Oleh Nurika Nugraheni
Hatiku bergetar membaca koran pagi itu. Seorang guru honorer setelah menempuh sekian kilometer dari sebuah SD di sudut sebelah timur Kabupaten Bantul Yogyakarta memandangi kertas pengumuman yang ditempel di pintu Kantor Dinas P dan P Kabupaten Bantul. Beliau tak percaya bahwa gajinya yang tiga ratus ribu itu tak bisa diterimanya hari itu. Seorang pencuri telah lebih dulu mengambilnya sebelum guru itu datang ke kantor Dinas P dan P Kabupaten Bantul. Uang itu adalah insentif selama tiga bulan, tambahan dari gajinya yang dua ratus ribu perbulan. Saya menelan ludah.Saya lalu teringat masa-masa akhir bulan yang sering dialami oleh orang-orang gajian. Ada satu perasaan yang susah saya gambarkan ketika uang itu kadang-kadang hanya lewat dari rekening bank. Habis untuk suatu kebutuhan saat itu juga. Bahkan ketika di awal bulan pun saya sudah mulai memotong kebutuhan di sana-sini. Kadang sepertinya hanya masalah mengatur kebutuhan tetapi kadang-kadang memang segitulah kebutuhan yang harus dipenuhi. Ah, orang Jawa bilang wang sinawang. Orang itu hanya bisa memandang orang lain. Tak ada yang percaya bahwa saya tidak makan lantaran tak punya uang, karena saya orang gajian.
Pun juga sebagian para guru. Jabatan yang mulia itu memang sangat kontras dengan “kekurangan” hidupnya. Kemuliaannya menjadikan beliau tak pernah layak disebut orang yang kekurangan. Meski beliau gajinya pas-pasan tetapi status sosialnya sebagai guru yang digugu dan ditiru menyebabkan mereka selalu punya aji, harga diri yang lebih. Dan agaknya, masyarakat tak menggolongkan beliau ini sebagai orang miskin. Padahal kalau itung-itungan besarnya pendapatan, jelas gaji beliau ini di bawah UMP. Ini kenyataan yang harus kita terima tentang para guru, khususnya guru SD, bukan Guru Besar lho. Masyarakat hanya mengenal guru tanpa pangkat dan golongan kepegawaiannya. Guru, ya guru. Tabu menyebutnya sebagai honorer, meski benar-benar honorer.
Demikianlah, orang yang mulia. Yang mensyukuri segala karunia. Yang menurut saya kadang “terpojok” oleh kemuliaan itu sendiri. Tetapi tak ada istilah terpojok bagi beliau. Beliau tak pernah mengeluh dan selalu merasa kaya. Meski tak ada uang di simpanan, beliau tetap akan menjenguk muridnya yang sakit, wali muridnya bahkan kadang family muridnya, tentu dengan oleh-oleh ala kadarnya. Kalau muridnya menikah, undangan tetap akan sampai ke “bilik” kantor guru yang sempit di sekolah. Begitulah guru yang kaya di pelosok negeri kita. Selalu menjadi jujugan (tujuan utama) bagi siapa saja ketika kesulitan mendera.
Ketika gempa melanda Bantul 27 Mei 2006 lalu. Rumah dan keluarga guru tak luput dari guncangan yang dasyat itu. Lewat sebulan pasca gempa, saya bertemu beberapa guru pada sebuah taklim ibu-ibu.
“Sebenarnya pembagian bantuan yang baik itu bagaimana ya. Lha, kami ini sering terlewatkan. Padahal semua orang juga perlu. Tapi jawabnya, ‘kan guru’. Padahal kami hanya guru yang seperti ini,” kata beliau sambil tertawa.
Saya ikut tertawa. Merasa hanya itu yang bisa saya lakukan saat itu. Sambil saya membayangkan beliau ini mengajar di antara puing-puing dengan baju seragam guru dan buku-buku seadanya, dan terus-menerus menyemangati para siswa. Meninggalkan rumahnya yang telah tanpa rupa, saat orang lain sibuk berbenah. Karena beliau harus tetap mengajar, sama seperti guru (bukan honorer) lainnya.
Ah, guruku yag tulus. Yang dari tangan beliau mengalir do’a-do’a untuk kita anak-anak didiknya. Beliau terus melakukannya, meski seperti apa bangsa ini memperlakukannya. Pulanglah ke kampung, dan temui guru SD kita. Beliau tetap di sana, tak lupa pada kita. Meski kita sudah menjadi apa, mereka hanya akan bangga. Kita disambut sedemikian rupa, padahal seharusnya kitalah yang musti mencium tangannya. Mari tengadahkan tangan kita, semoga Allah terangi dunia akhiratnya, sebagaimana beliau telah mengantarkan kita pada terang cahaya.
***
Cinta saya untukmu, ibu-ibu Nafisa Pundong-Kretek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar