Selasa, Oktober 02, 2007

Melestarikan I’tikaf dan Tradisi Nabi

Oleh Muhammad Rizqon

Firdaus (3), nampak asyik mengamati permainan outbound ‘flying fox’ pada arena bazar di Gelora Bung Karno. Dia nampak khusyuk dengan permainan yang dilihatnya. Sesekali dia tertawa karena melihat ada sesuatu yang menurutnya lucu. Dia nampaknya bisa membaca ekspresi wajah dan perasaan, terutama wajah-wajah kepanikan. Boleh jadi itu yang mengundang dia tertawa.

Saat umminya menawarkan, “Firdaus mau coba?” Dia berujar, “Entar Mi…” Kemudian dia kembali asyik memperhatikan anak-anak yang mencoba permainan outbound tersebut. Lucunya, dia banyak tertawa seakan dirinya lebih bisa dari mereka. Katanya, “Mi, Lihat mi. Lucu..ha..ha..ha..”
Aku yang melihat dia tertawa jadi ikut tertawa, bukan karena oleh mereka yang mencoba flying fox tetapi melihat tawa firdaus yang lucu terpingkal-pingkal seperti orang dewasa.

Tidak lama kemudian ia bilang ke Umminya, “Firdaus mau coba, Mi. ” Umminya sebenarnya agak kaget. Masalahnya, turunan dari flying fox tersebut cukup curam, dan tambang yang dibentangkan juga tidak panjang, hanya memanfaatkan pohon-pohon yang ada. Jadi begitu meluncur, ia akan cepat melaju, kemudian ditahan oleh ikatan yang berfungsi sebagai rem yang dikendalikan oleh panitia. Begitu sampai ke bawah, akan ada semacam hentakan yang cukup mengagetkan.

Untuk menyakinkan dirinya, Ummi Firdaus bertanya kepada panitia tentang resiko yang akan terjadi. Setelah menerima jawaban panitia, “Oh tidak apa-apa Bu, asal anaknya berani. Kita jaga, Insya Allah aman. ”, ummi Firdaus menoleh ke anaknya dan berujar, “Firdaus berani kan?” Firdaus mengangguk. Akhirnya setelah mendaftar dan membayar di kasir, panitia menyambut Firdaus dengan membesarkan hatinya. Rasanya dia menjadi pencoba yang paling kecil, sehingga banyak orang yang berdecak kagum akan keberaniannya.

Panitia mulai memasang simpul-simpul dan besi di tubuh Firdaus. Kemudian tubuhnya dinaikan ke papan luncur di atas pohon. Ikatan tali di tubuh mulai dipasangkan pada roda peluncur. Pembimbing memberikan instruksi, kemudian memberi aba-aba. “Bismillahirrahmanirrohim 1..2..3..” Lalu meluncurlah tubuh Firdaus dengan berpegangan pada kedua tali tergantung. “Sreeet…” Alhamdulillah, berhasil. Tiada wajah ketakutan, bahkan dia tertawa bahagia karena mengalami kejadian yang luar biasa dan ia berhasil melewatinya.

***

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS 2:183).

Ada satu pelajaran kenapa Firdaus berhasil dan tidak perlu gagal untuk pertama kali, yaitu ia belajar dari pengalaman anak-anak sebelumnya. Dia amati dan pelajari orang-orang yang berhasil mencobanya kemudian dipraktekkan. Suatu prinsip yang mudah dan sederhana untuk menapaki suatu keberhasilan.

Demikian halnya jika kita ingin berhasil dalam Ramadhan dengan meraih taqwa, kita harus jeli memaknai kata ‘min qoblikum (orang-orang sebelum kamu)’ dalam ayat tersebut di atas. Setelah saya renungi kata ‘min qoblikum’ rupanya memberikan hikmah yang luar biasa.

‘Min qoblikum’ memiliki dua pengertian, Pertama, yaitu orang-orang sebelum Nabi Muhammad SAW. Artinya syariat puasa sudah dijalankan oleh orang-orang sebelum beliau, dari Nabi Adam a. S. Hingga Nabi Isa a. S. Contoh yang lazim kita ketahui adalah ‘puasa Nabi Daud’ yang menjadi tradisi Nabi Daud a. S. Dan kaumnya, di mana sehari berbuka dan sehari berpuasa demikian seterusnya. Hikmah yang terkandung adalah Allah memerintahkan untuk melestarikan tradisi kebajikan. Tradisi kebajikan yang telah diajarkan oleh orang-orang sebelumnya, hendaknya dilestarikan dan disempurnakan sehingga menjadi lebih baik. Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi penutup, adalah penyempurna dari tradisi kebajikan yang disyariatkan sebelumnya.

Kedua, makna ‘min qoblikum’ bagi kita yang hidup sekarang ini, adalah Rasulullah SAW, sahabat dan para salafushsholeh. Kita diperintahkan berpuasa sebagaimana mereka berpuasa. Artinya kita diperintahkan mempelajari cara-cara mereka menjalankan puasa hingga mereka mencapai sukses (derajat ketaqwaan yang tinggi di sisi Allah). Kita mempelajari bahwa mereka di bulan Ramadhan sangat serius dan bersungguh-sungguh, banyak melakukan tilawah qur’an dan memperbanyak ibadah, menghindari ghibah, melakukan banyak sedekah, tidak banyak tidur, menghidupkan malam, melakukan I’tikaf 10 hari terakhir, dan lain-lain. Seharusnyalah kita juga melakukan tindakan dan dengan semangat yang sama. Kita tidak perlu membuat tradisi-tradisi baru. Tradisi kebajikan yang diajarkan Rasulullah sudah jelas dan terbukti hasilnya. Kita tinggal mempelajari dan mengikuti saja.

Sesuatu yang mudah sebenarnya, sebagaimana pola pikir si kecil Firdaus di atas. Tapi entah kenapa, apa karena tidak tahu, banyak dari kita yang tidak mau berkaca dari kehidupan Rasulullah SAW, sahabat dan salafushsholeh. Sungguh ironis, jika kita berulang kali melakukan kesalahan yang sama, karena tidak mengambil spirit dari mereka. Sebagian kita justru berkiblat kepada tokoh-tokoh yang boleh jadi tidak selaras dengan tradisi Nabi SAW.

Kata ‘min qoblikum’ ternyata menyimpan kekuatan pesan yang luar biasa. Dia berkait dengan esensi ajaran Islam yaitu menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan dalam melestarikan tradisi-tradisi kebajikan. Sering kali manusia berupaya melestarikan tradisi, tapi justru tradisi itu menjadi kontraproduktif bagi nilai ketaqwaan. Dengan melestarikan tradisi Nabi, sebenarnya kita menunjukkan ‘kecerdasan iman’ kita dalam menangkap pesan tauhidurrasul, “Asyhadu anna Muhammad Ar Rasulullah”.

Terpetik hikmah juga bahwa Islam adalah agama yang menghargai sejarah, karena ternyata sejarah memiliki daya pengaruh kuat dan luar biasa bagi orang-orang setelahnya. Jika sejarah dibelokkan oleh musuh Islam hingga yang terkesan adalah suatu kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan terorisme, maka sebenarnya musuh benar-benar hendak menciptakan generasi muslim bodoh, terbelakang, miskin dan berimage teror. Ada upaya-upaya dari musuh Islam yang mencoba membangun ‘inferioritas’ ummat dengan mengelabui sejarah. Sebaliknya, mereka selalu berupaya membangun ‘superioritas’ dengan menciptakan sejarah palsu melalui mitos-mitos atau film-film layar lebar. Inilah konspirasi yang kadang tidak kita sadari, padahal berdampak sangat luar biasa.

Sesungguhnya jika kita membangun landasan yang kuat dengan hanya mempelajari dan mengamalkan praktek-praktek yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabat baik dalam level pribadi, keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia, kita akan menemukan kejayaannya. Selama ini kita terpuruk karena meninggalkan tradisi-tradisi kebajikan dan tidak mau mencontoh dari kehidupan Rasulullah SAW.

***
Hari-hari Ramadhan berlalu tanpa terasa kita akan mendekati penghujung hari-harinya. Andai hari-hari yang lalu kita lewati Ramadhan dengan bermalas-malasan, di penghujung yang segera menjelang ini marilah kita optimalkan dengan menghidupkan tradisi Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus dianjurkan oleh Rasulullah SAW yaitu i’tikaf pada 10 hari terakhir.

Sungguh, kita akan merasakan hari-hari yang penuh makna. Penghujung malamnya adalah detik-detik berharga dan menjadi penentu perjalanan Sang Hamba di keesokan harinya. Di penghujung malam ini kita bersimpuh, merasakan ketidakberdayaan, merasakan kehinaan, merintih dengan cucuran derai air mata penyesalan, dan memanjatkan bait-bait do’a memohon cahaya atas kegelapan kehidupan.

Kita akan merasakan makna ikhlas untuk ditekuni sebagai jalan yang menghantarkan kita ke surga, merasakan mata hati yang terbuka terhadap hakikat dunia yang selalu membuat terlena dengan angan-angan maya, dan merasakan begitu dekatnya Rabb Sang Pencipta yang memiliki penjagaan dengan dzikir-dzikir yang kita lantunkan.

Subhanallah, suasananya penuh syahdu mengundang keharuan. Derai air mata akan dengan mudahnya tertumpah seiring dengan ketunduk hati untuk merendah dengan serendah-serendahnya, bersujud dengan sehina-hinanya. Allahu Akbar, Maha Suci Allah dengan segala ketinggian rahmat, kebesaran maghfirah, dan keagungan ampunan. Air mata yang tak kuasa tercurah memberi kesejukan jiwa, membeningkan hati, melembutan perasaan, dan menyapu segala dosa. Dan seiring dengan hilangnya kegelapan, cahaya terang menyinari jiwa yang menang. Allahu Akbar Wa lillahi al-hamdu.

Sungguh, kemenangan itu hanyalah semata-mata sebagai karunia Allah, untuk menyenangkan hati orang-orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan peserta ‘madrasah malam’ dalam kehidupan ini. Semoga kita bisa melestarikan tradisi menghidupan ‘detik-detik berharga’ ini hingga ajal menjelang sebagai tanda tiba saatnya menemui Rabb tersayang. Amin ya mujib assaailiin.

Waallahu’alam bishshawwab

Tidak ada komentar: