Rabu, Oktober 04, 2006

Praktek Ruqyah yang Menyimpang

Diakui atau tidak, ruqyah memang telah menjadi sebuah komoditi yang menarik. Tak heran, jika hal itu kemudian dijadikan alat untuk kepentingan politik praktis di mana ramai-ramai parpol yang mengaku Islam kemudian menggelar ritual pengobatan gratis. Di sejumlah kota bahkan mulai menjamur dengan apa yang disebut klinik ruqyah. Tak ayal, berbagai kekeliruan pun muncul ketika banyak orang mempraktekkan amalan ini tanpa dilandasi keilmuan yang benar.

Praktek ruqyah yang marak di tengah-tengah kaum muslimin belakangan ini menuntut kita untuk bersikap jeli dan teliti. Karena tak semua praktek ruqyah yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Bahkan banyak yang bertentangan dengan kedua wahyu ini. Di satu sisi, mereka melakukan pengobatan dengan mengharap kesembuhan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun di sisi lain, dalam melakukannya mereka melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini merupakan hal yang sangat bertolak belakang. Bagaimana mungkin mereka menggabungkan pengharapan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan pelanggaran terhadap syariat-Nya?

Tak heran, jika banyak orang yang kemudian menjadi rusak hati dan agamanya karena melakukan praktek ruqyah yang menyimpang. Oleh karena itu, barangsiapa ingin melakukan amalan ini dengan mengharap kesembuhan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan juga diridhai oleh-Nya, hendaknya dia mempelajari terlebih dahulu rambu-rambu syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini.

Setelah sebelumnya membahas ruqyah syar’i, maka dalam kesempatan ini akan dikaji tentang ruqyah yang menyimpang. Sehingga kita tidak mudah tertipu oleh para peruqyah yang membawa berbagai bentuk pelanggaran terhadap syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apalagi amat disayangkan, sebagian mereka justru membawa label Islam, bergelar ustadz, kyai atau yang lainnya. Ini merupakan tindakan aniaya terhadap Islam dan gelar keilmuan itu sendiri.

Di antara contohnya, yakni menyemarakkan praktek ruqyah dengan tendensi politik tertentu dalam rangka menggalang simpatisan atau kader partai, dan lainnya.

Di antara yang bisa kita sebutkan dari praktek ruqyah yang menyimpang adalah sebagai berikut:
1. Melakukan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Seharusnya ruqyah-ruqyah itu diambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Bukan dari jampi-jampi, mantera, atau bacaan yang berasal dari dukun, tukang sihir, paranormal, setan atau jin. Karena yang demikian itu tak jarang mengandung permintaan tolong kepada setan, jin, wali, dan yang lainnya. Ini jelas merupakan perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan ruqyah-ruqyah yang syirik ini terkadang disertai penyembelihan, nadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan kesyirikan-kesyirikan lainnya. Maka seseorang yang melakukan ruqyah wajib menjauhi perbuatan syirik. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan dalam Al-Qur`an:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan syirik terhadap-Nya, dan mengampuni yang lebih ringan dari itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki.” (An-Nisa`:48)
Bila seseorang ingin menyembuhkan penyakitnya, menghindarkan gangguan setan atau jin, dengan cara mendatangi dukun, tukang sihir, atau paranormal, ini termasuk perbuatan dosa yang bisa mengeluarkannya dari Islam. Meminta jampi-jampi, mantera, jimat yang memuat tulisan nama-nama setan atau nama-nama yang tidak dikenal, lalu dibacakan kepada orang yang sakit dengan tujuan mencari kesembuhan, merupakan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hendaknya seorang muslim melakukan ruqyah dengan cara yang disyariatkan, bukan dengan cara-cara yang mengandung kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahul musta’an.

2. Memakai bahasa ‘ajam (non-Arab) dan kalimat-kalimat yang tidak bisa dipahami, kumpulan huruf tidak bermakna, huruf-huruf yang terpotong, atau yang semisalnya.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ruqyah semacam ini merupakan hal terlarang, karena dikhawatirkan mengandung perbuatan syirik.
Berikut ini beberapa bentuk ruqyah yang menyimpang, kita nukilkan dari ucapan Asy-Syaikh Hafizh Al-Hakami rahimahullahu dalam kitabnya Ma’arijul Qabul (hal. 406-407 cet. Darul Hadits).

Beliau berkata:
“Di antaranya, ruqyah yang mereka klaim berasal dari Al-Qur`an, As-Sunnah, atau nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah ditetapkan di dalamnya. Mereka ubah sendiri ke dalam bahasa Suryaniyah, Ibraniyah, atau yang selainnya dan mereka keluarkan dari bahasa Arab. Aku tidak tahu –jika kita benarkan pengakuan-pengakuan mereka– apakah mereka meyakini bahwa ruqyah tidak bermanfaat bila menggunakan bahasa Arab yang dengannya Al-Qur`an turun dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan Sunnahnya, sehingga mereka perlu menerjemahkannya ke bahasa selain Arab? Atau mereka meyakini bahwa ruqyah dengan bahasa ‘ajam lebih bermanfaat daripada ruqyah dengan bahasa Arab? Atau ruqyah dengan bahasa Arab bermanfaat untuk satu perkara sedangkan ruqyah dengan bahasa ‘ajam bermanfat untuk perkara yang lain, dan salah satunya tidak pantas digunakan untuk yang lainnya? Atau setankah yang telah menghiasi perbuatan mereka ini dan merasuki jiwa mereka? Atau dusta apakah yang telah mereka perbuat?

Termasuk yang mereka sangka nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala namun sesungguhnya tak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara merekapun mengetahuinya dari selain keduanya, adalah sesuatu yang mereka pakai untuk menyeru Nabi Adam, Nuh, Hud, atau para nabi yang selain mereka.

Di antaranya, sesuatu yang mereka katakan tak terdapat kecuali dalam Ummul-Kitab, tertulis di Baitul Ma’mur, tertulis pada sayap malaikat Jibril, Mikail, Israfil, atau sayap para malaikat yang lainnya. Demikian pula sesuatu yang mereka katakan tertulis pada pintu surga, dan lain sebagainya. Duhai, kapankah mereka pernah menyaksikan Al-Lauhul Mahfuzh dan menyalin darinya sesuatu yang mereka sangka itu? Kapankah mereka pernah naik ke Baitul Ma’mur dan mereka membacanya di sana? Kapankah para malaikat pernah membentangkan sayapnya kepada mereka dan mereka melihatnya di sana? Kapankah mereka pernah menyaksikan pintu surga dan mereka melihatnya di sana?

Ketika seseorang yang licik dan berlagak pintar ingin berbuat dusta atas manusia dan melakukan tipu daya untuk memakan harta mereka, niscaya dia akan mencari cara untuk sampai kepada tipu daya itu dan membuat pijakan yang dipakai sebagai rujukannya. Jika dia memperoleh syubhat yang laris di kalangan orang-orang yang lemah akalnya dan buta mata hatinya, maka dia akan melakukannya. Jika tidak, maka dia akan berdusta kepada mereka dengan kedustaan yang murni lalu bersumpah dengan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala di hadapan mereka bahwa dia termasuk seorang pemberi nasehat. Akhirnya orang-orang pun membenarkan karena berbaik sangka kepadanya.

Di antaranya, nama-nama yang mereka seru, yang terkadang mereka klaim sebagai nama-nama malaikat dan terkadang mereka anggap sebagai nama-nama setan. Mereka meyakini bahwa nama-nama ini sebagai khadam (pelayan) surat ini atau ayat ini (dari Al-Qur`an). Terkadang mereka meyakini pula bahwa nama ini termasuk nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka memanggil: ‘Wahai khadam, surat demikian, ayat demikian, atau nama demikian.’ ‘Wahai fulan bin fulan, fulan bin fulan, kabulkanlah, kabulkanlah, wahai Al-‘Ijl, Al-‘Ijl,’ atau panggilan yang semacam itu. Tak ada sebuah surat, ayat Al-Qur`an, atau sebuah nama dari nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala melainkan mereka buatkan satu khadam dan mereka seru untuknya. Betapa jelek kedustaan yang mereka lakukan.

Terkadang mereka menulis sebuah surat atau ayat secara berulang-ulang dalam bentuk yang beraneka ragam. Mereka menjadikan bagian awal sebagai akhirnya dan akhirnya menjadi awal, pertengahan sebagai awalnya pada sebuah tempat dan sebagai akhirnya pada tempat yang lain. Terkadang mereka menulisnya dengan huruf yang terputus-putus. Setiap huruf ditulis sendiri-sendiri.

Mereka menyangka bahwa huruf-huruf itu dengan kondisi ini memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kondisi-kondisi huruf yang lainnya. Aku tidak tahu dari mana mereka mengambil dan menukilkannya. Tidaklah yang demikian melainkan bisikan-bisikan setan yang telah mereka hiasi, khurafat-khurafat sesat yang telah mereka biasakan, dan beragam kedustaan yang telah mereka hubung-hubungkan di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan padanya. Yang demikian itu diketahui tidak memiliki dasar hukum baik dari Al-Qur`an maupun As-Sunnah. Tidak pula pernah dinukilkan dari seorang ahli agama dan iman. Mereka itu hanyalah para pendusta yang membuat tipu daya. Niscaya mereka akan dibalas sesuai dengan perbuatan mereka.

Terkadang mereka menulis rumus-rumus dari bilangan-bilangan Arab yang dikenal. Mulai dari satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan yang selainnya. Mereka menganggapnya sebagai rumus-rumus yang menyampaikan kepada huruf-huruf ayat, surat, nama tertentu, atau sesuatu dari perkara yang telah kita kemukakan tadi sesuai dengan huruf-huruf abjad yang dikenal di kalangan Arab.

Banyak lagi khurafat-khurafat batil dan kedustaan-kedustaan palsu yang mereka buat. Mayoritasnya mereka ambil dari umat yang telah dimurkai, yang mengambil dan mempelajari sihir dari para setan. Setelah itu mereka susupkan kepada para pemeluk Islam dengan dalih bahwa itu dari Al-Qur`an, As-Sunnah, atau nama Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Hanya saja mereka mengubah lafadz-lafadznya dan mereka terjemahkan ke dalam bahasa selain Arab, demi tujuan-tujuan yang menurut mereka tidak akan tercapai kecuali dengan cara ini. Di antara umat yang telah dimurkai itu terdapat para penyembah malaikat, setan, atau yang sejenis mereka. Mereka ambil nama-nama malaikat atau setan, lalu mereka katakan kepada orang-orang bodoh bahwa itu adalah nama-nama Allah Subhanahu wa Ta'ala agar mereka bisa melariskan perbuatan syirik di antara orang-orang bodoh tersebut, sehingga mereka memanggil selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini adalah perbuatan makar yang tidak mampu dilakukan oleh iblis kecuali dengan perantara orang-orang sesat ini. Adapun iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Sesungguhnya dia hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur`an) sedangkan dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Qur`an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (Al-’Ankabut: 51)

وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ

“Dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (An-Nur: 40)

3. Mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal
Di antara praktek ruqyah menyimpang yaitu mendatangi dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal untuk meminta penyembuhan penyakit atau mengatasi kerasukan jin. Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kaum muslimin untuk mendatangi mereka.

Shahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami radhiallahu 'anhu berkata: Aku bertanya: ‘Ya Rasulullah, ada beberapa perkara yang dahulu kami melakukannya di masa jahiliyah. Dahulu kami mendatangi para dukun.’ Beliau menjawab:

فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ

“Janganlah kalian mendatangi para dukun.” (HR. Muslim)

Ini larangan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tentunya sangat disayangkan bila sebagian kaum muslimin melakukan perbuatan ini. Jika mereka ditimpa penyakit, kerasukan jin, atau gangguan setan lainnya, mereka bersegera datang kepada para dukun untuk meminta jampi-jampi maupun bacaan ruqyah.

Mereka ingin mencari kesembuhan dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala bahkan dilarang dalam agama-Nya.

Ketahuilah, bahwa para dukun, tukang sihir, paranormal, dan peramal yang memberikan jampi-jampi, ruqyah, pengobatan alternatif, dan memberitakan perkara-perkara ghaib, mereka ingin melakukan pengkaburan terhadap kaum muslimin, atas nama penyembuhan, terapi alternatif, dan sebagainya. Padahal mereka berambisi memakan harta manusia dengan cara yang batil dan melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Mereka bukan wali-wali Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi wali-wali setan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisyaratkan dalam firman-Nya:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِيْنُ. تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيْمٍ

“Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa.” (Asy-Syu’ara`: 221-222)

Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajak bicara kaum musyrikin yang menyangka bahwa yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak haq karena beliau mengada-adakan sendiri atau beliau didatangi oleh jin yang menampakkan diri. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala bersihkan nama beliau dari ucapan dan kedustaan mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengingatkan bahwa yang beliau bawa berasal dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, diwahyukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan disampaikan oleh malaikat yang mulia, terpercaya dan agung. Bukan dari kalangan setan, sebab mereka tak punya motivasi terhadap kitab suci seperti Al-Qur`an yang agung ini.

Sesungguhnya para setan itu turun atas orang-orang yang menyamai dan serupa dengan mereka dari kalangan para dukun yang pendusta. Oleh karena ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِيْنُ. تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيْمٍ

“Maukah Aku beritakan kepada kalian, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa.” (Asy-Syu’ara`: 221-222)

Sedangkan yang dimaksud dengan al-affaak adalah al-kadzuub (pendusta) pada ucapannya dan yang dimaksud dengan al-atsiim adalah al-faajir (penjahat) pada perbuatannya. Kepada mereka inilah setan turun. Mereka itu adalah para dukun dan pendusta serta orang-orang fasik yang sejalan dengan para setan itu.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/469-470 cet. Maktabah Darul Faiha` dan Darus Salam)

Aisyah radhiallahu 'anha berkata (yang artinya):
Beberapa orang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang para dukun. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Ini sesuatu yang tidak diperbolehkan.” Mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka terkadang mengucapkan kepada kami sesuatu dan ternyata benar.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun bersabda: “Itu adalah kalimat benar yang disambar oleh jin lalu diberitakannya pada telinga walinya. Maka mereka mencampurkan bersamanya seratus kedustaan.” (HR. Al-Bukhari)

Oleh karena itu, barangsiapa mendatangi para dukun, tukang sihir, paranormal, atau peramal maka dia terancam dengan beberapa hal yang telah disebutkan pada hadits-hadits berikut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لاَ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلاً

“Barangsiapa mendatangi ‘arraf (peramal) lalu bertanya tentang sesuatu maka tidak diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim)

Bila orang yang bertanya kepada peramal tidak diterima shalatnya selama 40 hari, maka bagaimana dengan peramal yang ditanya?
Yang lebih parah, jika dia tidak hanya sekedar bertanya bahkan membenarkan ucapan dukun atau peramal itu. Abu Hurairah dan Al-Hasan (cucu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) radhiallahu 'anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal, lalu dia membenarkan ucapannya berarti dia telah kafir terhadap ajaran yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.”

Inilah ancaman bagi orang yang bertanya kepada para dukun atau peramal dan membenarkan ucapan mereka. Na’udzu billah min dzalik.

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ

“Maka tak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Oleh karena itu tidak boleh meminta ruqyah dari para dukun, tukang sihir, paranormal atau peramal untuk penyembuhan suatu penyakit atau gangguan lainnya. Ini hanya akan membawa kerugian dan bukan keberuntungan.
Jika mereka sembuh setelah ‘berdukun’, maka kesembuhan itu datang dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan karena kehebatan si dukun. Itupun setelah mereka mengorbankan agama mereka, yang tentunya jauh lebih berharga bila mereka mengetahui. Hal ini perlu diyakini oleh kaum muslimin agar mereka tidak terpedaya dengan kesembuhan yang didapatkan melalui dukun setelah mereka mengorbankan sesuatu yang lebih berharga, yaitu agama mereka.” (Lihat Ahkam Ar-Ruqa wat Tama`im, hal. 181-183)

4. Menggunakan jin dalam meruqyah
Hal ini dilakukan oleh sebagian peruqyah. Mereka menganggap bahwa meminta tolong kepada jin adalah hal yang diperbolehkan. Alasannya, jin bisa membantu mendiagnosa jenis penyakit yang tengah diderita orang yang diruqyah, apakah terkena ‘ain (pengaruh sorotan mata yang jahat), sihir, atau kemungkinan yang lainnya. Padahal hukum asal meminta tolong kepada jin adalah dilarang. Hanya saja sebagian ulama membolehkannya bila seorang jin menampakkan dirinya kepada seorang muslim dan menawarkan diri untuk menolongnya. Namun tidak sepantasnya hal ini dipakai ketika melakukan ruqyah, karena keadaannya berbeda.

Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua kondisi dalam berhubungan dengan jin.

Yang pertama, dalam rangka memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Karena jin sama seperti manusia harus mengikuti syariat Islam.

Yang kedua, berlindung dari keburukan setan-setan jin. Beliau menggunakan ruqyah yang disyariatkan untuk menolak segala keburukan mereka. Adapun meminta tolong kepada jin, khususnya dalam masalah ruqyah, bukanlah merupakan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun para shahabatnya. Sebagian ulama membolehkannya hanya dalam kondisi tertentu, tidak pada semua kondisi.

Oleh karena itu, seharusnya seorang peruqyah meninggalkan perbuatan meminta tolong kepada jin. Karena ini merupakan sarana yang akan menyampaikan kepada perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Meminta tolong atau mengambil berita dari jin sangat bergantung kepada kondisi mereka yang adil dan bisa dipercaya. Sementara kedua perkara ini tidak mungkin diketahui pada diri jin, walaupun dia biasa membantu seorang manusia. Karena jin adalah makhluk yang tidak bisa dilihat oleh manusia. Sehingga keadilan dan kondisinya yang bisa dipercaya tetap majhul (tidak diketahui) dan perlu dipertanyakan.

Inilah sebab para ulama hadits dalam kitab-kitab mushthalah menyebutkan bahwa riwayat jin yang muslim adalah lemah. Karena keshahihan riwayat tergantung kepada keadilan dan kondisi jin yang bisa dipercaya. Padahal jalan untuk mengetahuinya secara benar tertutup dengan rapat.

Demikian pula, jin bisa saja membuat keonaran dengan mengadu domba atau melemparkan tuduhan yang tidak benar sehingga memunculkan permusuhan dan pertikaian di antara manusia. Oleh karena itu, mengambil bantuan jin dalam meruqyah seharusnya ditinggalkan. (Lihat transkrip ceramah Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh hal. 9)

5. Banyak berdialog dengan jin
Hal ini lebih baik ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para salaf tidak pernah mencontohkan yang demikian dalam meruqyah. Hanya orang-orang belakangan yang melakukannya. Berdialog dengan jin ketika meruqyah akan melalaikan dari ruqyah itu sendiri. Lagipula, perbuatan ini tidak membawa manfaat yang nyata bagi yang diruqyah. Semestinya peruqyah berupaya sesegera mungkin mengusir jin yang merasuki pasiennya dengan ruqyah syar’i dan tidak berlambat-lambat.

Berdialog dengan jin tentunya akan menunda kesembuhan bagi yang dirasuki jin itu. Tentunya sikap tidak berdialog dengan jin merupakan bentuk kasih sayang kepada orang yang kerasukan. Sebab ketika jin diajak berdialog, dia akan menggunakan fisik orang yang kemasukan. Sehingga tatkala ruqyah selesai dilakukan, orang itu terlihat sangat letih karena tubuhnya dipakai oleh jin untuk melayani acara dialog yang digelar oleh si peruqyah. Sesungguhnya dialog yang dilakukan bersama jin cenderung sia-sia, karena ucapannya tidak bisa dipegang mentah-mentah.

Pemberitaan jin tentang identitas diri, komunitas, dan ke-Islamannya serta berbagai hal lainnya adalah perkara yang tidak bisa dipastikan kebenarannya. Manusia tidak bisa mengetahui keberadaan dan kondisi jin yang sesungguhnya. Oleh karena itu, bagaimana kita bisa membenarkan ucapannya?

Sebagaimana yang telah lalu bahwa para ulama hadits melemahkan periwayatan jin muslim karena kebenarannya tidak bisa diteliti dan dibuktikan. Tentu penyebabnya adalah keberadaan jin sebagai makhluk ghaib. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu yang berhasil menangkap setan jin yang biasa mencuri kurma zakat:

صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ

“Dia jujur kepadamu padahal dia seorang pendusta.” (HR. Al-Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa kebiasaannya adalah berdusta. Kejujurannya tidak diketahui kecuali setelah diberitakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang jelas, manusia tidak bisa mengetahui kebenaran jin, baik sedikit ataupun banyak. Karena itu, hendaknya seorang peruqyah meninggalkan berdialog dengan jin yang sedang merasuki tubuh pasiennya, kecuali bila memang sangat dibutuhkan. Dalam kondisi yang sangat dibutuhkan dia berdialog dengan jin itu seperlunya dan tidak melebihi kebutuhan. Setiap kebutuhan diukur dengan kadarnya dan tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam.

Selanjutnya, marilah kita simak perkataan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu: “Di sisi lain, aku sangat mengingkari orang-orang yang mencuri kesempatan dalam keyakinan ini (keyakinan bahwa jin bisa masuk ke dalam tubuh manusia), dengan menjadikan penghadiran jin dan acara berdialog dengan jin sebagai rutinitas untuk mengobati orang-orang yang gila atau kemasukan. Mereka menjadikan hal itu sebagai sarana tambahan, di samping membaca Al-Qur`an semata. Perkara ini termasuk hal yang Allah tidak turunkan kekuasaan padanya.

Juga pemukulan yang keras (ketika melakukan ruqyah) yang terkadang menimbulkan kematian bagi orang yang kerasukan, sebagaimana hal ini terjadi di sini (Amman, Yordania), juga di Mesir. Sehingga peristiwa ini menjadi headline di surat-surat kabar dan berbagai majelis.

Dahulu, orang yang menangani pembacaan Al-Qur`an terhadap orang yang kerasukan hanyalah segelintir orang shalih saja. Namun hari ini, jumlahnya sampai ratusan. Bahkan ada di antaranya wanita yang bersolek dengan cara jahiliyyah. Sehingga perkara ini telah keluar dari kedudukannya sebagai wasilah yang syar’i, yang semestinya hanya dilakukan oleh para dokter. Perkara ini berubah menjadi perkara dan sarana lain yang tidak dikenal, baik oleh syariat ataupun kedokteran. Hal ini –menurutku– adalah suatu jenis kedustaan dan bisikan yang diilhamkan setan kepada musuhnya.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)

Hal ini juga termasuk mengambil perlindungan kepada jin yang dahulu dilakukan kaum musyrikin di masa jahiliyah, sebagaimana firman Allah:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (Al-Jin: 6)

Sehingga barangsiapa yang mengambil bantuan mereka untuk menghilangkan pengaruh sihir –dalam anggapan mereka– atau mengetahui identitas jin yang merasuki tubuh manusia, apakah laki-laki atau wanita, muslim atau kafir, lalu dibenarkan oleh orang yang meminta bantuannya dan dibenarkan pula oleh orang-orang yang hadir di sisinya, mereka semua tercakup dalam ancaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا أَوْ كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun lalu membenarkan ucapannya, berarti dia telah kafir terhadap perkara yang diturunkan kepada Muhammad.”

Dalam hadits yang lain:

... لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلاً

“…tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.”

Sehingga sepantasnya perkara ini diperhatikan. Yang aku ketahui, kebanyakan orang yang disibukkan dengan rutinitas ini adalah orang-orang yang lalai tentang hal ini. Aku menasehati mereka bila tetap bersikeras melanjutkan rutinitas mereka, agar tidak berdialog melebihi ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

اخْرُجْ عَدُوَّ اللهِ

“Keluarlah wahai musuh Allah.”

Ini untuk mengingatkan mereka (yang melakukan rutinitas ini) dengan firman Allah:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Allah-lah tempat meminta pertolongan, wala haula wala quwwata illa billah. (Ash-Shahihah no. 2918, hal. 1009-1010)

Dan sebenarnya di sana ada sebagian ulama yagn membolehkan berdialog dengan jin. Namun apabila hal itu tidak dibutuhkan maka lebih baik ditinggalkan. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

6. Menggunakan ruqyah yang melampui batas
Sebagian orang berijtihad untuk membuat bacaan ruqyah sendiri dan tidak mengambil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, lalu menyusupkan ke dalamnya kalimat-kalimat yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah, mendoakan keburukan bagi pihak-pihak yang tak bersalah. Ini adalah perbuatan aniaya kepada orang lain. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan kedzaliman di antara manusia bahkan bagi diri-Nya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat Al-Qur`an dan hadits Nabi.

Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu 'anhu dan dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَقُوْلُ اللهُ: إِنِّي حَرَمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا

“Allah berfirman: ‘Aku telah mengharamkan kedzaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikannya di antara kalian sebagai sesuatu yang diharamkan. Maka janganlah kalian saling mendzalimi’.” (HR. Muslim)

7. Bermudah-mudahan dalam meruqyah sehingga tidak sesuai dengan tuntunan syariat
Yang dimaksud di sini yaitu sebagian peruqyah melakukannya dengan seenaknya dan sekenanya. Tidak mengikuti tata cara yang telah digariskan syariat, karena banyaknya pasien dan keterbatasan waktu. Misalnya dengan membuat cincin-cincin yang telah ditulis padanya ayat-ayat Al-Qur`an. Kemudian distempelkan di atas selembar kertas atau daun, lalu diberikan kepada pasiennya. Lalu mereka menyimpan atau menggantungkan lembaran kertas atau daun itu, dengan keyakinan bahwa hal tiu bisa menyembuhkan atau mencegah penyakit.

Hal ini, di samping akan membawa kepada keyakinan yang batil, juga akan berujung pada penghinaan terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Sehingga cara ini jelas merupakan tuntunan yang keliru dan menyelisihi syariat dalam praktek ruqyah. Karena menghinakan Al-Qur`an merupakan perkara yang diharamkan.

8. Membedakan bacaan ruqyah sesuai dengan pesanan pasien
Maksudnya, ada bacaan yang biasa, ada bacaan yang disebut dengan bacaan inti, ada pula yang disebut bacaan raja. Tentunya tarif yang dikenakan pada masing-masing bacaan ini berbeda. Ini termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil dan menyelisihi ruqyah yang disyariatkan. Karena dalam meruqyah tidak dibedakan antara satu bacaan dengan yang lainnya. Ruqyah bertujuan untuk membantu dan memberi manfaat kepada orang lain, bukan untuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Ini merupakan ruqyah yang menyimpang dan seharusnya dihindarkan oleh kaum muslimin. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa`: 29)

9. Memukul, mencekik, atau yang semacamnya ketika meruqyah
Semua ini tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maupun salafush shalih. Memang diriwayatkan bahwa sebagian ulama melakukan hal itu ketika meruqyah. Namun hal ini sekedarnya saja, dan tidak menjadi kebiasaan atau bagian aktivitas dalam ruqyah. Apalagi jika dilakukan dengan cara yang keras dan kasar sehingga menyakiti pasiennya. Ini jelas merupakan kedzaliman yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang hanya menyebutkan:

اخْرُجْ يَا عَدُوَّ اللهِ

“Keluarlah wahai musuh Allah.”

Hanya dengan demikian, orang yang kemasukan jin sembuh dari penyakitnya.

10. Melecehkan sebagian syiar Islam
Termasuk dalam perkara ini adalah meruqyah menggunakan mushaf Al-Qur`an tanpa membaca isinya. Di sini terdapat praktek lain yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala atau mengandung penghinaan terhadap syiar Islam. Hal ini termasuk praktek ruqyah yang menyimpang.

11. Menjadikan ruqyah sebagai profesi atau mata pencaharian
Ini adalah penyimpangan dalam praktek ruqyah karena tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Yang diamalkan oleh para salaf dan diajarkan oleh As-Sunnah bahwa seseorang meruqyah saudaranya, baik dengan upah atau tidak untuk memberi kemanfaatan bagi saudaranya. Namun mereka tidak menjadikan amalan ruqyah sebagai profesi layaknya seorang dokter. Sungguh yang demikian itu hanya muncul dari orang-orang yang datang belakangan. Padahal di masa salaf juga banyak orang yang membutuhkan ruqyah. Ketika mereka tidak melakukannya, berarti meninggalkannya merupakan kebaikan. Sebaik-baik petunjuk adalah mengikuti jejak salaf.

Asy-Syaikh ‘Ali bin Nashir Al-Faqihi berkomentar tentang hal ini sebagai berikut:
“Barangkali seseorang akan bertanya-tanya, ‘Apakah di masa lampau ada seorang ulama salaf yang baik, yang berprofesi sebagai peruqyah baik secara gratis atau dengan mengambil upah, karena hal itu diperbolehkan?’

Aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang bisa menetapkan hal itu. Sungguh dahulu bila seseorang datang dan meminta ruqyah dari para ulama dan orang-orang baik serta bertakwa, mereka meruqyahnya dengan ruqyah-ruqyah yang disyariatkan lalu selesai urusannya. Sebagian manusia telah menyimpang dari manhaj salaf yang baik dalam perkara ini. Seperti yang kita lihat pada hari ini di mana telah dibuka berbagai klinik (atau yang bisa disamakan dengan klinik, red.) yang berorientasi bisnis disertai iklan bahwa kliniknya memiliki ‘pakar-pakar’ yang menangani secara khusus ruqyah syar’i (yang dimaksud beliau adalah ruqyah center yang sekarang sedang menjamur di mana-mana, pen.).

Sementara yang selain mereka dianggap tidak bisa memberi kemanfaatan kepada manusia (dengan ruqyah itu). Padahal ruqyah tidaklah terbatas pada orang-orang tertentu saja. Sepantasnya klinik-klinik ini ditutup.

Hendaknya imam-imam masjid diarahkan agar mereka menerangkan dalam khutbah dan pelajaran-pelajaran mereka tentang ruqyah syar’i, dan menerangkan pula bahwa ruqyah itu dengan membaca Al-Qur`an yang mulia dan As-Sunnah yang shahih. Niscaya di setiap kota dan kampung akan didapatkan orang yang bisa meruqyah dengan cara yang disyariatkan. Orang yang bertakwa dan shalih adalah orang yang tepat untuk melakukan ruqyah itu (tanpa menjadikannya sebagai profesi, pent.). Mereka itu –alhamdulillah– ada di setiap pelosok negeri.

Demikian pula dianjurkan seorang muslim untuk menguatkan imannya, tawakalnya, dan penyandaran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam seluruh perkara. Demikianlah, kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala niat yang baik dan bimbingan-Nya bagi kita semua.” (Lihat Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im hal. 82)

12. Menjadikan ruqyah sebagai arena ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram tanpa hijab) atau khalwat (seorang lelaki berduaan dengan wanita yang bukan mahram, tanpa disertai mahram si wanita)
Ini merupakan pelanggaran syariat yang nyata dalam praktek ruqyah yang dilakukan oleh banyak pihak dari kaum muslimin. Padahal Islam telah mengharuskan para wanita untuk berhijab dari para lelaki yang bukan mahramnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ

“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para istri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)

Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang para sahabat untuk meminta sesuatu kepada istri-istri Nabi kecuali dari belakang hijab –padahal mereka adalah orang-orang suci– dengan alasan untuk menyucikan hati-hati mereka, bagaimana dengan yang selain mereka yang tidak suci sebagaimana mereka? Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membutakan hati-hati kita.

Islam juga melarang khalwat antara lelaki dan wanita yang bukan mahram tanpa kehadiran mahramnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ، وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً وَإِنِّي اكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: فَانْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ

“Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila si wanita itu bersama mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian jauh kecuali bersama mahramnya. Bangkitlah seorang laki-laki dan bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku telah keluar untuk pergi haji, sedangkan aku telah mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam peperangan ini dan itu? Beliau pun bersabda: ‘Berangkatlah dan hajilah bersama istrimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Banyak pula di antara peruqyah yang berhadapan langsung dengan pasien wanitanya dalam jarak yang sangat dekat. Sehingga mereka meruqyah sekaligus me-ru`yah (melihat) wanita yang bukan mahramnya dengan puas dan tanpa sungkan-sungkan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ

“Katakanlah kepada kaum mukminin: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada kaum mukminat: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya’.” (An-Nur: 30-31)

Bahkan lebih dari itu, para wanita yang datang untuk diruqyah banyak yang berpakaian dengan model yang tidak diperbolehkan dalam Islam karena tidak menutup aurat secara sempurna. Pakaian mereka walaupun sebagiannya dilengkapi dengan jilbab (gaul), tetapi lekukan tubuh mereka masih kelihatan jelas. Mereka mengenakan jeans atau celana panjang dan baju yang tidak lebar, bahkan ketat. Belum lagi warna pakaian mereka yang norak dan menarik disertai bersolek ala jahiliyyah.

Dengan penampilan yang demikian, sebagian wanita itu bila diruqyah ada yang tertawa, menangis, dan tergeletak dengan bentuk tubuh yang tampak di hadapan laki-laki yang meruqyah. Banyak peruqyah memegang bagian tubuh wanita yang diruqyah, walaupun dengan memakai sarung tangan tetapi sentuhannya tetap saja dirasa oleh kedua belah pihak. Dengan bebas, sang peruqyah memegang dan melihat wanita yang sedang menjadi pasiennya.

Bukankah ini pelanggaran yang nyata terhadap syariat? Apakah mereka tidak takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika melakukan pelanggaran itu?

Jika mereka beralasan bahwa ini dilakukan dalam rangka pengobatan, maka yang demikian tidaklah tepat. Karena ruqyah bisa dilakukan tanpa harus melanggar ketentuan syariat Islam. Ruqyah bukanlah hujjah untuk menghalalkan segala cara. Ruqyah adalah amalan yang disyariatkan, maka semestinya dipraktekkan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan syariat lainnya.

Karena praktek ruqyah yang menyimpang ini, banyak kaum lelaki dan wanita yang terfitnah hati dan agamanya. Sebab mereka adalah keturunan Nabi Adam dan Hawa yang memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya. Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berfikir. Wallahul Musta’an wa ‘alaihi tiklan.

13. Praktek ruqyah yang diabadikan dengan kamera, foto, dan gambar.
Ini merupakan praktek ruqyah yang melanggar syariat, walaupun dengan alasan untuk pengajaran ruqyah, sosialisasi, penyebarluasan ruqyah syar’i, atau alasan lainnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa di antara orang yang paling keras siksanya di hari kiamat nanti adalah para penggambar.

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُوْنَ

“Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَصْنَعُوْنَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذِّبُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini diadzab di hari kiamat nanti, dinyatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan’.” (HR. Al-Bukhari)

Gambar tangan (manual) atau foto (digital) hukumnya sama yaitu haram. Karena keduanya disebut sebagai gambar. Sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjatuhkan hukum yang satu pada segala gambar yang bernyawa sebagaimana hadits di atas. Wallahu a’lam

Inilah beberapa praktek ruqyah yang menyimpang dan sering terjadi di tengah kaum muslimin. Kami yakin masih banyak lagi penyimpangan praktek ruqyah yang terjadi di kalangan mereka.

Semoga yang kami sebutkan cukup bagi mereka sebagai peringatan untuk berhati-hati dari para peruqyah gadungan yang melanggar syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin yang membacanya dengan harapan dapat meraih ilmu dan kebaikan dunia dan akhirat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar: