"I'm Moslem. Don't Panic" kata-kata itu tertulis di kaos yang dikenakan Nathan Ellington, saat ia diwawancari wartawan pada tahun 2007 lalu. Tapi ia menolak difoto atau tampil di depan kamera televisi saat mengenakan kaos itu, karena khawatir ada orang yang merasa tersinggung dengan tulisan tersebut.
Nathan Levi Fontaine Ellington memang harus pandai menjaga sikap, karena ia termasuk figur masyarakat di Inggris. Lelaki kelahiran Bradford, West Yorkshire pada 2 Juli 1981, adalah pesepakbola yang namanya cukup terkenal di negeri itu.
Pemain Liga Premier yang sekarang bergabung dengan klub sepakbola Preston North End itu, sebenarnya sangat terbuka dengan keislamannya. Ia menjadi salah satu pesebakbola Muslim diantara pesepak bola Muslim lainnya yang bermain di Liga Premier seperti Mo Sissoko, Hameur Bouazza, Diomansy Kamara dan Nicolas Anelka.
Tapi menjadi seorang Muslim di Inggris bukan persoalan yang mudah, meski negara itu cukup terbuka dengan kaum Muslimin.
Ellington masuk Islam pada tahun 2004 setelah menikah dengan seorang muslimah asal Bosnia bernama Alma. Namun kakak Ellington bernama Jason yang lebih dulu masuk Islam, ikut berperan dalam keislamannya. Ellington, yang mengaku bukan seorang Kristiani yang taat sebelum masuk Islam, tidak menghadapi kendala berarti dari keluarganya saat memutuskan masuk Islam, dan menunjukkan komitmennya sebagai muslim dengan menjalankan semua kewajiban seperti puasa Ramadan dan salat lima waktu.
Ketika ditawari bermain untuk Klub Watford tahun 2007 lalu, Ellington bicara dari hati ke hati dengan manajer klub Aidy Boothroyd sebelum menandatangani kontrak, tentang keislamannya. "Saya bicara padanya tentang kewajiban yang harus saya lakukan sebagai seorang muslim. Saya menjelaskan masalah ini, karena sebagai seorang pemain yang muslim, saya dianggap berbeda dengan pemain lainnya. Ternyata, dia (Boothroyd) tidak masalah dengan semua itu," tutur Ellington yang dibayar 3,25 juta poundsterling oleh klub Watford.
Ia juga menyatakan tidak menemukan kesulitan dalam menjalankan ibadah, utamanya salat lima waktu di tengah jadwal latihan yang padat. Jika harus latihan sehari penuh, ia meminta waktu lima atau sepuluh menit saat waktu salat tiba.
"Saya selalu bawa sajadah. Manajer saya tidak mempermasalahkannya. Ia menghormati bahwa salat adalah sesuatu yang harus saya laksanakan," kata Ellington.
Ia beruntung karena pelatih dan manajernya bisa memberikan keleluasaan padanya untuk menjalankan ibadah, meski beberapa teman satu timnya sering menjadikannya sebagai bahan lelucon. Olokan yang membuatnya paling tak enak didengar adalah saat ia dipanggil "Beardo, namun Ellington tidak terlalu ambil pusing.
Di klub lain, seorang pemain dijuluki "Bomber" hanya karena pemain itu seorang muslim. "Sebagian orang berpikir itu sesuatu yang lucu, padahal sama sekali tidak lucu. Ada banyak isu yang lebih besar di luar sana. Banyak orang kehilangan nyawa, atau kehilangan orang yang mereka cintai. Ada garis batas yang harus ditarik," imbuhnya.
Menurut Ellington, jika hal semacam itu terjadi, masalahnya bukan pada agama tapi pada manusiannya. "Agama itu sendiri tidak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk. Islam mendorong Anda untuk memahaminya, mempelajarinya. Dan saya tidak menemukan hal-hal yang salah dalam Islam. Islam tidak mengajarkan Anda untuk jadi orang jahat," tukas Ellington.
"Anda tahu, selalu ada orang yang jahat dalam setiap agama. Tapi persoalannya bukan terletak pada ajaran agamanya yang jelek, tapi pada manusianya. Ini yang harus dipahami ... Mungkin pengetahuan mereka minim. Jika mereka mau berdiskusi dengan saya, saya dengan senang hati berbagi dengan mereka," tandasnya.
"Jujur, Islam tidak mempengaruhi aktivitas sepakbola saya. Saya memang melihat banyak prasangka buruk pada agama saya. Tapi dalam tim ini, saya tidak pernah mengalami serangan bernuansa rasis, justru teman saya yang bukan muslim yang mengalami hal itu," tukas Ellington. (ln/berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar