Oleh Miftahul Jannah
Saya bertanya pada diri saya sendiri,
pada bagian mana dari ujian hidupnya saya berada?
Lantas mengapa diri kerap lupa bersyukur?
Haruskah keberadaan si papa yang terus-menerus menjadi sebab lahirnya keinsyafan?
Astaghfirullah...
Tubuh rentanya terduduk pasrah di pintu gerbang sebuah masjid, kemarin malam selepas Isya’. Kalau saya tak awas, barangkali tubuh renta itu terabaikan begitu saja. Hanya seorang pengemis tua. Bukankah pengemis adalah pemandangan biasa saja di negeri tercinta yang konon subur dan makmur ini? Saya teringat kembali perkataan seorang teman Perancis saya beberapa waktu sebelumnya, ketika saya bertanya padanya hal apa yang tidak ia sukai dari Indonesia, jawabannya adalah macet dan pengemis. ”Terlalu banyak peminta-minta di negara ini. Mereka mengira saya ini punya banyak uang,” katanya pada saya.
Dan tubuh renta itu, saya pun menganggap beliau seorang pengemis. Nenek tua berpakaian lusuh, dengan sendal jepit yang sudah terkelupas di sana-sini. Di sampingnya teronggok sebuah karung goni, tas plastik, dan sebuah topi caping terbuka berisi beberapa helai uang ribuan. Bukankah lengkap mencirikan seorang pengemis? batin saya.
Tapi beliau tak mengulurkan tangan pada saya, beliau hanya diam ketika saya lewat. Senyuman saya padanya dibalas dengan senyuman juga, tetap tanpa mengulurkan tangan atau topi capingnya.
Langkah saya hampir berlanjut ke sebuah ruangan di sisi masjid itu sebelum satu sisi di hati saya terketuk untuk tidak menganggap tubuh renta itu tanpa arti. Saya membuka resleting tas, mengambil dompet, memegang selembar uang, hampir menariknya.... lantas memilih mengurungkan kelanjutannya. Saya lepaskan lagi lembaran uang itu, saya kembalikan dompet ke tempatnya, lalu saya tutup kembali tas saya.
Saya memilih mundur beberapa langkah dan mengambil posisi duduk di samping si nenek tua.
”Mbah...” sapa saya.
Dengan sedikit ragu saya niatkan untuk menemani beliau barang sejenak. Ragu karena satu hal yang seringkali membuat saya susah berkomunikasi dengan simbah-simbah, yaitu soal bahasa. Saya tak bisa bahasa Jawa, simbah tak faham bahasa Indonesia. Biasanya jika sudah demikian, saya hanya mengangguk-angguk dan senyum-senyum mendengarkan cerita setiap Mbah yang saya ajak ngobrol, padahal saya tak memahami perkataannya. Tapi alhamdulillah, simbah yang ini memahami bahasa Indonesia saya.
Bukan pemandangan langka melihat simbah-simbah di jalanan Jogjakarta, tapi berada di luar rumah ketika langit sudah hitam karena matahari pindah bersinar ke belahan bumi yang lain, bagaimana ini tidak menjadi sesuatu yang aneh? Di manakah suaminya? Mana anak-anaknya? Juga cucu-cucunya? Saya membayangkan nenek saya tersayang masih bisa tidur di kasur yang empuk. Terasa lebih mending pula para nenek yang terasing di panti Wreda tapi masih punya kamar dan kasur sendiri. Sementara beliau,
”Sudah kemalaman. Nggak bisa pulang,” katanya pada saya dengan suara yang halus dan parau.
“Anak-anak nggak nyariin, Mbah?” tanya saya
“Nggak ada anak-anak. Simbah tinggal sama ponakan,” jawabnya.
“Ponakan nggak nyariin?” tanya saya tetap ingin tahu.
”Enggak,” jawabnya lagi.
Masya Allah... Saya mengajak beliau duduk di teras masjid. Beliau menurut setelah beberapa kali menolak. Di teras masjid ceritanya mengalir lagi tentang keluarganya, kali ini dalam bahasa Jawa yang tak saya fahami.
”Mbah sudah makan malam?” tanya saya ketika beliau telah selesai dengan ceritanya.
Simbah diam, hanya memandang ke mata saya. Mungkin ia mencari apakah ada bahasa basa-basi di sana.
”Nanti saja beli di sana,” jawabnya seraya menunjuk deretan warung yang berbaris di luar gerbang masjid.
“Saya belikan nasi mau ya, Mbah?” kata saya.
Sekali lagi beliau menatap mata saya.
”Kalau nggak makan nanti masuk angin,” saya mencoba meyakinkannya.
Lantas ia ambil topi capingnya, lalu mengambil beberapa helai uang ribuannya dan mengangsurkan pada saya.
”Nggak usah, Mbah. Ini ada kok,” saya menunjuk tas saya.
Sekali lagi simbah diam menatap saya, lantas mengangguk. Mungkin ia letih berdebat dengan saya.
Lantas saya pergi membelikan makanan dan minuman untuk beliau. Ketika saya kembali simbah berkata pada saya,
”Uangnya sudah mbah masukin ke sana, ya” sambil menunjuk kotak kaca tempat infaq masjid. Saya benar-benar terkejut dengan apa yang dilakukan simbah.
“Mbah, kan saya yang belikan makanan untuk, Mbah?” tanya saya dengan suara tercekat, malu sekali rasanya diri ini pada beliau.
“Nggak boleh, simbah kan ada uang,” jawabnya.
“Tapi kan itu bisa buat ongkos besok?” tanya saya ngotot.
“Besok bisa cari lagi. Nanti Mbah bisa cari di pasar,” jawabnya santai.
“Mbah masukin uangnya berapa?” tanya saya lagi, karena saya tak melihat sehelai uang pun tersisa di topi capingnya. Beliau menyebutkan sejumlah nominal. Masya Allah, nominal yang ia sebutkan adalah nominal yang sama dengan harga makanan dan minuman yang saya belikan untuknya.
Tak kuasa saya menahan airmata yang hendak tumpah, saya kagum padanya. Kagum pada ketabahannya, kagum pada keteguhan dan keikhlasannya.
“Nggak usah nangis, Mbah nggak apa-apa kok,” ia berkomentar tetap dengan santai.
Selanjutnya semua tawaran saya ditolak. Saya minta ia tidur di dalam, sampai saya bawa masuk, lalu ia keluar lagi. Saya antar ia hingga ke atas karpet, ia pindah ke lantai.
Saya tak bisa lupa tubuhnya yang tak lagi mampu berdiri tegak, rambutnya yang hampir seluruhnya telah memutih, pun giginya yang memerah karena digosok-gosok dengan tembakau.
Di manapun si Mbah hari ini berada, saya hanya bisa mendoakannya, “Mbah, semoga Allah memuliakan Mbah.”
1 komentar:
saya ikut terharu membaca cerita mas! mudah2an mas di muliakan allah. amiinnn
Posting Komentar