Kamis, Maret 15, 2007

Guru Terbaik

Oleh Sus Woyo


Suatu sore, seorang lelaki 40-an, datang ke rumah saudara saya. Wajahnya agak muram. Sebuah tas tak terlalu besar, dizinjingnya. Kepada kami, ia berpamitan, bahwa ia akan pergi bekerja di Arab Saudi lagi.

Ia termasuk TKI sukses. Kemiskinan yang pernah melanda dirinya dan keluarganya, bisa teratasi dengan menjadi buruh migran di arab Saudi. Tak hanya setahun dua tahun, tapi hampir sepuluh tahun, suami isteri itu merantau. Kedua anaknya dititipkan kepada orang tuanya di kampung.

Dalam hati saya terkejut, mendengar ia akan berangkat lagi. Setahu saya, ia sudah cukup berhasil dari usahanya sebagai seorang TKI di luar negeri. Hasil mengais rejeki di negrinya raja Fadh bersama sang isteri, menurut pandangan saya, sebenarnya sudah bisa untuk menata usaha di negerinya sendiri.

Lantas, apakah yang mendasari dia untuk berangkat merantau lagi? Masih kurangkah dengan harta dan fasilitas yang sudah melimpah? Atau adakah permasalahan lain yang mendasari dia sehingga ia harus cepat-cepat kembali ke negri seberang?

Saat hampir semua penduduk kampung kami masih asing dengan parabola, ia sudah mampu membeli barang tersebut. Saat rumah-rumah yang lain masih berdinding bambu dan berlantai tanah, rumah dia sudah berdinding tembok bagus dengan lantai keramik, TV-nya besar, sehingga banyak orang di sekitarnya sering menonton televisi di rumahnya.

Anaknya di sekolahkan di kota, dengan fasilitas yang cukup memuaskan untuk ukuran orang-orang desa seperti kami. Untuk melancarkan aktifitas sang anak, tak segan-segan ia membelikan motor. Uang saku tentunya juga lebih dari cukup jika dibanding dengan yang lain.

Suatu saat ia pernah mengatakan bahwa ia ingin kedua anaknya sukses. Ingin menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang setinggi-tingginya. Jadi apapun yang dibutuhkan sang anak, sebagian besar terpenuhi. Saat ia masih tinggal di Arab Saudi, kiriman berupa uang tak pernah terlambat. Asal untuk kepentingan sekolah anaknya, mereka tak pernah menundanya.

Dua anaknya tumbuh menjadi sosok yang serba enak. Hampir semua fasilitas dan kemudahan ia dapatkan dari orang tuanya hasil dari jerih payahnya mengucurkan keringat di negri orang. Kepergiannya sebagai ‘buruh migran’, tentunya, tak lain dan tak bukan adalah karena terdorong keinginannya agar anak-anaknya lebih sukses menapaki hidup, tidak seperti bapak ibunya di masa kecil.

Beberapa waktu lalu, laki-laki dan isterinya itu, diberitahu agar pulang sebentar ke kampung halaman. Ada sesuatu yang perlu diselesaikan dan harus melibatkan keduanya. Tanda tanya besar, tentunya menyelimuti pasangan tersebut.

Dan ternyata, mereka merasa sangat kecewa dengan apa-apa yang telah di lakukan oleh kedua anaknya yang semuanya laki-laki. Harapannya yang sangat besar atas sesuatu yang diidamkan, tak bisa dilaksanakan dengan baik oleh kedua anaknya.

Motor, yang oleh orang tuanya dibelikan sebagai sarana untuk memudahkan dan melancarkan aktifitas, ternyata tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Uang, yang setiap bulannya tidak pernah kekurangan, juga tak bisa digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pergaulannya makin tak karuan, dan tak bisa dibendung oleh saudara-saudara orang tuanya di kampung.

Pendek kata, kedua anaknya menyalahgunakan semua fasilitas yang diberikan orang tua kepadanya. Orang tua mana yang tidak marah dengan perilaku seperti itu? Toleransi apalagi yang harus diberikan kepada sang anak?

Terlebih ketika mereka mendengar dari anak pertamanya, bahwa dalam waktu dekat ini sang anak harus secepatnya menikah, padahal ia baru kelas dua SMK. Usut punya usut, ternyata, ia terlibat pergaulan bebas dengan kawan sekolahnya, sehingga kecelakaan ‘perut’ tak dapat dihindari lagi. Si gadis hamil, dan harus segera dinikahinya.

Hancur pikiran kedua orang tua itu. Tetesan keringat yang ia tumpuhkan sebagai buruh migran di Timur Tengah, nyaris berujung tidak mengenakan hati. Beban mental kepada masyarakat seolah tak bisa ia tutup tutupi. Malu, adalah kondisi tidak nyaman yang sedang memayungi dirinya.

Problem anaknya, satu persatu dibereskan, nikah dilaksanakan, rumah juga dibelikan. Setelah semuanya ditangani, laki-laki itu berniat untuk merantau lagi. Saat berpamitan dengan keluarga kami, ia mengatakan: “Saya titip anak, Mas. Tolong ditegur kalau ia berbuat kurang baik. ” Saudara saya hanya mengangguk. Ia tak banyak komentar. Ia hanya sedikit bicara tentang kenyataan hidup.

Dalam pembicaraan singkat itu, saya bisa menangkap suatu hikmah dari mereka. Bahwa, tak selamanya uang yang tak pernah kekurangan bisa menjamin segala-galanya. Fasilitas lengkap, juga belum bisa menjadi jaminan sukses seorang anak manusia.

Kenyataan hidup, sering sekali melenceng dari apa yang telah direncanakan. Maksud orang tua ingin melihat kesuksesan pendidikan sang anak, namun yang diharapkan untuk itu tak bisa mengaplikasikannya dengan baik.

Keinginannya untuk mempunyai keturunan yang –paling tidak pendidikannya lebih tinggi dari kedua orang tuanya-, nyaris tak bisa terlaksana, karena untuk sementara waktu ini terganjal oleh kondisi sang anak, yang harus secepatnya menikah.

Laki-laki itu sekarang berangkat merantau lagi. Keberangkatan kali ini, tentu berbeda dengan keberangkatannya seperti masa-masa lalu. Sekarang tentu akan lebih hati-hati dalam mengucurkan fasilitas untuk anak-anaknya. Pengalaman pahit kali ini, tentu bisa menjadi guru dan teladan terbaik untuk langkah-langkah hidup selanjutnya.

***
Forum Lingkar Pena Purwokerto

Tidak ada komentar: