Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Semoga ustadz senantiasa dirahmati Allah SWT. Banyak sekali peristiwa yang kita baca, kita dengar maupun kita lihat di berbagai media informasi mengenai dirusaknya sarana ibadah, rumah penduduk hingga penganiayaan terhadap seseorang/sekelompok yang hingga mengakibatkan nyawa melayang karena tuduhan menyebarkan aliran sesat. Semua tindakan dilakukan dengan cara main hakim sendiri sedang supremasi hukum tidak dijunjung tinggi. Padahal mungkin mereka bisa melakukan cross check apa benar mereka menyebarkan aliran sesat.
Saya sungguh miris mendengarnya, apakah begini akhlak yang dicontohkan Rasulullah. Lalu apa kriterianya seseorang menyebarkan aliran sesat? Pastinya segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah. Padahal kalau kita mau cari tahu, aliran sesat sudah mendarah daging pada sebagian umat Islam.
Ritual sesaji kepada Ki penunggu Gunung Semeru, ritual ngelarung sesaji di laut, ritual menyebarkan uang recehan di jembatan A dengan maksud menolak bala, pergi ke dukun/paranormal, percaya kepada selain Allah (Mbah Maridjan misalnya). Dan masih banyak lagi contoh lainnya. Lalu mengapa para ulama menutup mata akan hal ini. Ini juga aliran sesat yang lebih parah dari sekedar contoh di atas, karena sudah berada pada masalah akidah. Bagaimana ustadz menanggapinya? Jazakallah.
Wassalam,
Abu Hasna
abu_afifah at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Umumnya tindakan main hakim sendiri itu dilatar-belakangi dari proses panjang, yang intinya adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri. Dan ujung-ujungnya karena aparat penegak hukum tidak berhasil membuktikan supremasi hukum.
Ditambah lagi kesadaran hukum yang juga masih lemah di kalangan masyarakat.
Dan khusus untuk masalah aliran sesat, selain faktor di atas juga karena secara hukum belum ada pasal-pasal yang bisa digunakan untuk menjerat. Bahkan perumusan definisi aliran sesat itu sendiri masih bias di kalangan aparat penegak hukum dan pemerintah.
Sementara di sisi lain, masyarat semakin sadar dalam beragama dan semakin cerdas mendeteksi penyimpangan-penyimpangan beragam aliran itu. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa menyaksikan agama mereka dirusak oleh para pencetus aliran sesat itu.
Akhirnya, walau pun umumnya masyarakat bisa bersabar dan menahan diri dari tindak anarkis, tetap saja kalau berbagai aliran yang meresahkan itu dibiarkan saja tanpa tindakan hukum, maka sulit untuk menghindari tindakan-tindakan sepihak itu.
Maka yang perlu dikerjakan sekarang ini adalah duduknya para ulama, wakil rakyat, pemerintahdan aparat penegak hukum serta unsur-unsur terkait. Intinya, perlu adanya sebuah kesepakatan dalam menyikapi munculnya aliran-aliran sesat itu.
Misalnya, kita perlu undang-undang dan berbagai macam peraturan lainnya yang bisa digunakan untuk mendefinisikan serta mengambil tindakan hukum atas beragam aliran sesat itu. Tidak cukup hanya sekedar fatwa Majelis Ulama saja, tetapi harus dengan semua perangkat hukum dan keseriusan para aparatnya.
Sebab tanpa kesertaan semua pihak, tindakan anarki itu sulit dibendung. Sebab kita juga harus bijak untuk tidak asal menyalahkan mereka. Boleh jadi yang ada di kepala mereka adalah sebuah jihad untuk menghancurkan kebatilan. Karena mereka memandang bahwa aliran sesat itu merupakan sebuah upaya nyata untuk menghancurkan agama Islam. Maka, logika sederhananya adalah menghancurkan semua bentuk kegiatan aliran sesat itu.
Dan biasanya, yang paling nyaring protes kalangan libaralis. Sebab mereka ingin agar aliran benar dan aliran sesat hidup berdampingan. Kalau perlu, aliran yang benar ini sesekali ikut juga dengan paham sesat. Buat paham liberal, toh semua agama sama saja, apalagi beragam aliran sesat itu.
Tentu kita tidak ingin aliran sesat itu merajalela seenaknya. Biar bagaimana pun yang namanya aliran sesat itu memang sesat. Kalau dibiarkan berkembang biak tanpa antisipasi, agama ini akan hancur.
Tetapi bukan berarti kita membenarkan tindakan anarkis sepihak. Itu pun bukan jalan keluar yang benar. Tindakan yang benar adalah melakukan kroscek sebagaimana yang dulu pernah dilakukan olehWali Songo ketika Syeikh Siti Jenar disinyalir mengembangkan aqidah sesat. Jenar dipanggil para wali itu untuk dilakukan pengecekan. Dialog demi dialog dilaksanakan sertadiskusi demi diskusi digelar. Pada akhirnya para wali itu sepakat bahwa Jenar 100% dan secara sadar memang telah menyimpang dari aqidah yang benar.
Maka kepadanya diberi waktu dan kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri serta kembali ke jalan yang benar. Ketika limit waktu yang diberikan tidak dimanfaatkannya, maka mahkamah syariah itu pun memutuskan bahwa aqidah Jenar memang telah sesat, bahkan beliau dianggap telah murtad.
Perlu dicatat, kedudukan Wali Songo saat itu bukan sekedar ulama, tetapi juga pemerintah sah dan berdaulat. Sehingga tindakan yang mereka ambil itu secara hukum memang sah dan resmi merupakan ketetapan negara. Artinya, negara secara sah menjatuhkan vonis bahwa Jenar telah sesat.
Kalau kita bandingkan dengan zaman sekarang ini, kedudukan MUI sangat berbeda dengan Wali Songo di masanya. Meski didirikan oleh pemerintah, namun posisinya tidak sestrategis Wali Songo. Boleh dibilang, MUI sekedar mengeluarkan fatwa tanpa punya kekuatan hukum positif, sehingga tidak bisa mengambil tindakan apapun kecuali sekedar himbauan. Tidak ada interkenoksi antara MUI dengan aparat, sehingga meski MUI sudah bulat menyatakan kesesatannya, aliran-aliran itu tetap dengan bebasnya bergerilya kesana kemari.
Walhasil, ketika masyarakat sudah kehabisan kesabaran karena tidak ada tindakan kongrit dari yang berwenang, mereka pun bergerak sendiri. Sayangnya, tindakan itu dinilai anarkis begitu saja dan diekspose media sebagai bentuk kekerasan. Apalagi digendangi oleh para aktifis liberalis, maka semakin seru saja.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar