Assalamu'alaikum wr. wb.
Yth. Pak Ustadz.
Saya ingin melangsungkan pernikahan yang kedua kali,dengan seorang janda beranak satu, dan saya sudah coba melobi orang tuanya dan beliau setuju menikah dengan saya. Akan tetapi calon saya ini ingin agar mendapat izin dari isteri saya pertama. Tadinya saya tidak masalah dengan hal tersebut, karena isteri saya pernah saya lontarkan kata-kata itu untuk menikah lagi tidak masalah. Akan tetapi setelah saya utarakan niat saya yang sebenarnya ternyata dia hanya bercanda mengizinkan saya untuk menikah lagi. Dan akhirnya isteri saya mengamuk dengan saya dengan mencari surat nikah untuk bercerai dengan saya, akan tetapi saya sebutkan bahwa saya belum melaksanakan akad nikah baru ingin melaksanakan, dan bila kamu tidak setuju yah sudah saya tidak jadi.
Yang saya bingungkan adalah pihak calon isteri kedua saya setelah tidak jadi juga ikut mengamuk dengan alasan sudah malu dengan keluarga atas ketidakjadian ini.
Pertanyaan saya adalah:
1. Apakah boleh bila dilaksanakan tanpa izin isteri, tapi isteri mengancam bila tejadi pernikahan dia akan bunuh isteri kedua saya?
2. Apakah orang tua calon keberatan dengan tidak jadi ini bisa menuntut saya, karena sudah merasa malu di hadapan keluarganya?
Amri
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Meski seorang laki-laki berhak menikahi sampai empat wanita dalam satu waktu yang sama, namun teknisnya tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan bisa jadi justru secara teknis malah lebih rumit dari hukumnya yang halal.
Meski untuk menikah lebih dari satu wanita, secara hukum syariah tidak membutuhkan izin dari isteri sebelumnya, namun secara kejiwaan dan kemanusiaan, tetap saja harus dipertimbangkan banyak hal.
Sebab ketika seorang suami menikah lagi, sudah bisa dipastikan akan ada yang berkurang, yaitu apa yang selama ini telah diterima isteri pertama.
Dalam hukum Islam, seorang suami wajib memberi nafkah kepada isteri. Kalau selama ini isteri mendapat 100% jatah nafkah dari suami, maka ketika suami menikah lagi, sudah pasti akan berkurang. Tidak mungkin 100% lagi, mungkin tinggal 50% saja.
Belum lagi bila suami wafat, maka jatah harta warisan untuk isteri yang 1/8 itu pun harus di-share berdua. Akibatnya, isteri pertama akan mendapatkan warisan yang jauh lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Padahal mungkin dirinya sudah membangun rumah tangga puluhan tahun, tiba-tiba harus berbagi warisan dengan wanita yang baru kemarin sore dinikahi suaminya.
Dari sudut pandang perbedaan penerimaan nafkah materi seperti ini saja, sangat manusiawi bila tidak akan ada isteri yang rela bila suaminya menikah lagi. Wajar bila ada rasa diperlakukan tidak adil, khususnya dari sisinafkah.
Namun yang paling berat dirasakan oleh seorang wanita adalah rasa cemburu yang merupakan fitrah yang Allah tanamkan memang tidak bisa dinafikan begitu saja.
Mungkin suami itu punya penghasilan yang besar lebih dari cukup, namun dari segi waktu, perhatian, juga kasih sayang, pasti akan terbagi. Dan bagi seorang isteri, hal-hal seperti ini bukan masalah yang sepele. Malah sangat boleh jadi justru merupakan masalah yang paling esensial. Mungkin masalah nafkah tidak seberapa, karena begitu banyak isteri yang rela hidup tidak terlalu memikirkan harta. Tetapi urusan membagi cinta, perhatian, kasih sayang serta waktu, sangat krusial bagi mereka.
Kita harus menangkap perasaan manusiawi seorang isteri, ketika suaminya menikah lagi, ada rasa di dalam dada bahwa dirinya telah dikalahkan, telah disingkirkan, telah dinomor-duakan oleh sang suami.
Terbayang di dalam perasaannya yang sangat peka bahwa dirinya sudha tidak dibutuhkan lagi. Sehingga sudah bisa dipastikan rekasinya adalah minta diceraikan dengan membawa luka paling dalam di hati. Buat seorang wanita yang sedang sakit hati, minta cerai sudah jadi makanan sehari-hari, boleh jadi sehari akan bicara cerai tiga kali, persis orang minum obat.
Hal-hal seperti inilah yang kadang tidak terdeteksi dalam alam logika laki-laki yang terlalu eksak. Tapi memang wajar juga, mengingat Allah SWT menciptakan laki-laki dan wanita sebagai dua makhluk yang bukan berbeda alat kelamin saja, tetapi berbeda logika dan parameter.
Karena itulah Allah SWT telah menekankan dalam firman-Nya bahwa antara laki-laki dan isteri (baca:suami dan isteri) harus selalu berusaha saling mengena, memahami dan memaklumi.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13)
Kalau anda renungkan hal-hal di atas, lalu anda ambil pengandaian, di mana anda punya adik perempuan atau anak perempuan yang anda sayangi, namun tiba-tiba suaminya ingin menikah lagi, kira-kira apa yang anda rasakan? Tentu ada sedikit penolakan di dalam hati anda.
Perasaan manusiawi itu pula yang sempat dirasakan oleh Rasulullah SAW, sehingga beliau meminta kepada Ali bin Abi Thalib sebagai menantunya untuk tidak berpoligami. Padahal poligami itu halal, boleh dan tidak salah. Namun sebagai ayah yang amat menyayangi puterinya, Rasulullah SAW pun punya perasaan manusiawi. Danperasaan itu sah-sah saja bila sempat muncul.
Karena itu sebaiknya bila tidak terlalu mendesak, ada baiknya anda peritimbangkan kembali resiko-resikonya. Jangan terlalu cepat untuk mengambil keputusan hanya berdasarkan selera dan perasaan sesaat. Kalau memang lebih baik tidak berpoligami, rasanya hal itu lebih baik. Sebab poligami bukan anjuran apalagi kewajiban. Poligami hanya merupakan sebuah tindakan yang halal, tapi bukan sebuah keharusan.
Semoga Allah SWT memberi kemudahan dalam jalan hidup anda untuk mengambil keputusan terbaik.
Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar