabat kita, dari tingkat yang paling atas hingga strata bawah. Sikap tidak perduli pada kemiskinan rakyat, sikap memuakkan mereka, dengan jelas bisa terlihat.
Di tengah kesengsaraan rakyat, anggota DPR yang sudah dijejali aneka fasilitas kemewahan yang berasal dari utak-atik anggaran belanja negara (baca: merampok uang rakyat) masih saja ngotot meminta kenaikan gaji. Padahal gaji mereka sudah lebih dari cukup. Prestasi kerja juga sama sekali tidak ada istimewanya. Sudah demikian, mereka juga mempertahankan uang pensiun seumur hidup, dari hasil kerja cuma lima tahun. Ini sungguh-sungguh memuakkan.
Mereka ini hanya memikirkan cara untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya, ketimbang menunaikan amanah rakyat. Memang, tidak semuanya yang demikian. Tapi itulah gambaran umum, mayoritas, anggota DPR kita. Malah yang menyesakkan dada, banyak pula orang-orang yang tadinya tulus dan ikhlas, ketika menjadi anggota DPR tak kalah rakusnya dengan yang memang sudah rakus. Bukannya mewarnai, mereka malah ikut terwarnai. Mengenaskan, memang.
Para pejabat kita, termasuk anggota DPR, telah lama sudah lupa bahwa tugas utamanya adalah melayani kepentingan rakyat dan menunaikan amanah para pemilihnya. Sama sekali bukan untuk memperkaya diri sendiri. Sama sekali bukan untuk mencari uang untuk sandaran hidup dan sebagainya.
Sistem pemerintahan kita yang korup memang telah berurat berakar ke semua lini dan amat sulit, bahkan sepertinya mustahil, untuk membersihkannya. Amat mungkin, negeri ini memerlukan revolusi, bukan reformasi, untuk membabat habis semua anasir-anasir yang tidak benar, warisan Orde Baru-nya Suharto.
Para penyeru kebajikan, penjaga moral kita, sesungguhnya merupakan tugas para dai, para ustadz, dan para ulama. Namun ironisnya, banyak dari mereka yang juga terinfeksi wabah 'cinta dunia', sehingga mereka sesungguhnya 'Artis yang tengah akting menjadi ustadz', bukan 'Ustadz yang membina para atis'. Atau "politisi yang mengenakan topeng ustadz', bukan 'Ustadz yang selalu mengingatkan politisi'.
Membedakannya sungguh mudah. Jika mereka benar-benar Ustadz, Dai, atau Ulama, maka mereka akan menolak segala fasilitas mewah yang diambil dari uang rakyat. Mereka akan menolak pemberian kendaraan dinas mewah, menolak diberikan uang ini dan itu yang sesungguhnya bukan prestasi tapi memang kewajiban mereka (misal uang kehadiran rapat atau uang kehadiran acara luar kota), menolak uang pensiun seumur hidup (karena memang tidak layak), dan sebagainya. Mereka akan tetap pergi bekerja di gedung parlemen dengan kendaraan milik pribadi, atau jika tidak punya maka naik kendaraan umum. Ini baru jempolan. Berapa persenkah yang seperti ini?
Anak-anak muda kita, yang tidak perduli dan tidak memiliki empati terhadap sesamanya, merupakan wajah lain dari kelakuan generasi tuanya. Mereka merupakan cerminan dari diri kita sendiri.
Bersyukurlah jika kita sekarang ini mampu untuk hidup dan menghidupi keluarga tidak mengandalkan utak-atik uang anggaran (baca: uang rakyat). Bersyukurlah jika kita sekarang ini bisa hidup dan menghidupi keluarga dari hasil keterampilan yang kita miliki. Bersyukurlah, walau jumlahnya mungkin tidak sebanyak yang diterima anggota DPR dan pejabat negara lainnya, uang yang kita dapatkan adalah uang halal. Ini akan membuat kita dan keluarga kita menjadi manusia-manusia yang memiliki hati yang bersih, yang masih memiliki empati yang tinggi.
Bersyukurlah bila sekarang ini kita tidak termasuk bagian dari sistem yang korup dan sungguh-sungguh menghinakan. Bersyukurlah, jika kita bangun dari tidur kita pagi ini, mendapati kenyataan bahwa kita bukanlah pejabat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar