Oleh Srirochmat Gilangtresna
Kotak bentou itu terlihat bersih. Secawan spaghetti, sepotong ika furai dan secawan salad brokoli, nampak tak bersisa. Hanya cawan-cawan kertas dengan sedikit lumuran minyak yang tertinggal di sana.
Hari ini adalah obentou no hi, hari di mana setiap anak diharuskan membawa bekal makan siang dari rumah. Ada dua kali obentou no hi dalam seminggu. Di hari lainnya anak-anak akan mendapat jatah makan siang dari sekolah. Tapi jadwal itu tidak berlaku bagi si Buyung. Karena baginya setiap hari adalah obentou no hi.
Setahun silam, saat aku dan suami mendaftarkan si Buyung ke youchien itu, urusan makan siang menjadi hal penting yang harus dibicarakan dengan pihak sekolah. Mengingat hanya si Buyung satu-satunya anak muslim yang mendaftar di saat itu.
“Hhmm… kalau begitu, untuk makan siang boleh membawa bekal sendiri dari rumah. Karena kebanyakan menu yang disajikan koki sekolah mengandung bahan yang tak bisa dikonsumsi oleh orang muslim,” ujar Kepala Sekolah setelah mendengar penjelasan kami tentang bahan makanan tertentu yang tak bisa kami konsumsi.
“Tapi tidak menutup kemungkinan bila ingin memesan dari sekolah, dengan konsekuensi membawa makanan pengganti ketika menu yang disajikan mengandung bahan yang tak bisa dimakan,” pria setengah baya yang rambutnya sudah memutih itu melanjutkan ucapannya dengan nada ramah.
Pilihan pun jatuh pada alternatif pertama. Dan itu berarti sederet menu serta setumpuk resep tambahan bagiku. Tak terlalu sulit sebenarnya, karena setiap akhir bulan pihak sekolah akan memberikan daftar menu kepada semua siswa. Di sana tertulis masakan apa saja yang akan dijadikan sajian makan siang di bulan berikutnya. Ini jelas membantuku dalam menyiapkan bekal untuk si Buyung. Meski tak selalu sama persis, tapi aku berusaha untuk membuat masakan seperti yang tercantum dalam daftar menu dari sekolah. Beruntung, bocah empat tahun itu tak pernah protes atas ketidakmiripan hasil olahan Bunda dengan olahan koki sekolah. Meski belum sepenuhnya memahami, tapi setidaknya ia tahu ada bahan makanan tertentu yang tak boleh dinikmatinya.
“Ngapain sih Jeng, capek-capek bikin bentou tiap hari? Mendingan pesan dari sekolah. Selain praktis, kandungan gizinya pun terjamin,” komentar seorang teman.
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku memang bukan ahli gizi yang mahir menghitung kadar gizi dari setiap porsi masakan. Tapi rasa-rasanya setiap orang bisa belajar untuk menyajikan menu yang seimbang kandungan gizinya.
“Sudah begitu kita hanya membawa makanan pengganti bila dibutuhkan. Kalau memang keberatan, kan nggak harus bawa. Toh menu yang disajikan pihak sekolah sudah beraneka macam,” lanjutnya.
Aku tak hendak bersilat lidah dengannya, cukup kukatakan bahwa aku tak merasa direpotkan dengan urusan bentou si Buyung. Ya, aku menikmatinya. Karena aku tahu waktu tak bisa berjalan mundur. Si Buyung akan tumbuh semakin besar seiring dengan bergulirnya waktu. Dan tak akan ada pengulangan masa baginya, untuk menjadi anak usia empat tahun dengan sekotak bentou buatan Bunda. Waktu tak akan pernah kembali…
************
“Bunda, ashita no obentou wa nani?”
Kulirik daftar menu yang terpampang di dinding dapur. Ada tertulis butaniku to moyashi no itamemono di deretan menu besok hari.
“Mmm.. bagaimana kalau hoshigata onigiri, gyuuniku to moyashi no itamemono, kroket jagung dan yoghurt strawberry?”
“Ung!” lelaki kecil itu mengangguk dengan lengkung pelangi terbalik menghias wajahnya.
Ah… Cinta, masakan Bunda mungkin tak selezat masakan koki di sekolahmu. Tapi, tahukah engkau Nak, selalu ada butiran cinta yang Bunda taburkan di setiap porsi yang tersaji untukmu.
Bumi Sapporo, 05072006
gilang_tresna@yahoo.com
Catatan:
Bentou = bekal makan
Ika furai = cumi goreng dengan balutan tepung panir
Youchien = TK
Ashita no obentou wa nani = bekal untuk besok apa
Butaniku to moyashi no itamemono = sejenis tumis berbahan daging babi dan tauge
Hoshigata onigiri = nasi kepal berbentuk bintang
Gyuuniku to moyashi no itamemono = sejenis tumis berbahan daging sapi dan tauge
Tidak ada komentar:
Posting Komentar