Jumat, Oktober 20, 2006
Selasa, Oktober 17, 2006
Belajar tentang Islam
Assalamualaikum, pak ustadz.
Berkaitan dengan jawaban pak ustadz mengenai pertanyaan ahli sunnah wal jamaah yang mana, ada jawaban pak ustadz yang menarik hati saya. Saya kutip; "Bahwa para ulama itu ternyata berlatar belakang suatu kelompok, asalkan dia ahli di bidangnya dan tetap berlaku profesional dengan ilmunya, tentu tidak mengapa. Tetapi yang kami tekankan di sini, belajar mendalami ilmu-ilmu keIslaman secara intensif, mendalam dan kontinyu, justru lebih cepat mengantarkan anda kepada ilmu-ilmu keIslaman. Dan kalau arahnya memang kepada belajar syariah, menjadi penting dari sekedar ikut-ikutan berbagai kelompok yang ada."
Kebetulan saat ini saya sedang tertarik mendalami agama Islam setelah hampir 30 tahun saya menjalani agama Islam hanya karena keturunan. Terus-terang saya bingung dengan banyaknya aliran dan kelompok-kelompok tersebut. Saya ingin belajar mendalami ilmu-ilmu ke-Islaman secara intensif, bagaimanakah caranya? Sedangkan kalau saya harus sekolah rasanya sudah tidak mungkin karena basic ilmu saya teknik dan saya sudah bekeluarga. Ke mana saya bisa belajar ilmu-ilmu Islam seperti itu terlepas dari kelompok-kelompok itu? Jika ada ustadz yang bisa mengajarkan privat, saya mohon infonya. Ilmu apa dulu yang harus saya pelajari? Seandainya ada kursus singkat, ke mana saya bisa mendaftar? Saya tinggal di Bandung.
Elis
loeni at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kami seringkali menemukan kasus yang seperti anda utarakan. Dan tentunya selama ini sudah jadi bahan pemikiran kami.
Di satu sisi kami sangat berbahagia bila mendapati begitu besarnya antusiasme umat ini dalam mempelajari agama, khususnya masalah syariah. Ini menunjukkan kesadaran umat ini sudah sedemikian besar. Dan ini sungguh membahagiakan.
Namun kebahagiaan ini seringkali juga harus bermuara kepada kekecewaan. Sebab ternyata umat ini belum mampu menyediakan sarana pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu syariah secara massal namun tetap berkualitas.
Kami paham sekali keterbatasan para ustdz dan ulama dalam memberikan sarana pengajar ilmu syariah. Di samping jumlah mereka yang tidak terlalu banyak, sementara yang harus dilayani terlalu besar, juga kita masih berkutan dengan sekian banyak kendala teknis lainnya.
Misalnya, umat Islam yang tertarik belajar itu umumnya adalah orang yang bukan pengangguran, tetapi mereka adalah orang yang setiap hari waktunya sudah habis di tempat kerja dan lainnya. Boleh dibilang, 7 hari dalam seminggu itu sudah dipenuhi dengan berbagai adenda rutin yang sulit begitu saja ditinggalkan.
Karena itu kami dan teman-teman di Eramusim sudah lama memikirkan solusi yang bisa menyelesaikan semua masalah itu. Dan akhirnya kami menjatuhkan pilihan untuk memanfaatkan media teknologi informasi sebagai solusi.
Bentuknya adalah sebuah kampus digital yang bersifat online, bisa diakses lewat internet 24 sehari, 7 hari dalam seminggu dan 365 hari dalam setahun.
Seluruh muslimin dari seluruh penjuru dunia, bisa kuliah di kampus online ini. Bahkan kami menerapkan kebijakan bahwa sebisa mungkin semua kegiatan belajar mengajar dilakukan cukup lewat internet saja. Sehingga tidak ada lagi buang-buang waktu, energi, uang, atau source lainnya dengan percuma.
Bahkan program kuliah ini dikemas agar bisa mulai diikuti kapan saja, tanpa menunggu masa pendaftaran. Bahkan tengah malam jam 00.00 pun bisa langsung mendaftar sekaligus langsung kuliah. Tidak ada antrian berjam-jam untuk sekedar dapat formulir pendaftaran, juga tidak ada test ini itu yang pada dasarnya tidak ada gunanya juga, cuma sekedar gagah-gagahan. Atau sekedar mengeleminasi mahasiswa yang dianggap bodoh. Yang penting, siapa yang punya kemauan untuk kuliah, dia punya kesempatan selebar-lebarnya.
Kuliah ini pun kami kemas agar tetap bisa dijalankan meski seseorang berada di mana saja di muka bumi ini. Kami bahan membayangkan seorang sopir bus antar kota yang boleh dibilang hidupnya 'nomaden' berpindah dari satu kota ke kota lain, tetap bisa mengikuti kuliah syariah ini. Bahkan seorang astronot yang sedang mengorbit di ruang angkasa pun tetap bisa terus kuliah dengan program ini.
Meski yang muncul hanya apa yang ada di layar komputer, namun bukan berarti kuliah ini seperti hanya membaca buku. Sebab setiap mata kuliah yang diajarkan juga tetap ditangani oleh dosen-dosen yang juga online. Mereka tetap bisa diajak diskusi, dialog dan tanya jawab atas hal-hal yang belum dikuasai. Layaknya sebuah perkuliahan di dunia nyata.
Bahkan tanya jawab dengan dosen bisa lebih besar kesempatannya, karena tiap mahasiswa punya account sendiri secara pribadi, di mana dia bebas menanyakan masalah apa saja yang terkait dengan perkuliahan.
Bahkan kami tetap ingin memberikan kemudahan dalam memberikan penilaian. Karena untuk mengevaluasi hasil perkuliahan, modul-modul itu dilengkapi dengan soal-soal latihan. Yang menarik, soal-soal itu bersifat online, sehingga bisa langsung dijawab dan nilainya bisa langsung keluar. Maka tidak adal lagi cerita para mahasiswa capek menunggu hasil ujian, karena dosennya belum sempat mengoreksi jawaban. Nilai ujian saat itu juga keluar seiring dengan di-kliknya tombol jawaban.
Bila kurang puas dengan nilai ujian yang didapat, ada menu untuk ujian susulan, sebagaimana yang biasa dilakukan para mahasiswa untuk memperbaiki nilai.
Salah satu visi metode perkuliahan ini adalah fleksibilitasnya yang tinggi. Bila seorang mahasiswa dengan alasan tertentu sibuk tidak bisa aktif mengikuti perkuliahan, maka dia bisa cuti secara otomatis, tanpa harus sibuk mengurus kesana kemari. Begitu sudah ada waktu lagi, tinggal meneruskan saja cukup dengan menekan satu tombol. Beres!
Bagaimana dengan biaya?
Niat awal kami adalah para mahasiswa bukan hanya gratis, tetapi mendapat beasiswa. Sebagaimana yang sekarang ini bisa berjalan di Al-Azhar University Mesir. Lembaga itu bukan milik pemerintah, tidak ada kucuran dana apa pun, tetapi sudah 1000 tahun ini eksis menghidupi dirinya bahkan 'menggaji' semua mahasiswa yang kuliah di sana.
Rahasianya karena Al-Azhar punya aset-aset produktif yang telah diwakafkan oleh para aghniya' (orang kaya) di Mesir sepanjang zaman. Pabrik, industri, properti, pasar, bebagai perusahaan sudah berstatus waqaf untuk lembaga kebanggaan muslim sedunia ini. Bahkan mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana tidak kurang dari 3.000 orang. Tidak ada satu pun yang bayaran, sebaliknya malah dapat bea siswa.
Alangkah nikmatnya bila kita bisa mengikuti jejak Al-Azhar As-Syarif itu, sayangnya kesadaran orang kaya muslim di negeri ini masih menuntut kesabaran kita. Di tengah banyaknya orang yang berlomba bikin masjid, atau meramaikan berbagai macam seremoni rutin tahunan, mulai dari Maulid nabi, Isro' Mi'roj, Nuzulul-Quran, Halal- bi halal dan seterusnya, sayang cita-cita besar mendirikan kampus online ini belum banyak dilirik.
Sehingga kami masih harus memikirkan pengeluaran dana, untuk sekedar bisa eksis terus. Karena itu dengan sangat terpaksa, dari para mahasiswa masih dimintakan kontribusi pahala lewat sistem pembayaran. Tetapi tetap diupayakan seringan mungkin, jauh di bawah biaya kuliah konvensional tentunya. Sementara kami tetap harus mengeluarkan banyak biaya untuk menjamin berlangsungnya perkuliahan ini.
Kami telah mengupayaan agar kuliah ini bukan sekedar main-main, namun juga mendapat pengakuan dari institusi berwenang seperti departemen Agama RI. Agar luluasan dari perkuliahan ini diakui sebagai sarjana strata 1 penuh. Alhamdullillah dengan berbagai kerjasama yang digalang, semua mahasiswa di perkuliahan ini bisa mendapatkan kesempatan mengkuti ujian persamaan dengan mentranskrip nilai. Sehingga tetap bisa nantinya mendapatkan gelar SHI (sarjana Hukum Islam) dan bisa diakui di jenjang kuliah selanjutnya (S-2) di lembaga lain.
Untuk itu, bila anda tertarik, kami mengundang anda untuk bergabung bersama 2000-an mahasiswa lain yang sudah mendaftar. Silahkan klik http://kampus.eramuslim.com dan selamat kuliah, semoga Allah SAW menambahkan ilmu anda dan berguna di dunia dan di akhirat. Amien.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Daun Ganja untuk Masakan
Assalamualaikum wr. wb.
Pak Ustadz yand dimuliakan Allah. Saya sering mendengar kata orang bahwa ada beberapa masakan tertentu, untuk penyedap rasa dan agar pelanggan ketagihan, mereka menggunakan daun ganja sebagai salah satu bumbunya, tentunya mungkin dalam kadar tertentu. Bagaimana tanggapan ustadz mengenai hal ini? Terima kasih.
Wassalamualikum wr. wb.
Warsono
oswarkpj at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ketika Allah SWT mengharamkan khamar di Al-Quran, semua orang lantas menghukumi bahwa khamar itu haram. Namun khamar yang dikenal oleh bangsa Arab saat itu adalah perasan buah kurma atau anggur yang mengalami proses fermentasi hingga level tertentu.
Di luar itu, bangsa Arab tidak mengenal jenis minuman keras lain. Al-Quran tidak pernah menyebutkan bahwa beer, vodka, brandy, mansion atau cognac. Lalu atas dasar apakah minuman tersebut bisa ikut dikategorikan sebagai khamar?
Para ulama ushul mencoba mencari 'illat ketika mengqiyas antara khamar dengan minuman keras lainnya. Dan disimpulkan bahwa 'illatnya bukan pada nama, atau jenis buah tertentu, melainkan pada efek yang ditimbulkan, yaitu mabuk (iskar). Dari 'illat yang telah disepakati ini, kemudian dikembangkan sebuah ta'rif (definisi) dari khamar, secara lebih luas dan tidak terbatas pada perasan kurma atau anggur saja. Definisinya adalah segala yang bila diminum/ dikonsumsi akan mengakibatkan iskar (mabuk).
Maka yang termasuk khamar tidak lagi terbatas pada minuman, tetapi juga apa saja yang dimakan bahkan apa yang dihirup. Maka minuman tadi karena bisa mengakibatkan iskar, bisa dimasukkan ke dalam kategori khamar.
Bahkan daun ganja yang diproses sedemikian rupa lalu dibakar dan asapnya dihisap hingga mabuk, sudah termasuk kategori khamar. 'Illatnya adalah karena asap ganja itu mengakibatkan mabuk (iskar) bila dihisap.
Kurma dan Anggur Sebelum Jadi Khamar
Kemudian timbul masalah, bagaimana dengan kurma atau anggur yang diperas namun belum sampai kepada kategori memabukkan? Misalnya masih berupa air fermentasi pada level tertentu yang bila diminum masih menyegarkan, manis dan enak tanpa efek memabukkan.
Dalam hal ini para ulama sepakat mengatakan hukumnya halal. Sebab batasan atau 'illat haramnya khamar bukan pada jenis buahnya, melainkan pada efek mabuk (iskar) yang ditimbulkannya. Selama buah kurma dan anggur masih tidak memabukkan bila dimakan atau diolah, maka statusnya bukan khamar dan hukumnya halal.
Kemudian kita beralih pada daun ganja, bagaimana hukumnya?
Daun ganja bila diolah sedemikian rupa menjadi lintingan rokok, dibakar lalu asapnya dihirup, akan menimbulkan iskar (mabuk). Dengan demikian jelas termasuk khamar.
Tetapi bagaimana dengan daun ganja yang baru dipetik dan diolah bukan untuk menjadi zat yang memabukkan, adakah daun itu sudah langsung bisa dicap sebagai khamar?
Pertanyaan ini akan melahirkan dua pendapat yang berbeda, ada yang mengatakan tidak bisa dibilang khamar. Sebaliknya ada yang tetap menetapkannya sebagai khamar.
a. Pendapat pertama
Logikanya, selama daun ganja itu belum diolah menjadi zat yang memabukkan, dan bila dimakan sama sekali tidak menimbulkan efek mabuk dalam arti yang sesungguhnya, kecuali hanya sekedar menambah lezat, maka tidak ada alasan untuk menggolongkannya sebagai khamar.
Sebab efek mabuk (iskar) tidak terjadi, meski dimakan banyak atau sedikit. Sedangkan efek ketagihan tentu bukan 'illah dari keharaman. Sebab banyak zat lain yang bila diminum atau dimakan bisa membuat orang ketagihan, tetapi bukan termasuk khamar.
b. Pendapat kedua
Mereka mengatakan bahwa daun ganja itu tetap haram hukumnya, meski digunakan bukan untuk mabuk.
Karena secara umum telah digunakan sebagai zat yang memabukkan. Ketika menjadi lintingan yang dihirup asapnya, daun itu adalah khamar dan hukumnya haram dihirup serta najis. Maka sejak masih jadi daun di pohonnya, benda itu sudah dianggap khamar dan najis, meski belum memberi efek mabuk.
Bagi pendapat ini, ketika digunakan untuk bumbu penyedap, tetap terhitung sebagai khamar yang haram hukumnya. Meski tidak menghasilkan efek mabuk.
Logika pendapat yang kedua adalah logika yang digunakan untuk menajiskan tubuh anjing. Meski hadits yang menetapkan kenajisan anjing hanya sampai sebatas air liurnya saja, namun para ulama yang menajiskan tubuh anjing mengambil kesimpulan bila air liurnya najis, maka tempat asal air liur itu najis juga.
Maka dalam hal ini perut anjing sebagai sumber air liur hukumnya najis. Dan kalau perut anjing itu najis, maka apapun yang keluar dari perutnya juga najis. Air keringat anjing sumbernya juga dari perut, maka air keringatnya najis. Dan air keringat itu keluar lewat pori-pori, kulit, daging, otot dan lainnya, maka semuanya juga ikut najis.
Dengan demikian, kita dihadapkan pada dua pilihan hukum, yang memang diperdebatkan oleh para ulama. Perbedaannya berangkat dari logika penarikan hukum, meski sumber dalilnya sama. Dan fenomena khilaf seperti ini seringkali terjadi.
Adapun bila masakan yang menggunakan daun ganja sebagai penyedap itu memberikan efek iskar (mabuk), maka kita semua sepakat mengharamkannya. Maka masalah akan terpulang kepada si pengolah masakan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Pengertian Dihapus Dosa
Assalamu'alaikum w.w.
Pak Ustadz, saya mau tanya, to the point saja:
1. Yang dimaksud dengan dihapus dosanya itu, apakah dihapus dosanya (di-tip-ex/dihapus/didelete) dari catatan amal perbuatan yang sudah ditulis oleh malaikat Atid?
2. Setiap manusia pasti punya dosa kecuali nabi Muhammad. Lalu, di akherat nanti, apakah semua orang, akan masuk neraka dulu lantaran ia punya dosa, ATAUKAH hanya dilihat antara total kebaikan dan keburukannya saja? (maksudnya, jika total kebaikannya lebih besar dari keburukannya, maka masuk surga, tanpa ke neraka dulu) Apakah betul demikian? Mohon pencerahannya.
Terima kasih.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Nono Taryono
nono at eramuslim.com
Jawaban
Istilah menghapus dosa adalah terjemahan bebas dari banyak istilah dari bahasa Arab. Kata menghapus sendiri yang tepat berasal dari kata maha yamhu. Karet penghapus dalam bahasa Arab sering disebut dengan mimhah.
Istilah yamhu yang berarti menghapus biasanya dilekatkan pada apa yang sudah tertulis, sebagaimana pada kalimat menghapus tulisan. Dan Allah SWT juga menggunakan istilah yamhu untuk menjelaskan bahwa di dalam ketentuannnya, ada beberapa yang dihapus-Nya. Perhatikan baik-baik ayat ini:
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkandan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab. (QS Ar-Ra'd: 39)
Kaffara - Yukaffiru
Sedangkan untuk istilah menghapus dosa, yang lebih sering digunakan di Al-Quran bukan kata yamhu, melainkan kaffara-yukaffiru atau azhaba-yuzhibu
Perhatikan ayat-ayat berikut ini
Jika kamu menampakkan sedekah, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah: 271)
Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar yang menyeru kepada iman, "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu," maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. (QS Ali Imran: 193)
Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS Ali Imran: 195)
Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia. (QS An-Nisa': 31)
Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Ankabut: 7)
Azhaba - Yuzhibu
Sedangkan penggunaan istilah azhaba - yuzhibu bisa kita dapat pada ayat berikut ini
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.(QS. Huud: 114)
Pengertian menghapus dalam arti men-delete atau sejenisnya, biasanya lebih sering menggunakan kata maha-yamhu. Sedangkan kata kaffara-yukaffiru sesuai dengan makna dasar asli yang berarti menutupi atau mencover, kira-kira dekat sekali dengan penggunaan tip-ex. Di mana tulisan yang salah pada dasarnya masih ada, tapi dilapisi dengan zat tertentu sehingga tertutupi.
Kaffara-yukaffriu juga digunakan dalam bahasa Inggris yaitu cover. Penggunaannya misalnya untuk istilah cover buku, yaitu sampul atau pembungkus buku.
Kaffara juga bisa dibentuk menjadi kata kaffarat, yang artinya tebusan. Istilah kaffarat ini biasa digunakan bila seseorang melakukan pelanggaran, maka denda atau tebusan atas kesalahan itu disebut dengan kaffarat. Maka ungkapan yukaffiru 'anissayyiah bisa diterjemahkan menjadi tebusan atas dosa (penebus dosa).
Sedangkan makna azhaba-yuzhibu berasal dari kata zahaba yazhabu yang artinya pergi. Azhaba adalah bentukan dari zahaba yang artinya membuat sesuatu pergi dari tempatnya. Atau dalam ungkapan lain bisa disebut dengan istilah menghilangkan. Yuzhibu as-sayyiah artinya menghilangkan dosa.
2. Di hari kiamat manusia akan dibangkitkan untuk diperlihatkan semua amal-amal mereka, baik berupa pahala atau pun berupa dosa. Kemudian setelah semua amal diperiksa, barulah semua ditimbang. Dari sana barulah ketahuan apakah seorang akan masuk surga atau masuk neraka.
Jelas sekali Allah menegaskan hal ini dalam salah satu surat yang sudah pasti kita hafal.
Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (QS Az-Zalzalah: 6-8)
Zakat Harta untuk Beli Tafsir/Al-Quran?
Assalamualaikum Wr. Wb.
Bolehkah zakat harta dititipkan kepada sebuah yayasan yang bergerak di bidang anti pemurtadan, uang zakat tersebut akan di belikan Al-Quran dan tafsir untuk dibagikan kepada muslim di daerah pemurtadan tersebut?
Fajar
hp7986 at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yayasan yang bergerak di bidang anti pemurtadan adalah yayasan yang wajib dibantu, baik dengan tenaga maupun dengan dana. Kita wajib memberikan apa yang diperlukan oleh yayasan seperti ini, mengingat jasanya yang besar dalam mempertahankan benteng keimanan.
Dan sebenarnya sumber dana umat itu bukan hanya dari zakat semata. Masih banyak sumber dana lain yang selain zakat yang bisa dicari agar kegiatan pencegahan kemurtadan bisa dipertahankan.
Sedangkan dana zakat, karena sudah secara spesifik ditetapkan peruntukannya, tentunya kita tidak bisa main potong kompas begitu saja. Bisa-bisa zakat kita malah tidak sah jadinya.
Kami menyarankan sebaiknya anda mengusahakan dana dari pos-pos yang lain selain zakat, bila tujuannya untuk membagikan mushaf. Tetapi kalau para ulama tempat di mana proses pemurtadan terjadi melihat bahwa mereka termasuk orang yang dipertahankan keimanannya, sehingga bisa dimasukkan sebagai kelompok al-muallafati qulubuhum, mungkin bisa saja diijtihadkan ke sana.
Namun ijtihad seperti itu harus hati-hati, sebab targetnya harus tepat benar, yaitu mempertahankan keIslaman mereka. Bukan sekedar bagi-bagi mushaf. Malah ada baiknya bila diserahkan dalam bentuk uang tunai saja, karena akan lebih bermanfaat dan berdaya guna. Namun sekali lagi, perlu adanya analisa dan kajian yang matang dan melibatkan para ulama di daerah tersebut. Sehingga segala sesuatunya sudah dipertimbangkan masak-masak, dari semua sisi.
Apalagi kalau kebetulan mereka yang sedang dipertahankan keimananya termasuk juga orang yang fakir dan miskin, tentu lebih afdhal lagi. Sebab kalau pun kurang tepat dikatakan sebagai muallaf, maka mereka tetap berhak sebagai fakir dan miskin.
Intinya, kami tidak menutup kemungkinan 100% untuk mengalokasikan dana zakat kepada mereka, namun perlu kajian mendalam melibatkan para ulama dan cendekia, agar langkah-langkah kebijakan itu punya sumber kekuatan hukum yang mantap. Tidak cukup hanya dengan berdasarkan jawaban sekilas seperti di forum tanya jawab ini saja.
WAllahu a'lam bisshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Niat Saja Tak Cukup, Berbuatlah...
Oleh Bayu Gawtama
Sore kemarin sebuah pelajaran kembali saya dapatkan. Kali ini dari Ayahanda sahabat saya yang tahun lalu baru saja menunaikan ibadah haji. Ia nampak bahagia bisa menjalankan ibadah ke tanah suci, sebahagia semua orang yang pernah berhaji. Bercerita ia tentang berbagai pengalamannya selama menjadi tamu Allah, tentang makam Rasulullah dan semua hal menakjubkan di tanah suci.Namun dari semua cerita itu, ada satu bagian yang benar-benar menarik perhatian. Yakni ketika sampai pada cerita tentang, bagaimana ia bisa berangkat pergi haji, padahal uang tabungannya belumlah mencukupi. Kisah-kisah unik dan ajaib tentang orang-orang yang pergi haji pun berlanjut, dan kisah dari Ayahanda sahabat saya ini menambah daftar panjangnya. Kita pernah mendengar ada seorang pengemis yang bisa berangkat haji lantaran ia senantiasa menjaga mulutnya dari kata-kata yang sia-sia. Begitu pun kisah tentang tukang sol sepatu yang bisa berhaji karena kebaikannya terhadap tetangganya.
Kisah Ayahanda sahabat saya ini, mungkin tak sedramatis kisah-kisah mengagumkan sebelumnya. Namun cukuplah untuk memberi semangat baru, terutama bagi orang-orang seperti saya yang kebanyakan keinginan namun sering hanya berujung di bab niat saja. “Pergi haji, jangan cuma niat. Jangan hanya punya keinginan, sebab semua orang pun punya keinginan itu. Tapi tidak semua orang mau merealisasikan kenginannya itu”.
Beliau tidak sedang bicara tentang orang-orang kaya harta yang sebenarnya mampu berkali-kali pergi haji, namun tak juga berangkat. Yang dimaksud beliau, adalah orang-orang yang punya keinginan kuat, namun tak pernah menunjukkan keinginannya itu dengan satu perbuatan. “Saya orang yang tidak punya, tetapi saya sangat ingin pergi berhaji, karenanya saya menabung sedikit demi sedikit. Ketika tahun kemarin saya pergi haji, apakah tabungan saya sudah cukup? Tentu saja belum! Tapi Allah melihat niat yang saya iringi dengan usaha untuk mewujudkannya dengan cara menabung. Inilah cara Allah memudahkan jalan orang-orang yang mau berusaha,” terangnya bersemangat.
Kalimat-kalimat yang mengalir darinya, sangat menyejukkan sekaligus mencerahkan. Tertohok diri ini mendengarnya, namun juga menyenangkan bisa mendapat nasihat yang bermanfaat. Betapa sering dan mudahnya kita berucap, “Yang penting niat dulu, niat baik saja kan sudah dicatat malaikat”.
Boleh jadi betul bahwa niat baik itu tercatat, tapi jangan-jangan malaikat bosan melihat catatan harian kita hanya dipenuhi kumpulan dan daftar niat. Namun tak sekali pun pernah menunjukkan i’tikad untuk mewujudkannya. Sangat mungkin saat ini Allah menunggu-nunggu kapan kita bekerja merealisasikan kumpulan niat itu, sementara kita tetap asik menggantang niat yang tak pernah terwujud itu. Seperti kisah Ayahanda sahabat saya itu, mungkin Allah tak perlu menunggunya sampai ia mampu mencukupi biaya haji. Tapi Allah hanya mau melihat –sekali lagi, hanya mau melihat- adakah hal yang diperbuat untuk merealisasikan niat tersebut. Akhirnya, tak perlu sampai mencukupi biaya haji, beliau bisa berangkat ke tanah suci menjadi tamu Allah. Maha Suci Allah.
Begitu pun dengan kita. Mari lihat kembali daftar niat yang pernah kita tuliskan, kemudian satu persatu kita upayakan untuk merealisasikannya. Insya Allah, Allah bersama malaikat dan rasul akan melihat apa yang kita kerjakan. Soal hasil akhir, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. (Bayu Gawtama)
---
Dibuka, School of Life, Chapter 1: Mind Power (Terbatas!), silahkan kunjungi http://gawtama.multiply.com/journal/item/154
Kamis, Oktober 12, 2006
Ibu Perkasa Pencari Nafkah
Oleh Indah Prihanande
Saya trenyuh melihatnya menggendong barang dagangan sedemikian banyak. Bakul, tampah, kipas, aseupan semua barang terikat selembar kain panjang lusuh. Berjejalan membebani punggung. Perniagaannya dimulai selepas subuh. Perjalanan yang kerap menaiki mobil bak terbuka yang ringkih, namun acapkali juga ditempuh dengan meretas jalan menurun dan mendaki selama dua jam untuk tiba di tempat tujuan. Transaksi dicari dengan cara berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu desa melewati desa berikutnya. Tawar menawar yang ketat dari pembeli hanya menghasilkan laba dua ribu rupiah per-item barang. Tak jarang malah hanya dijual modal saja, daripada dibawa pulang kembali akan sangat berat dan repot ujarnya.
Selepas dzuhur, dia akan kembali ke rumah. Menjalani tugas berikutnya Sebagai seorang ibu dari tujuh orang anak. Suaminya sendiri bekerja sebagai penjaga kebun dan bercocok tanam pada ladang seadanya.
Kedatangannya di rumah saya rutin pada pukul 11 siang. Tanpa bosan dia menjajakan barang dagangannya. Ada beberapa yang kami beli. Namun sayangnya, kami tidak membutuhkan untuk membeli barang tersebut setiap hari. Akan tetapi kami kadang mengharapkan kedatangannya. Paling tidak dia bisa mengaso di rumah kami. Merasakan semilir angin untuk mendinginkan badan yang tersengat terik.
Segelas teh manis dan dan sedikit kue (jika ada) menemaninya melepas lelah. Kemudian, ibu saya akan menghidangkan sepiring nasi dengan lauk yang kami punya hari itu. Kami semua memintanya untuk tidak sungkan datang. Mudah-mudahan kami bisa menyuguhkan jamuan itu setiap kali dia ada. Kasihan jika laba yang tak seberapa harus berkurang lagi untuk biaya makan.
Setelah beberapa minggu tidak muncul dikarenakan sakit, kali ini beliau datang seperti biasanya. Untunglah nasi dan lauk sudah matang. Segelas minum dan sepiring nasi hangat usai dinikmatinya. Sebelum beranjak pergi dia memaksa kami untuk menerima bakul dagangannya sebagai tanda terima kasih. Saya menolak dengan halus, sungguh kami belum membutuhkan itu.
“Kalau begitu tampah saja ya, ambil Neng,” beliau masih memaksa “Nggak usah Bu, terima kasih. Nanti kalau kami butuhkan, saya akan bilang ke Ibu. Jangan sungkan-sungkan, ibu mampir ya kalau sedang lewat ke sini.”
Dengan rasa segan yang tertahan dia kembali melanjutkan perjalanannya. Tumpukan barang yang menggunung di pungung mengharuskan dia untuk berkeliling lebih jauh.
Saya hanya hendak bercermin dan memaksa hati agar bisa belajar dari setiap peran yang dijalani seorang wanita dari berbagai peran. Yaitu sosok wanita yang menjalani profesi sebagai ibu sekaligus pengemban tanggung jawab strategis sebagai pencari nafkah.
Ibu itu sungguh perkasa. Berkeliling dalam segala cuaca. Ruang kerjanya adalah alam bebas yang tidak bisa disetel berapa derajat suhu yang diinginkannya. Perjalanan berkilo-kilo itu ditempuh tanpa tahu pasti berapa banyak nilai rupiah yang akan dibawa pulang.
Kini, bandingkan dengan kita yang bekerja di dalam ruangan berpendingin. Kulit kita jarang tersentuh sengatan matahari. Kita tidak harus berjalan berkilo-kilo untuk mendapat gaji yang sudah pasti nilainya. Walaupun besaran penghasilan kita tidak sama, sebagian besar dari kita masih mendapatkan tunjangan makan, tunjangan pengobatan dan kenikmatan lain yang nyaris tidak dimiliki oleh para pedagang kecil yang berkeliling itu.
Mungkin benar, tidaklah adil jika saya membandinglan dengan sosok ibu tersebut. Latar pendidikan kita berbeda, tingkat keterampilannya pun berbeda. Namun, jika selama ini gelisah dan rasa kurang sering menyergap, ke manakah perginya rasa syukur ini?
Nenda_2001@yahoo.com, untuk ibu-ibu pekerja, terima kasih atas sodaqohnya bagi keluarga.
Doa Buka Puasa Allahumma Laka Shumtu..., Bukan Hadits Shahih?
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz saya mau nanya bagaimana kita mengetahui suatu hadist shahih atau tidak, jika dalam sebuah hadist disebutkan perawinya tapi tidak diberi keterangan tentang perawi-perawi itu? Setahu saya doa berbuka yang diawali dengan allahumma lakasumtu... dst tidak shahih tapi saya melihat masih banyak yang menggunakan doa itu bahkan ustadz yang saya percaya pun menggunakan doa itu. Bagaimana ustadz?
jazakumullah khairan katsir
wassalamu'alaikum wr.wb
Aisyah
ly at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda tanyakan itu memang masih merupakan pe-er buat para ulama hadits di masa sekarang ini. Sebab belum semua dari riwayat-riwayat itu yang telah diteliti keshahihannya.
Misalnya, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga, waktu, pikiran dan kehidupannya untuk mengabdi di bidang penelusuran riwayat hadits. Tetapi harus diketahui bahwa di luar apa yang telah mereka kumpulkan dalam kitab shahih masing-masing, masih banyak lagi hadits yang belum di-takhrij secara menyeluruh.
Enam kitab induk hadits (kutubussab'ah) atau sembilan kitab hadits (kutubutis'ah) sebenarnya sudah agak mewakili banyak hadits, namun belum bisa dikatakan bahwa keseluruhan hadits ada di sana. Padahal yang di kesembilan kitab itu sendiri belum semua selesai pentakhrijannya. Dan kalau kita bicara tentang hadits-hadits lainnya di luar keenam atau kesembilan kitab itu, tentunya masih perlu begitu banyak source yang dipersiapkan.
Karena itu upaya untuk membuat ensiklopedi hadits sampai hari ini belum pernah bisa tercapai. Mengingat jumlah butir hadits yang terlalu banyak, bahkan mencapai jutaan. Padahal satu persatu harus diteliti dari A sampai Z.
Sayangnya lagi, lembaga-lembaga tempat berkumpulnya para ulama di dunia belum bersinergi. Masing-masing masih bekerja sendiri-sendiri. Al-Azhar As-Syarif di Cairo sudah mempeloporinya, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi di Qatar bersama dengan timnya juga sudah mulai mengerjakan, belum lagi di Saudi Arabia dan Negara Kuwait. Sayangnya, masing-masing jalan sendiri-sendiri tanpa ada semacam kerjasama dengan satu grand desain yang serius.
Yang jelas semua resources sangat diperlukan, selain para profesor dan doktor hadits, juga diperlukan dana yang tidak sedikit untuk menunjak proyek maha raksasa ini. Juga dibutuhkan para programer kawakan untuk mengerjakan programing dan pen-database-annya. Termasuk para editor dan peneliti ahli yang akan memeriksa semua bugs dan kesalahan.
Bayangkan, kita bicara tentang sistem data base yang berisi semua rekaman hidup seorang Muhammad SAW yang hidup 1.400-an tahun yang lalu, baik perkataannya, perbuatannya ataupun sikapnya. Semua sampai kepada kita dari kisah 23 tahun kenabiannya, lewat jutaan para perawi hadits yang berserak mulai dari ujung barat Maroko hingga ujung Timur Marauke. Di dalamnya, tiap field data harus mendapatkan penilaian tersendiri dari para begawan ilmu hadits atas kekuatan dan ketinggian derajatnya, sesuai dengan tolok ukur ilmu takhrij hadits.
Walhasil, sampai hari ini karya gemilang yang dinantikan masih belum kunjung terlaksana. Umat Islam rasanya masih harus bersabar beberapa tahun lagi untuk bisa menikmati karya besar warisan nabi dalam format yang sudah siap pakai.
Selama ini kita masih harus bersabar dengan hadits-hadits dengan jumlah terbatas, misalnya yang ada pada 2 kitab Shahih Bukhari dan Muslim, atau silsilah hadits shahih karya Syaikh Nasiruddin Al-Albani yang fenomenal. Selebihnya, setiap ulama harus melakukan dulu takhrij secara sendirian, buka kitab ini dan buka kitab itu, terus ditelusuri sebatas jumlah koleksi kitab rujukan yang dimilikinya, akhirnya setelah bersusah payah, dapatlah kesimpulan tentang derajat suatu hadits.
Bisa jadi memakan waktu berhari-hari, berminggu, berbulan bahkan bertahun-tahun.
Allahumma Laka Shumtu: Dhoif?
Lafadz doa buka puasa yang memang sangat populer itu bila kita teliti secara riwayat, memang banyak yang mengatakan kelemahannya. Bunyinya adalah:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت
Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan atas rezeki dari-Mu aku berbuka
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Thabarani dan Ad-Daaruquthuny dengan sanad yang lemah, bahkan satu dengan lainnya tidak bisa saling menguatkan, bahkan lafadznya pun berbeda-beda.
Menurut versi riwayat Abu Daud dan lainnya seperti Ibnul Mubarak dalam Al-Zuhd, atau seperti Al-Baihaqi, Ibnu Abi Syaibah lewat jalur Mu'az bin Zahrah adalah:
Apabila nabi SAW berbuka puasa, beliau mengucakan:
اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت Allahumma laka shumtu, wa 'ala rizkika afthartu."
Dalam hadits ini ada 'illat, yaitu ketidak-jelasan identitas Muaz. Ibnu Hajar mengatakan hadits ini maqbul bila ada ikutannya, bila tidak maka hadits ini lemah sanadnya dan mursal. Hadits mursal menurut pendapat yang rajih dari mazhab As-Syafi'i dan Ahmad tidak bisa dijadikan hujjah. Ini berbeda dengan metodologi Imam Malik yang sebaliknya dalam masalah hadits mursal.
Hadits ini juga tidak punya shawahid yang mengangkatnya mencapai derajat hasan.
Imam At-Thabarani meriwayatkannya di dalam kitab Ash-Shaghir dan Awsath, lewat jalur Daud bin Az-Zabarqan dengan lafadz:
Apabila nabi SAW berbuka puasa, beliau mengucakan:
بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت Bismillahi allahumma laka shumtu, wa 'ala rizkika afthartu."
Imam Al-Hafidz mengomentari Daud sebagai orang yang matruk (riwayatnya ditinggalkan). Abu Daud juga memvonisnya sebagai matruk.
Ad-Daruquthuny, Ibnussunni dan At-Tahabari meriyawatkan juga lewat jalur Abdul Malik bin Harun. Namun Az-Zahab mengomentari Abdul Malik sebagai orang yang ditinggalkan riwayatnya. Lafadznya:
اللهم لك صمنا وعلى رزقك أفطرنا اللهم تقبل منا إنك أنت السميع العليم
Allahumma laka shumna, wa 'ala rizkika aftharna, Allahumma taqabbal minna innaka antas samiul-alim.
Syeikh 'allamah Al-Albani di dalam Al-Irwa' jilid 4 halaman 36 telah menetapkan kedhaifannya
Berdoa dengan Hadits yang Tidak Shahih
Meski kita bisa menerima bahwa secara jalur sanad bahwa lafadz hadits doa ini lemah, namun yang jadi pertanyaan adalah:
Apakah tiap berdoa diharuskan hanya dengan menggunakan lafaz dari nash quran dan hadits saja?
Nyatanya, para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdoa dengan menggunakan lafadz hadits yang derajat keshahihannya masih menjadi perdebatan.
Sebagian mengatakan tidak boleh berdoa kecuali hanya dengan lafadz doa dari hadits yang sudah dipastikan keshahihannya. Namun sebagian yang lain mengatakan tidak mengapa bila berdoa dengan lafadz dari riwayat yang kurang dari shahih.
Bahkan dalam lafadz doa secara umum, pada dasarnya malah dibolehkan berdoa dengan lafadz yang digubah sendiri. Apalagi ada zhan bahwa lafadz itu diucapkan oleh Rasulullah SAW.
Namun memang demikian adanya, di mana saja kapan saja, para ulama sangat mungkin terjebak dengan perbedaan sudut pandang.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz Keliling Meminta Zakat untuk Kepentingan Pribadi
Assalam' mualikum wr. wb.
Pak ustadz, saya mau menanyakan mengenai penarikan zakat. Suatu hari saya dikunjungi salah satu ustadz di tempat saya tinggal, dan beliau meminta zakat ke saya. Saya balik tanya ke mana zakat tersebut akan disalurkan? Beliau menjawab untuk dirinya sendiri dan dia mengatakan bahwa di daerah tersebut sudah menjadi suatu kebiasaan, setiap ustadz/ ustadzah untuk keliling dan meminta zakat untuk kepentingan pribadi. Menurut pandangan saya ustad tersebut tergolong mampu.
Yang menjadi kekhwatiran saya nanti ke depanya hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan dan tidak melihat tergolong mampu atau tidak. Saya mohon jawaban dari pak ustadz bagaimana pandangan tersebut?
Wassalam' mualaikum wr. wb.
Tarmidi
tarmidi181 at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya kalau si ustadz ini mau, dia tetap berhak atas harta yang tidak seberapa itu. Sayangnya, sistem baitul-mal di tengah kediaman anda kurang berjalan dengan baik, sehingga seorang ustadz terpaksa harus 'mengemis' ke sana ke mari dari masyarakat.
Adalah hak seorang ustadz atau guru ngaji untuk mendapatkan nafkah. Bahkan lebih banyak dari yang umumnya diterima orang lain. Sebab tugas seorang ustadz tentu saja sangat berat dan perannya pasti sangat besar. Bukankah seorang ustadz itu akan mengajarkan masyarakat tentang jalan hidup yang lurus, serta memberikan bekal dalam menempuh jalan akhirat nanti, mengajak kepada kebaikan dan menolak kemungkaran?
Bukankah anak-anak kita bisa mengaji dan membaca Quran karena jasa-jasanya? Bukankah anak-anak kita bisa mempraktekkan shalat dan ibadah lainnya lewat penjelasannya? Maka seorang ustadz yang mengajarkan hal itu semua, tentu sangat layak untuk menerima upah atas upayanya.
Di masa nabi, ketika ada orang kafir yang jadi tawanan perang bisa mengajari 10 orang membaca dan menulis, dia mendapat hak kebebasannya. Pada harga tawanan perang itu pasti sangat tinggi, paling tidak seharga budak. Dan harga budak bisa berkali lipat dari harga seekor unta. Kalau kita anggap harga budak 10 kali harga unta, maka bisa kita bayangkan nilai mengajarkan 10 orang untuk membaca dan menulis.
Sementara yang diajarkan oleh ustadz dan guru ngaji bukan sekedar baca tulis, tapi membaca Quran kalam ilahi, isinya ajaran agama, pesan nabi, isi kitab suci, aturan hukum syariah serta motivasi untuk menjalani hidup sesuai dengan ajaran Islam, sudah sangat layak bila pak ustadz menerima fee yang cukup besar dari masyarakat.
Namun karena sistem baitul-mal di masyarakat mungkin kurang sehat, akibatnya tidak ada alokasi dana untuk pak ustadz, maka jadilah pak ustadz ini berkeliling 'mengemis' minta uang kepada khalayak. Sungguh memalukan dan kurang punya adab.
Apalagi yang dimintanya atas nama zakat, ini lebih buruk lagi. Sebab dari surat At-Taubah ayat 60 sudah sangat jelas bahwa zakat itu hanya boleh diberikan kepada 8 ashnaf saja. Dan tidak ada bagian untuk seorang ustadz. Artinya, kalau pun ada dana untuk ustadz, sumbernya bukan dari dana zakat, tetapi dari dana yang lain, yang boleh jadi lebih besar dan lebih menjamin hidup.
Selayaknya, seorang ustadz itu dijamin hidupnya oleh negara. Sebab menjalankan dan menyelenggarakan kehidupan beragama itu adalah salah satu tugas negara. Di beberapa negara muslim, para ustadz dan imam masjid digaji bulanan oleh negara. Dengan demikian, mereka tidk perlu menadahkan tangan kepada objek dakwahnya.
Di negeri kita, negara sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu, sebab negara ini memang tidak mau mengurusi masalah agama, kecuali yang kira-kira ada uangnya. Misalnya, penyelenggaraan haji atau memunguti zakat (baziz). Kalau kedua bidang ini, rasanya negara merasa paling berhak untuk mengurusinya.
Sedangkan nasib guru ngaji di kampung-kampung yang perannya tidak tergantikan oleh siapa pun, tak seorang pun yang peduli. Negara tidak peduli bahkan ormas dan orsospol berabel Islam pun juga sangat tidak peduli.
Maka para guru ngaji itu lagi-lagi menadahkan tangannya kepada jamaah pengajiannya. Dan hebatnya, semua itu tetap berlangsung sampai sekarang. Tiap datang mengaji, ada saja jamaah pengajian yang melakukan 'salam tempel', yaitu bersalaman sambil menyelipkan uang recehan ribuan perak. Dari situlah para pahlawan Al-Quran hidup, dan dari hasil 'salam tempel' itu pula dapurnya bisa mengepul. Itu pun kalau cukup.
Sungguh mengenaskan memang. Padahal jasa mereka sungguh luar biasa, tetapi penghargaan dan hak hidup layak mereka terabaikan. Makanya tidak sedikit guru ngaji yang kerja sambilan jadi tukang ojek, kuli bangunan, tukang sampah, atau tukang panggul beras di pasar.
Kalau sampai di bulan Ramadhan ini mereka keliling kampung minta beras zakat fitrah, sulit untuk kita bebankan semua kesalahkan di pundak mereka begitu saja, bukan?
Mungkin tidak salah salah kalau kita beri sebagian harta kita lebih banyak dari jatah seorang penerima beras zakat fitrah, tapi niatnya bukan zakat fitrah, tetapi infaq dan sedekah kita kepada seorang yang berjasa membela agama.
Kalau kenyataannya mereka miskin dan hidup berkekurangan, maka sebenarnya mereka memang termasuk mustahiq zakat. Kalau mereka orang berkecukupan, tetap berhak mendapatkan upah atas jasanya, meksi bukan dari sumber zakat, tetapi dari sumber infaq lainnya.
Namun tidak salah juga bila kualitas pengajaran mereka pun dikontrol dan dievaluasi. Sebab kita juga tidak ingin mereka hanya sekedar mengajar dan mengajar, tetapi yang diajarkan bukan sesuatu yang berkualitas. Maka perlu dibuat keseimbangan antara kualitas pengajaran dan upah yang didapat.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mana yang Berlaku, Masa 'Iddah Berdasarkan Agama atau Negara?
Assalaamu'alaikum wr. wb.
Ustaz, saya ingin menanyakan berdasarkan hukum agama apabila suami telah memberi talak satu kepada isteri kemudian isteri menjalani masa iddah selama 3 bulan, dan setelah menjalani masa iddah tersebut apakah si isteri tersebut boleh menikah lagi dengan pria lain? Tetapi di sini isteri tersebut baru menyelesaikan proses perceraiannya lewat Pengadilan Agama di mana yang kita tahu sendiri proses pengadilan agama itu membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Dan manakah yang berlaku masa iddah berdasarkan agama (dihitung sejak jatuhnya talak satu) ataukah masa iddah berdasarkan negara (dihitung sejak jatuhnya ketukan hakim)? Terima kasih atas jawabannya.
Azka Amelia
azka_amelia at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah nikah dan cerai itu memang diatur dalam hukum agama. Sehingga ketentuannya mengikuti apa yang telah ditetapkan dalam dalil-dalil nash syariah.
Ada beberapa koreksi sedikit dalam menjawab pertanyaan anda.
Pertama, masalah lamanya masa iddah.
Yang benar bukan 3 bulan tetapi tiga kali masa suci dari haidh. Masa ini khusus buat masa iddah wanita yang ditalak oleh suaminya. Sebagaimana petunjuk langsung dari Allah dan rasul-Nya
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ
Wanita-wanita yang dithalak hendaklah menahan dini (menunggu) selama tiga masa quru’. (Al—Baqarah: 228)
Lama masa quru` ada dua pendapat. Pertama, masa suci dari haidh. Kedua, masa haid sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW
“Dia (isteri) ber’iddah (menunggu) selama tiga kali masa haid.“ (HR Ibnu Majah)
Demikian pula sabda beliau yang lain:
“Dia menunggu selama hari-hari quru’nya.“ (HR Abu Dawud dan Nasa’i)
Jadi kira-kira memang sebanding dengan masa 3 bulan, akan tetapi belum tentu tepat betul. Yang menjadi patokan adalah lama 3 kali masa suci dari haidh. Dan sebagaimana kita tahu, bahwa tiap wanita punya keadaan yang berbeda-beda, yang berpengaruh juga pada lama masa haidhnya. Maka bisa saja seorang wanita menjalani masa iddah atas talaknya tidak sampai masa sebulan, atau sebaliknya malah lebih lama dari 3 bulan.
Sebagai ilustrasi, mari kita gunakan pendekatan dalam mazhab As-Syafi'i. Dalam mazhab itu disebutkan bahwa haidh seorang wanita paling cepat sehari semalam. Dan masa suci dari haidh paling cepat 15 hari. Maka kalau seorang wanita kebetulan punya masa haidh yang cepat dan masa suci dari haidh yang cepat juga, bisa saja masa iddahnya hanya sekitar 19 hari saja.
Logikanya, ketika diceraikan dia sedang berada pada hari terakhir dari masa sucinya. Ini sudah dihitung sekali masa suci. Lalu dia haidh sehari dan suci selama 15 hari. Ini sudah suci yang kedua, padahal jumlah harinya baru 1 + 1 + 15 = 17 hari. Bila dia haidh lagi selama 1 hari dan suci lagi, maka pada hari pertama dari sucinya, telah habis masa 'iddahnya. 17 + 1 + 1 hari = 19 hari.
Kedua, masalah beda masa iddah versi agama atau pengadilan agama
Kita bersyukur bila di negeri kita yang tidak menggunakan hukum syariah ini, masih ada pengadilan agama. Meski tidak semua syariah Islam ditegakkan dalam pengadilan agama, tetapi beberapa bagian sudah dijalankan. Dan itu kita syukuri tentu saja.
Seperti masalah nikah, talak, rujuk, bagi waris dan harta wakaf. Tentu sangat sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan semua item hukum Islam yang ada. Tetapi yang sedikit sudah lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.
Namun yang masih disayangkan justru pada wilayah yang sedikit itu masih ada saja kelemahan di sana-sini. Misalnya pada kompilasi hukum Islam tentang kapankah jatuhnya talak. Di dalam kitab kompilasi hukum Islam versi pengadilan agama, seorang wanita baru resmi dianggap ditalak manakala putusan hakim pengadilan agama menyatakan sah.
Meski pun suaminya sudah lebih setahun yang lalu mengucapkan lafadz talak secara sharih, tapi hakim belum menganggapnya talak, ya bukan talak.
Nah, ini tentu sangat dilemmatis, sebab di semua kitab fiqih versi semua mazhab, tidak pernah disebutkan bahwa jatuhnya talak itu manakala hakim mengetuk palu. Tetapi jatuhnya talak itu ketika suami mengucapkannya. Bahkan tidak perlu pakai saksi segala. Suka atau tidak suka, memang itulah kenyataannya. Begitulah literatur fiqih yang diajarkan kepada kita sejak zaman dahulu. Siapapun yang pernah belajar fiqih, pasti tahu hal itu.
Sekarang ini dengan adanya kompilasi hukum Islam versi Depag, seorang suami yang setiap hari bilang cerai pada isterinya, tetap saja dianggap belum sah cerainya. Selama belum ada putusan hakim.
Dan anehnya, masa iddah perceraian itu dihitung justru dari sejak tanggal putusan dari hakim yang menceraikan. Ini ajaib sekali.
Sejak kapan seorang hakim punya hak menentukan cerai tidaknya suatu pasangan? Di mana bisa dirujuk masalah ini? Kitab fiqih manakah yang menyebutkan keterangan 'aneh' ini?
Sementara kita tahu bahwa cerai itu datangnya dari suami, kapan pun seorang suami mengucapkan lafadz sharih tentang perceraian, maka saat itulah jatuh talak 1 kepada isterinya.
Tidak perlu menunggu sidang, apalagi putusan dari hakim. Bila masa 'iddah secara agama sudah selesai, pada dasarnya seorang wanita boleh menikah lagi dengan laki-laki lain.
Hanya saja karena pertimbangan mashlahat, sebaiknya masalah ini diimbangi juga dengan resiko kerepotan di kemudian hari. Meski secara agama sudah sah untuk menikah lagi, tetapi bila belum punya dokumen resmi untuk menikah, karena statusnya di surat resmi masih isteri orang, maka akan sulit dilaksanakan pencatatan akad nikah secara formal.
Kalau pun tetap nikah juga, hukumnya halal, karena cerai sudah terjadi dan masa iddah sudah lewat. Tapi secara prosedur formal, bisa saja di masa mendatang akan muncul berbagai problem dokumen yang agak merepotkan. Jadi memang dilemmatis juga pengadilan agama kita ini. Sudah tidak lengkap, masih saja ada kelemahan di sana-sini.
Jadi mohon maklum saja.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hukum Darah Nifas
Assalamualaikum Wr. Wr.
Pak Ustadz, saya ingin menanyakan apakah dalam proses melahirkan secara caesar, apakah harus wajib mandi hadast dan apakah mempunyai darah nifas atau wiladah? Terima kasih.
Wassalam,
Eko Wahyudi
e_yudi at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di antara hal-hal yang mewajibkan mandi janabah adalah persalinan dan nifas.
a. Persalinan
Seorang wanita yang melahirkan anak, meski anak itu dalam keadaan mati, maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya tidak mengalami nifas, namun tetap wajib atasnya untuk mandi lantaran persalinan yang dialaminya.
Maka seorang ibu yang melahirkan anak dengan cara caesar, meski tidak mengalami nifas, tetap diwajibkan mandi janabah.
Tetapi kenyataannya, meski sudah menggunakan pembedahan, nifas secara alami tetap terjadi. Pengalaman dari para wanita yang sudah mengalami proses pembedahan caesar, mereka tetap mengalami nifas juga.
Sebagian ulama mengatakan bahwa 'illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga, meski sudah berubah wujud menjadi manusia. Dengan dasar itu, maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun, tetap diwajibkan mandi, lantaran janin itu pun asalnya dari mani.
b. Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah, meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan/melahirkan, maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah.
Hukum nifas dalam banyak hal, lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat, puasa, thawaf di baitullah, masuk masjid, membaca Al-Quran, menyentuhnya, bersetubuh dan lain sebagainya.
Maka begitu nanti darah nifas sudah berhenti mengalir, wajiblah atas seorang ibu yang baru melahirkan untuk mandi janabah. Selain karena nifas juga karena melahirkan. Tetapi mandinya cukup satu kali saja, tidak perlu dua kali mandi.
Dalam banyak literatur kitab fiqih, mazhab As-Syafi'i menuliskan bahwa masa nifas itu paling cepat adalah sekejap mata. Artinya, begitu melahirkan dan keluar darah terus berhenti selamanya. Tetapi umumnya nifas akan terjadi selama masa 40 hari. Dan batas paling lama adalah 60 hari.
Apabila telah lewat waktu 60 hari masih saja darah mengalir keluar, dianggap bukan lagi darah nifas tetapi darah istihadhah. Begitu melewati hari yang ke-60, maka dia wajib mandi janabah dan menjalankan semua kewajibannya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif: Tingkatkan Sikap Tenggang Rasa di Bulan Suci Ramadhan
Memasuki bulan Ramadhan sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan instruksi yang melarang orang berjualan pada siang hari. Tujuannya sebenarnya baik untuk menjaga kekhusyuan dan kenyamanan menjalankan ibadah puasa. Tapi kenyataan di lapangan kerap bertolak belakang, instruksi semacam itu malah menimbulkan ketegangan antara pedagang dan satuan pengamanan yang kadang bersikap berlebihan dalam melakukan penertiban.
Menanggapi fenomena ini, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah yang kini menjadi guru besar di IKIP Jogjakarta, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif berpendapat, seharusnya pemerintah daerah tidak perlu mengeluarkan instruksi yang melarang orang berjualan makanan dan minuman saat bulan Ramadhan. Konsep toleransi terhadap orang berpuasa sangat fleksibel, tidak bisa sekelompok orang melakukan tindakan sepihak yang akan berdampak mematikan usaha rakyat kecil, kata Syafi'i dalam bincang-bincang dengan eramuslim. Berikut petikannya;
Untuk menjaga agar umat Islam tidak terganggu dalam menjalankan ibadah puasa, satuan pengamanan di beberapa daerah cenderung bersikap destruktif dalam menertibkan pedagang yang berjualan makanan di tempat umum. Bagaimana Anda melihat kondisi ini dikaitkan dengan ajaran Islam?
Tidak bisa kita ketatkan, Islam itu kan sangat tergantung, sesuatu perbuatan itu bermanfaat atau tidak dengan dilihat dari berbagai pertimbangan baik buruknya. Saya tidak tahu apa sebenarnya yang menjadi pertimbangan dari satuan pengamanan melakukan itu.
Seharusnya mereka bisa menyadari rakyat kita kan tingkat kemiskinannnya tinggi, karena itu berilah kesempatan mereka untuk berjualan asal tidak mengganggu ketertiban dan jalan. Semestinya untuk mengeluarkan larangan ini dicari dulu modus yang tepat, jangan asal usir-mengusir saja.
Rakyat sudah cukup menderita sekali, mohon ini menjadi pertimbangan, jangan karena alasan perintah atasan lalu ditindak, sebaiknya ini didiskusikan dulu, bisa saja para pedagang ini memang mendapatkan kesempatan berdagang setahun sekali. Jadi harus ditertibkan dengan cara memberikan kesadaran kepada para pedagang, jangan sampai mengganggu ketertiban umum.
Bagaimana kalau para pedagang ini berjualan makanan di tempat umum, sementara di siang hari itu umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa. Perlukah menghormati sedemikian rupa orang yang sedang berpuasa, khususnya pada bulan Ramadhan?
Saya dihadapkan pada situasi yang dilematis, inikan rakyat kecil yang mungkin hanya mempunyai kesempatan pada bulan Ramadhan saja. Semua harus dicarikan jalan tengahnya, biarkanlah mereka berjualan asalkan tidak mengganggu publik yang mayoritas sedang berpuasa.
Perlukah dibuat semacam perda yang mengatur orang berdagang pada saat bulan Ramadhan, seperti yang sudah dilakukan di di beberapa daerah?
Saya harapkan kepada Pemda, ini jangan terlalu diperketat, jangan terlalu keras karena rakyat ini sudah miskin, beri mereka kesempatan tapi harus diingatkan saja, bukan dibuat aturan yang berupa perda, nanti ada hukuman berupa denda lagi, mereka ini sudah susah hidupnya.
Sebenarnya mengembangkan sikap toleransi kepada orang yang berpuasa itu seharusnya bagaimana?
Jelas menghormati orang berpuasa itu, ya, itu ada sopan santunnya. Dan bagi orang yang non muslim itu disesuaikan saja, boleh saja dia senantisa menjaga sikap itu. Saya baru saja menyelesaikan simposium bersama Negara-negara APEC, dalam acara itu disiapkan makanan yang banyak, karena dalam acara tersebut banyak juga yang non muslim. Saya menganggap itu tidak apa-apa, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Para pedagang ini ada yang berjualan sekali setahun, dan ada pula yang sehari-hari untuk melayani orang yang tidak berpuasa, ya tidak apa-apa. Asalkan kita saling menenggang rasa dalam hal ini. Untuk menghormati orang yang berpuasa, sebenarnya sederhana berjualan makan dengan ditutup dan jangan terlalu mencolok.
Beberapa daerah sudah menerapkan himbauan ini, apakah dengan adanya penertiban ini umat Islam nantinya tidak dicap meminta prioritas berlebihan dalam menjalankan ibadahnya?
Pandangan atau penilaian itu sangat tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Sebab belum tentu itu keinginan dari umat Islam, bisa saja dari Pemda. Kebijakan itu muncul karena Pemda memerlukan konstituen untuk memenangkan pilkada, itu bisa saja. Tapi saya tidak dapat meyakinkan kebenaran indikasi kepentingan politis itu seratus persen, karena harus melalui penelitian terlebih dahulu.
Bagaimana pandangan anda tentang konsep menghormati orang yang beribadah puasa dalam ajaran Islam?
Menurut saya menghormati orang yang berpuasa, orang yang tidak berpuasa harus bisa mengembangkan tepo seliro (tenggang rasa) dan itu sebenarnya sudah ada dalam kultur budaya kita sejak dulu, dan bagaimana sebaiknya itu harus diatur secara baik.
Idealnya seperti apa?
Idealnya para pedagang makanan ini tidak berjualan terlalu menyolok, jadi jangan menampakan diri secara demonstratif, mentang-mentang tidak berpuasa, beri kami kebebasan, jangan seperti itulah. Kita harus saling menghormatilah. Namun pada akhirnya ini tergantung pada kewenangan Pemda masing-masing, Pemda harus bisa mempertimbangkan dua sisi. Pedagang dipertimbangkan, orang yang berpuasa juga dihormati kenyamanan berpuasa.
Ramadhan tahun ini banyak propinsi sedang terkena musibah seperti Sidoarjo, apa himbauan anda?
Saya kira khusus kasus Lapindo ini terjadi karena kesalahan manusia, harus cepat-cepat diatasi, yang tenggelam sudah banyak sekali, tidak boleh dibiarkan berlama-lama. Sudah trilyunan rupiah uang dikeluarkan, tapi belum mampu ditangani. Manusia seharusnya sadar alam sudah beroposisi, manusia harus tergugah hati nurani terdalamnya untuk berbuat kebaikan terhadap bangsa dan sesama.
Tapi bagaimana ada kecenderungan sebagian orang menghadapi Ramadhan ini malah semakin konsumtif?
Saya kira itu pengkhianatan terhadap ruh puasa, itu pengkhianatan terhadap agama, walaupun mereka menjalankan puasa. (nofellisa)
Menghadapi Rencana Perceraian Orang Tua
Assalamualikum Wr. Wb.
Saya sedang sedih menghadapi rencana perceraian ortu saya yang sangat saya cintai. Belakangan ini memang puncak dari problem rumah tangga ortu kami. Ortu menikah sudah hampir 29 tahun, dengan pernikahan ini telah menghasilkan 5 orang anak yang telah menikah 4 orang termasuk saya, dengan cucu 3 orang. Sebenarnya ketidakcocokan hubungan ortu saya ini telah lama dirasakan, tetapi mereka berdua berusaha untuk mempertahankan karena alasan anak dan keluarga besar.
Saya mengalami pahitnya situasi hubungan yang tidak sehat antara mereka, mereka telah 4 tahun pisah ranjang. Tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan dengan keluarga dan anak-anak.
Sebelum saya menikah hubungan ortu selalu cekcok dan bermasalah. Ini karena saya memiliki ibu yang tidak bisa membawa keluarga terutama mendidik anak dengan prilaku yang lemah lembut. Ibu saya termasuk tipe yang keras hati dan kasar. Sebenarnya kami bersaudara merasakan kesedihan yang mendalam memilki ibu yang kurang memperhatikan keluarga. Ibu saya hanya mementingkan diri sendiri dan sibuk mencari uang. Jadi dia selalu merasa dirinya tinggi. Kami sekeluarga telah berulang kali memberi nasehat yang baik tetapi tanggapan ibu selalu kasar dan menolak.
Tetapi alhamdulillah kami memilki ayah yang sangat menyayangi anak-anak. Biarpun beliau sibuk dengan pekerjaannya beliau tidak pernah menelantarkan anak-anaknya. Perhatian dan komunikasi kami dengan ayah sangat dekat sehingga setiap permasalahan yang ada di keluarga, ayah selalu meminta pendapat anak-anak. Dan hari ini ayah saya tidak sanggup lagi menghadapi ibu yang cuek dan selalu membuat nama baik ayah saya rusak.
Terlalu rumit permasalahan ini diutarakan panjang lebar. Ayah meminta pendapat anak-anak untuk menghadpi tingkah ibu saya dengan menggugat cerai.
Muslimah
Jawaban
Assalammu'alaikum wr. wb.
Saudari Muslimah yang penyabar,
Semua anak tentu akan merasakan kesedihan sebagaimana yang anda rasakan ketika mengetahui orang tuanya hendak bercerai. Ya meski kehidupan kedua orangtua diwarnai oleh konflik, yang mungkin menyisakan juga kenangan pahit dalam jiwa anda, namun setiap anak cenderung menginginkan agar orang tuanya selamanya bersatu.
Saya sendiri menyayangkan seandainya 29 tahun usaha yang dilakukan mereka untuk tetap bersama harus diakhiri dengan perpisahan, karena itu waktu yang lama dalam membina hubungan rumah tangga. Memang konflik yang berkapanjangan merupakan penjara dan neraka bagi setiap pasangan dalam rumah tangga, namun untuk keluar dari situasi tersebut tentu tidak selalu harus dengan melarikan diri atau memutuskan semuanya.
Saran saya sebelum ayah anda memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai, mungkin dapat memberikan alternatif lain dulu dengan mendatangi konselor pernikahan. Dalam sudut pandang anda dan ayah bahwa sumber masalah selama ini adalah perilaku ibu, jika demikian berarti ibu anda punya masalah. Mungkin seluruh keluarga sudah mencoba untuk selalu memperbaikinya, tapi pernahkah melibatkan orang selain keluarga? Mungkin pandangan objektif orang lain dapat membuat ibu anda lebih bisa menerima apa yang harus diperbaiki dalam rumah tangga ini dan juga dari dirinya.
Sebagai anak memang kita cenderung hanya bisa menerima keputusan orang tua, karenanya tak perlu menyalakan diri sendiri ketika usaha untuk mempertahankan pernikahan orang tua ternyata tidak berhasil. Dengan kedewasaan yang anda miliki saat ini nampaknya anda pun sudah dapat lebih memahami situasi yang terjadi, apalagi sekarang anda juga sudah berkeluarga. Anda tentu dapat ikut berempati terhadap apa yang dirasakan oleh orang tua anda.
Pada akhirnya orang tua punya hak untuk menentukan jalan hidup dan kebahagian mereka setelah selama ini berkorban untuk anak-anaknya. Jadi keputusan apapun terimalah dengan lapang dada sembari berdoa bahwa itu yang terbaik bagi mereka. Demikian tanggapan saya semoga bernilai untuk anda dan teriring doa untuk anda sekeluarga agar selalu dalam rahmat-Nya. Wallahu'alambishshawab.
Wassalammu'alaikum wr. wb.
Selasa, Oktober 10, 2006
Tak Punya Arah Hidup
Assalammualaikum wr. wb.
Saya benar-benar merasakan kebingungan di saat ini. Di usia yang sudah tidak lagi muda, 26 tahun, di mana sebagian teman-teman saya sudah mempunya pendamping hidup tetapi saya masih sendiri. Terkadang saya sangat iri melihat orang lain yang maaf jauh di bawah saya tetapi sudah mempunyai suami.
Saya benar-benar merasa kesepian yang amat sangat, tanpa teman dan sanak famili di Jakarta, terkadang ingin saya mengakhiri hidup, tapi saya takut masuk neraka and membuat malu kedua orang tua saya.
Bahkan sampai saat ini, sudah 4 bulan mantan saya menikah (PW) tapi saya masih belum mampu melupakannya, belum bisa menerima pernikahannya dan masih mencintainya, masih mengejar-ngejarnya. Saya tau saya salah dan dosa tapi perasaan saya sangat sulit untuk dikontrol.
Tolonglah apa yang harus saya lakukan? Saya bener-benar sudah tidak tahu lagi sebenarnya untuk apa dan untuk siapa saya hidup.
Bahkan jika saya sedih saya sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, perasaan saya benar-benar sudah mati rasa.
DS
Jawaban
Assalammua'alaikum wr. wb.
Saudara DS yang sholehah,
Memang sedih rasanya jika keinginan begitu kuat untuk menikah namun jodoh yang ditunggu belum juga hadir. Sebenarnya wajar bagi wanita yang sudah melewati usia 25 tahun mulai semakin gelisah menantinya, apalagi jika banyak kawan baik seusia maupun di bawahnya sudah melangkah lebih jauh dalam pernikahan. Namun nampaknya terlalu cepat jika sekarang anda sudah merasa putus asa mengharapkan pendamping hidup. Harapan dan waktu anda masih cukup panjang di pertengahan 20-an, jika mau melihat betapa banyak wanita lain yang baru mendapatkan jodoh di usia yang jauh lebih tua dari anda.
Saya memahami mungkin anda merasa kesepian dan ditinggalkan karena satu demi satu kawan dekat anda memiliki pendamping, mungkin ini yang membuat anda jadi berputus asa karena merasa sendirian. Apalagi nampaknya anda pun belum lama ditinggalkan mantan kekasih sehingga semakin terasa kehilangan yang dirasakan.
Mbak Ds yang baik, Saat kita merasa sendirian memang dunia rasanya jadi demikian sempit. Cobalah untuk mengingat hal-hal yang dapat membuat anda merasa senang, mungkin berbelanja, jalan-jalan atau membaca novel. Manjakanlah diri anda sejenak dari rutinitas pekerjaan sehari-hari untuk memberikan sebuah semangat baru dalam diri anda.
Ajaklah keponakan atau tetangga yang bisa diajak untuk berbagi, terkadang memberi dan menyenangkan orang lain, meski bukan keluarga kita, dapat membuka hati dan membuat kita merasa berguna dan bernilai. Karena itu di antara kesedihan yang dirasakan saat ini janganlah membiarkan diri larut karena perasaan sedih dapat menipu jiwa sehingga membuat kita memandang dunia dengan pandangan terbatas.
Saat anda menikmati hidup dan memiliki semangat menjalaninya maka jiwa anda akan terasa lebih lapang dan lebih optimismemandang masa depan. Kemudian agar tidak merasa sendiri maka perluaslah pergaulan dengan aktif dalam kegiatan sekitar yang positif. Meski keinginan menikah demikian kuat, sebaiknya jangan terlalu memfokuskan diri hanya pada titik itu, tingkatkan terus kualitas diri dan kehidupan anda.
Sambil melakukan perbaikan diri dan menikmati kehidupan anda maka anda bisa bersikap aktif mencari pendamping seperti mehgikuti biro jodoh Islami atau meminta orang tua atau kenalan baik untuk mencarikannya untuk anda. Bersikap tenanglah dalam hal ini dan jangan putus asa karena jika saatnya tiba maka andapun siap membina keluarga dan menjadi isteri yang trampil dan sholeha. Amin. Wallahu 'alam bishshawab.
Wassalammu'alaikum wr. wb.
Rr. Anita W.
Senin, Oktober 09, 2006
Bukan Nasehat Untuknya
Oleh Yon's Revolta
Beberapa waktu lalu saya menengok seorang teman muslimah yang mendapatkan musibah kecelakaan. Sewaktu saya tengok di sebuah rumah sakit, saya lihat dari kejauhan lukanya lumayan parah di mukanya. Setelah beberapa lama dan ngobrol dengan kawan-kawan yang sudah duluan berada di sana, saya mengetahui penyebab kecelakaan itu. Gamis panjangnya nyangkut di roda belakang motor sehingga menyebabkannya terlempar dan jatuh di aspal jalan.
Setelah saya pulang dari menengoknya, saya menulis pesan singkat ke sebuah forum yang di sana banyak para muslimah. Saya menulis dan berpesan kepada para muslimah untuk berhati-hati dalam mengendarai motor, terutama dalam kasus tadi. Hati-hati dengan gamis yang panjang. Jangan sampai kejadian yang menimpa teman muslimah saya tadi terulang di kemudian hari.
Beberapa hari kemudian….
Saya bangun untuk mencari makan buat sahur. Hari masih gelap. Kebetulan saya menginap di pusat komputer kampus. Untuk mendapatkan makanan untuk sahur, saya berjalan mencari makan di sepanjang jalan kampus. Tiba-tiba handphone berbunyi, dan setelah saya buka, ternyata dapat bonus telpon sebesar Rp 10.000, lumayan pikirku sambil masih asik memencet-mencet tobol handphone.
Saat asik itulah tiba-tiba sebuah motor menabrakku dari arah belakang dan saya terlempar.
Saya merintih, mengerang kesakitan, tak bisa berjalan. Hampir pingsan, mata saya terasa berkunang-kunang dan perut mual hampir muntah. Hanya ada beberapa orang yang sedang berada di jalan itu. Kemudian, setelah mendapatkan sedikit pertolongan, saya diantar oleh sang pengendara motor tadi untuk pulang ke kos. Di kos saya hanya bisa menahan rasa sakit.
Setelah agak baikan saya berpikir. Kok bisa saya dengan tiba-tiba tertabrak motor dari belakang. Apa jalan saya terlalu ketengah. Atau karena waktu itu masih gelap sehingga sang pengendara motor tak melihat saya. Ah saya tak tahu. Yang saya tahu, sekarang saya terbaring tak berdaya, tidak bisa berjalan. Hanya bisa menahan rasa sakit saya. Sampai saat saya menulis catatan ini, kaki saya masih susah untuk berjalan. Pada akhirnya hanya hikmah yang bisa saya petik dari semua ini.
Ternyata itu “Bukan Nasehat Untuknya”.
Ya, kejadian yang saya ceritakan di awal. Tentang kisah kecelakaannya seorang muslimah teman saya tadi, ternyata menimpa saya juga walau dengan kasus yang berbeda. Kisah kecelakaannya seorang muslimah itu ternyata sebuah nasehat untukku. Dari sini saya kemudian merenungkan makna yang lebih luas yang bisa saya petik dari kejadian tersebut. Dalam kejadian-kejadian atau musibah yang menimpa saudara kita ternyata ada benang merahnya. Setidaknya, sebelum menunjuk ke orang lain, saya belajar untuk berkaca pada diri sendiri dulu. Menyuruh para muslimah untuk berhati-hati, eh malah saya yang kemudian tertimpa musibah.
Kawan, begitulah kisah yang bisa saya bagikan hari ini. Semoga saya dan kita semua yang mungkin sering memberikan petuah-petuah dan nasehat kebaikan kepada orang lain. Tentang nilai-nilai Islam, ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah atau kebaikan lainnya, semoga kita juga tak hanya sekedar berpetuah, tapi juga melaksanakan petuah-petuah dan nasehat-nasehat itu. Sehingga kita tak melulu menebar petuah kebaikan tetapi juga melaksanaknnya. Harapan akhirnya, agar kita semua bisa selamat. Di dunia maupun di akhirat. Semoga. (yon’s revolta)
~Snow Man Alone~
Purwokerto, Awal Oktober 2006
Untuk kawan-kawan KAMMI, IMB dan FLP di manapun berada,
Semoga puasa kali ini membawa perubahan menuju lebih baik atas diri dan masyarakat sekitar kita. Amien.
Tarawih Berjama'ah Cepat v.s. Munfarid Khusyu'
Assalamu'alaikum,
Saya adalah pengikut shalat tarawih 20 rakaat. Di lingkungan saya tinggal tarawih juga dilakukan 20 rakaat, tapi hampir semuanya melaksanakan tarawih dengan cara yang cepat, sehingga saya sebagai makmum tidak dapat tenang dalam shalat apalagi khusyu'. Sedangkan saya lebih suka jika sholat itu dilakukan dengan tenang sehingga bisa paling tidak mendekati khusyu'.
bagaimana seharusnya pak ustadz, apakah saya sebaiknya mengutamakan tarawih yang berjamaah tapi hanya mengejar sahnya saja ataukah tarawih munfarid tetapi bisa mengupayakan kekhusyukan shalat saya?
Hery
bagong at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya kalau anda mau, Anda bisa melakukan keduanya sekaligus. Pertama, anda ikut tarawih berjamaah yang 'cepat', lalu kedua anda shalat sendirian yang menurut anda lebih khusyu'.
Mengapa kami anjurkan anda ikut tawawih yang cepat? Ada beberapa alasan. Antara lain meski pun tarawih itu cepat, biar bagaimana pun tetap berpahala. Selain juga dapat pahala berjamaah, silaturrahim dan menghidupkan atau mensyiarkan Ramadhan dengan tarawih berjamaah. Dan umumnya para ulama mengatakan yang lebih afdhal dilakukan dengan berjamaah di masjid bersama-sama dengan satu imam yang baik bacaannya.
Itulah shalat tarawih yang dilaksanakan di masa khalifah Umar bin Al-Khattab dan menjadi ijma' para shahabat.
Namun anda bisa tetap shalat dengan khusyu' dengan cara shalat sendirian setelah tarawih yang 'cepat' itu, boleh dengan niat tarawih atau tahajjud. Kalau anda lakukan sebelum tidur, maka shalat itu disebut tarawih. Kalau dilakukan setelah bangun tidur, namanya tahajjud.
Anda tidak perlu risau dengan jumlah rakaatnya, sebab di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin di Madinah melakukan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat.
Menurut para ulama, tidak menjadi masalah dengan jumlah rakaat dan biasanya diseimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kalau rakaatnya panjang, maka jumlahnya lebih sedikit. Tetapi kalau rakaatnya pendek-pendek, maka jumlahnya diperbanyak. Jadi 8 rakaat, atau 20 rakaat atau 36 rakaat, tidak jadi masalah. Semua ada dalilnya, tinggal para ulama berbeda pendapat mana yang jadi pilihan mereka.
Kalau anda niatkan untuk shalat tahajjud, juga boleh-boleh saja. Sebab haditsnya juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat tahajjud di bulan Ramadhan dan juga di luar Ramadhan.
Memang ada sementara kalangan ulama yang berpandangan bahwa tarawih itu adalah tahajjudnya Ramadhan. Namun umumnya para ulama umumnya tetap membedakan keduanya. Artinya, shalat tarawih dan tahajjud adalah dua ibadah yang terpisah, berbeda dan masing-masing berdiri sendiri.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Negara Islam Indonesia
Assalamualaikum wr. wb.
Apa kepentingan kita untuk mendirikan syariat Islam dalam negara? Tentunya untuk melindungi umat Islam, berjihad fiisabilillah. Dari fakta yang ada, dan kesadaran penuh untuk menelaah dan meneliti bahkan menjadi suatu ilmu dari sejarah. Karena dalam Al-Quran sejarah merupakan pengulangan alur kehidupan manusia.
Dari sejarah yang saya baca tentang NII Kartosuwiryo saya menemukan keprihatinan pemerintahan pada saat itu, dan khususnya umat muslim. Kenapa tidak, orang yang punya cita-cita menegakan syariat Alloh SWT tetapi ditolak, difitnah bahkan diperangi. Memang itu adalah sunnatulloh, di mana ada yang haq maka yang batil selalu merong-rong.
Pak ustadz, saya hanya ingin bertanya satu hal saja, dari pemahaman tauhid yang saya dapat tentang mulkiyahtulloh (kerajaan Alloh SWT yang ada di langit dan di bumi). Manusia sebagai wali Alloh SWT di muka bumi wajib menegakan mulkiyahnya.
Setelah mengetahui adanya harokah yang berjuang fiisabilillah seperti NII Kartosuwiryo baik yang dahulu atau yang sekarang, sikap apa yang terbaik dari kita, atau langkah apa yang akan kita lakukan setelah mengetahuinya? Jazakalloh.
Dedi Kurniawan
terrorstudio at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu;alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Menegakkan syariah Islam itu adalah kewajiban setiap individu muslim, baik pada dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, lingkungannya, wilayahnya bahkan hingga negara dan kumpulan dari negara-negara (khilafah).
Yang berjuang untuk menegakkan syariat Islam dari umat ini sangat banyak, salah satunya Kartosuwiryo. Tetapi tentu saja beliau bukan satu-satunya yang bercita-cita melakukannya. Setiap elemen umat ini pasti punya putera-putera terbaiknya yang tidak bisa dipungkiri peran dan sumbangsihnya dalam rangka menegakkan syariat.
Adalah keliru kalau kita beranggapan bahwa menegakkan syariah Islam hanya merupakan kewajiban segelintir orang saja atau satu dua kelompok saja. Sebagaimana juga keliru kalau kita mengatakan bahwa menegakkan syariat itu hak eksklusif tokoh tertentu, sehingga siapapun yang ingin menegakkan syariah, harus menjadi pengikut tokoh tersebut. Tidak boleh berada di luar perintahnya.
Seharusnya, siapa pun yang pernah mempelopori penegakan syariah, membuka diri seluas-luasnya dan mengajak semua elemen umat untuk bersama-sama berjuang. Bukannya malah menghalangi kiprah saudaranya hanya sekedar demi mendapatkan pengakuan.
Sebab menegakkan syariah di sebuah negara adalah proyek maha raksasa, tidak mungkin habis dikerjakan sendirian. Kelompok-kelompok Islam yang selama ini nyaring menyuarakan penegakan syariat Islam pasti tidak akan mampu mengangkut beban itu sendirian. Perlu dukungan yang jauh lebih luas lagi dari semua elemen umat.
Satu dan dua ormas Islam terbesar di negeri ini pun belum tentu mampu menegakkan syariah, kalau tidak dibantu oleh semua pihak.
Karena itu pastilah kita sedang bermimpi bila membayangkan syariat Islam bisa tegak di negeri ini, manakala kita masih belum siap berbagi, bertaaruf, berhimpun dan bersinergi dengan semua lapisan umat.
Setiap lapis umat ini pasti punya potensi yang belum tentu dimiliki oleh lapisan yang lainnya. Sementara problematika dan tantangan umat ini sangat banyak dan plural. Baik masalah ekonomi, pendidikan, kesejahteraaan, penegakan hukum, pemerataan, pengembangan potensi SDM, pengolahan dan pengelolaan sumber daya alam, kemajuan dan terobosan di bidang teknologi, sampai urusan yang kelihatan sepele tapi ternyata sangat penting, misalnya urusan mengelola sampah da limbah.
Semua masalah itu harus ada solusinya secara syariah. Mustahil kita mengatakan bahwa kita bercita-cita menegakkan syariah, kalau semua detail masalah itu tidak mampu kita jawab dengan solusi syariah.
Memilihi kekuasaan memang salah satu kunci tegaknya syariah. Akan tetapi kekuasaan bukan satu-satunya kunci tegaknya syariah. 13 tahun Rasulullah SAW berdakwah di Makkah, sangat jauh dari kekuasaan. Baru setelah di Madinah selama 10 tahun beliau menegakkan syariah dengan dibackup kekuasaan. Artinya, separuh dari masa tugas nabi sebagai penegak syariah dilewati tanpa kekuasaan.
Oleh karena itu, keliru rasanya ketika kita mengatakan bahwa untuk menegakkan syariah hanya bisa dilakukan semata-mata bila kekuasaan ada di tangan. Sebagaimana juga keliru orang yang berpikiran bahwa penegakan syariah itu tidak memerlukan kekuasaan.
Penyebaran dakwah, peningkatan mutu majelis taklim, penyebaran buku syariah berbahasa Indonesia, masuknya materi syariah ke dalam kurikulum pendidikan nasional, pendidikan syariah kepada semua pejabat negara, tentara, birokrasi, profesional, juga termasuk penetrasi para ahli syariah ke dalam dunia usaha, bisnis dan ketatanegaraan, bahkan ke lembaga perwakilan rakyat, adalah contoh-contoh kecil langkah yang sangat mutlak harus dikerjakan.
Tidak mungkin syariah bisa tegak kalau hanya disampaikan hanya di masjid dan pesantren saja. Materi syariah harus masuk ke barak-barak militer, asrama kepolisian, komplek TNI, kantor-kantor pejabat, kampus, sekolah umum, sekolah kedinasan, rumah sakit, istana presiden, televisi, radio, multimedia, buku, majalah, koran dan internet.
Pendeknya, di mana ada komunitas manusia, di situ harus ada akses ke ilmu syariah. Agar syariah tidak menjadi barang asing yang ditabukan orang. Cita-cita penegakkan syariah hanya tinggal ilusi bila semua itu belum diprogramkan secara intensif dan profesional.
Bagaimana rakyat dan pemerintah mau menjalankan syariah, kalau mereka masih takut, asing dan fobi terhadapnya? Bagaimana para wakil rakyat mau membuat undang-undang yang sejalan dengan syariah kalau mereka buta syariah? Bagaimana presiden mau mendukung penegakan syariah, kalau cara pandangnya terhadap syariah masih absurd? Dan bagaimana syariah bisa tegak di tengah masyarakat kalau masyarakatnya menolak syariah?
Karena itu peran serta semua pihak sangat mutlak dalam menegakkan cita-cita bersama yaitu penegakan syariah.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu;alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Pengelompokan Ayat-Ayat dalam Al-Qur'an
Assalamualaikum wr. wb.
Ustadz, mohon pencerahan. Bagaimana sih sistem pengelompokan ayat-ayat di dalam al-Qur'an? Misalnya mengapa ayat ini dimasukkan ke dalam surat ini. Setahu saya, ayat-ayat itu diturunkan kepada Rasululloh tidak serempak dan berurutan seperti yang kita baca juz per juz saat ini. (maafkalau saya keliru). Kalau bisa mohon dijelaskan pula sejarahnya. Jazakallah.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ummu Biyyu
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebenarnya sebelum diturunkan ke muka bumi, Al-Quran adalah kitab yang sudah jadi dan eksis sebelumnya. Para ulama menjelaskan bahwa paling tidak Al-Quran mengalami dua kali masa turun.
Pertama, turun dari Lauh al-Mahfudz ke langit dunia. Ini terjadi pada Lailatul Qadar, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan.Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadar: 1-5)
Dalam proses turun yang pertama ini, Al-Quran turun sekaligus, tidak sepotong-sepotong.
Kedua, turun dari langit dunia kepada Rasulullah SAW dengan berangsur-angsur. Selama masa 23 tahun lebih beliau SAW secara rutin menerima turunnya ayat Al-Quran.
Berbeda dengan proses pertama yang turun sekaligus, pada kali yang kedua ini, Al-Quran diturunkan secara acak dan sepotong-sepotong. Tidak urut dari Al-Fatihah, Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa' dan seterusnya hingga An-Naas, tetapi diturunkan berdasarkan kebutuhan.
Hanya yang perlu dicatat, pada setiap potongan ayat turun, Rasulullah SAW selalu memberikan penjelasan bahwa posisi ayat itu di dalam Al-Quran adalah para surat tertentu, bahkan sampai keterangan urutannya pada sebelum ayat apa dan sesudah ayat apa.
Sehingga kalau anda bertanya, atas dasar apakah ayat-ayat itu dikumpulkan dan dikelompokkan? Jawabnya, ayat-ayat itu disusun sesuai dengan Al-Quran yang asli di Lauhil Mahfuz dan di langit pertama. Jibril 'alaihissalam dahulu menurunkannya satu per satu sesuai dengan perintah Allah, namun sambil membawa juga 'kode-kode alamat' tiap ayat itu. Sehingga ketika dikumpulkan, otomatis dengan mudah bisa tersusun lagi seperti versi yang masih ada di langit.
Ada banyak hikmah mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, di antaranya:
- Agar mudah dihafal
- Agar mudah dipelajari dengan mendalam
- Agar punya kesan tersendiri karena merupakan refleksi atas setiap kejadian di masa itu
- Sebagai jawaban hukum atas permasalahan yang timbul
Maka seluruh umat Islam telah berijma' ketika menyusun kembali tiap potong ayat sehingga menjadi mushaf yang ada sekarang ini. Dan dijamin bahwa urusan dan pengelompokannya sudah sama dengan apa yang ada di lauhil mahfudz.
Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Batalkah Puasa Jika Masih Makan atau Minum Saat Masuk Waktu Imsak?
Ass. Wr. Wb.
Pak ustadz, batalkah puasa kita jika pada saat masuk waktu imsak kita masih makan atau minum? Mohon penjelasannya serta dalil yang berkaitan dengan hal tersebut.
Wass. Wr. Wb.
Rina Juwita
r_juwita at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penggunaan istilah 'imsak' yang kita kenal sekarang ini sebenarnya kurang tepat, sebab makna imsak sesungguhnya adalah menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa. Bukan persiapan untuk memulai puasa beberapa menit menjelang masuknya waktu shubuh.
Imsak itu adalah puasa, bukan bersiap-siap untuk puasa. Tetapi ada beda antara puasa dan imsak. Misalnya, seorang yang secara sengaja membatalkan puasa tanpa alasan atau udzur syar'i, meski puasanya sudah batal, dia tetap wajib imsak. Maksudnya, dia tetap wajib menahan diri dari makan dan minum layaknya orang puasa. Puasanya tidak sah, tetapi tetap wajib imsak. Itulah beda antara puasa dan imsak.
Sedangkan istilah 'imsak' dalam pengertian yang sering kita dapati sekarang ini, justru pengertiannya yang kurang tepat. Sebab tidak ada ketetapannya dari nabi SAW untuk berhenti dari makan dan minum beberapa menit (biasanya 10 menit) sebelum masuknya waktu shubuh.
Bahkan Al-Quran dengan tegas menyebutkan batas waktu mulai puasa itu memang sejak terbitnya fajar. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah: 187)
Maka asalkan belum masuk waktu shubuh, kita masih boleh makan, minum dan melakukan hal-hal lainnya. Tidak ada ketentuan kita sudah harus imsak sebelum masuknya waktu shubuh. Sebab batas mulai puasa itu bukan sejak 'imsak', melainkan sejak masuknya waktu shubuh.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Jumat, Oktober 06, 2006
Bergembirakah Kita dengan Ramadhan?
Oleh Sus Woyo
Perjalanan hidup yang terus berguncang-guncang, cita-cita yang nyaris jauh dari keberhasilan, banyaknya masalah yang saya alami setiap kali bulan puasa datang, membuat ada rasa trauma setiap kali Ramadhan hadir di tengah-tengah saya. Sehingga saya menyikapi Ramadhan sebagai sebuah bulan yang tidak menyenangkan bagi saya. Sebab kala itu, ada saja kesusahan yang datang menyapa.
Saya pernah sangat iri dengan teman atau banyak orang di lingkungan saya yang begitu gembira setiap kali Ramadhan datang. Saya tak tahu, apa yang mendasari mereka, sehingga bisa bersikap dan bertindak seperti itu.
Setiap Ramadhan hadir menyapa kita, telinga saya selalu digelitik oleh para Da’i baik lewat ceramah ataupun lewat buletin-buletin dakwah. Bahwa sebagai seorang muslim yang mu’min, tentu akan sangat gembira dengan datangnya bulan agung ini.
Saya bertanya kepada diri sendiri, kegembiraan yang seperti apa ya? Kenapa aku justru sangat gelisah setiap kali memasuki Ramadhan? Saya mencoba menyiasati kalimat yang berdasarkan sabda Rasul itu.
Lewat pengalaman hidup yang begitu panjang, saya bisa mendapat pencerahan dari hal-hal yang berkaitan dengan bulan agung itu. Ternyata selama bertahun-tahun, saya memandang kehadiran Ramadhan seperti layaknya bulan-bulan yang lain. Artinya biasa-biasa saja. Saya ternyata tak begitu serius menyambut Ramadhan dengan sepenuh hati dan jiwa dengan napas ruhani yang kental.
Berkat sering berdekatan dengan teman-teman saya yang paham dengan Islam, saya agak sedikit paham dengan kehadiran bulan suci itu. “Sudah selayaknya kita bergembira denga datangnya bulan berkah ini. Bahkan jika tidak gembira, maka status ke-Islam-an kita perlu dipertanyakan.”
Begitulah isi sebuah bulletin dakwah yang saya temukan di dekat sebuah masjid kampus. Beberapa waktu kemudian, seorang teman menyodorkan kepada saya sebuah kertas yang bertuliskan nasehat Rasulullah SAW menjelang Ramadhan, yang diriwayatkan Ibnu Huzaimah.
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah yang membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.
Inilah bulan ketika kamu di undang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu menjadi ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan puasa dan membaca kitab-Nya.”
Dari sepenggal hadits itu saja, memang sudah selayaknya kita amat gembira dengan datangnya Ramadhan. Sebab betapa banyaknya kemuliaan yang dihamparkan oleh Allah. Jika kita menghitung pahala dari-Nya secara matematis, maka tak ada mesin hitung hasil teknologi manusia manapun yang sanggup menghitungnya.
Jadi mau apalagi yang kita cari di dunia ini? Maka di Ramadhan tahun inipun, saya juga mencoba untuk terus gembira, sebab saya masih diberi kesempatan oleh Allah untuk ikut mengais kemuliaan di bulan agung ini.
Tentu bukan kegembiraan khas anak kecil yang bersorak-sore, karena makan kolak dan main kembang api setiap kali bedug berbuka puasa berbunyi, tapi kegembiraan dalam koridor syari’at yang diimbangi dengan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT. Karena dengan rasa itu semua, kita akan dijauhkan dari api neraka. Pendek kata, kita akan mendapat ampunan dari-Nya. Bukankah Rasulullah telah bersabda begitu?
***
Purwokerto, Sept 06