Kamis, Agustus 16, 2007
Inilah Cara Tepat Menghukum Anak
Jakarta - Si kecil ogah mandi sore. Dinasehati berkali-kali tidak mempan. Jika Anda memukulnya, satu bibit kekerasan muncul. Jika dibiarkan, bisa jadi keterlaluan. Apa yang harus Anda lakukan?
"Kita cari favorit dia. Kalau dia buat kesalahan, kita bisa melarang dia mendapatkan keinginan dia," kata psikolog Frieda Mangunsong dalam jumpa pers '10 Cara Menjadi Orangtua Efektif' di Hotel Gran Melia, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (15/8/2007).
Misalnya, jika dia suka melihat televisi, orangtua tinggal melarang dia melihat acara kegemarannya. "Oke, kalau kamu nggak mau mandi, kamu nggak akan lihat tivi sampai kamu mau mandi," kata Frieda memberi contoh.
Jika anak tetap ngotot dengan kesalahannya, orangtua tidak perlu bersikap emosional dan meledak-ledak memarahinya. Palingkan saja wajah Anda, sebab anak kecil lebih sengsara kalau tidak mendapat perhatian dari sang ibu.
"Kalau kita ngomel kadang anak malah senang. Anak justru lebih menderita kalau mamanya nggak mau ngomong. Yang nomer dua, dia takut nggak dapat jajan dan dilarang nonton tivi. Kita tinggal dia keluar ruangan juga bisa, tapi jangan sampai dibiasakan anak dikunci di gudang," kata Frieda.
Menurut Frieda, anak harus dibiasakan anak melihat reaksi orangtua. Frieda menyarankan, saat anak bertindak positif, orangtua memberi perhatian. "Tapi jika tindakan negatif, kita melengos saja," imbuhnya.
Dia juga menyarankan agar orangtua memberi alternatif saat melarang suatu hal."Jangan hanya melarang, tapi tidak ada pilihan lain," kata Frieda. (fiq/aba)
Kamis, Agustus 09, 2007
Kehidupan Seks Pelaut dan Musafir
Assalaamu'alaikum wr wb
Ust. Sarwat yang saya hormati, semoga ustadz sekeluarga dilimpahi keberkahan dari Allah SWT. Dan semoga senantiasa diberi kesehatan agar tetap dapat mengasuh rubrik yang sangat bermanfaat ini.
Pertanyaan saya:
1. Bagaimana kehidupan seks para pelaut atau musafir yang mereka sampai berbulan-bulan meninggalkan isteri? Akankah onani menjadi halal bagi mereka? Karena banyak orang-orang yang bekerja di luar daerah bahkan hingga ke luar negri dalam waktu yang lama.
2. Bagaimana pula dengan para sahabat yang sering mendapat tugas berdakwah atau berperang dalam waktu yang lama?
Terima kasih atas jawabannya. Jazakallahu khoiron buat eramuslim. Com yang telah menayangkannya. Akhirul kalam,
Wassalaamu'alaikum wr wb
Ari
Ari
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Barangkali kalau hanya sekedar bekerja di luar negeri namun menetap di suatu tempat, masih ada beberapa alternatif solusi. Tetapi yang agak sulit keadaannya adalah para pelaut seperti yang anda sebutkan sebagai contoh.
Pelaut memang bekerja di tengah laut dan terus berpindah dari satu negara ke negara lain. Kondisinya nyaris tidak memungkinkan untuk mengajak isteri dalam perjalanannya, juga tidak mungkin untuk berpoligami di negara lain.
Sebab negara yang disinggahinya sangat banyak, tidak mungkin seorang pelaut menikah di semua negara yang disinggahinya. Adapun bila menggunakan kesempatan pulang liburan, waktunya memang pasti terlalu lama. Tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan seksual yang barangkali dibutuhkannya suatu waktu.
Berbeda dengan mahasiswa atau pekerja yang menetap di suatu kota. Masih dimungkinkan bagi mereka untuk menikah secara resmi dengan wanita setempat, atau mengajak isteri tinggal di luar negeri.
Hukum Onani
Umumnya para ulama sepakat untuk mengharamkannya, dengan berbagai dalil yang mereka kemukakan. Salah satunya adalah ayat Quran berikut ini:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminum: 5-7)
Ayat ini menyiratkan sebuah kesimpulan, bahwa haram hukumnya mendapatkan kenikmatan seksual kecuali dari isteri atau wanita yang dihalalkan Allah, yaitu para budak yang dimiliki. Sedangkan bila kenikmatan itu didapat di luar dari kedua orang di atas, maka hukumnya dilarang.
Namun Al-Imam Ahmad memberikan pengecualian berdasarkan fatwa dari Ibnu Abbas radhiyallahu a'nhu. Ibnu Abbas ra pernah ditanya oleh seorang pemuda tentang hukum beristimna' (onani), maka beliau menjawab:
نكاح الأمة خير منه، وهو خير من الزِّنا
Menikahi budak wanita lebih baik dari perbuatan itu (onani), tetapi (onani) lebih baik dari zina.
Di lain waktu beliau didatangi oleh seorang pemuda yang belum menikah. Pemuda itu menyatakan bahwa suatu saat dirinya dilanda nafsu seksual yang sangat hebat. Sampai akhirnya dia menggesek-gesekkan kemaluannya hingga terjadi inzal (ejakulasi). Ibnu Abbas kemudian berkomentar, "Hal itu lebih baik dari zina."
Ada sebuah hadits yang secara terang-terangan menyebutkan tentang haramnya istimna'. yaitu
ناكح اليد ملعون
Menikahi tangan (onani) adalah perbuatan terlaknat
Namun ternyata hadits ini dihukumi oleh sebagian ulama sebagai hadits yang tidak ada dasarnya (laa ashla lahu).
Syeikh Said Ramadhan Al-Buthi, ulama besar Syria dan guru besar syariah, ketika ditanya tentang kasus onani 'terpaksa' mengatakan bahwa kira-kira jalan tengah dari perbedaan dua pendapat ini bahwa bila seorang nyaris tidak bisa terhindar dari zina dan hanya ada satu-satunya jalan untuk menghindarinya adalah dengan onani, maka onani itu lebih baik baginya dari pada berzina. Artinya, onani dibolehkan bagi dirinya karena darurat.
Barangakali pendapat Syeikh Said Ramadhan Albuthi ini bisa dijadikan sebagai salah satu dasar fatwa untuk kasus pelaut yang berbulan-bulan tidak bertemu dengan isterinya.
Wallahu 'alam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perbedaan Islam Suni dan Islam Syi'ah
Assalamu'alakum ustadz...
Saya bingung melihat permusuhan antara kaum sunni dengan syi'ah. Sebenarnya apa perbedaan Islam sunni dengan Islam syi'ah? Apakah salah satu dari aliran tersebut sesat?
Apakah Islam di indonesia seperti salah satu aliran tersebut? Menurut ustadz manakah yang paling benar dari kedua aliran tersebut.
Atas jawabannya terima kasih banyak...
Wassalamualaikum..
Putra
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Barangkali ungkapan yang paling moderat dalam masalah konflik sunni syiah adalah masalah salah paham saja awalnya. Ada kelompok dari kalangan umat Islam yang punya pandangan politik yang berbeda pada awalnya. Dan perbedaan ini sesungguhnya masalah yang manusiawi sekali dan mustahil dihindarkan.
Namun masalahnya berkembang menjadi serius ketika perbedaan itu berkembang ke wilayah aqidah dan syariah. Lalu masing-masing pihak saling mengkafirkan dan menuduh saudaranya sesat bahkan murtad. Inilah yang sebenarnya dikhawatirkan sejak dahulu.
Memang benar bahwa ada sebagian dari akidah syiah yang sudah tidak bisa ditolelir lagi, bukan hanya oleh kalangan ahli sunnah, tetapi oleh sesama penganut syiah pun dianggap sudah sesat. Dan kita harus tegas dalam hal ini, kalau memang sesat kita katakan sesat.
Misalnya mereka yang tidak percaya kepada Al-Quran mushaf Utsmani, dan menggunakan mushaf yang konon susunan yang 100% berbeda. Kalau memang ada yang begitu, tentu kelompok ini sudah keluar dari agama Islam secara muttafaqun 'alihi.
Atau misalnya ada yang mengkafirkan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, maka jelaslah sikap ini tidak pernah bisa dibenarkan. Apalagi kelompok sempalan syiah yang menyatakan malaikat Jibril salah menurunkan wahyu, seharusnya kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan kepada Muhammad SAW. Astaghfirullahal-'adzhim. Tentu sempalan yang sudah sampai keluar batas ini sudah tidak bisa ditolelir lagi secara aqidah.
Tetapi kita tetap tidak bisa menggenalisir bahwa semua lapisan umat Islam yang ada aroma syiahnya pasti sesat, kafir atau murtad. Rasanya sikap itu kurang bijaksana. Mengapa?
Sebab di berbagai belahan dunia Islam, katakanlah seperti di Iraq sana, ada banyak komunitas yang secara tradisional menjadi penganut syiah secara keturunan. Kakek moyang yang melahirkan keturunan itu bukan orang jahat yang beniat busuk kepada agama Islam. Mereka menjadi syiah karena keturunan dan tidak tahu menahu tentang urusan koflik syiah dan sunnah.
Lalu apakah kita akan memvonis mereka sebagai non muslim, hanya karena mereka tanpa sengaja lahir dari keluarga syiah? Rasanya tidak begitu sikap kita.
Yang barangkali perlu diwaspadai adalah orang-orang jahat betulan yang berusaha menghancurkan agama Islam dari dalam dan menjadi pemeluk syiah sesat. Mereka inilah yang menggulirkan ajaran sesat di dalam syiah sehingga akhirnya muncul ajaran yang aneh-aneh seperti di atas.
Oleh karena itu kita harus tegas tapi tidak boleh asal tebas. Ada kalangan syiah yang memang sesat dan tidak berhak lagi menyandang status muslim. Tetapi kita juga harus dewasa, bahwa ada kalangan yang dianggap berbau syiah atau kesyiah-syiahan, tetapi sesungguhnya masih bisa ditolelir kekeliruannya.
Mengapa kita perlu bijak dalam masalah ini?
Karena kita tahu bahwa musuh-musuh Islam bergembira ria melihat umat Islam di Irak berbunuh-bunuhan, hanya karena urusan syiah dan sunnah. Jangan sampai isu negatif perbedaan syiah sunnah terbawa-bawa ke negeri kita juga. Sudah terlalu banyak pe-er umat Islam, maka sebaiknya kita jangan memancing di air keruh. Jangan sampai kita memancing yang tidak dapat ikannya tapi airnya jadi keruh. Sudah tidak dapat ikan, kotor pula.
Karena itu dialog antara sesama tokoh dari kalangan syiah dan sunnah ada baiknya untuk dirintis. Tentu untuk sama-sama menuju kepada kerukunan, bukan untuk cari gara-gara. Rasanya masih banyak ruang persamaan di antara keduanya, ketimbang kisi-kisi perbedaannya.
Semoga Allah SWT memberikan kelapangan di dalam hati kita untuk menata hati ini menjadi hamba-hamba-Nya yang shalih dan melakukan ishlah. Amien
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Situs Penghinaan terhadap Islam
Saya melihat website www.indonesia.faithfreedom.org yang isinya menjelek-jelekan agama Islam. Sebenarnya website ini sudah cukup lama. Tetapi tidak ada yang menggubris. Menurut anda apakah yang harus kita lakukan. Bukankah memerangi musuh Allah adalah kewajiban. Tetapi bagaimana caranya
Khadijah
langlang_ilalang@hotmail.com at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dunia maya adalah dunia tanpa batas. Bahkan ada yang mengatakan dunia maya adalah dunia yang bebas dari hukum. Setidaknya aparat penegak hukum seringkali dibuat kerepotan menghadapi kejahatan di dunia maya. Apalagi para ustadz dan ulama.
Dan situs yang berbahaya serta bermuatan yang menjelekkan agama Islam sangat banyak tersebar di dunia maya, baik yang berbahasa Indonesia maupun asing. Kita memang prihatin kalau melihatnya.
Sayangnya, seperti yang anda katakan, sangat sedikit dari umat Islam yang punya waktu dan perhatian dalam masalah ini. Kebanyakan para aktifis dakwah, ustadz, dan para ulamalebih mudah berdakwah di alam yang sesungguhnya, seperti berceramah atau mengisi pengajian secara verbal. Sedangkan di dunia maya, umumnya belum mendapat porsi yang seimbang.
Dan memangitulah masalahnya, kebanyakan para aktifis, ustadz, penceramah dan para ustadz kita lebih fasih berdakwah dengan lidah ketimbang dengan tulisan. Padahal ada sebuah ungkapan bahwa tinta para ulama lebih berharga dari darah para syuhada'. Ungkapan ini menunjukkan betapa tulisan seorang ulama itu akan sangat besar pengaruhnya buat umat, melebihi pengaruh yang bisa diberikan oleh satu orang mujahid yang syahid di medan laga.
Pada masa sekarang ini, dakwah lewat tulisan sudah merambah ke dunia maya. Tidak lagi melulu lewat buku dan kertas, sudah meninggalkan pena bertinta. Kini kita masuk ke era di mana tulisan seorang ulama bisa langsung diupload ke jagad maya dari mana saja saat ini juga. Lalu bisa langsung dibaca oleh jutaanorang dari seluruh dunia.
Bahkan seorangjuru dakwahtidak perlu mencari penerbit untuk bisa mempublikasikan dakwahnya. Dan penerbit tidak perlu bingung ke sana kemari cari modal untuk mencetak. Para distributor juga tidak repot menagih hutang dari para penjual. Cukuplah seorang juru dakwah menulis, lalu beliaumengerti sedikit tentang komputer dan internet.Urusan di mana tulisan itu mau dipublish, masalah mudah.
Bahkan beliaubisa membuat blog gratisan dalam waktu beberapa detik saja. Dan saat itu juga, semua tulisan dan pemikirannya bisa dibaca oleh jutaan orang dari berbagai belahan dunia.
Tapi sayangnya, sekali lagi, kemudahan teknologi ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para ulama kita. Entah karena mereka agak gagap teknologi, atau karena merasa dunia maya masih asing baginya, atau mungkin sebab lain yang lebih realistis.
Misalnya belum bisa mengetik di komputer. Dan belum terbiasa berdakwah lewat tulisan. Setidaknya belum sefasih ketika mereka ceramah di atas mimbar. Rasanyahambatan seperti ini barangkali yang paling sering kita dengar dari para mereka.
Begitu banyak ustadz dan ulama yang piawai berpidato, tapi sedikit sekali yang pandai menulis. Apalagi yang melek internet. Akibatnya sudah bisa ditebak, dunia maya adalah dunia yang asing buat para ustadz dan ulama.
Sebaliknya, dunia maya malah lebih banyak dimanfaatkan oleh kekuatan yang memusuhi Islam. Dan tragedi munculnya situs semacam yang tuliskan itu tetap masih terjadi hingga kini. Dan masih belum ada solusi yang efektif untuk menangkisnya.
Idealnya, para ustadz, aktifis, juru dakwah dan para ulama, ramai-ramai belajar menulis, lalu ikut kursus singkat penggunaan komputer dan internet. Kemudian mulai menulis, menulis dan menulis. Bisa menulis dan melek internet, tetapi tidak menulis, toh sama saja.
Barangkali itu adalah solusi yang gampang-gampang susah. Dibilang gampang karena sebenarnya menulis dan berinternet itu gampang. Lihat saja di warnet, isinya banyak anak kecil. Tapi dibilang susah karena nyatanya memang masih sedikit yang sudah mengerjakannya. Waktu mereka masih lebih banyak tersita untuk hal-hal lain yang dengan husnudzdzan kita anggap lebih penting.
Semota tulisan ini bisa menjadi sedikit motivasi buat kami dan para ustadz dan guru kami yang lebih senior untuk ikut menulis dan berkarya. Kita tidak pernah tahu bahwa tinta para ulama itu terkadang lebih berharga dari tetes darah para syuhada'.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Senin, Agustus 06, 2007
Sumpah Jabatan
Assalaamu'alaikum wr, wb.
Pak Ustadz, saya bertanya apa ada hukumnya, bila sumpah jabatan bagi orang yang beragama Islam harus menggunakan kitab suci Al-Quran seperti yang sering kita liat di televisi?
Wassalaamu'alaikum wr, wb.
Krakatau_83
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sumpah jabatan dengan menggunakan mushaf Al-Quran tidak kita dapati anjuran atau contohnya di zaman Nabi SAW. Kalau pun ada mushaf yang digunakan dalam sebuah even besar, maka even itu adalah pada saat terjadi perdamaian antara kedua belah kelompok shahabat yang berperang. Saat itu, mushaf ditancapkan di atas tombak sebagai lambang perdamaian. Dan dikenal dalam sejarah sebagai peristiwa tahkim.
Lalu entah meniru peristiwa itu atau tidak, sekarang ini kita sering saksikan adanya sumpah jabatan dengan menggunakan mushaf Al-Quran. Padahal kita tidak temukan anjuran atau pensyariatannya dari dalil-dalil yang muktamad.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu diangkat menjadi khalifah, kita tidak mendapati adanya sumpah dengan menggunakan mushaf. Demikian juga ketika 2 tahun kemudian Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah, juga tidak ada sumpah dengan mushaf. Hal yang sama juga terjadi pada Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhuma. Tidak pernah diriwayatkan bahwa ada mushaf yang diangkat ke atas kepala untuk dilaksanakan sumpah.
Yang ada pada saat itu adalah bai'at. Para shahabat bersalaman dengan khalifah yang terpilih untuk dibai'at bersama menjadi pimpinan mereka. Dan esensi bai'at agaknya tidak sama dengan esensi sumpah jabatan seperti sekarang ini.
Bai'at adalah janji untuk mentaati orang yang dibai'at, bukan mengambil sumpah orang yang dianggap jadi pemimpin. Yang berjanji bukan si pemimpin, tetapi sebaliknya, yang berjanji justru yang merasa dipimpin. Mereka yang berba'iat kepada nabi adalah para shahabat yang berjanji untuk taat kepada perintah nabi, baik dalam keadaan sigap ataupun dalam keadaan malas.
Demikian juga bai'at-bai'at yang diberikan kepada para khulafaurrasyidin setelahnya, semua adalah janji dari para shahabat untuk mendengar dan taat. Bukan sumpah jabatan.
Sumpah jabatan barangkali terjadi dalam pidato sambutan para khalifah setelah dibai'at. Misalnya pidato Umar bin Al-Khattab ra sesaat setelah menerima janji setia dari para shahabat, beliau meminta agar para shahabat menegur dan meluruskan dirinya bila melakukan kesalahan.
Ketaatan Dengan Syarat = kontrak politik?
Namun demikian, seandainya tidak ada contoh sumpah jabatan di dalam sirah nabawiyah di masa lalu, bukan berarti hal itu tidak boleh dikerjakan. Di masa sekarang ini, bisa saja dibuat mekanisme khusus untuk memberikan ketaatan kepada pemimpin yang diangkat, namun dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi.
Kira-kira semacam kontrak politik yang sering kita kenal dewasa ini. Seorang calon pemimpin yang akan diangkat bernegosiasi dengan beberapa pihak untuk mendapatkan dukungan. Dukungan itu tentu saja tidak merupakan cek kosong yang bisa diisi dengan apa saja. Tetapi berisi sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh si pemimpin. Bila syarat itu tidak dipenuhi, maka dukungan dan ketaatan akan dicabut.
Dan hukumnya sah secara syariat, serta berguna untuk dijadikan acuan buat para pemimpin untuk berlaku amanah dan istiqaah di dalam menjalankan wewenang dan kekuasaannya.
Seandainya si pemimpin itu dinilai telah menyalahi apa yang telah disepakati, maka ketaatan bisa dicabut, bahkan kepemimpinannya bisa digulingkan. Dan sejarah menggulingkan penguasa yang lalim dan keluar dari garis yang telah ditetapkan bukan hal yang asing.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Adakah Pembagian Harta Gono-Gini?
Assalamu'alaikum wr. Wb.
Pak Ustad, mohon bantuannya:
1. Saya mempunyai tanah warisan dari orang tua yang sudah balik nama atas nama saya.
2. Saya juga mempunya Rumah sendiri atas nama saya
Saya sudah mempunyai Isteri dan 1 anak, sengat sangat - sangat terpaksa saya menceraikan Isteri saya.
Pertanyaan saya: bagaimanakah pembagian harta gono gini nya?
Atas bantuannya saya sampaikan terima kasih.
Salam Hormat Saya,
PUTRA
Putra
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dalam sebuah rumah tangga Islam, setiap orang punya hak sendiri-sendiri atas harta yang dimilikinya. Suami punya harta dan harta itu miliknya sepenuhnya. Isteri punya harta dan harta itu milik dirinya sepenuhnya. Demikian juga anak-anak, mereka punya harta dan harta itu milik diri mereka sendiri.
Namun dari sebagian harta milik suami itu, ada kewajiban untuk memberikan sebagiannya untuk isterinya sebagai nafkah, yaitu selama mereka masih menjadi pasangan suami isteri. Besarnya nafkah itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara suami dan isteri. Dan nilainya sangat mungkin berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.
Tetapi harta milik isteri sepenuhnya milik isteri, misalnya gaji yang didapatnya bila dia bekerja atas izin suami, termasuk yang asalnya dari mahar (maskawin) suami. Isteri punya hak sepenuhnya untuk membelanjakan harta miliknya itu.
Ketika terjadi perceraian, maka tidak ada pembagian harta gono gini dalam Islam. Berbeda dengan hukum barat yang harus membagi dua harta bersama bila bercerai, dalam Islam tidak ada urusan dengan harta bersama. Karena Islam tidak mengenal harta bersama antara suami dan isteri.
Kecuali bila suami isteri itu membentuk sebuah usaha bersama semacam perusahaan, maka bila mereka sepakat bercerai, belum tentu usaha bersama yang mereka miliki harus bubar. Kalau pun harus bubar, maka pembagian asset-asset perusahaan itu diputuskan sesuai dengan perjanjian dalam perusahaan itu, tidak ada kaitannya dengan hubungan suami isteri.
Misalnya, suami isteri sepakat membuka toko dengan modal dari harta suami 75% dan dari harta milik isteri sebesar 25%. Maka kalau mereka bercerai, toko itu tidak harus bubar. Apalagi bila bisnis itu tetap menguntungkan, mereka tetap bisa mengelola bersama toko itu meski sudah bukan suami isteri lagi.
Kalau pun toko itu mau dibubarkan juga, maka hak suami atas asset toko itu adalah 75% dan hak isteri 25%.
Tapi yang jelas, Islam tidak mengenal harta bersama antara suami isteri, di luar usaha bisnis yang mereka jalankan. Maka harta suami milik suami dan harta isteri milik isteri.
Kalau terjadi perceraian, maka tidak ada secuilpun dari harta suami yang harus diberikan kepada isteri. Dan tidak ada secuil punharta isteri yang harus dibagi kepada suami. Inilah yang adil dan inilah yang benar. Sedangkan harta gono gini yang kita lihat di sekeliling kita tidak ada dasarnya dalam syariah Islam.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Akad Nikah di Masjid Ketika Sedang Haid
Assalamu'alaikum wr wb
Ustadz Ahmad yang dirahmati Allah,
Bolehkah melangsungkan akad nikah di dalam masjid ketika calon isteri sedang haid?
Untuk para tamu, bolehkah menghadiri akad nikah di masjid ketika sedang haid?
Ditunggu jawabannya secepatnya pak ustadz, berhubung dalam waktu dekat ini saya akan melangsungkan pernikahan.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih
Wassalam
Octa Dwinanda
f3ihung at eramuslim.com
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Akad nikah memang disunnahkan untuk dilakukan di dalam masjid. Namun masjid tidak boleh dimasuki oleh orang yang sedang dalam keadaan janabah. Di antara mereka yang dalam keadaan janabah adalah para wanita yang sedang dalam keadaan haidh.
Tetapi tidak usah khawatir, karena untuk akad nikah memang tidak diperlukan kehadiran para wanita. Cukup 4 orang laki-laki saja yang harus ada, selebihnya boleh ada dan boleh tidak.
Keempat orang itu adalah:
- Calon suami atau wakilnya
- Calon mertua laki-laki atau wakilnya
- Saksi laki-laki pertama
- Saksi lak-laki kedua
Cukuplah keempat orang ini saja yang duduk dalam satu majelis akad nikah. Calon mertua kemudian mengucapkan ijab, misalnya, "Aku nikahkan kamu dengan anak gadisku di fulanah." Lalu calon suami itu menjawab, "Saya terima", atau "Saya setuju", atau "Oke", atau apapun yang tidak bisa ditafsirkan lain kecuali tanda setuju, maka pernikahan itu sudah sah.
Adapun calon isteri tidak perlu hadir, karena tidak punya peran apapun dalam akad itu. Calon isteri boleh ada di situ kalau mau hadir, tapi boleh juga tidak hadir, misalnya lagi sibuk jalan-jalan di mall, atau di rumah saja, atau bahkan sedang di luar negeri.
Pokoknya tidak ada peran bagi calon isteri untuk ikut dalam akad itu. Karena akad nikah urusan laki-laki, bukan urusan perempuan.
Apalagi dengan semua wanita yang lainnya, termasuk ibu mertua, bibi, eyang, keponakan dan semua tamu undangan, boleh datang dan boleh juga tidak datang, pernikahan sudah sah cukup dengan dihadiri oleh keempat laki-laki dalam daftar di atas.
Haramnya Masjid Bagi Wanita Haidh
Sebenarnya tidak semua bagian masjidharam dimasuki oleh wanita haidh, karena memang tidakbagian masjid menjadi wilayah 'suci'.
Ada bagian dari masjid yang diikrarkan bukan tempat 'suci' dan 'sakral'. Gampangnya, di masjid pasti ada kamar mandi, tentu kamar mandi bukan wilayah suci. Meski bagian dari masjid.
Demikian juga dengan halaman, selasar, gudang, tempat cuci-cuci sertaruang-ruang tertentu, bisa diikrarkan oleh takmir atau DKM sebagai wilayah di luar kesakralan. Pada wilayah itulah para wanita haidh boleh masuk dan duduk.
Batasannya adalah apa yang diikrarkan oleh takmir atau DKM, itu saja tidak lebih. Maka takmir masjid bisa mengatur bagaimana caranya ada acara akad nikah di masjid tetap bisa berjalan khidmat, lalu para wanita haidh tetap bisa ikut acara, meski dari luar area suci.
Ini akan kembali kepada pintar-pintarnya si takmir untuk mengatur posisi ruangan di masjid. Kalau pintar, insya Alllah bisa disiasati, kalau kurang pintar apalagi awam dengan hukum masjid, maka tentu amat disayangkan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Menikah di Waktu yang Berdekatan dengan Meninggalnya Orang Tua
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Pa Ustadz,
Saya mau bertanya mengenai tanggal dan hari pernikahan, apakah ada dasarnya dari Al-Qur'an atau Hadist yang menyatakan bahwa:
1. Ada hari baik/ tidak baik untuk melangsungkan pernikanan?
2. Tidak baik jika kita melangsungkan pernikahan pada bulan dan tanggal yang berdekatan dengan bulan dan tanggal meninggalnya orang tua kita? Orang tua meninggal 1, 5 tahun tang lalu.
Mohon pencerahannya sebagai tambahan ilmu bagi saya yang fakir.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya
Semoga kebaikan Pa Ustadz mendapatkan pahala dari Alloh SWT.
Wassalam
Amet
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sepanjang yang kami ketahui, rasanya kami belum pernah menemukan dalil yang menetapkan tentang tanggal baik dan bulan baik untuk melaksanakan pernikahan. Demikian juga sebaliknya, kami belum pernah menemukan dalil yang melarang kita melaksanakan pernikahan pada hari tertentu atau bulan tertentu.
Kalau pun ada hari baik dan hari tidak baik, tidak datang dari dalil-dalil syar'i. Kemungkinan anjuran atau kepercayaan seperti itu datang dari budaya warisan nenek moyang kita yang tidak berangkat dari dalil-dalil agama.
Kepercayaan ini oleh sebagian ulama disebut dengan istilah thiyarah. Yaitu perasaan takut mendapatsial bila melakukan suatu even pada hari yang dipercaya sebagai hari sial. Dan sikap ini adalah sikap yang diharamkan olehRasulullah SAW ketika beliau bersabda:
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiqallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah saw bersabda; “Barangsiapa mengurungkan hajatnya karena thiyarah (merasa sial dengan sesuatu), berarti telah syirik”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah saw, apa kaffarat (pelebur dan penebusnya)?” Beliau bersabda: “Hendaklah salah seorang dan mereka berkata: “Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tidak ada kesialan, kecuali dan-Mu, tidak ada Tuhan selain din-Mu “, (HR Ahmad)
Rasulullah saw bersabda:
Thiyarah adalah syirik, Thiyarah adalah syirik, dan tiada seorangpun dan kita kecuali (merasakannya). hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya”. (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Maksud “Tiada seorangpun dan kita kecuali..“ adalah: Tidak seorangpun dari kita kecuali di dalam hatinya ada sesuatu darinya, karena kelemahan manusiawi. Hanyaseorang mukmin mempunyai kelebihan, yaitu bahwa Allah menghilangkan lintasan-lintasan itu dan hatinya disebabkan oleh tawakkal-nya kepada Allah.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya”. . (QS. At-Thalaq: 3)
Lawan dari sikapthiyarah adalah tafa’ul, yakni sikap optimis atau harapan baik. Maksudnya memprediksikan kebaikan berdasarkan apa yang ia dengar atau sesuatu yang ia lihat atau semacamnya.Tidak terikat kepada kepercayaan dan tahayul yang tanpa dasar.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sepeda Mini
Oleh Farikhah
Pelan-pelan...sepeda mini saya kayuh, memasuki gerbang kampus tempat saya bekerja. Ada perasaan gentar, gamang, ragu dan apa sejenisnya, padahal sudah hampir lima tahun ini saya mengendarainya. Agak malu, boleh dibilang begitu. Di antararatusan kendaraan yang berjajar di parkiran kampus, tak satu pun yang sejenis dengan kendaraan pribadi saya. Hanya satu kendaraan bermesin kaki, dan itu adalah milik saya. Sementara lainnya motor bagus-bagus.
Memang pernah juga rekan kerja saya menyarankan untuk mengganti dengan motor. Toh itu tidak sulit bagi saya karena ada fasilitas kredit bagi dosen dan karyawan yang ingin membeli motor...".namun hal itu rasanya tak mungkin untuk saat ini, " sahut saya waktu itu.
Sepeda itu sangat setia menemani saya. Berangkat ngantor dan pulang ke kontrakan yang jaraknya tak terlalu jauh, namun cukup menyita waktu jika harus berjalan kaki. Aneh... Mungkin begitu terlintas di benak orang-orang yang melihat. Di zaman begini, seorang dosen bersepeda onthel pergi ke kampus sementara para mahasiswanya dengan gagah mengendara motor bermerek. Saya sendiri tak pernah membayangkan apa yang dipikirkan orang-orang dan mahasiswa terhadap saya. Yang saya pikirkan justru sepeda itu sangat berjasa. Keberadaannya telah menghemat waktu sekitartiga puluh menit dalam sehari. Dengannya, perjalanan yang harusnya saya tempuh 50 menit selama bekerja, menjadi dua puluh menit. Jika sebulan berarti sepeda itu telah menghemat waktu saya 15 jam. Lumayan, bukan?
Padahal sepeda itu tak menuntutuntuk menuntut merogohkocek lebih banyakdengan menggilanya harga BBM, karena memang tak membutuhkan bensin. Hanya butuh 2000 rupiah untuk menambal bannya yang bocor sesekali atau harus mengganti ban. Cukup murah kan?
Intinya saya sangat bersyukur dengan kehadirannya. Namun itu dulu. Duluuu.ketika 'materi'dan budaya'materialis' belum menyelisik dalam hati. Ketika saya tegar berdiri jadi seorang abid Tuhan. Hanya tuhan Alloh, Raja dalam hati saya. Hanya Dia yagn saya pentingkan dalam hidup saya. Perintah-perintah-Nya yang utam saya perjuangkan. Dan, ketika saya masih dekat dengan teman-teman yang 'kuat' dan selalu menguatkan.
Sekarang... Berbeda sekali. Berbeda jauh, jauuuh sekali. Detik ini saya tak setegar dahulu. Badan pun tak setegap masa itu, manakala memasuki gerbang kampus biru itu. Kayuhan kaki juga tak sekuat masa itu, saattak pernah malu-malu mengendarainya. Semuanya telah tergerus oleh waktu, seiring dengan makin jauhnya jarak dengan Sang Raja.
***Robbanaa laa tuzigh quluubanaa ba'dait hadaitanaa..... ****
Menjadi Ratu
Oleh Ary Nur Azizah
Ah, siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu membosankan, bahkan membuat stres? Tidak benar lah itu!
Setidaknya, itu yang saya rasakan saat ini. Selepas saya resign dari sebuah kantor, saya kini tinggal di rumah. Ibu rumah tangga, demikian gelar yang saya sandang. Orang bilang tanpa gaji. Tapi saya yakin, insyaAllah, saya mendapatkan lebih dari sekedar gaji.
***
Benar. Memutuskan untuk sampai di titik ini adalah sebuah perjuangan berat. Saya bahkan rela “berpisah” dari suami, sendiri di rantau dalam kondisi hamil dan dengan seorang balita pula. Saya keukeuh mempertahankan status sebagai seorang wanita karir masa itu. Meski beberapa kali anak menyatakan kangen dengan sang ayah, hati saya tetap tak bergeming.
Saya menyukai peran saya sebagai ibu sekaligus perempuan yang berkarya di luar rumah. Sungguh nikmat! Saya mendapatkan gaji tetap setiap bulannya, yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan semua keinginan hati. Saya juga banyak membantu ekonomi rumah tangga, setidaknya, begitu ungkap tulus si ayah, panggilan saya untuk suami tercinta. Belum lagi lambaian tangan si sulung dan doa yang mengalir dari bibir mungilnya, ketika saya berangkat ke luar kota. Hmmm, sungguh sebuah perpaduan indah yang tidak ingin saya tanggalkan.
Seiring berjalannya waktu, si sulung mulai belajar protes. Dia enggan ditinggal sendiri. Seperti kawannya di TK, ia ingin diantar mama. Mau main sama mama. Ingin selalu bisa tidur bareng mama. Tidak mau mama pergi keluar kota, apalagi sampai menginap.
Sebagai ibunya, tentu saya tidak bisa mengacuhkan permintaan bocah kecil saya. Otak mulai berpikir untuk membujuknya melupakan keinginan-keinginan mustahil itu. Bagaimana pun, saya masih ingin menjadi wanita karir. Masih mau terus keluar rumah tiap pagi, dan pulang sore hari dengan membawa oleh-oleh untuk buah hati. Masih ingin menikmati rasa ‘diakui lebih' oleh masyarakat sekeliling.
Lantas suatu ketika saya berandai-andai. Jika saya resign, tentu hilang semua kenikmatan itu. Tentulah saya tak lagi dapat menebus segala ingin hati dengan uang yang saya dapatkan secara mandiri. Pasti saya akan nampak kurus kering, lusuh, kumel… dan tak lagi chic! Saya juga akan stress karena hilang 8 jam kesibukan yang biasa saya kerjakan di kantor. Saya akan kehilangan masa untuk terus mengembangkan diri. Saya akan nampak amat ketinggalan zaman ketika bergabung kembali bersama kawan-kawan dekat yang masih menjadi wanita karir. Hiii! Saya ngeri membayangkan semua itu. Maka mulailah saya melancarkan jurus jitu.
Saya bawakan kue dan mainan kesukaannya, lalu saya pun memintanya untuk tak lagi merengek. Saya katakan padanya: mungkin semua kue dan mainan ini tak lagi akan menjadi oleh-oleh setiap sore jika mama tidak bekerja. Dia pun menurut.
Beruntung! Protes berikutnya yang ia lancarkan, membuat saya berpikir seribu kali untuk tetap melanjutkan niat saya. Suatu sore, selepas mengantar si ayah berangkat kembali ke kota tempatnya bekerja, anak saya berlari menuju kalender yang tergantung di dinding kamar. Sambil komat-kamit, jarinya sibuk menunjuk angka-angka yang berderet di bulan Desember 2006, waktu itu. Sebelumnya saya tidak paham apa maksudnya.
Tapi kemudian, jantung saya serasa berhenti berdetak saat ia, dengan suara lantang mengatakan, “Alhamdulillah, kurang tiga puluh hari lagi ayah datang! Asyik, nanti kalau ayah datang kita mau ke mana, Ma?”
Saya tak lagi bisa berkata-kata. Segera saya rengkuh sang buah hati. Memeluknya dengan erat hingga ia tertawa. Mungkin, ia geli dengan sikap mamanya.
“Maafkan mama, Nak! Mama janji, mama akan segera atur supaya Iq dan adik, bisa terus bertemu mama. ” Janji itu pun terlontar tanpa pemikiran panjang. Ya, demi mereka, putra saya dan adiknya yang baru berusia dua bulan, saya harus meninggalkan semua yang semula saya anggap sebagai sebuah kenikmatan.
Maka saya pun segera mengatur langkah, supaya dapat meninggalkan kantor pada saat yang tepat tanpa menyisakan tugas dan kewajiban. Tekad saya tak lagi pasang surut! Saya menafikan semua penyesalan orang sekitar ketika saya ungkapkan rencana saya.
“Ih, sayang sekali kalau harus keluar kerja. Sekarang mah susah cari kerjaan, jangan keluar atuh, Neng!” mayoritas mereka mengatakan hal ini. Sayangnya, hati saya sudah bulat. Masa depan dua anak kami adalah alasan terkuat. Dan itu teramat sangat penting. Dengan mengucap basmalah, saya azzamkan untuk memulai pemikiran baru tentang seorang ibu rumah tangga.
***
Dan sekarang, insyaAllah semua kekhawatiran saya benar-benar tak mewujud. Meski saya tak lagi melihat kekaguman dari lawan bicara ketika saya bilang saya adalah ibu rumah tangga yang sehari-hari di rumah, sekali lagi saya katakan bahwa semua ketakutan saya tidak beralasan.
Saya masih bisa tampil chic. Masih bisa menambah wawasan dan mengembangkan diri, meski bukan di sebuah lembaga resmi bernama kantor. Saya tidak pernah kebingungan menghabiskan waktu karena seluruhnya telah tercurah untuk dua jundi yang semakin beranjak besar. Saya bisa menggeluti hobbi! Bahkan, kata si ayah, saya nampak semakin cantik kian hari.
Walaupun saya tak lagi menerima gaji tetap, ternyata, rizki saya tidak berkurang. Allah alirkan lebih malah, melalui peluh si ayah. Kini, saya serasa menjadi ratu!
Oleh karena itu, di akhir tulisan ini izinkan saya luapkan syukur dan terima kasih terdalam, untuk Allah Yang Maha Pemurah. Dialah pembuka pintu hati yang tertutup rapat kala itu, hingga dengan mudah janji terucap.
Juga terima kasih, kepada dua malaikat kecil yang selalu menghiasi hari dan menjadi semangat menyala dalam hidup saya.
Si ayah yang selalu mendorong untuk terus maju, dalam berpikir dan bertindak, serta terus mencintai saya dengan tulus, karena Allah. Pun kepada keluarga besar, yang senantiasa hadir dengan doa dan dukungan dalam setiap denyut nadi saya.
Subhannallah… Alhamdulillah… Allahu Akbar!
antariksa0102@yahoo. Com Kolej Perdana, menjelang subuh!
Suami Pilihan
Belum terlalu lama saya mengenalnya, baru sekitar 3 bulan lalu semenjak saya memutuskan untuk berlangganan ojeg dengannya. Tarif ojegnya lebih murah dibanding dengan yang ditawarkan tukang ojeg lainnya. Jika yang lain meminta Rp 7000, dia hanya meminta Rp 5000 untuk pengganti jasa mengantarkanku dari stasiun Tanah Abang menuju kantorku di Slipi.
Pak Asmadi namanya, usianya sudah kepala empat, ia mengaku sudah delapan belas tahun menjalani profesinya sebagai tukang ojeg. Pertemuan yang hampir tiap hari dengannya, membuat saya tahu tentang sedikit kisah hiudpnya, kadangkala saya dibuat kagum ketika darinya saya peroleh kata-kata bijak, nasehat, layaknya seorang bapak yang sedang menasehati anaknya.
Siapa menyangka kalau tukang ojeg yang hanya lulusan SLTA itu mempunyai seorang isteri yang berpangkat eselon 3 di salah satu kantor pemerintahan di Jakarta. Isterinya adalah lulusan pasca sarjana dari salah satu universita negeri di Jakarta. Ketiga anak yang dimilikinya semua juga berpendidikan sarjana, hanya Pak Asmadi sendiri yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTA. Dari hasil menarik ojeg itulah Pak Asmadi membiayai anak-anaknya kuliah. Kadangkala Pak Asmadi juga mencari tambahan penghasilan lain misalnya dengan berdagang kambing ketika mendekati hari raya Idul Adha.
Awalnya, saya berpikir hal ini sebagai sebuah kemustahilan, di benak ini selalu saja timbul pertanyaan ”Bagaimana mungkin Pak Asmadi seorang tukang Ojeg itu bisa memiliki seorang Isteri yang berpendidikan dan berjabatan tinggi di kantor pemerintahan?”.
Ada rasa tak percaya sampai di kemudian hari Pak Asmadi memperlihatkan pada saya foto Isterinya sedang dilantik oleh salah satu menteri. ”Ini mbak, foto isteri saya waktu dilantik oleh Pak Mentri, dan yang satunya itu foto saya sewaktu mendampinginya...” Tunjuk Pak Asmadi. Terlihat foto seorang wanita yang sedang bersalaman dengan seorang menteri, dan sebuah foto lagi menampilkan foto bersama seluruh jajaran pejabat dengan para pasangannya, kulihat Pak Asmadi memang ada di situ dengan baju batik coklatnya. Dari wajahnya memancar senyum bahagia begitu pula dengan isterinya.
****
Saya sering melihat rubrik kontak jodoh di salah satu media cetak di Ibukota. Bukan, Bukan karena saya berniat ingin mencari jodoh lagi, tapi hanya sekadar iseng yang benar-benar iseng. Siapa tahu ada teman yang mengiklankan diri di situ, kan bisa jadi bahan ledekanku untuknya. Salah satu contoh isi iklan perjodohan yang sering kulihat itu adalah seperti ini misalnya: Seorang wanita, 25 tahun, Sarjana, tinggi badan 160 cm, bb 43 kg, berkulit putih mulus, wajah manis, Islam, pintar mengaji, keibuan dan pandai memasak mendambakan: Seorang laki-laki, perjaka tulen, minimal 26 tahun, lulusan pasca sarjana, berpenghasilan tetap (swasta/PNS), tinggi badan minimal 170 cm dengan berat badan seimbang, Islam taat, Pandai mengaji dan bersifat kebapakan.
Coba kita lihat iklan tersebut, dan perhatikanlah. Niscaya kita akan menemukan sebuah fakta bahwa seorang wanita pada umumnya menginginkan pasangan (calon suami) yang memiliki spesifikasi yang lebih baik dari spesifikasi yang dimilikinya. Baik itu dari segi fisik, tingkat pendidikan atau hal-hal kasat mata lainnya. Menurut saya hal ini sangat wajar. Karena bagaimanapun juga seorang lelaki akan menjadi pemimpin dalam sebuah rumah tangga, jadi semakin bagus kualitasnya akan semakin baik bagi keluarganya kelak. Begitu kondisi idealnya.
****
Kembali kepada kisah Pak Asmadi dan isterinya, saya menjadi tersadarkan bahwa ternyata tidak semua wanita melihat kualitas calon suami hanya dari kasat mata yang tampak saja. Rasa penasaran saya muncul menggelitiki hati, membuat saya secara diam-diam ingin menyelidiki apa alasan Isteri Pak Asmadi begitu bangga dan mencintai suaminya yang ”hanya” seorang tukang ojeg dan hanya berpendidikan setingkat SLTA. Sementara isterinya adalah wanita karir yang sukses yang memiliki pendidikan dan jabatan yang tinggi.Tidak ada rasa malu padanya akan ”kesenjangan” itu.
Suatu hari dalam perjalanan menuju kantor, Pak Asmadi mengajukan sebuah pertanyaan pada saya ”Mbak, tahu ngga resep saya supaya tidak pernah mengalami kecelakaan di jalan atau supaya tidak pernah kena razia polisi jalan?” Saya pura-pura berpikir lantas menjawab ”hmm... tidak tahu pak, apa resepnya?” ”Berdzikir mbak...” jawabnya. ”Berdzikir itu mengingat kepada Allah, bisa dilakukan di mana saja, kalau kita sehabis melaksanakan sholat baik itu sholat fardhu atau sholat sunnah, usahakan jangan langsung berdiri, dzikirlah terlebih dahulu. Dzikir juga tidak hanya dilakukan setelah sholat, tapi bisa di mana saja, termasuk di jalan raya ketika mengendarai sepeda motor seperti saya ini”
”Bapak rajin ber-dzikir? ” saya bertanya untung memancing.
“Alhamdulilah mbak, setiap selesai sholat saya selalu berdzikir, bahkan dalam perjalanan saya dari rumah sampai ke stasiun saya juga selalu berdzikir, kalau tidak salah ada dalam Al-quran perintah untuk mengingat Allah dalam keadaan duduk maupun beridir, itu artinya dalam keadaan apapun kita harusnya selalu mengingat Allah kan mbak?”
“Iya, betul pak, Berdzikir dengan mengingat Allah membuat hati kita merasa tenang dan tentram, itulah mungkin yang membuat Bapak jadi tidak pernah mengalami kecelakaan saat mengendaria sepeda motor, karena saat itu Bapak berdzikir sehingga pikiran dan hati Bapak menjadi tenang, berkendaraan pun jadi tenang “ jawabku menyimpulkan.
Ternyata dari Pak Asmadi, terdapat banyak hikmah. Saya bisa memunguti hikmah-hikmah itu untuk diri saya. Sekaligus menyadari bahwa Pak Asmadi ternyata orang yang taat beragama lagi berakhlak mulia, wajarlah jika sang isteri begitu mencintainya.
***
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasullullah pernah bersabda ”Jika datang kepada kalian orang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, karena jika tidak maka akan menjadi fitnah di bumi dan juga kerusakan.” Para sahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, meskipun pada diri orang tersebut terdapat kekurangan?” Beliau menjawab, ”Jika ada orang laki-laki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian, maka nikahkanlah dia” Artinya, jika kalian tidak menikahkan orang laki-laki yang taat beragama lagi berakhlak mulia meskipun tidak kaya atau tidak terhormat atau tidak kufu’, sedang kalian lebih menyukai orang laki-laki yang kaya, terhormat, lagi terpandang meskipun tidak taat beragama dan tidak berakhlak mulia, niscaya hal tersebt akan mengakibatkan kerusakan yang parah. Mungkin akan banyak wanita yang hidup tanpa suami dan banyak pula laki-laki yang hidup tanpa isteri. Akhirnya banyak perzinaan dan tersebar pula perbuatan keji.
Rasulullah SAW menyebutkan akhlak bersaaan dengan agama, karen akhlak berperan sangat penting sekali dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah tidak cukup hanya dengan menyebutkan agama saja, Sebab, terkadang ada orang yang taat beragama tetapi akhlaknya tidak cukup baik untuk kehidupan rumah tangga, bahkan berakhlak tercela dan berwawasan sempit serta fanatik sehingga dia akan meletakkan agama di sampingnya dan menggauli isterinya dengan akhlak yang tidak baik. Akhirnya muncul kesan bahwa tingkah laku bururk itu disebabkan oleh agama. Padahal yang demikian itu merupakan keyakinan yang salah, karena Agama memerintahkan untuk mempergauli isteri secara baik.
***
Kini terjawablah sudah rasa kepenasaran saya. Isteri Pak Asmadi ternyata benar-benar telah menjalankan sabda Rasullullah SAW tersebut. Menentukan suami pilihannya adalah seorang yang taat beragama dan berakhlak mulia meskipun tidak kaya, tidak terhormat atau tidak se kufu’ dengannya. Satu pelajaran berharga yang bisa saya ambil darinya.
Mengutang untuk Tamu
Tamu adalah seseorang yang patut kita hormati dan dihargai. Siapa pun itu orangnya! Entah baik itu pengemis, musafir maupun orang yang tak kita kenal sama sekali lalu bertandang kerumah kita dengan cara yang baik hukumnya wajib untuk kita terima sebagai tamu. Tanpa tidak pandang bulu siapa orangnya! Memang tidaklah sulit menjamu tamu saat kita memiliki banyak bahan makanan atau sesuatu yang perlu kita berikan kepada tamu. Namun bagaimana jika tidak memiliki itu semua? Di sinilah letak ujiannya? Bagaimana ujian kebesaran dann keikhlasan hati kita dalam menerima tamu.
Kejadian ini mengingatkan saya ketika saya masih SMU, tepatnya pada tahun 1999 ketika teman-teman saya bertandang kerumah saya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Teman-teman saya itu datang kerumah sayam selain ingin silaturahmi dan juga ingin mengetahui tempat tinggal saya di mana. Memang saat teman-teman saya itu bertandang kerumah saya saat hari libur (hari Ahad). Kebetulan hari libur itu gunakan untuk menyempatkan teman-teman saya untuk bersilturahmi sekaligus ingin mengetahui rumah saya. Tapi yang menjadi trouble adalah ketika mereka datang ke rumah saya tidak ada (cukup) bahan makanan untuk disajikan (disediakan) kepada mereka itu. Yang ada hanya air putih.
Maklum persediaan di rumah tidak mencukupi (tidak tersedia).Panik sudah jelas! Saya pontang-panting mencari makanan atau yang bisa disediakan untuk mereka. Padahal mereka sudah tiba dirumah saya. Kasihan dong? Kalau mereka tidak disuguhkan makanan? Apalagi mereka datang ke rumah saya, tempat tinggal mereka masing-masing cukup jauh juga. Jumlah teman-teman saya itu berjumlah 4 orang. Cukup lumayan banyakkan bagi orang yang tidak mempunyai persedian bahan makanan untuk tamunya?
Akhirnya, saya pun diberikan oleh Allah pertolongan walaupun melalui perantara ibu saya ketika saya sedang-sedangnya lagi panik ibu saya menyarankan dan memberikan masukan. Ibu saya bilang, ” ambil (baca: utang) saja dulu diwarung depan. Nanti ibu yang bayar kok daripada kamu tidak enak sama teman kamu. Kasihan teman-teman kamu datang dari jauh-jauh tidak kamu suguhkan makanan. ” Begitu kata ibu saya ketika tidak tahu lagi apa yang saya lakukan. Ternyata masukan dari ibu saya masuk akal juga. Dengan terpaksa dan berat hati saya pun mengambil (ngutang) dulu makanan dari warung depan dekat rumah saya.
Tiga jam sudah teman-teman saya berlama-lama di rumah saya. Namun ketika ada salah satu teman saya mengkomandai untuk segera pamit pulang, akhirnya semua teman-teman saya yang lainnya pun menyetujui. Mereka berpamitan pulang. Namun sebelum mereka pulang ada salah satu teman saya berbicara serius pada ibu saya. “Aneh, ” pikir saya ketika melihat salah satu teman saya berbicara serius pada ibu saya. Kemudian mereka pun pulang meninggalkan rumah saya dengan sambil melempar senyum puas.
Anyway, seusai teman-teman saya meninggalkan rumah. Saya pun membersihkan dan membawa peralatan yang digunakan sebagai wadah makanan yang saya sajikan. Tiba-tiba ibu saya mendekati saya sambil memberikan sebuah amplop putih. Saya sendiri pun juga tidak tahu apa isi yang ada di dalam amplop tersebut. Ibu saya pun langsung memberikan amplop putih itu ke tangan saya sambil berujar, ” ini dari teman-teman kamu. Katanya ini sebagai pengganti makan dan minum yang teman-teman kamu sajakan dari kamu. ” Dengan perasaan penasaran saya pun membukannya. “Masya Allah, ternyata isinya uang!” pekik saya saat itu. Tidak percaya bahwa teman-teman saya begitu baik dan peduli pada saya. Jujur saya begitu terharunya saat saya tahu bahwa dalam amplop itu ternyata isinya uang. “Allahu Akbar!” ucap saya lagi. Bahwa Allah telah memberikan saya rezeki melalui teman-teman saya. Makanan dan minuman hasil mengutang dari waruing depan dibalas dengan uang yang cukup (bahkan) lebih untuk membayar makanan dan minuman dari warung depan.
Ternyata di balik kesulitan, Allah memberikan kita kemudahan! Maha Besar Allah saya pun tak mampu membendung air mata saya. Ternyata teman-teman saya begitu baik dan perhatian pada saya. Tapi ketika lagi terharu-harunya ibu saya memperingatkan saya lagi sambil berujar, ” jangan lupa dibayar makanan dan minuman di warung depan. "
(Bukan) Ukhuwah Musiman
“Aku ingin dalam hidup ini berteman tak seperti musiman!” kata Maria. Kalimat yang diucapkan temanku tadi membuatku tersentak sesaat. Betapa hal itu sanggup menyentil ingatanku akan masa lalu.
Hingga kumandang adzan Magrib tiba, kusegerakan diri untuk berwudhu. Ada rindu takbir, sujud dan salam yang harus segera diobati, terlebih lagi rindu muhasabah diri. Maha besar Allah, setidaknya magrib ini aku sudah punya bahan untuk bermuhasabah. Ya, tak jauh dari ucapan Maria tadi.
Aku memang baru berusia 19 tahun. Tapi hal itu bukan membuatku bangga. Terutama dalam topik muhasabah kali ini, hatiku seakan tersayat...
Sembilan belas tahun memang bukan waktu yang sedikit untuk Allah tetap mengizinkan jantungku berdetak dan nafasku berhembus. Bukan pula waktu yang sesaat untuk mata dan telingaku bisa memandang kebesaran ciptaanNya dan mendengar lantunan ayat-ayat-Nya. Bukan pula perjalanan hidup yang pendek untuk ayah dan bunda meluapkan kasih sayangnya dalam membimbingku memaknai kehidupan.
Namun yang ada dalm pikirku kali ini, 19 tahun adalah waktu yang singkat. Mungkin karena aku belum mengerahkan seluruh daya dan upaya agar diriku banyak bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku, hingga aku merasa 19 tahun ini berlalu begitu saja.
Duh, Rabb…
Betapa banyak orang yang berkontribusi kebaikan pada hidupku, terlebih lagi berkontribusi ilmu untukku gapai masa depan. Guru TK 2 kelas, nol kecil nol besar. Guru SD 6 kelas, guru SMP dan SMA sebanyak mata pelajaran yang kudapat. Belum lagi guru ekstrakulikuler, pramuka, paduan suara, jurnalistik, KIR dan guru perlombaan. Duh, apa pernah ya aku menyebut mereka dalam lantunan doa-doaku?
Ya, tepat! Betapa banyak pula teman yang ikut berkontribusi mewarnai hari-hariku dengan canda tawa dan duka bersama. Setidaknya jika aku memnghitung teman seangkatan, mulai Tk ada 40 teman. SD ada 5 kelas, berarti 45x5=225 teman, SMP ada 11 kelas, berarti kurang lebih 40x11=440 teman, SMA ada 9 kelas IPA, 1 kelas aksel dan 1 kelas IPS, berarti kurang lebih 414 teman. Kalau ditotal sekitar 1119 teman. Angka itu belum dikurangi sekitar 5% teman yang meneruskan pendidikan yang sama denganku. Dan belum ditambah dengan sejumlah teman beda angkatan, teman rumah, teman organisasi luar dll.. Dan lagi-lagi, adakah saat aku sebut mereka dalam lantunan doa-doaku?
Kalkulator yang menunjukkan angka 1119 itu sempat merasakan tetesan air yang jatuh dari mataku. Duhai Rabb, betapa banyak kenikmatanMu. Merekalah wujud cintaMu padaku. Kini, terlintas dalam pikirku.. Ukhuwah (persaudaraan) yang bagaimana yang selama ini kubangun bersama mereka?
Duhai Rabb, izinkan muhasabah ini sebagi jalan untuk aku luruskan niatku kembali. Sekalipun aku tak banyak tahu keadaan mereka, teman, guru, sahabat, dan saudara-saudaraku.. Namun, cukup Kaulah Rabb yang mengetahui apa-apa yang ada di depan dan di belakang kami. Dan cukuplah Kau Rabb yang menjadi sebaik-baik penjaga dan penolong..
Rabb, entah di manapun mereka.. izinkan kami tetap menjadi penumpang dalam kereta SyurgaMu. Ya, kereta yang melaju kencang tanpa pernah berhenti. Tanpa pernah berhenti dan peduli sekalipun terdapat penumpang yang tumbang dan tertinggal karena belum sanggup bertahan melawan angin nafsu selama kereta ini melaju.
Duhai, Rabb... Di dunia ini tak ada yang abadi. Jikalau dalam pandanganMu ukhuwah kami didunia ini adalah musiman, yang terdapat pertemanan dan persaudaraan hanya karena ada lokasi, waktu dan keperluan.. Maka, izinkanlah dengan hati kami yang bersatu karenaMu ini, kelak Kau panjangkan usia ukhwah kami hingga Kau pertemukan kami kembali dalam rahmat SyurgaMu...
Logika serupa baja Hati serupa sutra Tak ada yang kekal di dunia
Tuk sekadar berucap pada kawan Kala paradigma menguasai hati dan dada
Tenanglah..
Kepedulianku seperti kau kenal dulu..
Dan waktuku masih tersedia untuk suka dukamu
Bukankah Ia yang kekal,
yang menjadi alasan kita..
Cukup,
Sekali untuk diucap:
Ukhuwah kita bukan musiman..
moslemalda@yahoo. Com -Kita yang belajar untuk setia-
Segelas Teh Pelepas Lelah
Bulan Februari bagiku punya nilai kenangan istimewa sendiri. Keduanya menentukan masa depanku berikutnya. Keduanya adalah apa yang kurasakan sekarang, yaitu nikmat bekerja dan nikmat berkeluarga.
Setelah berusaha dengan pekerjaan lain. Menjadi guru privat, karyawan yayasan hingga surveyor. Maka tanggal 17 Februari 2002, saya resmi meminang seorang muslimah dari Kota Nanas, Subang. Berikutnya, melalui perjuangan panjang seorang jejaka. Untuk menjamin keseriusannya menikah. Tanggal 18 Februari 2002 saya diterima bekerja di sebuah perusahaan ritel pakaian di Kota Bandung.
Ada kenangan indah yang mungkin tidak bakal lupa dalam kehidupan saya. Kala akhir bulan Februari 2007 ditugaskan ke Jakarta selama kurang lebih 3 pekan lamanya. Sebagai karyawan baru, pengetahuan akan produk merupakan kewajiban setiap karyawan. Karena itu, dibutuhkan beberapa data yang dapat menggambarkan kebutuhan sebenarnya di lapangan.
Tugas saya adalah mensurvey gerai-gerai perusahaan di beberapa dept. Strore di kota Jakarta. Sekaligus mengenal medan Jakarta sesungguhnya. Dari jam 10 hingga malam hari. Saya berkeliling bersama Supervisor Penjualan Jakarta. Yang ternyata saat itu memiliki area kerja dari Jakarta, Bogor, Cilegon hingga Semarang.
Suatu hari, ketika baru pulang dari salah satu gerai. Saat itu jam sudah menunjukan kurang lebih 18. 15. Dengan pakaian basah oleh keringat dan tampang amburadul. Saya masuk ke dalam Showroom tempat saya menginap selama 3 pekan tersebut. Beberapa teman SPG menyambut dan berbasa-basi sebentar. Tapi ada unik malam itu. Seorang SPG Senior Mba Shellawati atau Mba Ella biasa kami panggil. Beliau seorang isteri sekaligus ibu dari seorang putri yang cantik. Mencoba menawarkan sesuatu padaku.
Sambil ber-empati atas keletihan saya, menawarkan segelas teh hangat dan manis. Sebagai pelepas capek dari bekerja. Saat itu, saya merasa ini mah sekedar basa-basi. Walaupun dalam hati terdalam sangat berharap. Segelas teh manis hangat akan dapat menghilangkan keletihanku hari itu.
Usai mandi dan Shalat Mangrib. Saya dikejutkan oleh Mba Ella di ruang makan. Ia memberiku segelas the manis lagi hangat. Yah, segelas the manis lagi hangat.
“Lumayan Pak, biar seger”, kata Mba Ella “Aduh Mba, makasih banget. Kirain basa-basi doang”, balasku kala itu.
Malam itu ada keharuan mendalam, bahwa sebuah ketulusan mampu memberikan kebahagia berarti bagi seseorang. Disaat capek dan letih bersatu. Ada seseorang yang dengan tulus memberikan kepadanya kebaikan. Dengan segelas teh, yang ia harapkan.
Saya belajar banyak dari Mba Ella. Bahwa kebaikan itu bukan sekedar basa-basi belaka. Yang hanya menjadi kebutuhan lip service, orang-orang pandai bicara. Kebaikan sesungguhnya adalah dengan amal atau tindakan. Apalagi bila kebaikan itu bermodal ikhlas, timing-nya pas dan sesuai kebutuhan orang yang memerlukannya. Tentulah akan menjadi pelepas masalah orang tersebut. Tak terkecuali saya yang telah dihibur dengan segelas teh pelepas letih. Terima kasih Mba Ella. Jazakumullahu khairan katsira.
Bandung, 30 Juli 2007
Harga Murah Ajakan ke Surga
Seingat saya, sekitar tahun 2001, saya dan kawan-kawan berencana mengundang Hadad Alwi dan duetnya, Sulis, untuk mengisi acara di sebuah acara keagamaan. Berhubung kamit tidak punya kontak langsung dengan pelantun shalawat yang tengah ngetop saat itu, maka kami bertanya kepada salah seorang teman yang mengaku punya akses. Namun kami sungguh terperangah mendengar informasi dari rekan tersebut bahwa untuk mengundang Hadad Alwi dan Sulis, harus menyiapkan dana tidak kurang dari 8 juta rupiah. Ketika itu, komentar singkat yang keluar dari mulut saya, “Dakwah kok mahal amat sih?
Dua tahun sebelumnya, bahkan saya dan kawan-kawan sempat tak kalah terperangahnya mendengar sebuah informasi yang memang harus dikonfirmasi kebenarannya. Bahwa untuk mengundang Aa Gym berceramah dalam sebuah tabligh perlu dana yang tak sedikit. “Wah, masak ustadz pasang tarif setinggi itu sih?” kira-kira begitu komentar saya saat itu.
Seiring dengan bertambahnya pemahaman diri ini akan penting dan strategisnya nilai dakwah, perlahan mulai bergeser pemikiran saya soal “harga” para ustadz tersebut. Ya, kenapa orang bersedia membayar mahal untuk menyelenggarakan konser musik rock atau dangdut dengan mengundang artis-artis hanya untuk berjingkrak-jingkrak dan bergoyang hingga larut malam bahkan sampai pagi.
Tidak sedikit orang rela merogoh kocek hingga ratusan ribu, sehingga memungkinkan panitia membayar sebuah grup band atau seorang penyanyi dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Padahal para artis itu hanya mengajak orang-orang yang menontonnya untuk berjoget, bergoyang, berjingkrak-jingkrak dan sesekali ikut menyanyi. Bandingkan dengan para ustadz yang berceramah memberikan nasihat-nasihat kebaikan, mengajak kebenaran dan kalau boleh dibilang mendekatkan para jamaahnya kepada pintu surga. Berapa yang disiapkan panitia untuk membayar seorang mubaligh?
Kasihan sekali para da’i di kampung-kampung yang setiap hari menjalankan tugas mulia mengajak orang kepada kebaikan namun hanya mendapat bayaran ala kadarnya, bahkan tak jarang berbalas ucapan “terima kasih”. Bahkan penyanyi dangdut kampung pun bisa mendapatkan 200 sampai 500 ribu untuk tampil satu malam di sebuah hajatan pernikahan.
Tidak adil memang, orang-orang yang tak mengajak kepada kebaikan dibayar sangat mahal. Sementara mereka yang berpeluh, meneriakkan kebenaran seraya mengingatkan larangan-larangan Allah seringkali dilabeli harga yang tidak manusiawi. Terlepas dari adanya ustadz-ustadz yang berharga tinggi dan merangkap selebritis sekaligus, dalam level yang lainnya, kita memang kurang menghargai jasa mulia seorang da’i.
Saya pernah mendengar cerita, dalam sebuah kesempatan Opick, pelantun tembang religius yang sangat terkenal itu mendapat pertanyaan dari seseorang, “Apa benar untuk mengundang Opick harus membayar Rp 5 juta untuk setiap lagu yang dinyanyikan?”
Mendengar pertanyaan tersebut, yang ditanya menjawabnya dengan serius, “Salah, yang benar Rp 15 juta untuk setiap lagu. Masak saya kalah sama Inul…”
***
Sebenarnya, ini bukan tentang berapa jumlahnya yang harus kita bayarkan untuk seorang ustadz, muballigh atau da’i. Ini lebih tentang bagaimana kita memuliakan orang-orang yang membantu kita untuk terus mengingat Allah. Semoga
Bayugautama@yahoo.com