Rabu, Februari 28, 2007

Menghilangkan Tradisi Kejawen

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, di daerah saya masih menganut tradisi kejawen yang sangat kental, bahkan di keluarga besar saya. Kadang saya ingin pergi untuk menghindari hal-hal tersebut. Contohnya kalau ada pernikahan pasti ada sesajen-sesajennya, bahkan ada sesajen makanan yang dibuang ke perempatan jalan. Astagfirullah………

Ada tokoh tetua desa yang menjadi panutan, mengenai masalah hitungan hari baik, hitungan weton, dll. Saya sudah berusaha menjelaskan ke keluarga saya bahwa hal tersebut tidak ada dalam Islam, tapi mereka belum bisa menerima, bahkan ada yang menyakini jika ritual tersebut tidak dilakukan, maka keluarga akan mendapatkan musibah.

Saya sudah berusaha lobi-lobi ke keluarga kalau misalkan saya menikah nanti untuk meninggalkan ritual-ritual tersebut. Tetapi ujung-unjungnya perdebatan yang terjadi. Ada keluarga yang mengatakan bahwa biarkan saja itu dilakukan orang tua, saya tidak perlu ikut campur, asal saya tidak menyakininya, yang penting proses pernikahannya lancar.

Bagaimana menyikapi hal tersebut ustadz, soalnya di keluarga besar, saya hanya sendirian? Saya ingin proses yang Islami ustadz, yang jauh dari kesyirikan. Mohon penjelasannya ustadz.

Jazzakumullah khairan katsir Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Akhwat

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sungguh mulia niat dan keinginan anda dalam rangka memurnikan kembali aqidah Islam di tengah keluarga. Dan tentunya bukan hanya anda saja yang sedang mengalaminya, ada ribuan saudara kita yang lain yang juga sedang bercita-cita untuk membersihkan aqidah kita dari berbagai kekeliruan dan penyimpangan.

Cita-cita itu bahkan sudah dimulai jauh sebelum kita lahir, paling tidak beberapa abad yang lampau. Kita mengenal ada Syeikh Muhammad Ibnul Wahhab di jazirah arabia yang juga telah mengumandangkan seruan untuk membersihkan aqidah Islam. Serta ribuan ulama lainnya.

Di negeri kita sendiri ada gerakan kaum Paderi yang juga punya cita-cita sama.

Namun tujuan dan niat mulia memang tidak selalu mulus jalannya. Akan selalu ada aral melintang, halangan menghadang serta tribulasi yang tiada henti. Yang pasti, semua perjuangan itu pasti akan dijadikan nilai tersendiri di sisi Allah SWT, sebagai bukti kita telah berupaya menegakkan panji-panji aqidah.

Sekedar Renungan

Di tengah semangat kita berjuang, tidak ada salahnya kalau sesekali kita melakukan evaluasi hasil kerja. Evaluasi ini akan menjadi sangat penting demi mendapatkan hasil yang lebih baik lagi nantinya.

Salah satu yang perlu kita pikirkan secara kritis adalah masalah latar belakang munculnya penyimpangan aqidah di kalangan umat Islam. Kita perlu sedikit mempelajari masalah ini secara lebih serius, agar bisa dengan mudah kita analisa serta kita cari solusinya yang efektif.

Sebagaimana kita telah pahami, bahwa penyimpangan aqidah ini sudah ada jauh sebelum kita lahir. Mungkin malah sudah sejak zaman nenek moyang berabad-abad yang lalu. Dan orang Jawa sendiri punya karakteristik khusus yang sangat khas, yaitu mereka sangat menjaga tradisi dari nenek moyang. Bahkan tradisi ini sampai menjadi jalan hidup dan aqidah tersendiri.

Ketika pengaruh agama Islam yang beraqidah murni masuk ke negeri ini, meski banyak yang masuk Islam, namun tradisi dan kepercayaan lama sulit dihilangkan begitu saja. Di beberapa tempat, resistensi terhadap masuknya aqidah Islam terasa lumayan kuat.

Bahkan sebagain pengamat sejarah menyebutkan, bahwa para penguasa Hindu yang dahulu berkuasa di pulau Jawa kemudian tersingkir dengan pengaruh Islam, lalu membangun 'benteng pertahanan' khusus di pula Dewata Bali.

Sebagiannya lagi melakukan resistensi dengan jalan naik gunung atau masuk hutan untukmengasingkan diri dari kehidupan ramai, sehingga menjadi komunitas tersendiri. Misalnya masyarakat Tengger dan Baduy.

Dan sebagiannya lagi, meski resistensinya tidak terlihat namun tetap ada dan tidak kalah kuatnya. Bentuknya adalah sikap dan pandangan aqidah yang ada di sebagian masyarakat kita. Meski secara lahiriyah mereka sudah masuk Islam, sehingga secaar zahir dianggap sudah tidak ada masalah, namun dari sisi pemahaman aqidah, ternyata masih kental dengan tradisi dan kepercayaan nenek moyang di masa lalu.

Inilah fakta yang harus kita baca sebagai bekal mental kita dalam menghadapi realitas masyarakat. Bahwa pada sebagian elemen masyarakat ini, resistensi terhadap aqidah Islam dan upaya mempertahankan tradisi dan kepercayaan nenek moyang memang sangat berurat dan berakar.

Sehingga sekedar ceramah dan nasehat verbal akan menjadi tidak ada artinya. Bukan mengecilkan makna dakwah, namun sebagai da'i, kita perlu melihat realitas juga.

Kemungkinan Perubahan

Namun bukan berarti kami ingin menyerah dengan keadaan. Tetap akan ada peluang untuk melakukan perubahan-perubahan. Misalnya lewat pergantian generasi, lewat kurikulum pendidikan, atau lewat media massa. Bahkan kalau perlu lewat pesan-pesan tersirat dari beragam pesan.

Selain itu, secara psikologis perlu juga dipikirkan untuk tidak selalu menyanyikan lagu yang sama setiap saat. Kalau setiap hari orang mendengar dari kita hanya tentang masalah pembersihan aqidah saja, tidak ada solusi dan variasinya, lama-lama mereka bosan juga.

Apalagi di depan mereka ada masalah yang lebih menuntut perhatian, misalnya masalah kemiskinan yang akut, tingkat pendidikan yang sangat rendah, kesejahteraan yang tidak pernah ada. Bagaimana mungkin kita paksa mereka untuk mengikuti seruan kita, sementara perut mereka lapar, badan mereka telanjang tak berpakaian, otak mereka bebal tidak pernah makan sekolahan. Maka apalah arti ceramah-ceramah kita, sementara mereka berada dalam himpitan yang nyata?

Mengapa kita tidak melihat cara para pendeta dan misionaris yang pandai membujuk rayu calon korbannya dengan materi dan kesejahteraan? Mengapa harus orang lain yang bisa merangkul kalangan miskin umat Islam? Mengapa kita terlalu sibuk mencari celah serta aib saudara kita yang kita curigai telah melakukan syirik dan bid'ah, sementar tetangga kita yang kelaparan tidak kita kasih makan? Saudara kita yang tidak punya pekerjaan tidak pernah kita pikirkan bagaimana mereka menyambung hidup?

Pendeknya, sulit bagi kita kalau tema sehari-hari yang kita angkat hanya selalu terpaku pada satu titik saja.

Memang benar bahwa kebersihan aqidah merupakan pondasi dasar dari segalanya, namun pondasi itu tidak akan tertanam kalau kita tidak pernah melakukan penggalian sebelumnya. Dan pekerjaan membangun bangunan itu bukan hanya semata menanam pondasi belaka, tetapi juga harus diikuti dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Selain memang harus punya perencanaan.

Kita Perlu Menggalang Sinergi

Terakhir, untuk menyingkirkan aqidah yang sesat ini, kita perlu menggalang sinergi dengan berbagai kalangan umat. Tentu saja masing-masing elemen umat ini punya perbedaan-perbedaan, namun dibandingkan dengan persamaan-persamaannya, tetap lebih banyak persamaannya.

Maka mengapa kita tidak menggalang persatuan dengan sesama umat Islam, meski dalam beberapa hal kita memang masih berbeda berpendapat? Mengapa kita tidak memperkecil pertentangan dengan sesama muslim dan menguatkan kekompakan di antara kita?

Ketahuilah bahwa umat ini akan sangat kuat dan aqidah yang rusak itu bisa dengan mudah kita hilangkan, manakala kita bekerja tidak sendirian, melainkan bersama-sama.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Sedikit komen nih.......

Saya dulu pelaku kejawen dalam artian banyak belajar tentang dunia kejawen yang menurut saya tidak jauh dengan ajaran islam dalam hal etika dan moral karena mereka lebih cenderung menitik beratkan ajaran dimana kita itu harus berkomunikasi dengan hati. Pemahaman pemahaman kejawen tersebut berkembang pesat dalam dunia orang jawa dalam bentuk filosofi hidup yang sebenarnya sama dengan apa yang diajarkan oleh islam . Namun karena tidak adanya batasan batasan atau nilai baku dalam ajarannya sehingga kejawen memiliki banyak warna termasuk sesaji , dupa , pusaka pusaka dan ritual ritual yang aneh meski sebenarnya kalau boleh saya katakan berdasarkan pengalaman saya di dunia kejawen hal hal tersebut justru dilarang. Orang kejawen lebih berkeyakinan bahwa semua yang ada dunia ini ada yang menciptakan dan mengatur serta setiap umat manusia itu membawa beban dan tanggungjawab masing masing berdasarkan tingkah lakunya.

Lalu kenapa kemudian berkembang bahwa dunia kejawen ini identik dengan dupa , sesaji , pusaka dan hal hal klenik lainnya menurut saya hal ini dikarenakan tidak adanya ajaran pakem / baku sehingga sesuatu hal yang bersifat budaya seperti pusaka dll lebih identik dengan dunia kejawen.

Saya pribadi pernah belajar suatu ajaran kejawen yang sesungguhnya menurut saya pembelajaran saya tentang dunia kejawen adalah suatu jalan untuk menemukan cahaya islam yang sesungguhnya . Pelajaran yang saya pelajari adalah "KEJATEN" yang berasal dari kata kesejatian dimana kita diajarkan untuk mengenal diri sendiri agar menemukan kesejatian diri yang banyak saya temukan dalam ajaran ajaran dunia ma'rifat.
Dalam dunia kejaten kami diajarkan untuk menemui diri kita sendiri atau Sang Aku sebelum kita menemukan penyatuan diri dalam hening menghadap Allah. Dan dikarenakan kami diajarkan langsung secara tehnikal untuk menemukan jalan jati diri maka dengan cepat kita memahami konsep konsep kehidupan yang tidak cukup kita pelajari dari pemahaman agama yang kita pelajari sebab ada titik titik dalam pembelajaran dimana peran serta kesadaran lebih penting daripada IQ sehingga pelajaran tersebut melekat dalam jiwa.
Nah , kejawen yang saya pelajari mengajarkan hal ini sehingga secara drastis seseorang yang mempelajari kejaten akan mengalami perubahan jiwa yang positif dengan kedewasaan jiwa yang menurut saya ini justru merupakan pelajaran inti dari islam dimana hal inilah yang menjadi pijakan pertama saya ketika memperdalam islam.

Kejawen tidaklah buruk dan sesat dalam artian mengajarkan orang berkongsi dengan makhluk halus sebab kami diajarkan hanya meminta bantuan ke gusti kang murbeng dumadi atau Tuhan yang menciptakan hidup. Namun kesalahpahaman masyarakat telah sebegitu jauh di amini oleh orang orang yang tidak tahu tentang dunia kejawen sehingga kejawen dikenal identik dengan hal hal klenik.

Saya mempunyai pendapat , bahwa orang orang kejawen mampu meresapi pelajaran mereka hingga kedasar jiwa dan sudah seharusnya para ulama kita juga harus mencontoh bagaimana mereka mampu mengajarkan hal seperti itu bukannya menyesatkan dengan memberikan ketidaktahuan mereka sebagai pembenaran dan pemvonisan atas dunia kejawen .
Bagaimanapun kejawen adalah budaya orang jawa yang artinya merupakan hasil dari budi dan daya orang jawa yang seharusnya tidak perlu kita hilangkan melainkan kita luruskan seperti sebagaimana sejarah masuknya islam ke jawa dimana para wali mengajarkan islam melalui budaya ke orang orang jawa yang notabene masih banyak yang beragama hindu dan budha serta kejawen itu sendiri.
Jika kita menghilangkan tradisi kejawen maka kita menghilangkan harta warisan nenek moyang kita yang sesungguhnya sangatlah luhur. Kita memahami keislaman bukan berarti dengan menghancurkan yang sudah ada melainkan meluruskan yang sudah ada sehingga keindahan cahaya islam itu mampu menyeruak diseluruh aspekj kehidupan budaya di dunia ini. Coba bayangkan bagaimana jadinya jika seluruh dunia ini mempunyai corak keislamannya yang sama tanpa budaya sama sekali tentu akan terjadi kiamat sebab sudah terjadinya keseragaman. Biarkan islam hidup dalam dunia orang jawa , bugis , makasar , padang , batak dsb mungkin papua sekalipun tanpa memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. KIt cukup meluruskan dan memberikan ruang untuk bertoleransi tanpa merusak tatanan baku ajaran habluminallah dalam islam.

Saya kira pemahaman islam yang kita terimapun saat ini sesungguhnya masih ada corak budaya dari budaya dimana islam tumbuh kembang dan berasal. Saya yakin jika islam tumbuh di dunia keraton maka kita akan sholat dengan menggunakan blangkon dan jarik bukannya jubah , sorban maupun kopiah.
Tradisi kejawen seperti cuci keris , sesaji dan lain sebagainya perlu diluruskan dengan memberikan pengertian yang sesuai dengan ajaran islam tanpa menghilangkan budaya itu sendiri.Mungkin ada budaya budaya yang sungguh sungguh sangat bertentangan dengan nilai nilai inti keislaman dalam artian sudah tidak ada ruang bagi toleransi misalkan seperti saudara kita di papua yang masih berbudaya dengan menggunakan koteka sedngkan islam mewajibkan menggunakan hijab untuk menutupi aurat, tenatu hal ini perlu kita perhatikan secara hati hati dengan memberikan jalan keluar yang win win solution yang sesungguhnya hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi ulama ulama kita bukannya malah melarang dan meniadakan budaya mereka.

Islam adalah indah ketika dia mampu membaur dalam cipta dan rasa manusia itu berada maka saya sangat tidak setuju jika tradisi kejawen kita hilangkan mungkin pemahaman yang lebih bijak adalah meluruskan tradisi kejawen. Karena manusia membutuhkan budaya dan agama adalah kakak tertua dari budaya.
Budaya yang menurut pemahaman kita dalam islam kurang pas maka kita perlu memahami lebih dalam dan secara hati hati sebelum kita memvonis baru kemudian kita luruskan.
Seperti tradisi kejawen , menghitung hari baik atau petung hal ini jika tidak kita luruskan maka orang orang yang mempercayai disekitar kita akan secara nyata nyata terjebak dalam kemusyrikan namun kita tidak bisa dengan serta merta menghilangkan atau melarang tapi cukup kita luruskan dengan diterangi cahaya islam.
Atau mungkin justru kita sendiri yang salah memahami nilai nilai luhur yang ada dibalik tradisi kejawen meski itu sesaji sekalipun.

Mohon maaf jika ngelantur.KAYUN

widodo mengatakan...

islam adalah rahmatan lil alamin bagi semua makluk karna kerendahan ilmu kita maka kita tidak bisa menyelami kedalam islam sehingga mengangap apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita anggap sebagai suatu yang harus disingkirkan padahal allah menciptakan manusia bebangsa bersuku-suku, kalau memang ada budaya/tradisi dari suatu bangsa / suku yang tidak cocok / salah kita perlu meluruskannya dengan kejenihan pikiran dan kesejukan kalbu tanpa harus langsung menghilangkan/menghapus suatu budaya tersebut tanpan memberikan solosi yang baiak sehingga akan menimbulkan rasa benci / permusuhan.
maaf salah karna manusia tempatnya.RAHAYU

Anonim mengatakan...

maaf, mungkin anda perlu mengunjungi Blog saya disitu ada penjelasan yang mungkin dapat membuka matahati anda,karena ada pengaruh Budaya Instan terhadap ajaran Islam yang sudah beratus-ratus tahun yang sulit untuk di rubah, apapun alasannya, kejawen masih mengandung unsur syirik,karena masih pakai hitungan pasaran dan naptu hingga bisa menentukan hari baik dan jelek,sesaji dan suka mengunjungi keramat-keramat,istilah saya paham Syncretism atau poly theis sedang di Islam semua hari baik tinggal tergantung niatnya,walaupun Blog saya masih kurang bagus karena pemula semoga manfaat.http://mahropw.wordpress.com.