Jumat, Oktober 17, 2008
Sasaran dan Karakteristik Dakwah Ikhwan
(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)
Karakter Pertama: Ikatan Keimanan yang Kuat dalam Dakwah yang Dibangun di atas Ukhuwwah.
HAL ini yang pernah disebutkan oleh Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah dalam rukun kesembilan:
“Yang dimaksud dengan ukhuwah adalah, perpaduan hati dan ruh dengan aqidah. Aqidah merupakan tali pengikat yang paling kuat dan tinggi. Ukhuwwah adalah pasangan iman, sedangkan berpecah belah (tafarruq) adalah pasangan kekufuran. Kekuatan paling utama berpangkal pada kekuatan persatuan (quwwatul wihdah).
Persatuan takkan terwujud tanpa rasa cinta. Tingkat cinta yang paling rendah adalah kedamaian hati (salamatu shadr), dan yang paling tinggi adalah mendudukkan orang lain lebih tinggi dari sendiri (itsar).
Allah swt. berfirman:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang- orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9).
Seorang ikhwan sejati memandang saudaranya lebih utama dari dirinya. Sebab, jika ia tidak berbuat demikian maka saudaranya yang lain pun tidak memandangnya lebih utama dari dirinya. Bila
mereka tidak memandang dirinya lebih utama, maka ia tidak akan memandang mereka lebih utama.
“Sesungguhnya serigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan diri dari kelompoknya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (5/196;4/446); Abu Daud (548), Nasa'i (2/82-83). Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
“Dan orang-orang mu'minin dan mu'minat masing-masing mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lainnya. Memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.” (QS. at-Taubah: 71).
Ikhwan bersandar pada sesuatu yang dapat menjadikan ukhuwwah itu dapat lestari, yakni melalui sikap ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla. Tak ada yang dapat memelihara ukhuwwah sebagaimana pemeliharaan sikap ta'at kepada Allah dan menjauh dari semua kema'shiatan kepada-Nya. Ukhuwwah yang berdiri di atas taqwa akan terus berlaku baik di dunia hingga akhirat.
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa." (QS. az- Zukhruf: 67)
Dan tak ada yang dapat memelihara ukhuwwah dari kehancuran sebagaimana keampuhan perisai iman dan amal shalih.
Allah swt. berfirman, “...Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini...” (QS. Shad: 24)
Karena itulah, Iblis la'natullah tidak menyukai mekarnya rasa cinta dan ukhuwwah di antara para juru da'wah. Iblis selalu berupaya menyulut perselisihan antar mereka. Seorang Ikhwan hendaknya selalu berkata yang paling baik, dan perbedaan pendapat di antara mereka hendaknya tidak merusak wujud rasa kasih dan cinta antar-mereka.
Karakter Kedua:
Ikatan Organisasi (Tanzhim) yang Kokoh Dibangun di atas Rasa Percaya (Tsiqah)
INILAH ikatan yang pernah diterangkan oleh Ustadz al-Banna rahimahullah dalam rukun kesepuluh:
"Yang dimaksud dengan tsiqah adalah ketenangan hati seorang jundi (prajurit) kepada pimpinannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya. Sebuah ketenangan yang dalam hingga menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan."
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa: 65)
Pemimpin adalah bagian dari da’wah. Tak ada da’wah tanpa pemimpin. Tingkat tsiqah secara timbal balik antara pemimpin dan jundi, adalah parameter kekuatan organisasi sebuah jama’ah,
kekuatan strategi, kesuksesannya dalam mencapai tujuan dan dapat mengalahkan semua kendala dan kesulitan yang menghalangi jama’ah mencapai tujuannya.
"Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu
lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. Taat dan mengucapkan
perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad:20-21)
Beberapa Kesalahan dalam Membangun Tsiqah
1. Pemimpin yang menuntut tsiqah dari para anggotanya, tanpa disertai penunaian mahar tsiqah itu sendiri.
Tsiqah terhadap pimpinan takkan terwujud melalui tuntutan belaka, tapi melalui perasaan yang tumbuh dalam diri jundi tentang kemampuan pemimpinnya, kelayakannya, kebijaksanaannya, yang diperoleh melalui sentuhan hubungan secara langsung, beramal dan
melalui sikap-sikap harian pemimpinnya. Inilah yang dimaksud dengan mahar tsiqah.
2. Pemimpin yang tak mampu menanam, memelihara dan membangun rasa tsiqah.
Semakin banyak ia berhubungan dengan anggota, semakin lemah rasa tsiqah anggota kepadanya. Kondisi ini dapat terjadi, baik lantaran ketidaktahuan pemimpin tentang cara berinteraksi
dengan jiwa manusia, karena kelalaiannya, atau karena ia tidak dapat membina orang-orang yang ada di sekelilingnya dan tidak mampu menjalin hubungan dengan mereka.
Beberapa hal yang dapat membantu tumbuhnya rasa tsiqah:
1. Tidak terburu memvonis salah seorang anggota jama'ah secara tidak hak.
2. Perasaan setiap anggota dalam harakah tentang kebenaran sebuah kebijakan dan tindakan pimpinan. Karenanya, setiap kebijakan dari pimpinan harus disertai latar belakarang atau
alasan, terkecuali dalam kondisi darurat menyangkut keamanan jama'ah (amniyah).
Sasaran dan Karakteristik Dakwah Ikhwan
(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)
Karakter Pertama: Ikatan Keimanan yang Kuat dalam Dakwah yang Dibangun di atas Ukhuwwah.
HAL ini yang pernah disebutkan oleh Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah dalam rukun kesembilan:
“Yang dimaksud dengan ukhuwah adalah, perpaduan hati dan ruh dengan aqidah. Aqidah merupakan tali pengikat yang paling kuat dan tinggi. Ukhuwwah adalah pasangan iman, sedangkan berpecah belah (tafarruq) adalah pasangan kekufuran. Kekuatan paling utama berpangkal pada kekuatan persatuan (quwwatul wihdah).
Persatuan takkan terwujud tanpa rasa cinta. Tingkat cinta yang paling rendah adalah kedamaian hati (salamatu shadr), dan yang paling tinggi adalah mendudukkan orang lain lebih tinggi dari sendiri (itsar).
Allah swt. berfirman:
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (orang- orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. al-Hasyr: 9).
Seorang ikhwan sejati memandang saudaranya lebih utama dari dirinya. Sebab, jika ia tidak berbuat demikian maka saudaranya yang lain pun tidak memandangnya lebih utama dari dirinya. Bila
mereka tidak memandang dirinya lebih utama, maka ia tidak akan memandang mereka lebih utama.
“Sesungguhnya serigala hanya akan memangsa kambing yang memisahkan diri dari kelompoknya.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (5/196;4/446); Abu Daud (548), Nasa'i (2/82-83). Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)
“Dan orang-orang mu'minin dan mu'minat masing-masing mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian lainnya. Memerintahkan pada yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.” (QS. at-Taubah: 71).
Ikhwan bersandar pada sesuatu yang dapat menjadikan ukhuwwah itu dapat lestari, yakni melalui sikap ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla. Tak ada yang dapat memelihara ukhuwwah sebagaimana pemeliharaan sikap ta'at kepada Allah dan menjauh dari semua kema'shiatan kepada-Nya. Ukhuwwah yang berdiri di atas taqwa akan terus berlaku baik di dunia hingga akhirat.
