Kamis, Januari 25, 2007

Jepang, Muslim, Indonesia dan Amanah

Suasana gerbong kereta Hibiya Line di siang hari terasa lenggang. Tak sepadat pagi ataupun sore hari yang merupakan rushhour bagi pegawai kantor. Tampak di gerbong sebelah, seorang penumpang pria Jepang setengah baya dengan pakaian jas lengkap, berdiri. Terlihat sesekali matanya memperhatikan dari jauh.

Risih rasanya dipandangi, reflek saya membetulkan letak hijab serta baju panjang, khawatir terpasang miring ataupun tersingkap. Tanpa disangka tiba-tiba pria tersebut mendekati dan bertanya. "Sumimasen, Indonesia-jin desuka, musurimu desuka...." (Maaf, Orang Indonesia...? Muslim...?). Kira-kira seperti itu pertanyaannya. Dengan kaku kepala saya berusaha menggangguk dan balik bertanya. "Iya, betul, ada yang aneh dengan penampilan saya?"

Seolah kaget, menyadari tindakannya yang kurang sopan, pria setengah baya tersebut langsung membungkukkan badan berkali-kali sambil meminta maaf.

"Saya Kakeuchi, saya suka Indonesia, suka Islam." Pria setengah baya tadi tiba-tiba menyebutkan nama dan berusaha membuka percakapan. Tanpa diminta, ia bercerita bahwa pernah ditempatkan menjadi direktur di salah satu cabang perusahaan di Indonesia. Selain tertarik dengan keindahanan dan keramahan Indonesia, ia pun tertarik dengan Islam. Ia mengatakan bahwa ajaran Islam itu indah dan sangat sesuai dengan jiwa orang Jepang yang disiplin.

Sayang, ketika berhadapan dengan beberapa pegawainya yang muslim Indonesia, ia merasakan jiwa Islam tidak masuk di sana. Ia merasakan adanya 'gap' antara ajaran Islam yang indah dengan kenyataan prilaku beberapa pegawainya.

Kekeuchi-san, begitu saya memanggilnya, mengatakan beberapa muslim di Indonesia kadang sulit dipercaya dan sulit menjalankan tanggung jawab. Ada saja alasan yang dibuat untuk mengulur-ngulur pekerjaan. Belum lagi, kerepotan yang dialami jika pegawai yang diberikan tugas, tiba-tiba resign, tanpa sempat takeover pekerjaan.

Padahal, menurut buku Islam yang ia baca, seorang muslim harus menjalankan amanah dengan baik. Di mana amanah tidak dikotak-kotakan menjadi sesuatu hal yang sempit, yaitu pekerjaan besar–pekerjaan kecil, amanah besar-amanah kecil. Tapi dilihat dari substansi amanah itu sendiri yaitu tanggung jawab.

"Bukankan pekerjaan itu sama dengan amanah...?" ucapnya sambil melirik ke arah saya, seolah meminta jawaban.

Tiba-tiba diajukan pertanyaan seperti itu, saya sedikit tersentak. Pikiran melayang, mengingat-ngingat kembali pengalaman ketika masih bekerja di salah satu perusahaan Jepang di Indonesia. Pegawai yang tiba-tiba resign, tanpa sempat menyelesaikan amanah yang diberikan memang cukup sering terjadi dan menjadi hal yang biasa. Tentu saja ini merepotkan, tidak hanya bagi satu orang tapi juga bagi beberapa orang yang bekerja bersama-sama dalam satu tim.

Betul, pekerjaan sama dengan amanah. Di mana wujud sikap amanah adalah tanggung jawab. Pertanggungjawaban di dunia adalah dengan menunaikan kewajiban yang diberikan. Baik itu berupa tugas, pekerjaan ataupun titipan, tanpa melihat besar atau kecilnya pekerjaan tersebut. Sedangkan pertangungjawaban di akhirat melaui hisab yang telah ditetapkan ukurannya.

Wajar jika Kakeuchi-san kecewa pada beberapa pegawai muslim Indonesia yang tidak bisa menjalankan amanah, seperti ceritanya di atas. Karena amanah adalah salah satu karakter seorang muslim. Di mana seorang muslim dituntut memiliki sikap amanat dan menjauhi sikap khianat. Seperti nasihat Rasulullah dalam HR Abu Daud. "Tunaikan amanah pada orang yang memberikan amanah padamu dan jangan khianati..."

Saya berusaha meresapi obrolan Kakeuchi-san dan bertanya-tanya dalam hati. Sudahkan saya menjalankan amanah dengan baik? Hmm... Ada rasa sesal ketika mengingat, masih ada beberapa tanggung jawab yang terabaikan. Padahal saya seorang muslim. Dan tahu akan beratnya amanah.

***

Tanpa terasa kereta tiba di stasiun tujuan. Saya berpamitan sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas obrolannya sepanjang perjananan. Dan juga terima kasih atas 'tegurannya' melalui sebuah pertanyaan tentang amanah.

Semoga, dari obrolan tersebut saya dapat ber-muhasabah. Berusaha menjadi seorang muslim Indonesia yang baik. Yang bisa dipercaya. Yang tidak mengecewakan orang-orang yang telah memberikan amanah. Hingga suatu saat, orang-orang di sekitar saya, termasuk orang Jepang akan berkata, "Saya suka Indonesia, saya suka Islam. Muslim Indonesia dapat dipercaya."

Insya Allah.

Catatan:
Hibiya Line = Salah satu jalur kereta api di daerah Tokyo, Jepang.

Tidak ada komentar: