Rabu, Oktober 24, 2007

Catatan Iedul Fitri: Air Mata di Malam Takbiran

Oleh Bayu Gawtama

Selepas maghrib, bersama beberapa jamaah masjid Perumahan Taman Melati, bersiap untuk mendistribusikan zakat kepada para mustahik di sekitar komplek. Cukup banyak zakat yang terkumpul dari para penghuni komplek, selain zakat fitrah juga terdapat zakat maal, infak dan sedekah. Sesuai keputusan panitia, semua yang terkumpul akan didistribusikan tidak terkecuali.

Beberapa petugas pendistribusi sudah ditentukan, saya pun kebagian tugas menyampaikan ke beberapa rumah para calon penerima zakat.

Rumah satu:

Hanya sekitar lima belas menit dari komplek, menyusuri jalan yang gelap serta melewati beberapa petak kebun, sebuah rumah pun diketuk. Beberapa kali ucapan salam belum mendapat jawaban. Sampai kali keempat, barulah si empunya rumah menjawabnya, “wa’alaikum salam…” suaranya parau terdengar.

Tidak ada rumah lain di samping rumah tersebut. Ia seperti tinggal tak bertetangga, di sekelilingnya hanya kebun. Suasana rumah dan sekitarnya cukup gelap, sehingga saya pun tak bisa melihat secara jelas wajah penghuni rumah itu. Yang pasti, ia seorang lelaki tua berkisar 55 tahun. Tidak jelas apakah ia sendiri atau bersama keluarganya di rumah itu, yang pasti ia keluar sendirian dengan langkah tertatih. “terima kasih, sampaikan salam untuk para dermawan ya, ” ujarnya pelan.

Tidak ada suasana jelang hari raya di rumah berdinding triplek itu. Tidak ada hiruk pikuk persiapan menyambut lebaran seperti kebanyakan rumah lainnya. Beberapa saat kemudian saya pun meninggalkan lelaki itu, yang nampaknya tetap sendirian. Sedetik sebelum kaki melangkah, setitik airmata mengambang di pelupuk mata dan tak sanggup tertahankan.

Rumah dua:

Hanya lampu sentir –lampu terbuat dari kaleng yang diisi minyak tanah dengan satu sumbu kecil diatasnya- yang menerangi seisi rumah itu. Penghuni rumahnya, kakek nenek berusia di atas tujuh puluh tahun. “anak-anak dan cucu sudah tidak di sini, mereka tinggal jauh. Mungkin besok pas lebaran baru ke sini, ” ujar sang nenek, si kakek tersenyum mengiyakan.

Rumahnya terbuat dari bilik bambu, beberapa pondasi yang terbuat dari kayu sudah terlihat keropos. Bahkan bagian belakang rumahnya sudah sedikit miring, padahal di belakang rumah itu terdapat sungai kecil tempat aktifitas MCK (mandi cuci kakus) beberapa warga di kampung tersebut.

Dua sejoli tua itu, menjalani malam takbiran bersama sepi. Tanpa hiburan, hanya suara gemericik sungai kecil di belakang rumahnya yang terdengar. Setitik lagi air mata ini menyembul.

Rumah tiga:

Kondisi rumahnya agak lebih baik, cukup permanen namun terlihat sangat tidak terawat. Di beberapa bagian dindingnya terlihat pecah, bahkan bagian luar rumah itu belum diplester entah sudah berapa tahun lamanya. “yang penting bisa berteduh pak, mlester dan ngecat mah nanti saja kalau sudah ada uangnya, ” terang kepala rumah tangga itu.

Saya ingin bercerita satu hal saja yang membuat saya benar-benar tak sanggup menahan air mata. Ketika saya menyerahkan sebuah amplop –berisi uang seratus ribu rupiah- dan sekantong beras, ucapan syukurnya seperti menggelegar, “Ya Allah, terima kasih, alhamdulillah…”

Di depan saya, amplop itu dibukanya dan, “Anak-anak ayo kita berangkat, ” rupanya tempat yang dimaksud adalah toko baju. Hingga malam itu, tidak satu pun dari tiga anaknya yang sanggup dibelikan baju untuk berlebaran.

Bagaimana dengan sekantong beras itu? Keluarga itu sudah membeli sepuluh daun ketupat yang sudah jadi, namun belum tahu apakah mereka akan mengisinya atau tidak karena sampai malam itu mereka tidak punya beras sedikit pun.

Cukup… cukup sudah air mata saya. Maaf, saya tidak bisa melanjutkan cerita ini untuk rumah-rumah berikutnya. Saya tidak sanggup menuliskannya lagi.

***

Jika saya kembali mengingat tayangan di televisi tentang kecenderungan orang yang menciptakan antrian kaum fakir miskin untuk mendapatkan uang zakat dari seorang pejabat. Atau ketika saya melihat tayangan ribuan orang di sebuah daerah untuk berebut sedekah yang hanya sepuluh ribu rupiah saja, dan untuk senilai itu mereka rela berpanas-panasan, saling sikut, saling injak dan akhirnya jatuh pingsan. Semua tayangan itu hanya menggambarkan parade kemiskinan negeri ini yang takkan pernah selesai dituntaskan hanya dengan sepuluh atau lima puluh ribu rupiah saja.

Sungguh, mendatangi langsung para fakir miskin dan menyentuh tangan para penerima itu di rumahnya jauh lebih nikmat. Dan semestinya, memang kita yang mendatangi rumah-rumah fakir miskin, bukan sebaliknya. Semoga di masa yang akan datang tidak terulang lagi. (gaw)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Good post.