"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa." (QS. az- Zukhruf: 67)
Dan tak ada yang dapat memelihara ukhuwwah dari kehancuran sebagaimana keampuhan perisai iman dan amal shalih.
Allah swt. berfirman, “...Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini...” (QS. Shad: 24)
Karena itulah, Iblis la'natullah tidak menyukai mekarnya rasa cinta dan ukhuwwah di antara para juru da'wah. Iblis selalu berupaya menyulut perselisihan antar mereka. Seorang Ikhwan hendaknya selalu berkata yang paling baik, dan perbedaan pendapat di antara mereka hendaknya tidak merusak wujud rasa kasih dan cinta antar-mereka.
Karakter Kedua:
Ikatan Organisasi (Tanzhim) yang Kokoh Dibangun di atas Rasa Percaya (Tsiqah)
INILAH ikatan yang pernah diterangkan oleh Ustadz al-Banna rahimahullah dalam rukun kesepuluh:
"Yang dimaksud dengan tsiqah adalah ketenangan hati seorang jundi (prajurit) kepada pimpinannya dalam hal kemampuan dan keikhlasannya. Sebuah ketenangan yang dalam hingga menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan."
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa: 65)
Pemimpin adalah bagian dari da’wah. Tak ada da’wah tanpa pemimpin. Tingkat tsiqah secara timbal balik antara pemimpin dan jundi, adalah parameter kekuatan organisasi sebuah jama’ah,
kekuatan strategi, kesuksesannya dalam mencapai tujuan dan dapat mengalahkan semua kendala dan kesulitan yang menghalangi jama’ah mencapai tujuannya.
"Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu
lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. Taat dan mengucapkan
perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian
itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad:20-21)
Beberapa Kesalahan dalam Membangun Tsiqah
1. Pemimpin yang menuntut tsiqah dari para anggotanya, tanpa disertai penunaian mahar tsiqah itu sendiri.
Tsiqah terhadap pimpinan takkan terwujud melalui tuntutan belaka, tapi melalui perasaan yang tumbuh dalam diri jundi tentang kemampuan pemimpinnya, kelayakannya, kebijaksanaannya, yang diperoleh melalui sentuhan hubungan secara langsung, beramal dan
melalui sikap-sikap harian pemimpinnya. Inilah yang dimaksud dengan mahar tsiqah.
2. Pemimpin yang tak mampu menanam, memelihara dan membangun rasa tsiqah.
Semakin banyak ia berhubungan dengan anggota, semakin lemah rasa tsiqah anggota kepadanya. Kondisi ini dapat terjadi, baik lantaran ketidaktahuan pemimpin tentang cara berinteraksi
dengan jiwa manusia, karena kelalaiannya, atau karena ia tidak dapat membina orang-orang yang ada di sekelilingnya dan tidak mampu menjalin hubungan dengan mereka.
Beberapa hal yang dapat membantu tumbuhnya rasa tsiqah:
1. Tidak terburu memvonis salah seorang anggota jama'ah secara tidak hak.
2. Perasaan setiap anggota dalam harakah tentang kebenaran sebuah kebijakan dan tindakan pimpinan. Karenanya, setiap kebijakan dari pimpinan harus disertai latar belakarang atau
alasan, terkecuali dalam kondisi darurat menyangkut keamanan jama'ah (amniyah).
Nilai Dakwah dan Pertanyaan tentang Ikhwanul Muslimin
(Dari Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)
Siapapun yang mendalami ilmu agama Allah mengetahui bahwa posisi dakwah ilallah berada pada posisi yang paling tinggi dan sarana mendekatkan diri pada Allah yang paling baik. Kenapa? Dakwah adalah misi para Anbiya, jalan para rasul dan auliya.
Dengan jalan itulah, rahmat Allah menyebar dan kesesatan lenyap. Karena itu, banyak sekali ayat-ayat, serta hadits-hadits shahih yang jelas menerangkan masalah ini.
Allah swt. berfirman:
“Dan hendaklah di antara kalian ada sekelompok yang menyeru kepada kebaikan dan memerintahkan yang ma’ruf serta melarang yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
“Kalian adalah ummat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang yang mungkar, serta beriman kepada Allah..." (QS. Ali Imran: 110)
Bersabda Rasulullah saw., "Demi Dzat Yang Jiwaku Ada dalam Tangan-Nya. Pasti kalian akan memerintahkan yang ma'ruf dan melarang yang mungkar. Atau (bila kalian tidak melakukan hal tersebut), niscaya Allah akan menimpakan hukuman atas kalian, setelah itu kalian memohon kepada-Nya, dan tidak dikabulkan." (HR. Turmudzi, dan mengatakan hadits hasan).
Keadaan mereka sebagaimana ungkapan Imam Ahmad rahimahullah yang dinukil dalam kitab I'lam al-Muwaqi'in: “Mereka menyeru yang tersesat pada petunjuk, menghidupkan orang-orang yang mati dengan Kitabullah, menjelaskan orang-orang yang buta dengan cahaya Allah. Berapa banyak korban-korban iblis yang mereka hidupkan kembali? Berapa banyak mereka yang tersesat terlunta-lunta mendapat petunjuk kembali."
Karena itu, mereka, para da'i, memang layak memperoleh do'a dari semut yang ada di sarangnya, hingga ikan yang ada di lautan. Mereka di bumi ini, ibarat bintang di langit. Melalui mereka yang ragu-ragu dalam kegelapan dapat tertuntun kembali.
Merekalah yang menyampaikan ajaran Allah dan melanjutkan misi para Anbiya setelah tidak ada lagi rasul sesudah Muhammad saw. dan wahyu telah terputus dari langit. “Demikianlah kami jadikan kalian sebagai ummat pertengahan.. agar kalian menjadi saksi atas manusia, dan Rasul menjadi saksi atas kalian." (QS Al-Baqarah: 143)
Bertolak dari sini, risalah yang ditulis khusus untuk para da'i ini, bertujuan agar menjadi satu bentuk pemuliaan bagi mereka, penjelas dan penerang bagi siapa saja yang ingin berjalan di jalan para Anbiya.
Saya memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Kuasa, agar para da'i yang mencari kebenaran, dapat mengambil manfaat atas usaha ini. Saya mohon ampun kepada Allah dari kekeliruan. Semoga Allah memeliharaku dari keburukan.
Risalah ini kususun mencakup beberapa bab. Bab "Kenapa Ikhwanul Muslimin, terbagi tiga bagian: Hakikat Dakwah Ikhwanul Muslimin, Syubuhat dan Jawabannya, serta Untaian Harapan dalam Amal Islami.
Saya menyusun risalah ini sebagai seruan secara menyeluruh agar menjadi perhatian para pemuda, sekaligus menyingkap berbagai pemikiran serta isu-isu yang ada.
Setelah itu, saya sebutkan kaidah-kaidah umum dalam menolak syubuhat yang dilontarkan kepada Ikhwanul Muslimin. Di sini, saya berikan beberapa contoh syubuhat berikut jawabannya.
Berikutnya, saya paparkan pula beberapa harapan yang semoga dapat semakin mengokohkan eksistensi harakah Ikhwan. Juga agar harakah dapat mengevaluasi kesesuaian langkahnya terhadap manhaj.
Ini dalam kondisi harapan-harapan tersebut memang belum termasuk dalam program harakah. Bila harapan tersebut sesuai dengan manhaj, hendaklah segera diambil. Dan bila tidak, harus segera ditutup.
Mengapa Ikhwan?
Yang menjadi pertanyaan, Mengapa dakwah Ikhwanul Muslimin selalu menjadi sasaran konspirasi musuh Islam di segenap penjuru Timur dan Barat? Mengapa dakwah Ikhwanul Muslimin hingga kini cahayanya tak kunjung padam? Mengapa dakwah Ikhwanul Muslimin justeru menarik minat banyak pemuda, betapapun mereka mengetahui konsekwensi jalannya yang begitu berat? Mengapa dakwah Ikhwanul Muslimin dibenci oleh orang-orang yang kerasukan ambisi pribadi?
Sebuah konperensi duta besar dari Inggris, Perancis dan Amerika pernah digelar di Faid, November 1948. Para konsulat meminta dubes Inggris menuntut Naqrasyi, perdana menteri Mesir saat itu, agar mengeluarkan keputusan larangan terhadap Jama'ah Ikhwanul Muslimin.
J. Obrian, Sekretaris Politik Komando Angkatan Darat Inggris di Timur Tengah, mengirim surat pada Organisasi Intelejennya di wilayah Mesir dan Laut Tengah.
Ia menyebutkan isi pembicaraan serta hasil-hasil penting konperensi di Faid. Yang terpenting, mereka akan melakukan langkah koordinasi melalui kedutaan besar Inggris di Kairo guna menghantam Jama'ah Ikhwanul Muslimin.
Itu gambaran tentang pertanyaan pertama. Tentang pertanyaan kedua, masih banyak orang yang belum mengetahui hakikat dakwah ikhwan.
Di antara mereka masih ada yang diliputi rasa bimbang. Mereka sebenarnya menyimpan simpati terhadap Ikhwan, namun belum percaya terhadap kemampuannya. Mereka juga ingin melakukan sesuatu, tetapi putus asa karena khawatir bila dakwah ini hancur. Pada akhimya, mereka memilih diam, tanpa melakukan apapun.
Dilatarbelakangi fenomena tersebut, juga banyak para pemuda yang tengah menanti orang yang dapat menjelaskan jalan dakwah pada mereka, yang dapat menjadi saluran aspirasi dan amal mereka secara jelas dan terang.
Untuk mereka semua, dan siapa saja yang ingin melangkahkan kaki di atas jalan dakwah, kami persembahkan risalah ini untuk menghilangkan waham, serta berbagai isu yang disebarkan dari mulut ke mulut. (diterjemahkan oleh Hawari Aulia)
Senin, Juni 02, 2008
Syekh As-Siba’i: Pejuang Palestina dari Suriah
Di Mesir beliau bertemu dan berkenalan dengan Imam Hasan Al-Banna, Mursyid Am Al-Ikhwan Al-Muslimin. Ketika menjadi mahasiswa di Mesir, Musthafa As Siba’i tidak hanya sibuk di bangku kuliah mengejar prestasi akademik, beliau juga aktif dalam kegiatan ekstra kampus bersama Al-Ikhwan Al-Muslimin, melakukan pembelaan terhadap umat, dan ikut berbagai demonstrasi menentang penjajah Inggris tahun 1941.
Beliau juga ikut mendukung Revolusi Rasyid Ali Al-Kailani di Irak melawan Inggris. Akibatnya, beliau bersama teman-temannya ditahan pemerintah Mesir atas instruksi penjajah Inggris. Musthafa As Siba’i mendekam dalam tahanan sekitar tiga bulan, kemudian di pindah ke penjara Sharfanda di Palestina dan mendekam di sana selama empat bulan. Pada tahun 1942, beliau mengumpulkan seluruh potensi perjuangan umat Islam di Suriah yang terdiri dari ulama, da’i, aktifis, tokoh-tokoh lembaga Islam dari berbagai propinsi untuk berjuang dalam satu jama’ah yang disepakati, yaitu Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimin. Delegasi Mesir yang hadir pada pertemuan itu adalah Ustadz. Said Ramadhan (menantu Imam Hasan Al-Banna).
Pada tahun 1945, diadakan pertemuan kembali dan para peserta pertemuan sepakat untuk memilih Musthafa As Siba’i sebagai Muraqib ‘Am (Pengawas Umum) Al-Ikhwan Al-Muslimin Suriah. Tahun 1948 terjadi Perang Palestina, Musthafa As Siba’i, Muraqib Am Al-Ikhwan Al-Muslimin Suriah memimpin langsung batalion Suriah dan bergabung dengan 10.000 pasukan Al-Ikhwan Al-Muslimin dari berbagai negara Arab untuk membantu rakyat Palestina yang sedang berjuang melawan penjajah Zionis Yahudi.
Pasukan Syekh Musthafa As Siba’i dengan semangat jihad yang tinggi, pengorbanan yang besar, berhasil masuk ke kota suci Al-Quds, jika tidak ada pengkhianatan para pemimpin Arab tentu Palestina akan lain ceritanya dengan yang terjadi saat ini, itulah episode sejarah perjuangan yang senantiasa dicemari oleh para pengkhianat penjual umat dan tanah airnya karena cinta dunia dan takut mati.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.(QS: Al-Anfaal/8: 27).
Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.(QS: Al-Hajj/ 22: 38).
Syekh Musthafa As Siba’i secara khusus menulis buku tentang jihad di Palestina yang berjudul Jihaduna fi Filisthin. Di dalam buku Al-Ikhwan fi Harbi Filisthin, Syekh Musthafa As Siba’i berkata, “Ketika berada di medan pertempuran Al-Quds, kami merasakan di sana ada manuver-manuver yang terjadi di tingkat internasional dan tingkat pemerintahan resmi negara-negara Arab. Kami yang tergabung di batalion Al-Ikhwan Al-Muslimin memusyawarahkan hal-hal yang perlu kita tempuh, setelah adanya instruksi kepada kami untuk mengundurkan diri dari Al-Quds. Kami sepakat tidak mampu menentang instruksi kepada kami untuk meninggalkan Al-Quds, karena berbagai pertimbangan. Kami juga sepakat sesampainya di Damaskus, kami mengirim sebagian Al-Ikhwan Al-Muslimin ke Al-Quds sekali lagi secara sembunyi-sembunyi, untuk mempelajari apakah ada kemungkinan kembali lagi ke sana secara pribadi, demi melanjutkan perjuangan kami membela Palestina. Kami kembali ke Damaskus bersama seluruh anggota batalion dan komandan-komandannya yang bergabung dengan pasukan penyelamat. Pasukan penyelamat ini melucuti persenjataan kami dan berjanji mengundang kami sekali lagi bila dibutuhkan.”
Tahun 1949, Syekh Musthafa As Siba’i meraih gelar Doktor dari Fakultas At Tasyri’ Al-Islami dan Sejarahnya dari Universitas Al-Azhar dengan disertasi berjudul As Sunnah wa Makanatuha fit Tasyri’ Al-Islami, lulus dengan suma cumlaude. Dalam tesisnya tersebut As Sibaai' menyanggah habis argumen kaum Orientalis tentang kedudukan As Sunnah dalam Syariat Islam. Beliau juga menulis buku khusus tentang orientalis dengan judul, Alistisyraq Wal Mustasyriqun (Orientalisme dan kaum Orientalis). Tahun 1953, Syekh Mustafa As Siba’i menghadiri konfrensi Islam untuk pembelaan Al-Quds yang diadakan di kota Al-Quds dan dihadiri oleh perwakilan Al-Ikhwan Al-Muslimin dari seluruh negara Arab dan para tokoh Islam dunia, termasuk saat itu hadir Dr. Muhammad Natsir sebagai wakil Indonesia.
Selama tujuh tahun Syekh As Siba’i menderita lumpuh pada sebagian tubuhnya termasuk tangan kirinya, tetapi beliau sabar, pasrah terhadap ketentuan Allah, ridha terhadap hukum-Nya. Walaupun lumpuh sebagian tubuhnya tidak menghalangi beliau untuk berdakwah dan membina umat. Syekh Siba’i, tidak hanya piawai dalam menulis, ahli dalam pidato, beliau juga memperaktekkan kewajiban agama dengan ikhlas dan mengharapkan ridha Allah, padahal kondisi tubuhnya sudah uzur karena lumpuh dan sakit yang diderita.
Dengan menggunakan tongkat, beliau berjalan di pagi hari dan sore hari menuju masjid untuk shalat, sujud dan rukuk kepada Allah, pada saat yang sama ada orang yang badannya sehat, berjalan tidak bertongkat, penampilannya memikat, enggan dan tidak mau datang ke masjid untuk melaksanakan sholat, terutama sekali sholat subuh berjama’ah di masjid.
Hari Sabtu, 3/10/1964, Syekh. DR. Musthafa Siba’i, pembela Palestina dan kota Suci Al-Quds, pejuang yang gigih lagi sabar meninggal dunia di kota Himsh. Jenazahnya diiringi rombongan yang besar dan dishalatkan di masjid Jami’ Al-Umawi, Damaskus.
Mufti Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini memberi kesaksian, "Suriah kehilangan tokoh besar mujahid agung. Dunia Islam kehilangan ulama besar, ustadz mulia dan dai piawai. Saya mengenalnya dan melihat pada dirinya keikhlasan, kejujuran, keterbukaan, tekad baja, motivasi kuat dalam membela akidah dan prinsip. Ia memiliki kans besar dan peran nyata dalam melayani problematika Islam dan Arab, terutama problematika Suriah dan Palestina. Ia memimpin batalyon Al-Ikhwan Al-Muslimin demi membela Baitul Maqdis tahun 1948."
Semoga Allah mengampuni segala dosanya, menerima segala ibadahnya dan memasukkan beliau ke dalam surga bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih, amin!
H. Ferry Nur S.Si, Sekjen KISPA
email: ferryn2006@yahoo.co.id
Hari yang Lamanya Lima Puluh Ribu Tahun
Tokoh penuh hikmah Luqmanul Hakim pernah menasihati anaknya. ”Anakku, hiduplah untuk duniamu sesuai porsi yang Allah berikan. Dan hiduplah untuk akhiratmu sesuai porsi yang Allah berikan.” Tak seorangpun tahu berapa lama jatah hidupnya di dunia fana ini. Ada yang mencapai 60, 70 atau 80-an tahun. Ada yang bahkan berumur pendek. Wafat saat masih muda beliau. Yang pasti tak seorangpun bisa memastikan porsi umurnya di dunia. Pendek kata Wallahu a’lam, Allah saja yang Maha Tahu.
Adapun jatah hidup kita kelak di akhirat adalah tidak terhingga. Kita insyaAllah bakal hidup kekal selamanya di sana.
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
Alangkah senangnya bila hidup kekal tersebut dipenuhi dengan kenikmatan surga. Namun, sebaliknya, alangkah celakanya bila kehidupan abadi tersebut diisi dengan siksa neraka yang menyala-nyala. ”Ya Allah, kami mohon kepadaMu surgaMu dan apa-apa yang mendekatkan kami kepadanya, baik ucapan maupun perbuatan. Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari siksa nerakaMu dan apa-apa yang mendekatkan kami kepadanya, baik ucapan maupun perbuatan.”
Artinya, jika kita bandingkan lama hidup di dunia dengan di akhirat, maka jatah hidup di dunia sangatlah sedikit. Sedangkan hidup manusia di akhirat sangat luar biasa lamanya. Praktis, hidup manusia di dunia seolah zero time (nol masa waktu) dibandingkan hidup di akhirat kelak. Wajar bila Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sampai mengibaratkan dunia bagai sebelah sayap seekor nyamuk. Artinya sangat tidak signifikan. Dunia sangat tidak signifikan untuk dijadikan barang rebutan.
Orang beriman kalaupun turut berkompetisi atau berjuang di dunia hanyalah sebatas mengikuti secara disiplin aturan main yang telah Allah subhaanahu wa ta’aala gariskan. Mereka tidak mengharuskan apalagi memaksakan hasil. Sehingga bukanlah menang atau kalah yang menjadi isyu sentral, melainkan konsistensi (baca: istiqomah) di atas jalan Allah. Berbeda dengan orang-orang kafir dan para hamba dunia lainnya. Mereka tidak pernah peduli dengan aturan main Allah subhaanahu wa ta’aala. Yang penting harus menang. Prinsip hidup mereka adalah It’s now or never (Kalau tidak sekarang, kapan lagi...?!). Sedangkan prinsip hidup orang beriman adalah If it’s not now then it will be in the Hereafter (Kalaupun tidak sekarang, maka masih ada nanti di akhirat). Sehingga orang beriman akan selalu tampil elegan, tidak norak ketika terlibat dalam permainan kehidupan dunia. Sebab kalaupun ia kalah di dunia, ia sadar dan berharap segala usahanya yang bersih tersebut tidak menyebabkan kekalahan di akhirat. Sementara kalau ia menang di dunia ia sadar dan berharap segala amal ikhlasnya bakal menyebabkan kemenangan di akhirat yang jauh lebih menyenangkan.
Di antara perkara yang selalu membuat orang beriman berlaku wajar di dunia adalah ingatannya akan hari ketika manusia dibangkitkan. Saat mana setiap kita bakal dihidupkan kembali dari kubur masing-masing lalu dikumpulkan di Padang Mahsyar. Tanpa pakaian apapun di badan dengan matahari yang jaraknya sangat dekat dengan kepala manusia. Seluruh manusia bakal hadir semua sejak manusia pertama, Adam alaihis-salaam, hingga manusia terakhir. Semua menunggu giliran diperiksa dan diadili orang per orang. Sebuah proses panjang serta rangkaian episode harus dilalui sebelum akhirnya tahu apakah ia bakal senang selamanya di akhirat dalam surga Allah ataukah sengsara berkepanjangan di dalam api neraka. Proses panjang tersebut akan berlangsung lima puluh ribu tahun sebelum jelas bertempat tinggal abadi di surgakah atau neraka. Laa haula wa laa quwwata illa billah...! Begitulah gambaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ صَاحِبِ كَنْزٍ لَا يُؤَدِّي حَقَّهُ إِلَّا جُعِلَ صَفَائِحَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ حَتَّى يَحْكُمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ عِبَادِهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ ثُمَّ يُرَى سَبِيلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ (أحمد)
Abu Hurairah r.a.berkata bahwa, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang pun pemilik simpanan yang tidak menunaikan haknya (mengeluarkan hak harta tersebut untuk dizakatkan) kecuali Allah akan menjadikannya lempengan-lempengan timah yang dipanaskan di neraka jahanam, kemudian kening dan dahi serta punggungnya disetrika dengannya hingga Allah SWT berkenan menetapkan keputusan di antara hamba-hambaNya pada hari yang lamanya mencapai lima puluh ribu tahun yang kalian perhitungkan (berdasarkan tahun dunia). (Baru) setelah itu ia akan melihat jalannya, mungkin ke surga dan mungkin juga ke neraka.” (HR Ahmad 15/288)
Sungguh, suatu hari yang sulit dibayangkan! Apalagi -karena matahari begitu dekat dari kapala manusia- selama hari itu berlangsung manusia bakal basah dengan keringat masing-masing sebanding dosa yang telah dikerjakannya sewaktu di dunia. Ada yang keringatnya hanya sampai mata kakinya. Ada yang mencapai pinggangnya. Ada yang mencapai lehernya. Bahkan ada yang sampai tenggelam dalam keringatnya. Hari itu sedemikian menggoncangkan sehingga para sahabatpun sempat resah. Mereka meminta kejelasan kepada Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana akan sanggup melewati hari yang begitu lamanya, yakni hingga lima puluh ribu tahun. Maka Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menenteramkan hati mereka dengan menjanjikan adanya dispensasi khusus dari Allah subhaanahu wa ta’aala bagi orang beriman pada hari itu:
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ مَا أَطْوَلَ هَذَا الْيَوْمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَلَى الْمُؤْمِنِ حَتَّى يَكُونَ أَخَفَّ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ يُصَلِّيهَا فِيَّ الدُّنْيَا(أحمد)
Sahabat bertanya kepada Rasulullah saw:”Sehari seperti lima puluh ribu tahun… Betapa lamanya hari itu!” Maka Rasulullah saw bersabda:”Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman-Nya, sesungguhnya hari itu dipendekkan bagi mu’min sehingga lebih pendek daripada sholat wajibnya sewaktu di dunia.” (HR Ahmad 23/337)
Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin. Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang beriman sejati sehingga kami sanggup menjalani hari yang tidak ada naungan selain naunganMu. Amin.-
Generasi Qur'ani yang Unik
Di dalam kitab Ma’aliim fii Ath-thariiq (Petunjuk Jalan), Sayid Qutb menulis sebuah bab berjudul
جيل قرآنى فريد
Generasi Qur’ani yang Unik. Beliau menulis sebagai berikut:
“Ada suatu kenyataan sejarah yang patut direnungkan oleh mereka yang bergerak di bidang da’wah Islamiyyah di setiap tempat dan di setiap waktu. Mereka patut merenungkannya lama-lama, karena ia mempunyai pengaruh yang menentukan bagi metode dan arah da’wah.
Da’wah ini pernah menghasilkan suatu generasi manusia, yaitu generasi sahabat –semoga Allah meridhoi mereka- suatu generasi yang mempunyai ciri tersendiri dalam seluruh sejarah Islam, dalam seluruh sejarah ummat manusia. Lalu da’wah ini tidak pernah menghasilkan jenis yang seperti ini sekali lagi. Memang terdapat orang-orang itu di sepanjang sejarah. Tetapi belum pernah terjadi sekalipun juga bahwa orang-orang seperti itu berkumpul dalam jumlah yang demikian banyaknya, pada suatu tempat, sebagaimana yang pernah terjadi pada periode pertama dari kehidupan da’wah ini.”
Selanjutnya penulis menguraikan adanya tiga alasan mengapa generasi para sahabat –semoga Allah meridhoi mereka- memiliki keistimewaan yang belum dimiliki oleh generasi ummat ini sepanjang zaman sesudahnya.
Pertama, mereka telah memperlakukan Al-Qur’an sebagai satu-satunya tempat pengambilan (rujukan), standar yang menjadi ukuran dan tempat dasar berfikir.
Selanjutnya Sayid Qutb menulis: “Rasulullah saw ingin mencetak suatu generasi yang jernih hatinya, jernih akalnya, jernih persepsinya, jernih perasaannya, jernih pembentukannya dari segala pengaruh lain selain dari metode Ilahi yang dikandung Al-Qur’an.”
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يريد صنع جيل خالص القلب خالص العقل خالص التصور خالص الشعور خالص التكوين من أي مؤثر آخر
غير المنهج الإلهي الذي يتضمنه القرآن الكريم
Kedua, mereka mempelajari Al-Qur’an untuk menerima perintah Allah tentang urusan pribadinya, tentang urusan golongan (jama’ah) di mana ia hidup, tentang persoalan kehidupan yang dilaluinya, ia dan golongannya. Ia menerima perintah itu untuk segera dilaksanakan setelah mendengarnya. Persis sebagaimana prajurit di lapangan menerima “perintah harian” untuk dilaksanakan segera setelah diterima.
انما كان يتلقى القرآن ليتلقى امر الله في خاصة شأنه و شأن الجماعة التي يعيش فيها و شأن الحياة التي يحياها هو و جماعته يتلقى ذلك الامر ليعمل به فور سماعه كما يتلقى الجندي في الميدان ((الأمر اليومي)) ليعمل به فور تلقيه
Karena itu, tidak seorangpun yang minta tambah perintah sebanyak mungkin dalam satu pertemuan. Karena ia merasa hanya akan memperbanyak kewajiban dan tanggung-jawab di atas pundaknya. Ia meras puas dengan kira-kira sepuluh ayat saja. Dihafal dan dilaksanakan. Sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Mas’ud yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam pendahuluan buku tafsirnya.
Metode menerima untuk dilaksanakan dan dikerjakan, itulah yang telah menimbulkan generasi pertama. Metode menerima untuk dipelajari dan dinikmati, itulah yang telah menelorkan generasi-generasi selanjutnya.
Ketiga, mereka mengembangkan pemisahan mental secara total antara masa lalu diri di zaman jahiliah dan masa kininya dalam pelukan ajaran Islam.
كانت هناك عزلة شعورية كاملة بين ماضي المسلم في جاهليته
و حاضره في إسلامه
Jadi terdapat proses pencabutan diri dari lingkungan jahili, adat kebiasaan dan konsepsinya, tradisi dan hubungannya. Pencabutan diri dari kepercayaan syirik dan penanaman diri kepada aqidah tauhid. Ini adalah persimpangan jalan. Tetapi dalam dirinya ia telah bertekad tidak akan kembali lagi.
Menjawab Adzan
Seringkali kita berlaku biasa-biasa saja pada saat adzan sedang berkumandang. Apabila kita sedang menonton TV, kita terus saja sibuk menonton TV. Kalau kita sedang ngobrol, kita teruskan saja obrolan kita. Kalau kita sedang sibuk rapat di kantor, kita teruskan saja rapat tersebut. Jika kita sedang pelatihan, kita teruskan saja acara pelatihan tersebut. Sehingga adzan berkumandang laksana ”anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Padahal sudah barang tentu kalimat adzan tidaklah sama dengan gonggongan anjing.
Kalimat adzan adalah kalimat suci yang mengandung panggilan atau ajakan agar setiap orang yang mendengarnya segera menyambutnya. Ia mengandung ajakan agar kita segera meninggalkan segenap kesibukan duniawi kita untuk memenuhi panggilan Allah Subhaanahu wa ta’aala. Lalu sejenak menyisihkan waktu untuk menunjukkan kesetiaan dan ketaatan kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala dalam bentuk mengingatNya melalui ibadah sholat.
Padahal Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menjanjikan surga bagi orang yang saat adzan berkumandang mau menyisihkan perhatiannya sejenak mengikuti dengan serius lalu merespons panggilan adzan tersebut. Bukankah ini suatu hal yang sangat luar biasa. Bayangkan, hanya dengan menyimak lalu membalas kalimat muadzin sebagaimana disunnahkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam kita dijanjikan bakal memperoleh kenikmatan hakiki dalam kehidupan abadi di alam akhirat nanti. SubhaanAllah...!
Lengkapnya Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam bersabda sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَقَالَ أَحَدُكُمْ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ (مسلم)
“Apabila muadzin mengucapkan, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar, ’ lalu salah seorang dari kalian menjawab, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar, ’ kemudian muadzin mengucapkan, ’Asyhadu An La Ilaha Illallah, ’ dia menjawab, ’Asyhadu An La Ilaha Illallah, ’ kemudian muadzin mengucapkan, ’Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, ’ dia menjawab, ’Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, ’ kemudian muadzin mengucapkan, ’Hayya Ala ash-Sholah, ’ dia menjawab, ‘La Haula Wala Quwwata Illa Billah, ’ kemudian muadzin mengucapkan, ’Hayya Ala al-Falah, ’ dia menjawab, ‘La Haula Wala Quwwata Illa Billah, ’ kemudian muadzin mengucapkan, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar, ’ dia menjawab, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar, ’ kemudian muadzin mengucapkan, ’ La Ilaha Illallah, ’ dia menjawab, ’ La Ilaha Illallah, ’ (dan semua itu) dari hatinya; niscaya dia masuk surga.” (HR Muslim 2/328)
Bahkan lebih jauh daripada itu, Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menjanjikan akan memberi syafaat kepada siapapun yang sesudah adzan membaca doa yang di dalamnya mengandung permohonan agar Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam ditempatkan di al-wasilah (derajat tertinggi di surga). Beliau bersabda sebagai berikut:
إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ (مسلم)
“Apabila kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian memohonlah al-wasilah (kedudukan tinggi) kepada Allah untukku karena itu adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap aku adalah hamba tersebut, barangsiapa memohon al-wasilah untukku niscaya dia (berhak) mendapatkan syafaat.” (HR Muslim 2/327)
Demikianlah, betapa besarnya keuntungan yang dijanjikan bagi siapapun yang berkenan menyimak dan menjawab dengan sungguh-sungguh panggilan adzan saat berkumandang. Menjawabnya kalimat demi kalimat lalu diakhiri dengan mendoakan al-wasilah bagi Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Adapun kalimat doa yang dibaca sesudah adzan adalah sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ
آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ (البخاري)
“Barangsiapa ketika mendengar adzan mengucapkan, ’Ya Allah Rabb panggilan yang sempurna (adzan) dan sholat wajib yang didirikan, berikanlah wasilah (derajat yang tinggi di surga) dan fadhilah (kedudukan yang mulia) kepada Nabi Muhammad, dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqam yang terpuji yang Engkau janjikan kepadanya’; niscaya dia berhak meraih syafa’atku pada hari Kiamat.” (HR Bukhary 2/481)
Maka sudah barang tentu sempurnanya amalan menjawab adzan ini ialah dengan segera berwudhu lalu bergegas menuju masjid untuk sholat berjamaah. Oleh karenanya tidak patut kita berlaku biasa-biasa saja saat adzan berkumandang. Ya Allah, terimalah segenap amal sholeh dan amal ibadah kami. Amin.
Sabtu, Maret 08, 2008
Menjadi Pembina yang Ideal
Pak, saya mahasiswi yang aktiv berorganisasi di kampus. gini pak, awalnya saya ikut organisasi itu ndak sengaja tapi, berkat organisasi kampus inilah saya berkumpul dengan orang-orang saleh dan salihah yang hebat-hebat dan saya pun dituntun ke jalan dakwah yang sebelumnya sangat saya pandang sebelah mata.
Singkat cerita, teman-teman mengamanahi saya beberapa staff di organisasi saya untuk 'dibina'. Yang menjadi kegalauan saya saat ini adalah saya masih merasa tidak mampu untuk 'membina' adik-adik saya. Saya bukanlah sesosok akhwat yang sopan, lembut dan tenan.
Saya malah ke balikan dari cerminan akhwat ideal, saya itu suka bercanda, masih suka gaul sama semua orang dan banyak hal buruk yang masih saya lakukan.
Pertanyaannya adalah: 1. Apakah yang harus saya lakukan untuk menjadi sesosok 'kakak yang ideal' bagi adik-adik saya? Saya menggunakan istilah 'kakak' bukan 'akhwat' karena saya merasa masih jauh dari 'ke-akhwatan'. 2. Yang kedua adalah tips n trik menjadi pembina sukses?
Nek
Jawaban
Ananda Nek yang saya hormati, dari tulisan Anda tersirat bahwa ketidak percayaan diri masih ada di dalam diri Anda dalam membina. Hal inilah yang dapat menghambat Anda saat ingin menjadi murobbi yang sukses.
Untuk itu, cobalah Anda pahami akan arti penting seorang murobbi dalam aktivitasnya sebagai bagian membentuk umat agar lebih paham dan kembali kepada jalan kebenaran.
Anda dapat membuka surat Al-Imran ayat 79.
Di samping itu seorang murobbi juga akan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat karena karena mengajarkan ilmu, seperti yang Nabi sabdakan, ” “Barangsiapa yang mengajak orang kepada suatu petunjuk (kebaikan) maka ia mendapatkan pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun” (HR Muslim)
Murobbi yang sukses adalah mereka yang dapat menjadikan sebuah halaqah itu produktif serta menjalankan halaqah tersebut secara dinamis.
Ciri sebuah halaqah yang produktif di antaranya adalah tercapainya muwashofat bagi para peserta, tercapainya pembentukan murobbi handal dan tercapainya pengembangan potensi dari para mutarabbi secara maksimal
Seorang murabbi juga hendaknya dapat mengantisipasi kejenuhan yang terjadi dalam mengelola halaqah yang mempunyai ciri, peserta tidak dapat menikmati halaqoh, lemahnya kontrol diri, sering absen dalam halaqah, kurang aktif dalam halaqah dan mengabaikan tugas dan tanggung jawab
Insya Allah, dengan mengetahui dan memahami tentang urgensinya menjadi murobbi, produktifitas dan dinamisnya halaqah dapat terwujud.
Liqo Masih Berguna?
Langsung aja ya ustad.
1. Alhamdulillah ana sudah tiga tahun terbina, dan selama ini sudah tiga kali gantti Murobbi. Sekarang permasalahannya adalah makin ke sini ane merasa Halaqoh yang menjadi Charger bagi diri sdh tidak terasa lagi manfaatnya, agenda LQ makin tidak jelas. Kebetulan ana terbina melalui jalur SMA dan hal ini sdh ana ceritakan ke MS sekolah ana. Dan Jawabnnya Belum tentu dengan Bergantinya MR akan lebih baik, jalani aja dulu. Sebagai tambahan tiga temen ana sdh keluar dari LQ dan belum ada tindakan dari MR. pertanyaan ana Apayangharus ana lakukan. Karena sdh hampir 1 bulan ana vakum dari da'wah baik kampus atau sekolah karena hilangnya suasana itu dan sudah 1 bulan lebih tidak bersua (yang katanya karena Pilkada).
2. Bagaimana mendapatkan buku-buku ustad (brike the time dll) yang sdh susah dicari di toko-toko buku Islam.
jazakalloh khairan katsir
Fulan
Jawaban
Wa'alaikum salam wr wb.
Apa yang menjadi kegundahan Anda dapat dipahami sebagai sebuah keinginan baik Anda yang tidak mendapat perhatian sebagai mana mestinya
Kasus Anda bisa jadi merupakan kelengahan dari para Murobbi yang kurang ‘greget’ dalam berinteraksi dengan para binaannya.
Harus Anda pahami pula bahwa Murabbi juga manusia yang mempunyai keterbatasan, Murabbi juga bukan ‘superhero’ yang dengan cepat mengetahui masalah yang ada dan secepat itu pula dapat mengatasinya segala permasalahan yang Ada.
Yang harus kita lakukan adalah, pertama sekali kita harus menanamkan pada diri kita bahwa kita butuh tarbiyah, bukan tarbiyah butuh kita. Artinya bahwa kita yang harus selalu aktif dalam setiap permasalahan maupun kegiatan yang ada. Bila di sekitar kita ada hal-hal yang kurang beres dan perlu sebuah penanganan, maka segeralah kita aktif untuk menanganinya sebatas kapasitas kita tentunya.
Atau bila kita terbengkalai dengan kevakuman halaqoh, cobalah untuk bertanya dan mencari tahu ke murabbi Anda, Bila Anda merasa belum puas dengan jawaban Murabbi bisa juga Anda menanyakan ke ikhwah lain atau ustadz yang kafaah dan kapasitasnya memungkinkan untuk memberikan jawaban.
Juga tidak ada salahnya, Anda meminta pindah halaqoh bila Anda merasa tidak berkembang di dalamnya. Namun tentulah dengan argumentasi yang jelas dan jauh dari keinginan-keinginan yang sifatnya subyektif. Misalnya merasa tidak sepandan dengan teman halaqoh atau murobbinya dan sebagainya.
Buku-buku yang Anda maksudnya memang diterbitkan oleh penerbit dengan jumlah terbatas dan sepertinya sudah habis terjual.
Semoga bermanfaat
Manajemen Halaqoh
Ustadz ana seorang akhwat yang membina dua kelompok halaqoh. Ada seorang binaan ana setelah menikah tidak aktif lagi datang ke liqo'. Afwan proses nikahnya sendiri tidak dengan ana. Dulunya akhwat ini dekat sekali dengan ana dan itu menimbulkan rasa cemburu binaan ana yang lain. Dan untuk menghindari biar tidak menimbulkan rasa cemburu ana bersikap biasa dan cenderung tegas dengan akhwat tersebut. Apalagi waktu itu ana tahu dia akan proses sendiri nikahnya. Tapi dengan ketegasan ana malah ditanggapi lain.
Dan yang membuat ana sakit hati dia bilang ke teman-teman murobbi ana yang lain tentang saya yang sungguh di luar dugaan. Dan saya tahu karena kebetulan teman yang dia bicarakan tentang ana adalah teman satu team ana.
Ana berusaha ikhlash dan menerima semua yang dikatakan tentang ana. Anggap sebuah masukan walau sangat menyakitkan. Tapi dikemudian hari malah akhwat ini bersikap lain bahkan menghindar jika ketemu dengan ana. Pertanyaan ana bagaimana cara memperbaiki hubungan yang baik lagi dengan dia. Karena sudah berusaha saya rangkul lagi untuk gabung di liqo' seperti biasanya. Tp tidak pernah datang.pernah datang hanya sekali. Sekedar informasi bahwa suaminya belum liqo' dan bahkan kurang mendukung. Syukron atas jawabannya.
Akhwat Batam
Jawaban
Ketika kita membina atau menjadi murobbi, sesungguhnya kita mempunyai beberapa peran, di antaranya: Peran seorang ustadz terhadap mad'unya, peran seorang qiyadah terhadap jundinya, peran orang tua terhadap anaknya, peran sahabat terhadap temannya.
Peran-peran ini harus dapat dipahami oleh seorang murobbi/murobbiyah sehingga menetahui saat mana ia menjadi seorang ustadz/ah, saat mana ia menjadi seorang qiyadah, saat mana ia menjadi orang tua dan saat mana ia menjadi seorang sahabat.
Ketika menyampaikan materi pelajaran, murobbi adalah seorang ustadz, ketika memberikan tugas, murobbi adalah qiyadah, ketika diminta mencarikan jodoh, murobbi adalah orang tua, ketika mad'u ingin curhat, murobbi adalah sahabat.
Seorang mad'u adalah manusia yang juga mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Dalam kasus Anda sepertinya mad'u Anda mempunyai kecenderungan mencari seorang figur baginya baik sebagai orang tua atau pun sahabat yang membutuhkan perhatian lebih dari Anda. Dan ketika itu tidak ia dapatkan bahkan mendapatkan perlakukan berbeda dari Anda maka sifatnya berubah menjadi 180 derajat, mulai dari mencari jodoh sendiri hingga menghindar dari Anda, dengan kata lain ia sangat kecewa sekali dengan Anda
Tidak ada salahnya Anda berupaya mempererat kembali kedekatan yang pernah terbina. Maafkan kekhilafannya yang dikatakannya tentang Anda. Cobalah pendekatan dengan mengunjunginya, menanyakan kabar via telepon, memberikan hadiah dan sebagainya. Lakukan secara berkala walau hanya sesaat untuk menunjukkan rasa kepedulian Anda.
Jangan lupa bahwa hidayah milik Allah. Dan hanya Dialah yang memberikan hidayah kepada yang Dia inginkan. Oleh karena mohonlahlah pada Allah dalam sholat Anda agar hidayah itu kembali kepada mad'u Anda.
Wallahu'alam
Mendekatkan Diri dengan Teman Liqo Baru
Ustadz saya sudah sebulan ditransfer pada tempat liqo saya yang baru dan saya sendiri yang ditransfer., Di tempat liqo yang baru sebelumnnya hanya berjumlah 2 orang, mereka telah bersama selama 10 bulanan lebih dan mereka satu jurusan.
Yang saya tanyakan bagaimana saya beradaptasi dengan mereka yang sudah dekat itu. Saya sudah sebulan bergabung dalam kelompok baru tersebut, namun saya ingin lebih dekat lagi berhubungan dengan kedua teman liqo saya itu. Bagaimana solusinya ustadz? Jawaban ustadz sangat saya tunggu dan saya perlukan
Sykrn jzklh
Mentee
Jawaban
Akhina Mentee, bergaul dengan seseorang memang membutuhkan proses untuk adaptasinya. Namun perlu dipahami pula bahwa agar dapat kita lebih mudah menyesuaikan diri dengan mereka hendaklah dimulai dari diri kita.
Ada baiknya Anda memperhatikan etika bergaul yang selama ini Anda lakukan. Karena dengan beretika maka kita untuk lebih disiplin dalam mewujudkan keharmonisan dan keserasian dalam pergaulan. Di samping itu juga akan melatih kita akan adanya tenggang rasa serta peduli terhadap kepentingan orang lain serta memudahkan seseorang untuk menyesuaikan diri, luwes, bersahabat dan percaya diri.
Dalam hal berbahasa, pengucapan dan kata-kata yang dipilih juga dapat mempengaruhi tanggapan dari orang lain. Oleh karenanya ungkapan-ungkapan yang positif perlu selalu diucapkan seperti, terima kasih, maaf, tidak apa-apa, sebaiknya, minta tolong, silahkan, permisi dan sebagainya.
Di samping itu juga jangan meremehkan sisi penampilan. Memelihara penampilan termasuk pula memelihara akal pikiran untuk selalu berpikir positif juga akan memunculkan ’inner beauty’. Faktor inilah yang sangat menunjang penampilan yang menawan.
Insya Allah bila kita memperhatikan hal di atas, akan mempermudah kita untuk lebih akrab dapat bergaul. Semoga bermanfaat.
Rabu, Januari 30, 2008
Berhati-Hatilah Dalam Berteman, Nak
Obat hati ada lima perkaranya,
Yang pertama baca Qur’an dan maknanya Yang kedua, sholat malam dirikanlah Yang ketiga, berkumpullah dengan orang saleh........
Terdengar lagu Tombo Ati yang dinyanyikan oleh Opick dari televisi di ruang keluarga, saat aku sedang istirahat usai makan malam bersama keluarga. Penggalan lagu di atas:” Yang ketiga, berkumpullah dengan orang saleh, ” mengingatkan aku pada nasehat dari almarhum ayah kepadaku dan saudara-saudaraku. Nasehat yang selalu disampaikan oleh beliau berulang kali. Tujuannya agar kami sebagai anak-anaknya selalu ingat, memperhatikan dan mematuhi nasehat beliau. Nasehat yang sangat penting dalam menjalani kehidupan.
” Berhati-hatilah dalam berteman, nak, ” itulah nasehat almarhum ayah yang selalu kupegang teguh hingga saat ini dan hari-hari mendatang. Nasehat yang singkat namun mempunyai makna yang sangat dalam. Nasehat yang selalu berulang kali kusampaikan juga kepada dua orang anakku.
Berteman adalah kebutuhan mutlak bagi kita yang merupakan makhluk sosial. Sebagai sarana untuk berinteraksi dan bersosialisasi. Perlu disadari, lingkungan pergaulan yang heterogen sangat signifikan dalam membentuk karakter dan akhlak seseorang. Demikian pentingnya hal di atas, tercermin dalam sabda Rasulullah SAW: ” Seseorang itu tergantung agama temannya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.''" (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Jika kita banyak bergaul dengan orang-orang yang saleh, maka dengan izin Allah SWT akhlak dan perilaku kita akan terimbas oleh kesalehan mereka. Demikian juga sebaliknya. ''Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api pandai besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap.'' (HR Bukhari).
Dalam realitas sehari-hari, tak jarang kita lihat orang bisa terjerumus dan menyimpang dari jalan-Nya, karena terpengaruh oleh lingkungan pergaulan yang tidak baik. Suatu masalah yang sangat kompleks dalam kehidupan masyarakat. Berhati-hati dalam berteman adalah solusi yang tepat untuk mengatasinya.
Di dalam menjalin hubungan pertemanan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, agar mendapat ridho dari Allah SWT. Pertama, saling menasehati ke arah kebaikan dan saling mengingatkan jika ada kesalahan atau kekhilafan. Kedua, tidak meremehkan atau memandang rendah pada teman. Ketiga, tidak iri atau dengki atas karunia yang diberikan kepada teman oleh Allah SWT. Keempat, tidak berprasangka buruk kepada teman. Kelima, tidak membicarakan aib teman. Keenam, menjaga rahasia yang diamanahkan oleh teman.
Pertemanan yang dijalin semata-mata untuk mendapatkan keuntungan duniawi bersifat sementara. Sekarang menjadi teman, mungkin besok atau pada kemudian hari akan menjadi lawan. Sedangkan pertemanan yang paling mulia adalah yang dijalin karena Allah SWT. Tidak ada tujuan apa pun dalam pertemanan mereka, selain untuk mendapatkan ridha-Nya.
''Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zholim menggigit kedua tangannya seraya berkata, aduhai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya, dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.'' (QS Al-Furqaan [25]: 27-29). Ayat di atas menggambarkan betapa besar penyesalan di hari akhir, karena pertemanan akrab yang telah menyesatkan dari jalan-Nya. Suatu penyesalan yang terlambat, dan merupakan resiko yang diakibatkan oleh kelalaian dalam berteman.
Hukum Menguburkan Jenazah Berikut Peti Matinya
Hukum Peti Kayu Jenazah
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang hukum menguburkan jenazah dengan menggunakan peti mati yang terbuat darikayu.
Di dalam kitab Al-Fiqhu 'ala Mazahibil Arba'ah terbitan Departemen Waqaf Mesir, disebutkan perbedaan pandangan para ulama dalam masalah ini.
* Mazhab Al-Malikiyah menyebut bahwa menguburkan jenazah dengan kotak kayu merupakan perbuatan khilaful awla. Maksudnya sesuatu yang bertentang dengan keutamaan.
* Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi'iyah menyebutnya sebagai makruh, kecuali karena ada hajat. Misalnya, tanahnya lembek sehingga akan menyulitkan proses penguburan.
* Mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa hukumnya makruh secara mutlak, tanpa kecuali dan apa pun alasannya.
Dalam kitab Al-Fatawa Al-Islamiyah Syeikh Abdul Majid Salim, jilid 4 halaman 1264, disebutkan bahwa menguburkan jenazah dalam peti kayu hukumnya karahah (dibenci). Kecuali bila tanahnya terlalu lembek. Namun bila jenazahnya perempuan, maka lebih utama menggunakan peti, demi menjaga aurat dan kehormatannya, terutama saat menurunkan jenazah.
Majelis Al-Majma' Al-Islami yang berada di bawah naungan Rabithah Alam Al-Islami dalam fatwanya tentang menguburkan jenazah di dalam peti matinya, menyebutkan bahwa:
1. Setiap amal dan sikap yang dilakukan oleh seorang muslim dengan maksud untuk menyerupai perbuatan orang non muslim, hukumnya mahdzhur syar'an dan terlarang secara syariah dengan dasar hadits nabawiyah.
2. Dan menguburkan jenazah di dalam peti mati, kalau niatnya untuk menyerupai orang kafir, maka hukumnya haram. Tapi kalau niatnya bukan karena ingin menyerupai orang kafir, maka hukumnya makruh. Selama tidak ada hajat, maka bila ada hajat hukumnya tidak mengapa.
Di dalam tafsir Al-Jami' li Ahkamil Quran karya Al-Imam Al-Qurthubi jilid 10 halaman 381, disebutkan bahwa menguburkan jenazah dalam peti kayu hukumnya boleh, terutama bila tanahnya lembek.
Diriwayatkan bahwa Nabi Danial dikuburkan di dalam peti yang terbuat dari batu. Dan disebutkan juga bahwa Nabi Yusuf 'alaihissalam dikuburkan dalam peti dari kaca dan dimasukkan ke dalam sumur, karena takut akan disembah jasadnya. Hingga sampai zaman Nabi Musa, jenazah itu kemudian diangkat dan dimasukkan ke kuburan nabi Ishak. Namun riwayat ini tidak didukung oleh dasar yang kuat.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc